“Adek
mau ikut ayah, Bunda.”
Diawal
perjalanan adek selalu merapalkan kalimat yang dianggapnya sakti. Beruntung
keberangkatan kali ini bertepatan dengan siklus tidur sehingga tak lebih dari
10 km pertama adek sudah mencapai pulau kapuk yang nyaman.
Sedikit
momen tersulit itu pun bisa di tunda sejenak. Meski sadar waktu tak akan
membuat keadaan lebih baik. Paling tidak ada jeda yang bisa digunakan sebuah
hati untuk bersiap.
“Kita
mau lewat mana?”
“Mana
aja. Kita punya waktu panjang jadi bisa santai.”
Percakapan
ini akan terdengar sangat klise. Untuk memilih jalan tercepat tanpa macet cukup
membuka google map, masukan tujuan
dan keluar lah rute terbaik itu. Hanya saja rangkaian basa basi itu mampu
mengurangi gemuruh hati yang merongrong.
Jalur
tengah yang di pilih ini hampir seluruhnya melewati area pemukiman. Sesekali
melalui tanah terbuka atau kebun tebu luas yang menjadi pembatas antar desa.
Selain itu kendaraan yang lalu lalang pun relatif sepi karena masih berada di
pinggiran kota. Jalan yang terbuat dari beton membuat suasana di dalam mobil
sedikit berguncang. Untuk adek yang sedang terlelap seperti sedang dalam
ayunan, dengan bahu kakak yang juga tidur sebagai sandaran.
“Ngantuk,
ya?”
Padma
terbangun saat kepalanya terguncang membentur kaca pintu mobil karena mobil
berguncang mengikuti arus jalanan.
“Maaf
maaf, aku ketiduran.” Padma menegakkan duduknya lalu meneguk air mineral di
botol biru yang selalu dibawanya.
“Kalau
ngantuk tidur aja.” Rafli menyentuh lembut pipi istrinya.
Seandainya
seseorang yang duduk di balik kemudi itu bukan suaminya mungkin Padma akan sama
cepatnya dengan adek untuk tertidur. Sayangnya saat ini adalah momen yang tak
boleh ia sia-sia kan meski hanya tidur selama perjalanan.
Menemani
suaminya terjaga saat berkendara sebenarnya sudah biasa terjadi. Hanya saja
semalam dia tidak mendapatkan tidur yang cukup. Gelapnya malam sebagian besar
ia habiskan untuk berbaring dengan lengan besar Rafli sebagai bantal.
Terlalu
banyak hal yang Padma pikirkan sehingga memejamkan mata saja tak cukup
menariknya kedalam mimpi. Jadilah sampai lewat tengah malam ia masih terjaga.
Meski hanya diam berbaring dan sesekali menyentuhkan jarinya pada pipi Rafli.
Biasanya
Padma melakukan hal itu untuk membuat Rafli melepaskan diri dari jeratan bunga
tidur yang menenangkan. Karena hampir delapan tahun menikah tak sekalipun
suaminya itu bisa bangun cepat tanpa membuat istrinya meracaukan ribuan kata
saat matahari saja belum sampai di peraduan.
Pernah
suatu pagi Rafli bangun dalam keadaan tenang. Kicauan burung murai milik
tetangganya terdengar nyaring bahkan suara derap langkah ibu-ibu yang berangkat
berbelanja pun terdengar. Ketenangan itu justru membuat kelima indera Rafli
dalam posisi siaga. Dan dengan sigap ia menyusuri tiap sudut rumah untuk
mencari anggota keluarganya yang lain.
Kamar
anak-anak sudah tertata rapi. Bahkan tas sekolah kedua anaknya pun sudah tidak
artinya. Artinya mereka sudah berangkat. Kamar mandi pun kosong karena orang
terakhir yang menggunakan adalah dirinya sendiri untuk mengambil wudhu dan
menunaikan sholat subuh yang sangat terlambat.
Satu-satu
nya ruang yang belum Rafli datangi hanya dapur.
Benar
saja, Padma sedang berdiri memberlakanginya. Dengan sebuah apron masak dengan bunga sebagai motifnya terikat di belakang pinggangnya.
Perempuan yang telah melahirkan anak-anaknya itu sedang menyiangi kangkung.
Ahh
… Rafli baru saja ingat bahwa sehari sebelumnya dia meminta di buatkan tumis kangkung.
“Selamat
pagi, istriku.”
Rafli
memeluk istrinya dari belakang. Ia tahu hal ini sangat di sukai istrinya. Tak
jarang Padma selalu menceritakan adegan-adegan dari puluhan drama yang sering
ditontonnya untuk diwujudkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Meski tak
jarang Rafli harus menggelengkan kepala atas khayalan ajaib dari istrinya tersebut.
Aneh
Kali
ini Padma tak merespon pelukannya. Bahkan tangannya masih aktif memetik tangkai
kangkung yang akan dimasak dari batang utamanya. Sama sekali tidak terganggu
Rafli
pun mengeratkan pelukannya. Bahkan dagunya sekarang ia tumpukan pada pundak
Padma. Membuat pipinya menempel pada pipi Padma yang basah.
“Bun,
kok nangis? Kenapa?”
Pertanyaan
Rafli tak juga mendapat jawaban.
“Bunda…”
Jawaban
itu akhirnya tak terdengar tapi bukan kata-kata melaikan isakan yang diikuti
airmata yang mengalir deras.
“Padma
kenapa?hhmm”
Rafli
pun menarik tubuh Padma agar menghadapnya.
Ditengah
isakan itu Padma pun berucap, “Abang kasar pas aku bangunin tadi. Aku kan udah
nggak ngomel kalo bangunin Abang.”
Kalimat
pertama yang Rafli tangkap pagi ini menceloskan hatinya. Bidadarinya itu harus
meneteskan air mata akibat bentakan yang tidak disadarinya. Bahkan mungkin
mulutnya itu telah menggoreskan luka pada ibu anak-anaknya itu.
“Maaf
sayang. Abang nggak sadar.” Rafli pun menarik Padma kedalam pelukannya.
Satu-satunya tempat ternyaman yang tuhan ciptakan untuk istrinya. “Lain kali
abang akan berusaha menang biar bisa pulang lebih awal pas main kartu sama Pak
RT.”
Isakan
tangais itu mulai memudar berganti terikan jengkel Padma atas gurauan suaminya.
Meski demikian tak sekalipun ia melepaskan pelukan hangat tersebut. yang dalam
sekejam mampu menghilangkan sedih yang menyelimutinya.
Meski
tak menyenangkan tapi Padma akan merindukan momen pagi seperti itu. yang tak
akan ia rasakan untuk beberapa waktu kedepan.
Mengingat
kejadian itu, Padma merasakan gelombang panas. Matanya berkaca-kaca. Sebentar lagi
Ia akan merindukan pelukan hangat itu. Kekasih hatinya itu akan pergi.
menunaikan kewajibannya. Bekerja sebagai kepala keluarga juga mengabdi pada Negara
untuk menjaga jantung kehidupan di bumi, hutan.
Bandara juanda tak
pernah berubah. Dari waktu ke waktu tetap sama. Yang berbeda hanya suasana
hatinya saat berkunjung. Sepekan yang lalu dia merasakan bahagia akhirnya bisa
berdiri disini lagi. Saat ini Ia sangat sedih. Sedih yang berlipat-lipat karena
ada dua hati lain yang harus ia tenangkan sekaligus. Kedua anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar