Senin, 30 September 2019

# cerpen # Fiksi

THE GATE OF MISSING

“Adek mau ikut ayah, Bunda.”
Diawal perjalanan adek selalu merapalkan kalimat yang dianggapnya sakti. Beruntung keberangkatan kali ini bertepatan dengan siklus tidur sehingga tak lebih dari 10 km pertama adek sudah mencapai pulau kapuk yang nyaman.
Sedikit momen tersulit itu pun bisa di tunda sejenak. Meski sadar waktu tak akan membuat keadaan lebih baik. Paling tidak ada jeda yang bisa digunakan sebuah hati untuk bersiap.
“Kita mau lewat mana?”
“Mana aja. Kita punya waktu panjang jadi bisa santai.”
Percakapan ini akan terdengar sangat klise. Untuk memilih jalan tercepat tanpa macet cukup membuka google map, masukan tujuan dan keluar lah rute terbaik itu. Hanya saja rangkaian basa basi itu mampu mengurangi gemuruh hati yang merongrong.
Jalur tengah yang di pilih ini hampir seluruhnya melewati area pemukiman. Sesekali melalui tanah terbuka atau kebun tebu luas yang menjadi pembatas antar desa. Selain itu kendaraan yang lalu lalang pun relatif sepi karena masih berada di pinggiran kota. Jalan yang terbuat dari beton membuat suasana di dalam mobil sedikit berguncang. Untuk adek yang sedang terlelap seperti sedang dalam ayunan, dengan bahu kakak yang juga tidur sebagai sandaran.
“Ngantuk, ya?”
Padma terbangun saat kepalanya terguncang membentur kaca pintu mobil karena mobil berguncang mengikuti arus jalanan.
“Maaf maaf, aku ketiduran.” Padma menegakkan duduknya lalu meneguk air mineral di botol biru yang selalu dibawanya.
“Kalau ngantuk tidur aja.” Rafli menyentuh lembut pipi istrinya.
Seandainya seseorang yang duduk di balik kemudi itu bukan suaminya mungkin Padma akan sama cepatnya dengan adek untuk tertidur. Sayangnya saat ini adalah momen yang tak boleh ia sia-sia kan meski hanya tidur selama perjalanan.
Menemani suaminya terjaga saat berkendara sebenarnya sudah biasa terjadi. Hanya saja semalam dia tidak mendapatkan tidur yang cukup. Gelapnya malam sebagian besar ia habiskan untuk berbaring dengan lengan besar Rafli sebagai bantal.
Terlalu banyak hal yang Padma pikirkan sehingga memejamkan mata saja tak cukup menariknya kedalam mimpi. Jadilah sampai lewat tengah malam ia masih terjaga. Meski hanya diam berbaring dan sesekali menyentuhkan jarinya pada pipi Rafli.
Biasanya Padma melakukan hal itu untuk membuat Rafli melepaskan diri dari jeratan bunga tidur yang menenangkan. Karena hampir delapan tahun menikah tak sekalipun suaminya itu bisa bangun cepat tanpa membuat istrinya meracaukan ribuan kata saat matahari saja belum sampai di peraduan.
Pernah suatu pagi Rafli bangun dalam keadaan tenang. Kicauan burung murai milik tetangganya terdengar nyaring bahkan suara derap langkah ibu-ibu yang berangkat berbelanja pun terdengar. Ketenangan itu justru membuat kelima indera Rafli dalam posisi siaga. Dan dengan sigap ia menyusuri tiap sudut rumah untuk mencari anggota keluarganya yang lain.
Kamar anak-anak sudah tertata rapi. Bahkan tas sekolah kedua anaknya pun sudah tidak artinya. Artinya mereka sudah berangkat. Kamar mandi pun kosong karena orang terakhir yang menggunakan adalah dirinya sendiri untuk mengambil wudhu dan menunaikan sholat subuh yang sangat terlambat.
Satu-satu nya ruang yang belum Rafli datangi hanya dapur.
Benar saja, Padma sedang berdiri memberlakanginya. Dengan sebuah apron masak dengan bunga sebagai motifnya terikat di belakang pinggangnya. Perempuan yang telah melahirkan anak-anaknya itu sedang menyiangi kangkung.
Ahh … Rafli baru saja ingat bahwa sehari sebelumnya dia meminta di buatkan  tumis kangkung.
“Selamat pagi, istriku.”
Rafli memeluk istrinya dari belakang. Ia tahu hal ini sangat di sukai istrinya. Tak jarang Padma selalu menceritakan adegan-adegan dari puluhan drama yang sering ditontonnya untuk diwujudkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Meski tak jarang Rafli harus menggelengkan kepala atas khayalan ajaib dari istrinya tersebut.
Aneh
Kali ini Padma tak merespon pelukannya. Bahkan tangannya masih aktif memetik tangkai kangkung yang akan dimasak dari batang utamanya. Sama sekali tidak terganggu
Rafli pun mengeratkan pelukannya. Bahkan dagunya sekarang ia tumpukan pada pundak Padma. Membuat pipinya menempel pada pipi Padma yang basah.
“Bun, kok nangis? Kenapa?”
Pertanyaan Rafli tak juga mendapat jawaban.
“Bunda…”
Jawaban itu akhirnya tak terdengar tapi bukan kata-kata melaikan isakan yang diikuti airmata yang mengalir deras.
“Padma kenapa?hhmm”
Rafli pun menarik tubuh Padma agar menghadapnya.
Ditengah isakan itu Padma pun berucap, “Abang kasar pas aku bangunin tadi. Aku kan udah nggak ngomel kalo bangunin Abang.”
Kalimat pertama yang Rafli tangkap pagi ini menceloskan hatinya. Bidadarinya itu harus meneteskan air mata akibat bentakan yang tidak disadarinya. Bahkan mungkin mulutnya itu telah menggoreskan luka pada ibu anak-anaknya itu.
“Maaf sayang. Abang nggak sadar.” Rafli pun menarik Padma kedalam pelukannya. Satu-satunya tempat ternyaman yang tuhan ciptakan untuk istrinya. “Lain kali abang akan berusaha menang biar bisa pulang lebih awal pas main kartu sama Pak RT.”
Isakan tangais itu mulai memudar berganti terikan jengkel Padma atas gurauan suaminya. Meski demikian tak sekalipun ia melepaskan pelukan hangat tersebut. yang dalam sekejam mampu menghilangkan sedih yang menyelimutinya.
Meski tak menyenangkan tapi Padma akan merindukan momen pagi seperti itu. yang tak akan ia rasakan untuk beberapa waktu kedepan.
Mengingat kejadian itu, Padma merasakan gelombang panas. Matanya berkaca-kaca. Sebentar lagi Ia akan merindukan pelukan hangat itu. Kekasih hatinya itu akan pergi. menunaikan kewajibannya. Bekerja sebagai kepala keluarga juga mengabdi pada Negara untuk menjaga jantung kehidupan di bumi, hutan.
Bandara juanda tak pernah berubah. Dari waktu ke waktu tetap sama. Yang berbeda hanya suasana hatinya saat berkunjung. Sepekan yang lalu dia merasakan bahagia akhirnya bisa berdiri disini lagi. Saat ini Ia sangat sedih. Sedih yang berlipat-lipat karena ada dua hati lain yang harus ia tenangkan sekaligus. Kedua anak-anaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates