Jumat, 28 Juni 2019

Saya bukan anti plastik

01.53 0 Comments
Banyak yang bilang kalau saya peduli lingkungan? Benar dan terimakasih.
Ada juga yang bilang saya “anak buahnya bu Risma” karena mengikuti anjuran beliau untuk mengurangi penggunaan plastik. Saya benarkan juga.
Halah,..gaya-gayaan aja, ikut trend sekarang. Nggak apa-apa, kalau trendnya mengajak kebaikan kenapa nggak diikuti.
Ada juga yang bilang, plastik kresek ini syaratnya penjual jangan ditolak. Yasudah nggak pa-pa.


Semua hal yang saya terima dari sikap diet plastik ini beraneka ragam. Ada yang mengikuti, ada yang biasa aja, yang mencemooh pun ada. Semua itu wajar dan diluar kapasitas saya, karena semua itu pilihan masing-masing.
Untuk saya pribadi plastik atau kresek memang sebisa mungkin saya kurangi. Sebisa mungkin ketika saya berbelanja saya masukan ke dalam tas atau langsung masuk jok sepeda kalau kebetulan nggak bawa tas. Bahkan membawa wadah dari rumah saat membeli makanan siap santap pun sudah jadi kebiasaan. Dan sedikit orang sudah mengikutinya. Saat ini juga mulai memilih penjual yang bisa diajak repot dengan kebiasaan baru saya itu.
Bukan mau gaya-gayaan tapi alasan mendasar saya adalah saya pusing melihat plastik/kresek memenuhi rumah. Nyelip sana-sini. Cuma bikin penuh tempat sementara jarang sekali di pakai.

Kan bisa dipakai buat tempat sampah?
Benar. Tapi itu dulu.

Beberapa waktu lalu saya mengikuti workshop zerowaste dengan mbak Dini (DK Wardani) yang menjadi pemateri. Sejak saat itu saya bertekad untuk mengolah semaksimal mungkin sampah yang saya hasilkan beserta keluarga.
Memang belum bisa tong sampah di rumah itu kosong. belum, saya belum sejauh itu. saat ini yang mulai saya biasakan adalah sampah organik yang saya hasilkan tidak masuk bak sampah/TPA. Sampah organic itu saya timbun di sedikit halaman rumah yang saya biarkan tidak tertutup beton. Membuat kompos seharusnya langkah terbaik tapi belum saya lakukan. Saya masih nyaman membuat galian dan mengisinya dengan sampah organic. Atau pot-pot kosong yang tanamannya sudah mati jadi “tempat pembuangan”.
Hasilnya memang belum terlihat maksimal tapi tanaman saya yang beberapa waktu gagal tumbuh mulai sedikit lebih segar. Karena yang saya tahu, sepetak kecil halaman saya itu miskin hara sehingga untuk beberapa jenis tanaman yang kurang struggle gampang mati. Sekarang tanaman-tanaman lain sejenis talas-talasan bisa tumbuh meski masih kecil.

Ya, yang namanya menyuburkan kembali kan bukan perkara mudah. Saya yakin langkah saya ini benar secara teori dan hanya perlu istiqomah saja untuk membuatnya menjadi lebih baik.
Kemudian untuk sampah organic saya sudah berusaha memilah. Barang-barang yang biasanya di-pulung saya kumpulkan seperti botol-botol bekas, kertas, kardus. Kalau dulu semuanya masuk ke bak sampah di depan rumah. Kalau sekarang saya rubah. Saya kumpulkan terlebih dahulu, baru saat ada yang biasa mengumpulkan saya kasih langsung.
Ada bedanya?
Ada. Pemulung tadi nggak perlu mengaduk-aduk bak sampah lagi. karena proses itu sudah saya lakukan sebelum barang-barang tadi masuk bak sampah. Sedikit meringankan tugas mereka, bukan?
Saya masih pakai plastik, kok. Kebutuhan pribadi seperti perawatan tubuh, pakaian, peralatan makan masih terbuat dari plastik. Tapi saya hanya menggunakan yang memang diperlukan. Dan mengganti yang bisa diganti.
Bak sampah di depan rumah saya juga belum kosong. Karena plastik bungkus jajan anak-anak, atau bungkus bumbu masakan masih saya buang. Masih meninggalkan sedikit feeling guilty di hati. Cuma ya sejauh ini, inilah hal terbaik yang bisa saya lakukan.

Menengok jauh kedepan adalah segala sesuatu yang kita lakukan di kehidupan yang fana ini akan dimintai pertanggungjawaban. Minimal ada sedikit kebaikan yang bisa saya bawa dikehidupan yang abadi kelak. Dan semoga ini juga menjadi ikhtiar saya untuk meraih ridho Allah Subhanallahu Wata’ala. Amin

Kamis, 27 Juni 2019

CERITA KITA

00.23 0 Comments
Kapan pertama kali ketemu?
Lupa, bukan, hampir nggak tahu kapan pertama kali ketemu ndul. Yang jelas pertama kali tahu ndul itu pas angkatan kita (fahutan 44) ngumpul di DAR Plaza setelah selesai BCR. Itu pertemuan pertama banget setelah ospek panjang (hahaha) buat bikin panitia acara Bajiguran.
Seperti biasanya, ndis selalu duduk dibarisan tengah naris paling belakang tapi selalu nyimak apa yang didepan bilang. Singkatnya, ketua nya waktu itu Soni MNH 44 dan ketuamya Rizal KSH 44.
What? Siapa itu? emang ada apa anak KSH 44 namanya Rizal?
Sumpah, andai waktu itu nggak diucapin dalam hati pasti bakal ada BCR putaran kedua. Yang bener aja, baru juga keluar oven, masih anget banget itu. bahu dan paha aja masih berasa sisa senam surga ehh temen seangkatan nggak tahu. sejurusan pula.
Justru karena nggak tahu itu jadi kepo. Oohhh itu temen seangkatan yang baru tahu namanya.
Anehnya keponya ya Cuma saat itu aja. Beres acara ya udah lupa lagi. bahkan sampe kegiatan perkuliahan udah aktif pun masih flat aja. Nggak kepo-kepo juga.
Lagi-lagi ketidaksengajaan bikin kita ketemu. Kali ini kita duduk berdua di teras sisi timur DAR 1. Waktu itu lagi ada penanaman di gunung walat kalau nggak salah salah satu rangkaian acara HAPKA Fahutan.
Pertanyaan basa basi pertama, “Nggak ikut ke Walat?”
Akhirnya obrolan terus berlanjut sampai yang tadinya nunggu dosen datang pun ganti jadi nunggu dosen pulang. kelas kuliah yang tinggal masuk itu nggak dimasukin. Lebih milih ngobrol dan absen kuliah (hahahaha).
Tapi obrolan itu ngedatengin banyak manfaat. Soalnya kami ya baru kelar ospek ini solidaritasnya lagi dipuncak. Dan kebetulan (lagi) angkatan kami (beruang madu/ksh 44) di kasih kesempatan senior buat ngisi stand di acara bazaar HIMAKOVA. Jadi stand itu akhirnya terealisasi juga. Dari siang sampe malam kita disana terus satu per satu kawan-kawan pada datang. Ada yang bantuin, nyemangatin, lihatin aja, ada yang baru beres pengamatan mampir, ada juga yang baru beres penanaman belom balik kosan milih nyamperin kita di koridor FATETA (klo nggak salah).
Dari situ ndis tuh ngerasa ndul jadi ada perhatian lebih dikit.
Malam nyiapin stand itu hujan. Nggak deres Cuma gerimis tapi nggak reda-reda. Dan ndul pengen banget nganterin ndis pulang yang kosannya di ujung dunia. Seumur-umur masuk kuliah ini kali pertama balik kosan dianterin.
Kenapa?
Karena ndis itu wonder women di tumpukan jerami. Nggak ada yang tahu klo pulang malam dari kampus ke kosan itu biasa sendiri, berani-berani aja. Kadang lewat jalan tikus yang pasti sepi pula.
Dari dulu ndis itu selalu dikasih kecewa sama teman. Dari kecil langganan di bully karena beda, SMP pun demikian. Pas SMA bertekad bahwa hidup diatas kaki sendiri tanpa bergantung dengan orang lain itu bukan pilihan. Alasannya sepele, Cuma nggak mau kecewa aja. Makanya pas kuliah ndis hampir nggak minta tolong siapapun.
Cari kosan sendiri, pindah kosan sendiri. Belanja keperluan kosan juga sendiri. Tinggal di jauh dari orang tua, nggak ada yang bisa dimintain tolong, semuanya harus serba bisa sendiri. Semua petuah yang masuk selama BCR atau Gebyar lewat gitu aja. Biarkan mereka melakukan kewajiban mereka melalui petuah. Memang sempat bimbang juga, tapi balik lagi bahwa hati yang terluka bukan orang lain yang merasakan.



Ini Dar Plaza yang menjadi kenangan tak hanya kami tapi Sampai 45 lebih angkatan memiliki kenangan disana. 

Ndul, meski numpak panggung aja, ndis tahu kok ndul yang mana😊😊😊


Rabu, 26 Juni 2019

Remind Me_Empatbelas

22.04 0 Comments


Hujan deras itu tiba-tiba mengguyur. Mengusir langit cerah yang seharian tadi memayungi bumi. Suasana malam semakin syahdu dan romantic bagi mereka yang sedang memadu kasih. Tapi juga menambah gaduh sebuah hati yang sedang gundah.
Sebuah mobil sedan itu sedang melaju menerobos rantai air yang jatuh dari langit. Mengabaikan cipratan air saat roda mobil melewati genangan. Mengikuti permintaan seseorang yang sedang termangu dibangku penumpang.
Bentara Galerie ya, Pak.” Ucap perempuan pertengahan 20 tahun itu. “Agak cepat ya?” tambahnya.
Laki-laki paruh baya itu menyanggupi permintaan salah satu pelanggannya. Service exelent begitu yang biasa dia dengar saat mendapatkan arahan dari atasan jika sebelum bertugas. Ramah saja tidak cukup menjadi modal bersaing dalam industry transportasi umum. Sehingga sebaik mungkin sopir taksi itu akan memenuhi permintaan pelanggan. Bahkan saat hujan deras yang mengurangi jarak pandang seperti saat ini.
Lila sudah sampai setengah jam yang lalu. ia masih berdiri menatap salah satu lukisan yang di pajang di lobi galeri seni. Salah satu mahakaryanya yang ternoda. Representasi rindu juga harapan yang ia kembalikan ditempat semula. Sementara derasnya hujan belum berkurang meski sudah berlangsung dalam hitungan jam.
“Reservasi atas nama Rayyan Subagja.”
Seorang pramusaji lalu mengantar Lila menuju sebuah meja yang diatasnya sudah ditandai. Berada di bagian dalam restoran yang dekat dengan sebuah taman dan dinding kaca besar yang menjadi batas.
“Sudah siap memesan?”
“Sebentar, mbak.”
Lebih dari tiga kali pramusaji mengucapkan pertanyaan yang sama selama hampir dua jam Lila duduk seorang diri di restoran mewah itu. Tegang dan gugup karena bahagia yang ia rasakan saat pertama kali datang sudah berganti menjadi cemas. Hingga berubah kecewa.
Akhirnya hanya segelas lemon tea yang Lila dapatkan dari restoran dengan reputasi terbaik itu. Bahkan menu-menu yang dimasak oleh chef-chef papan atas negeri ini pun hanya Lila nikmati dalam gambar yang ada di buku menu.
I’ts another disaster dari sebuah acara makan malam yang Lila hadiri.
Dan Lila menuju galeri sebagai penutup dari kencannya yang memilih akhir tidak indah. Memandang objek melingkar dalam bentuk dua dimensi yang tak lagi jelas karena bercapur dengan bentuk abstrak dari cat minyak. Lila mengabadikan rindunya dalam sebuah lukisan monokrom. Sebuah objek tunggal. Sepasang cincin.
“Mbak nggak tahu kalau kamu akhirnya merombak lukisan kesayanganmu ini.”
Rupanya Lila tidak sendiri di bangunan berlantai dua tersebut. Seseorang yang tadi siang ia temui masih berada ditempat yang sama.
“Ada apa malam-malam ke galeri?”
Siapa saja akan merasa heran melihat seseorang dengan penampilan formal mendatangi sebuah galeri yang sudah tutup dari tadi. Dan hanya berdiri mematung menyamai sebuah manekin yang ada di pusat perbelanjaan.
“Mbak sendiri?”
“Nunggu hujan. Kamu?” tanya mbak Ika menyelidik.
Ucapan mbak Ika tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Lebih pada sebuah pernyataan untuk memastikan sesuatu. Dan itu memang benar. Lila datang seorang diri.
“Ray mana?”
“Ray…” Ucapan Lila terjeda. “Dia disekitar sini lagi ketemu orang.” Lila membuat bibirnya tersenyum. Dia pernah menjadi sutradari teater. Tak sulit untuk menerapkan salah satu ilmu tersebut di dunia nyata.
“Dan ninggalin kamu disini? Sendiri?”
“Aku yang minta. Lagian aku pasti bosen kalau ikut Ray. Pembicaraan tentang TKI atau TKW Cuma bikin aku nguap berulang kali.”
“Bener?”
Lila mengangguk. Terlalu cepat sampai akhirnya Mbak Ika menyadari ada sesuatu yang sedang Lila coba untuk tutupi.
“Lila?” Mbak Ika merendahkan suaranya.
Lila menggigit bibir bawahnya. Mengalihkan pandangannya ketempat lain. kesamping keatas kemana saja asal tidak beradu pandang dengan orang dihadapannya. Sekali tatap saja mbak Ika akan tahu apa yang sedang Lila rasakan. Dan saat ini Lila sedang tidak ingin membaginya dengan siapa-siapa. Tapi bukan mbak Ika kalau mengabaikan hal sekecil itu. Lila pun pasrah sekalipun mbak Ika akan tahu segalanya.
Tak lagi ingin berkata panjang, Mbak Ika menarik Lila kedalam pelukannya. Bukan kalimat bijak yang menenangkan yang sedang Lila butuhkan. Tapi sebuah tempat bersandar. Sebuah shelter untuknya bisa beristirahat atau hanya sekedar menghela nafas saja.
“Terkadang menangis diperlukan saat mulut tak mampu berucap.”
Selama beberapa saat Mbak Ika mengokohkan dirinya untuk Lila. Memberi Lila tempatyang nyaman untuk sekedar menangis. Hanya sebuah tepukan lembut dipunggung Lila yang bisa Mbak Ika lakukan untuk membuatnya tenang.
Waktu pun berlalu. Tangis Lila sudah berhenti. Tersisa isakkan yang membuat dadanya berguncang.
“Kita pulang?”
“Mbak Ika aja.”
“Lila?”
“Sebentar saja, Mbak. Please
“Tapi…”
I’m Okey. Just a second.”
Promise?
Promise.” Lila menambahkan sebuah senyuman untuk menambah keyakinan Mbak Ika bahwa dia baik-baik saja.
Lila memang perlu sedikit tambahan waktu untuk benar-benar selesai dengan kecewa. Bagaimana pun juga ketidakhadiran Ray malam ini sangat menggucangnya. Memporak porandakan bahagia dalam hatinya.
“Yasudah. Tapi kamu pakai ini.”
Mbak Ika memakaikan jaket panjangnya agar menutupi lengan Lila yang terbuka. Sedih memberikan peran besar dalam menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Belum lagi hawa dingin akibat hujan. Yang akan dengan mudah membuat Lila sakit.

***
Langit malam ini begitu cerah. Bintang bertaburan dimana-mana. Seperti tidak menyisakan sedikitpun hujan deras yang baru saja reda. Hanya jalanan basah yang memberikan peringatan pada pengemudi untuk lebih berhati-hati.
Sebuah taksi memasuki kawasan komplek perumahan yang disambut seorang satpam yang membuka portal. Hanya ada petugas keamanan saja yang masih beraktifitas  pada jam-jam seperti ini. meskipun beberapa saat setelah senja pun komplek ini sudah sepi. Penghuninya lebih banyak menghabiskan waktu senggangnya didalam rumah.
Mobil sedan biru itu berhenti disalah satu rumah. Kebetulan sang pemiliknya sedang berjalan mondar mandir di teras rumah terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Dengan salah satu tangannya sibuk dengan gawai. Aktivitasnya itu berhenti manakala seorang perempuan keluar dari mobil.
Lila sudah bersiap untuk kemungkinan akan langsung berhadapan dengan Ray. Meski sebelumnya ia tidak yakin akan bertemu malam ini. Ia bahkan sudah bersiap dengan satu kebohongan.
Sanggul rambutnya sudah diurai. Rambut panjangnya digerai begitu saja. hanya menggunakan jari tangan untuk membuatnya terlihat lebih natural. Make up minimalis itu juga sudah dicuci saat masih di galeri. Dress sudah tertutup rapat dengan jaket pinjaman mbak Ika. Outer milik Lila? Entahlah. Mungkin tertinggal di restoran. Lila sudah tidak peduli lagi. Hanya heels saja yang harus tetap dikenakan Tapi cukup satu atau dua kalimat alasan saja untuk membuatnya tidak terlihat seperti orang pulang dari pesta.
“Dari mana saja kamu?”
Telinga Lila menangkap sedikit kemarahan. Meski orang normal akan mendengarnya seperti kekhawatiran. Tapi tidak, pertanyaan itu lebih seperti konfrontasi seorang suami yang yang mendapati istrinya meninggalkan rumah tanpa pamit. Padahal sudah sangat jelas kemana Lila sebenarnya pergi.
“Seperti biasa dari galeri. Kemana lagi aku menghabiskan banyak waktu selain disana” Lila menunjukkan tangan kirinya yang memegang sebuah kanvas.
“Selarut ini?” Ray memang sudah meneliti begitu Lila turun dari taksi.
“Biasanya mas tidak pernah bertanya berapa lama aku menghabiskan waktu seharian disana.”
Telak. Ray tidak bisa berkutik dengan pembelaan Lila. Karena semua itu benar adanya.
“Bagaimana dengan sepatu? Satahuku kamu tidak pernah menggunakannya untuk pergi ke galeri.”
“Sejak kapan mas peduli dengan penampilanku” Jawab Lila ketus.
Lila lelah harus berbasa-basi tidak penting. Ia hanya perlu segera masuk kedalam kamar. Dia harus segera kesana. Mengistirahatkan segalanya. Termasuk nyeri kepala yang kembali menyerangnya.
“Lila tunggu?” Ray menyusul.
“Ada apa lagi?” Lila berbalik. Kakinya sudah ingin mendaki tangga yang ada didepannya. Membuat tubuhnya semakin rindu hangatnya selimut tebal dikamarnya.
“Aku cuma ingin bertanya satu hal.” Ray tetap melanjutkan pembicaraan meski Lila sudah berbalik lebih dulu. “Did you got my messages?”
Pesan? Kotak berisi gaun dan ajakan makan malam yang terselit disana?
Yes, and You never come!!!
Andai bisa Lila sudah meneriakkan itu tepat ditelinga Ray. Agar dia bisa mendengar dengan sangat jelas kemana sebenarnya Ia pergi sampai larut malam.
“Aku dari galeri, Mas. Lihat!” Sekali lagi Lila menunjukkan sebuah kanvas yang dari tadi ia bawa. “Aku tidak mungkin membawa barang semacam ini ke restoran mewah bukan?”
Lila tidak akan merepotkan dirinya sendiri dengan menenteng kanvas sebesar itu kedalam restoran itu benar. Tapi heels? Lila bukan seniman yang memiliki penampilan ala kadarnya atau bergantung dengan suasana hati. Dan dia hanya menggunakan heels untuk mengahadiri acara formal. Selain itu sepatu kets dan flat shoes adalah sahabat hari-harinya.
“Aku tidak bisa menghubungimu dari tadi.”
“Oh ya? Hapeku mati sepertinya. Tadi nggak sempat ngisi pas digaleri.”
Lebih tepatnya mengabaikan. Ray sudah berkali-kali menghubungi Lila tapi tidak mendapat respon. Ada puluhan panggilan juga chat yang tidak terhitung. Dan semuanya terhubung hanya saja tidak mendapat tanggapan.
“Oh, lain kali jangan lupa bawa power bank.”
Kali ini Ray berbalik lebih dulu. dia harus menutup pintu rumah yang terbuka. juga untuk memikirkan beberapa hal selain kebohongan Lila yang dengan jelas terlihat juga Almira. Si pemilik hatinya. Benarkah pemilik itu masih bernama Almira?

 ***

Ray merasa baru saja memejamkan mata. tapi pendengaranannya sudah menangkap suara berisik. Seperti ada benda terjatuh disuatu tempat.
Saat bangun untuk memeriksa, Ray menemukan sisi ranjang tempat Lila tidur kosong. Dan saat melihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 3 pagi. Waktu yang sangat awal untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Maka Ray pun mencari keberadaan istrinya.
Keluar kamar mata Ray tidak menemukan satu pun lampu yang dinyalakan. Hanya cahaya langit yang masuk melalui pintu kaca belakang sehingga dia bisa mengetahui keberadaan seseorang didapur.
Ada pecahan beling dimana-mana juga cipratan air. Lila sedang berjongkok memunguti pecahan-pecahan tadi.
“Lil…?”
“Ohh Mas, kebangun ya?” Lila mendongak. “Aku nggak sengaja jatuhin gelas pas mau ambil air.”
“Kamu nggak pa-pa?” Ray ikut membantu membersihkan.
“Nggak pa-pa.”
Ray mengambil kain lap basah untuk membersikan serpihan-serpihan yang tersisa. Juga sisa pecahan yang dikumpulkan Lila untuk dibuang ketempat sampat.
Berdiri setelah jongkok sepertinya membuat keseimbangan Lila berkurang. Sehingga membuatnya mencari pegangan agar tetap berdiri tegak. Ray yang melihatnya merespon cepat. Memegang kedua lengan Lila.
“Sepertinya tekanan darahku turun.” Lila mencoba menjelaskan saat melihat tatapan tanya dari Ray.
“Badan kamu panas, Lil.”
“Hah? Ohhh Cuma dehidrasi aja kok.“
Ray mendorong Lila untuk duduk dikursi. Lalu mengambilkan segelas air yang tadi gagal dilakukan oleh Lila.
“Minum.”
Terkesan diperintah tapi Lila menurut dan mengikutinya. Hal kecil itu membuatnya merasa sentimentil. Kedua penglihatannya memanas dan diselimuti cairan. Hanya pengaruh keadaannya yang kurang sehat saja atau memang ada hal lain. Lila merasa terharu. Meski marah dan kecewanya masih meraja tapi melihat Ray duduk berjongkok dibawahnya. Memastikan bahwa gelas yang berisi air putih itu kembali kosong.
“Lil?”
“Ahhh sepertinya aku benar-benar dehidrasi.” Lila mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Mencoba menghalau agar airmatanya tidak keluar.
Melihat itu Ray bangkit. Berdiri disamping kursi Lila. Memegang kepalanya lalu mendekapnya.
Dalam keadaan seperti itu tak ada lagi yang bisa Lila lakukan untuk menghentikan rembesan yang keluar dari matanya. Semakin dalam pelukan Ray semakin deras air mata itu mengalir.
“Lil, May I ask you something?”
Lila menggelengkan kepala. Menolak menjawab apapun yang ingin Ray ketahui. Marahnya, kecewanya biarlah dia simpan sendiri. Inilah hal terbaik yang bisa Lila lakukan untuk menekan egonya. Cukuplah dengan menangis untuk membantunya sedikit bernafas. Satu kata saja Lila ucapkan maka tuntutan besar yang akan ia minta. Sebuah hati yang bukan menjadi miliknya. Meski Ray selalu berada didekatnya, senyum yang Ray berikan untuknya, mata yang selalu memandangnya tapi hati Ray milik orang lain.
Sudah saatnya Lila harus menyerah. Bukan seperti ini jalan hidupnya. Seharusnya ia tidak membiarkan hatinya menuntut lebih dari sikap baik yang Ray tujukan padanya. Ini terlalu berlebihan. Melampaui batas.
Dengan menggunakan telapak tangannya Lila membekap mulutnya. Menahan suara isakan lolos dari mulutnya.
Meski berusaha ditutupi Ray tahu tubuh Lila berguncang karena menangis.
“Katakan apa saja Lila. Biarkan aku tahu.”
Mendengar itu isakan yang sudah ditahannya pun lepas begitu saja. Dan Lila menekan kepalanya kedalam perut Ray. Bahkan tangan Lila menarik kain yang menempel di tubuh Ray.
“Lil, kamu nggak bisa nafas kalau kaya gini.”
Lila menguatkan tautan tangannya saat Ray mencoba memberi jarak antara tubuhnya dengan kepala Lila. Agar Lila memiliki sedikit ruang untuk bernafas. Tidak perlu usaha keras karena memang Ray memiliki tenaga jauh diatas Lila.
Ray merendahkan posisi tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Lila. Bertumpu pada lututnya, dia  melihat pipi Lila membengkak, bahkan matanya menebal karena sembab. Hidung Lila yang memerah terus mengeluarkan cairan karena menangis.
“Nggak pa-pa kalau sekarang kamu nggak mau cerita. Tapi Lila, sekarang aku adalah suami kamu. Apapun yang terjadi sama kamu, yang kamu rasakan harus kamu ceritakan semua nya padaku, Ya?”
Dengan sorot mata yang tajam Ray memaksa Lila memenuhi permintaannya. Meski tidak mendapat jawaban juga tanggapan tapi Ray tahu Lila menyanggupinya.

“Kita ke kamar. Kamu harus istirahat.”

Remind Me_tigabelas

22.04 0 Comments

Perjalanan pengganti bulan madu yang terlewat itu kembali menuai kegagalan. Ray harus segera kembali untuk bersiap menggantikan posisi temannya yang berhalangan.
Sesal tentu saja sedang menyelimuti hatinya. Meski Lila tak merasa keberatan tapi melihat senyum yang selalu tersungging membuatnya di dera rasa bersalah.
Sejak keluar hotel sampai sekarang berada dalam perjalanan pulang, tak sekalipun Ray melihat wajah Lila murung. Dia satu-satunya orang yang bahagia saat semua tidak berjalan lancar. Bahkan saat Ray mencoba menggali kejujurannya.
“Kemanapun sesingkat apapun aku akan senang selama bersama kamu, Mas.”
Bukannya melegakan, hal justru membuat Ray semakin merasa bersalah.
Memang perasaannnya pada Lila belum sebesar Lila padanya. Tetapi hal itu tidak membuatnya dengan mudah mengabaikan Lila. Bagaimana pun Lila adalah istrinya. kebahagiannya sangat bergantung dengan sikapnya sebagai seorang suami.
“Lagi pula kita bisa pergi lagi lain kali.”
Lila selalu membuat Ray merasa tenang. Disaat perasaan bersalahnya yang semakin membumbung tinggi, dengan sekali ucap membuatnya mengempis. Memaksa seutas senyum hadir di bibir Ray.
Selama ini hatinya tertutup dengan harapan yang terlalu jauh sehingga membuatnya kesulitan melihat ketulusan yang ada didepan matanya.
How about dinner? Makan malam pertama kita waktu itu tidak berakhir indah.”
“Oke.”
Wanita tidak melulu berpusat dengan permainan kode yang susah di terjemahkan. Sesuatu yang biasa selalu bisa menghangatkan hatinya bila dilakukan dengan ketulusan.
Ditengah perjalanan mereka berhenti di pinggir jalan. Lila melihat seorang pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di bawah pohon besar.
“Es dawet nya dua ya mang.”
Ray memesan minuman yang sangat menyegarkan di cuaca yang terik seperti ini.
“Bandung jam berapapun selalu ramai. Makanya aku jarang banget kesini.” Ujar Ray yang berdiri menghadap Lila yang menyandar pada badan mobil.
“Tapi Bandung selalu indah dalam ingatan.”
Kali ini Ray setuju dengan pendapat Lila. Meski pernah menorehkan hal buruk dalam hubungan mereka, Bandung selalu menyimpan kenangan indah tentang perjalan hidup mereka.
“Kamu ingat itu?” Ray menunjuk halaman sebuah sekolah taman kanak-kanak yang terletak di seberang jalan.
“Apa? Sekolah?”
“Plang besi yang biasa dibuat anak-anak bergelantungan.”
“Kenapa emang?”
“Kamu dulu juga pernah gelantungan disana. Waktu itu mau hujan dan angin lagi kenceng banget. Sementara kamu gelantungan tapi sibuk nahan rok kamu yang ketiup angin.”
“Akhirnya aku jatuh.”
“Terus kaki kamu kesleo dan aku harus gendong kamu sampe rumah.”
Tentu saja Lila mengingatnya. Nggak akan pernah lupa bagaimana Ray kecil yang selalu perhatian dan menghujaninya dengan kasih sayang. Bahkan Lila masih bisa mengenang betapa hangat dan kokohnya punggung Ray saat menggendongnya.
“Akhir-akhir ini aku jarang lihat kamu pakai rok?”
Lila tersenyum. Kakinya bergerak-gerak mengukir lantai tanah yang basah. “Ada beberapa saat aku harus melupakan rok dan menggantinya dengan pakaian yang tidak membatasi gerak. Terutama saat aku harus men-direc pemain teater untuk pementasan.”
“Kamu jadi director juga?” tanya Ray antusias.
“Cuma sesekali aja, klo director utama berhalangan hadir.”
“Kamu berubah banyak, Lil. Banyak hal yang udah kamu lakukan dan itu benar-benar melampau kemampuan kamuj”
So you do
Angin yang berhembus siang itu menyejukkan hati masing-masing. Meleburkan kenangan masa lalu yang sempat tersekat-sekat menjadi sebuah rangkainan cerita yang utuh. Menyisakan memori indah yang tak akan lekang dalam ingatan mereka.

***
Lila baru saja menuangkan air minum setelah beberapa saat lalu pulang dari galeri. Bersamaan dengan tandasnya air yang ditegukkannya, bel rumahnya berbunyi.
Rupanya seorang petugas dari salah satu layanan online mengirimkan paket untuknya. Sebuah kotak berwarna coklat diikat pita berwarna hitam. Dengan sebuah kartu ucapan terselit diantaranya.
Temui aku jam 8 malam
Dibawahnya tertera alamat sebuah restoran. Restoran tempat mereka pertama kali bertemu. Restoran yang menjadi saksi bahwa pertemuan itu akan terulang.
Lila membawa kiriman itu dan membukanya didalam kamar. Sebuah dress tanpa lengan berwarna biru tua.
Biru bukanlah warna kesukaannya. Dia seperti wanita pada umumnya yang menyukai warna-warna terang seperti putih dan merah jambu. Sementar biru adalah salah satu warna yang mendominasi pakaian Ray.
Warna kesukaan Ray.
Lila pun mematut pakaian yang panjangnya menutupi lututnya di hadapan sebuah cermin besar dikamar. Warna itu sangat cantik dipadukan dengan kulit putih miliknya.
Rambut panjangnya nanti akan di gelung keatas. Dengan sebuah jepit rambut berbentuk bunga akan tersemat manis diatas kepalanya. Lila juga membiarkan sedikit rambut jatuh menghiasi wajahnya.
Lila memilih sebuah pemulas bibir berwarna merah. Semula ia hanya ingin mengekspresikan betapa senang hatinya. Namun setelah melihat pantulan wajahnya dari cermin membuatnya terlihat berani. Sehingga ia menghapus pewarna itu dan menggantinya dengan warna peace yang memberinya kesan simple tapi juga elegan.
Dress biru itu Lila padankan dengan sepatu berhak rendah warna hitam dengan sebuah handbag yang senada.
Lila memandang dirinya sekali lagi. lalu tersenyum bahagia.
“Cantik.” Gumamnya.
Sebelum turun, Lila menutup gorden kamarnya yang sedari tadi terbuka. saat itu terlihat awan gelap sedang tarik menarik untuk berkumpul.
“Hujan nggak ya?”
Setelah menimbang-nimbang, Lila memutuskan untuk menggunakan sebuah outer panjang yang akan menutup gaunnya. Sebuah coat tebal berwarna cokat yang panjangnya dibawah lutut.
Agak sedikit aneh untuk daerah tropis menggunakan mantel tebal. Tetapi Lila kadang membutuhkannya terutama di musim hujan untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Meskipun terbiasa dengan iklim panas dan lembab, koleksi jaket dan mantel milik Lila cukup banyak.

***
Espresso double shot and hot cappuccino untuk meja Sembilan”
Bimo memberikan pesanan pada salah satu karyawannya untuk disajikan pada pelanggan.
Karena hari kerja dan juga akhir bulan coffee shop miliknya relative sepi meskipun sedang turun hujan. Cuaca memang sangat mendukung untuk seseorang menikmati secangkir minumana hangat di tengah cuaca yang dingin. Tetapi semua itu tidak akan terjadi makakala kantong sedang tidak bersahabat.
“Berapa lama Lo tinggal di Indonesia?” Bimo membuka percakapan kembali setelah kesibukannya merangkap menjadi seorang barista menginterupsi.
“Besok. Gue ambil flight sore.”
“Terus Mira sekarang sama siapa?”
Sam memutar-mutar cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ada asisten gue yang jagain.”
“Lo nggak bisa cari cara lain selain Ray? Dia udah bahagia sama pernikahannya.”
“Gue tahu,” Sam menengadah. “Gue nggak mungkin ngancurin rumah tangga sohib gue sendiri. Tapi ini Almira. Lo tahu gimana wataknya. Nggak ada yang bisa ngimbangin kerasa kepala selain Ray.”
“Ya coba bujuk lagi pelan-pelan. Atau kalo perlu Lo paksa aja dia.”
“Kalopun Mira mau terapi tapi kalo kepalanya nolak, nggak ada gunanya juga. Dan klo kondisi ini terus dibiarain Mira bisa…”
“Bisa apa?”
Suara Ray menyahut. Membuat kedua orang yang sedang serius berbicara itu tidak menyadari kehadirannya.
“Ray, Lo kenapa disini? Bini Lo?”
Pertanyaan Bimo diabaikan begitu saja. Ray memilih menarik kursi disamping Sam dan duduk menunggu jawaban.
“Bisa apa?”
Sam mendesah, “Mira kondisi buruk, Ray.”
Bimo mau tidak mau kecewa dengan Sam karena menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada Ray. Bukan tidak peduli dengan Almira hanya saja tidak perlu melibatkan Ray yang saat ini sudah memiliki kehidupan sendiri.
“Dia menolak semua saran pengobatan dokter.”
“Dia dirawat dimana? Di rumah sakit mana?”
“Ray, Lo udah punya bini. Biar kita-kita aja yang mikirin Mira.” Ucap Bimo.
“Dia nggak mau dirawat.”
Ray melengos. Dia tahu betul bagaimana keadaan Almira saat ini. dan dia tidak akan diam saja dan menunggu kabar.
“Gue…”
“Lo nggak perlu kuatir. Gue nggak bakal biarin Almira sakit tanpa pengobatan.”
“Tapi…”
Sam berdiri lalu menepuk bahu Ray.
“Percaya sama gue. gue cabut.”

***
Hujan deras turun beberapa saat lalu mulai menguranginya lajunya mencapai bumi. Dengan intensitas yang lebih pelan, gerimis itu masih membasahi jalanan yang mulai sepi dilalui kendaraan.
Bimo juga sudah mematikan sebagian besar lampu café. Menyisakan beberapa yang sengaja dibiarkan menyala untuk memberi penerangan bagi karyawannya yang bersiap pulang.
Bimo menyuguhkan segelas air putih besar kepada pelanggan setianya yang sedang mengalami masalah hati kronis.
“Gue udah tutup jadi Cuma ada air putih aja. Buat Lo gue kasih gratis sampe mabok”
Bimo mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi muram dengan candaannya yang hanya ditanggapi dengan senyuman hambar Ray.
“Gue harus gimana, Bim?”
“Kenapa musti tanya?”
Ray mendongak. Tidak mengerti dengan ucapan Bimo.
“Lo balik, temui istri Lo. Lo peluk dia. Minta maaf. Klo perlu Lo sujud dikakinya karena Lo udah dengan terang-terangan bikin dia kecewa, sakit hati karena cewek lain.”

***
Ray memutar kembali mobilnya. Berjalan menjauhi café Bimo yang semakin lama semakin mengecil lalu menghilang saat Ray berbelok di persimpangan jalan.
Jalanan utama ini sudah sangat lengang. Taksi-taksi yang banyak berhenti di tepi jalan pun sudah tidak ada. Bahkan restoran tempat yang harus Ray datangi dua jam yang lalu pun sudah tutup.
Ia masih berusaha mencari keberadaan Lila. Perasaannya mengatakan istrinya itu masih menunggu keberadaannya. Namun Ray tidak menemukan Lila di penjuru restoran.
Ray pun pergi. mencoba mencari kemungkinan lain. mungkinkah Lila pergi ke galeri? Tidak mungkin. Tempat kesenian itu sudah ditutup sejak tadi. maka Ray memutuskan untuk pulang sambil mencoba menghubungi Lila melalui sambungan telepon. Meski usahanya itu tidak membuahkan hasil juga. Ponsel Lila mati sehingga ttidak ada cara lain selain menunggunya di rumah.
Malang, Lila juga tidak ada dirumah. Pintu rumah masih terkunci rapat. Jam sudah menunjukkan 10 malam lebih.
Ray benar-benar dihinggapi rasa khawatir, kemana gerangan istrinya itu pergi.



Remind Me_duabelas

22.03 0 Comments

Ruangan ini terlalu gelap kalau hanya bergantung pada penerangan yang diberikan Tuhan melalui sinar matahari. Meski sebagian besar dinding terbuat dari kaca tapi tetap saja sebagian besar dari puluhan lampu itu harus di nyalakan.
Lila duduk di sebuah sofa melingkar yang sangat besar. bantalan spons yang sangat empuk itu hampir saja menenggelamkannya saat duduk menyandar. Untung saja pelajaran tata karma ala kerajaan jawa yang pernah kakek berikan sudah mendarah daging. Sehingga ia hanya perlu duduk dengan punggung tegak serta kedua kaki yang di lipat rapat. Melelahkan tapi lebih baik dari pada meringsak di dalam kursi modern seperti ini.
Selain sebuah restoran yang buka selama 24 jam, juga ada seuah ruangan di seberangnya. Privat bar, begitu yang tertulis di atas pintunya. Yang biasa digunakan orang-orang untuk melaksanakan privat party yang mengusung adat barat. Begitu informasi yang ia dapatkan dari kisah romansa yang pernah ia baca.
Beberapa menit lalu, Ray memintanya untuk menunggu. Mata Lila pun menangkap seorang pramusaji yang sibuk di balik meja bar. Kemudian menghampirinya untuk menyajikan welcome drink sebagai sebuah protokoler hotel tempatnya bekerja.
Chamomile tea menguarkan aromanya yang menenangkan. Sejenak Lila pun teringat perbincangannya dengan Ray selama masih dalam perjalanan.
“Aku nggak tahu bandung tetap serame ini meski awal pekan. Bahkan hotel yang sama seperti di voucher pun penuh. Tapi aku sudah booking di hotel lain, semoga kamu suka.”
Akhir dari kalimat Ray itu benar-benar menengkan hatinya. Meski hanya sebuah perjalanan pengganti tapi Lila merasa sangat tersanjung. Lelaki yang selalu ia tatap itu membalas senyumnya, menjawab pertanyaan juga memakan masakannya.
Tak banyak permintaan yang Lila ajukan pada Tuhan semenjak ia mengikhlaskan jalan hidupnya. Kalau pun perpisahan menjadi jalan hidupnya, jangan hapus senyum di wajahnya.
Dan Tuhan memberinya jauh lebih banyak dari permohonannya.
Saat ini sebuah tangan terulur di hadapannya. Menggantung di udara, meminta untuk segera di sambut.
Lila pun menggerakkan jemarinya. Meski debaran jantung nyaris membuat tangannya bergetar. Akhirnya sentuhan itu tercapai. Telapak tangan Ray meraup jemari lentik Lila.
Terimakasih Tuhan. Kau telah meniupkan kehangatan dalam kesunyian hatiku.
Untung kita datang awal. Jadi masih bisa milih kamar.”
Mereka berjalan dengan tautan tangan yang erat. Ray bahkan hanya perlu sebelah tangan saja untuk membawa barang bawaan mereka dan membuka lift.
“Memangnya kita dapat kamar berapa?”
“1007”
Lila memandang pantulan bayangannya dari dinding lift. Mengingatkannya pada lima bulan sebelumnya, dihari resepsi pernikahan. Satu-satunya hari saat Ray berdiri disampingnya tanpa terlihat tidak nyaman. Meski Lila tahu hal itu sangat berbeda dengan hatinya. Dan hari ini Lila kembali berdiri berdampingan dengan kenyamanan yang nyata.
Ia ingin sekali meletakkan kepalanya di bahu Ray seperti adegan romantic yang sering ia baca di novel-novel picisan. Denting lift tanda pintu terbuka lebih cepat sehingga Lila harus cukup menerima genggaman tanga yang erat seperti ini saja.
Keinginan berlebih tak akan membuat kenyataan berubah. Hanya ada hati yang berharap lebih dan mengukir luka dengan jari sendiri.
***
Lila menyibak gorden abu-abu yang panjangnya menyamai tinggi kamar. Dinding kamar yang berada disisi luar tersebut terbuat dari kaca yang sangat lebar. Kalau tidak ada embun yang menempel, mungkin Lila akan mengira Ray memesan kamar yang terbuka.
Tak jauh berbeda dengan Jakarta, Bandung sama ramainya dengan kendaraan yang mengantre di jalanan. Hanya saja lebih banyak di jumpai pohon-pohon di tepi jalan. Juga tidak banyak ditemukan warung tenda penjaja makanan. Trotoarnya pun lebih banyak dilalui pejalan kaki dari pada kendaraan roda dua.
“Meski ramai tapi bandung tetap lebih menenangkan dibanding Jakarta.”
Lila menyetujui pernyataan Ray yang berdiri disampingnya dengan menganggukkan kepala.
“Aku mandi dulu.” Ray menyentuh pundak Lila sebelum meninggalkannya ke kamar mandi.
Seperti kata Ray, Bandung memang menenangkan. Di kota ini pula, Ia pernah mengukir kisah manis yang membuatnya hidup sampai saat ini. Masa saat Ray kecil menghabiskan seluruh waktu liburannya untuk menemaninya berkeliling kota. Saat Lila menyerah pada kelelahan, Ray kecil selalu menghadirkan punggungnya untuk menggendongnya. Untungnya Lila tergolong pemilik badan yang tidak terlalu besar sehingga tak terlalu menyiksa Ray. Tapi bukan Lila kalau tidak menjahili Ray.
“Mas,?”
“Hhmmm…”
“Kalo aku capeknya lama, kamu bakal gendong aku terus nggak?”
“Iya, aku bakal gendong kamu terus.”
“Sampe lama-lama?”
“Iya, Lila. Aku bakal gendong kamu terus sampe lama-lama.”
Mungkin karena keduanya di lahirkan sebagai anak tunggal yang tidak pernah merasakan kedakatan dengan saudara. Ray merasa nyaman selalu diandalkan oleh Lila sebaliknya Lila pun merasa aman dengan keberadaan Ray disampingnya.
Hubungan keluarga pun semakin erat. Tak jarang mereka yang membuat kedua keluarga itu sering melakukan pertemuan untuk silaturahmi. Satu hal yang luput dari perhatian orang dewasa hanya satu bahwa tidak pernah ada hubungan kakak beradik di antara laki-laki dan perempuan.
“Lil..?”
Mendengar namanya di panggil, Lila pun berbalik badan. Memberi jeda pada ingatannya yang memilih berjalan mundur.
“Iya.”
“Mau makan malam di luar atau di hotel aja?”
Lila punya satu lagi kesukaan dari Ray. Yaitu saat tangan laki-laki itu sedang menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Kemudian menyugarnya sehingga membuat rambutnya akan berantakan. Sebagian jatuh menutup dahinya. Kadang saat rambutnya sedang panjang akan menutup sampai pelipis.
Saat yang demikian itu akan membuat urat-urat tangannya nampak. Serta rambut tipisnya akan lebih terlihat jelas lembab usai mandi. Lalu Lila akan mengimajinasikan sedang menyentuh lengan kokoh yang pernah berjanji akan menggendongnya dalam waktu lama.
“Di luar aja. Kayanya dingin-dingin gini enak makan sup Iga.”
“Boleh.”
Lila langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Ray mengambil ponselnya yang bordering.
 ***
Pintu kamar mandi itu terbuka. di sambut kekosongan ruang yang tak berpenghuni.
Dinding kaca itu masih terbuka lebar. Membiarkan sinar jingga menyelinap masuk. Di pantulkan kembali oleh sprei putih yang sama rapinya saat Lila baru saja datang dua jam yang lalu.
Tak banyak yang berubah. Semua barang bawaan masih tersimpan lengkap di dalam lemari. Kecuali meja kecil bundar yang sudah menampung sebuah laptop yang terbuka. Tapi tuan pemiliknya tak nampak.
“Hey, baru selesai mandi?”
Sepertinya Ray baru saja dari luar. Sebelah tangannya masih menggenggam ponsel. Mungkin baru saja menerima panggilan.
“Lil, aku minta maaf sebelumnya.”
Lila mendengar dengan seksama.
“Keberatan kalo makan di luarnya kita batalkan?”
“Tentu tidak. Kita bisa malakukannya lain kali.”
“Syukurlah. Tapi sepertinya kita masih bisa makan sup iga meski di dalam kamar saja.”
Lila memerhatikan Ray yang sedang sibuk dengan buku menu kemudian sebelah tangannya lagi sedang memegang telepon meja. Tak lama kemudian dia sudah berbicara dengan seseorang.
“Aku udah pesankan sup iga untuk makan malam kita. Tunggu saja.”
Kemudian Ray mengambil tas dan melakukan pencarian disana. Entah apa yang di cari tapi sepertinya itu memerlukan waktu untuk mencari.
“Ehm mas,”
“Iya?”
“Boleh aku tahu kenapa mendadak harus dibatalkan?”
“Ya ampun, aku belum bilang ya?” Ray meletakkan sebuah map bening di atas kasur sebelum berjalan mendekati Lila yang masih berdiri di depan kamar mandi. “Jadi gini. Besok atasanku ada pertemuan dengan salah satu NGO. Nah kawan kantor yang harusnya menyiapkan bahannya itu orang tuanya baru saja meninggal. Jadi terpaksa aku harus menggantikannya.”
Mangkuk dan piring  kosong itu sudah tertumpuk dengan  rapi. Tandasnya makanan yang sebelumnya mengisi menandakan bahwa masakannya enak atau dua orang yang sedang kelaparan. Tapi bagi Lila, enak atau pun tidak yang namanya makanan memang harus di habiskan. Selain bersikap sesuai adab juga sebagai salah satu bentuk penghargai pada orang yang sudah membuatnya.
Perut kenyang di tambah suasana sejuk dari pendingin ruangan membuat mata lebih cepat mengantuk. Tapi Lila berusaha mengenyahkan rasa yang akan memebawanya terlelap.
Satu-satunya laki-laki terbaik bagi Lila tengah bekerja keras menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin. Agar kewajibannya sebagai abdi Negara terlaksana dengan baik.
Tak mengapa, Tak ada sesal atau kecewa sedikitpun menghampiri Lila. Justru syukur yang Ia dapat. Karena memiliki kesempatan untuk memandang sisi lain Ray yang tidak pernah ia jumpai selama ini.
Kerutan di kening yang muncul saat menjumoai kesulitan. Kedua mata yang menatap tajam, focus saat sudah menemukan titik cerah dari kesulitan yang baru saja di hadapi. Sangat kontras dengan celana pendek yang di kenakan serta kaos hitam rumahan dengan ekspresi serius seorang pekerja.
Itu merupakan lukisan terindah yang Tuhan berikan pada Lila. Andai bisa Lila ingin waktu ini berhenti di titik ini untuk waktu yang lama. Tak tahu akan kah kesempatan yang sama akan terulang tapi saat ini biarkan Lila menikmati sedikit lama.
Keramaian jalanan yang Nampak dari atas jauh berkurang. Karena waktu aktif manusia mendekati batas. Wajar saja semua orang memutuskan untuk berhenti dari kesibukan. Pun dengan Ray yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya tepat saat jarum jam menunjuk angka 10 malam.
Beralih dari layar laptop, Ray mendapati Lila sudah tertidur. Tidur menyamping dengan sebelah tangannya menjadi alas kepalanya. Dengan udara seperti ini Lila tidur tanpa mengenakan selimut. Dingin kaki Lila saat Ray menyentuhnya.
Lila merapatkan tubuh saat Ray menyelimutinya.
“Makasih udah sabar menunggu. Sedikit lagi, aku harap sampai saat itu tiba kamu masih sabar menungguku.”
Ray memberikan sebuah kecupan di kening Lila. Bukan cinta tapi Ray berharap suatu saat rasa itu akan kembali menyentuh hatinya dengan Lila masih di sampingnya.


Follow Us @soratemplates