Jumat, 28 Juni 2019

# Bumi # dietplastik

Saya bukan anti plastik

Banyak yang bilang kalau saya peduli lingkungan? Benar dan terimakasih.
Ada juga yang bilang saya “anak buahnya bu Risma” karena mengikuti anjuran beliau untuk mengurangi penggunaan plastik. Saya benarkan juga.
Halah,..gaya-gayaan aja, ikut trend sekarang. Nggak apa-apa, kalau trendnya mengajak kebaikan kenapa nggak diikuti.
Ada juga yang bilang, plastik kresek ini syaratnya penjual jangan ditolak. Yasudah nggak pa-pa.


Semua hal yang saya terima dari sikap diet plastik ini beraneka ragam. Ada yang mengikuti, ada yang biasa aja, yang mencemooh pun ada. Semua itu wajar dan diluar kapasitas saya, karena semua itu pilihan masing-masing.
Untuk saya pribadi plastik atau kresek memang sebisa mungkin saya kurangi. Sebisa mungkin ketika saya berbelanja saya masukan ke dalam tas atau langsung masuk jok sepeda kalau kebetulan nggak bawa tas. Bahkan membawa wadah dari rumah saat membeli makanan siap santap pun sudah jadi kebiasaan. Dan sedikit orang sudah mengikutinya. Saat ini juga mulai memilih penjual yang bisa diajak repot dengan kebiasaan baru saya itu.
Bukan mau gaya-gayaan tapi alasan mendasar saya adalah saya pusing melihat plastik/kresek memenuhi rumah. Nyelip sana-sini. Cuma bikin penuh tempat sementara jarang sekali di pakai.

Kan bisa dipakai buat tempat sampah?
Benar. Tapi itu dulu.

Beberapa waktu lalu saya mengikuti workshop zerowaste dengan mbak Dini (DK Wardani) yang menjadi pemateri. Sejak saat itu saya bertekad untuk mengolah semaksimal mungkin sampah yang saya hasilkan beserta keluarga.
Memang belum bisa tong sampah di rumah itu kosong. belum, saya belum sejauh itu. saat ini yang mulai saya biasakan adalah sampah organik yang saya hasilkan tidak masuk bak sampah/TPA. Sampah organic itu saya timbun di sedikit halaman rumah yang saya biarkan tidak tertutup beton. Membuat kompos seharusnya langkah terbaik tapi belum saya lakukan. Saya masih nyaman membuat galian dan mengisinya dengan sampah organic. Atau pot-pot kosong yang tanamannya sudah mati jadi “tempat pembuangan”.
Hasilnya memang belum terlihat maksimal tapi tanaman saya yang beberapa waktu gagal tumbuh mulai sedikit lebih segar. Karena yang saya tahu, sepetak kecil halaman saya itu miskin hara sehingga untuk beberapa jenis tanaman yang kurang struggle gampang mati. Sekarang tanaman-tanaman lain sejenis talas-talasan bisa tumbuh meski masih kecil.

Ya, yang namanya menyuburkan kembali kan bukan perkara mudah. Saya yakin langkah saya ini benar secara teori dan hanya perlu istiqomah saja untuk membuatnya menjadi lebih baik.
Kemudian untuk sampah organic saya sudah berusaha memilah. Barang-barang yang biasanya di-pulung saya kumpulkan seperti botol-botol bekas, kertas, kardus. Kalau dulu semuanya masuk ke bak sampah di depan rumah. Kalau sekarang saya rubah. Saya kumpulkan terlebih dahulu, baru saat ada yang biasa mengumpulkan saya kasih langsung.
Ada bedanya?
Ada. Pemulung tadi nggak perlu mengaduk-aduk bak sampah lagi. karena proses itu sudah saya lakukan sebelum barang-barang tadi masuk bak sampah. Sedikit meringankan tugas mereka, bukan?
Saya masih pakai plastik, kok. Kebutuhan pribadi seperti perawatan tubuh, pakaian, peralatan makan masih terbuat dari plastik. Tapi saya hanya menggunakan yang memang diperlukan. Dan mengganti yang bisa diganti.
Bak sampah di depan rumah saya juga belum kosong. Karena plastik bungkus jajan anak-anak, atau bungkus bumbu masakan masih saya buang. Masih meninggalkan sedikit feeling guilty di hati. Cuma ya sejauh ini, inilah hal terbaik yang bisa saya lakukan.

Menengok jauh kedepan adalah segala sesuatu yang kita lakukan di kehidupan yang fana ini akan dimintai pertanggungjawaban. Minimal ada sedikit kebaikan yang bisa saya bawa dikehidupan yang abadi kelak. Dan semoga ini juga menjadi ikhtiar saya untuk meraih ridho Allah Subhanallahu Wata’ala. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates