Rabu, 29 April 2020

Sepenggal Hidup

20.32 8 Comments
bang Ijal motret
Kali ini aku mau mengawali dengan sebuah cerita. Cerita yang aku dapat hasil menonton sebuah film Bollywood. Aku memang penonton segala macam genre film berikut asalnya. Jadi tidak ada unsur lain selain mengambil pelajaran dari sana.

Judulnya Ta ra ram pam


Radhika, menikah dengan RV seorang pembalap yang namanya sedang bersinar. Langganan menang di setiap turnamen. Dari perlombaan itu RV meraup banyak sekali materi. Kaya, tampan dan terkenal. Paket lengkap untuk memikat wanita. Sehingga penggemar wanitanya pun tidak kalah dengan actor Hollywood.

Sayangnya segudang prestasi itu tidak membuat Ayah Radhika memberikan restu. Radhika dibesarkan oleh pebisnis sukses yang berasal dari India. Selain itu Radhika juga sedang menyelesaikan sekolah musiknya.

Tapi cinta selalu keluar sebagai pemenang. Maka menikahlah Radhika dengan RV meski orang tua Radhika tidak menyukai. Pernikahan itu pun berlangsung harmonis sampai bertahun-tahun. Hingga kedua anak mereka tumbuh besar. kalau di Indonesia mungkin sudah kelas 4 dan 1 SD.

Suatu ketika, RV mengalami kecelakaan saat mengikuti turnamen. Kecelakaan yang membuatnya harus berhenti sementara selama 1 tahun untuk proses penyembuhan. Setahun berlalu, RV pun kembali ke arena. Sayangnya kecelakaan itu menyisakan trauma bagi RV sehingga menurunkan performanya ketika mengendarai mobil balap.

Karena tidak satu pun kejuaraan di menangkan, RV pun dikeluarkan dari tim. Jatuh tertimpa tangga, itulah pepatah yang cocok untuk menggambarkan kkondisi keluarga Radhika. Selama RV menjalani pengobatan hingga pemulihan, tidak ada satu sen pun yang masuk. Tabungan pun semakin lama semakin menipis. Singkatnya mereka bangkrut.

Keterpurukan keuangan keluarga memaksa keduanya harus bekerja serabutan demi bertahan hidup.

Radhika bekerja sebagai seorang pemain piano di salah satu restoran. Dalam suatu kesempatan, Radhika bertemu dengan ayahnya. Mengetahui keadaan Radhika yang kesulitan, Ayahnya pun berniat membantu dengan memberikan uang dan tawaran pekerjaan untuk RV. Namun, tawaran itu rupanya diikuti dengan cemoohan atas nasib yang Radhika alami. Andai Radhika mendengarkan Ayahnya untuk tidak menikah dengan RV maka nasibnya tidak akan seperti ini.

Tidak rela suaminya dihina sedemikian rendahnya, Radhika menolak bantuan ayahnya. Bahkan cek sebesar 50.000 dolar yang diberikan ayahnya pun di robek.

Best husband, best father, and the best racer. He can take care of me and my children. We don’t want anybody’s help. Thank you.”

Kurang lebih begitulah potongan dialog yang Radhika ucapkan pada ayahnya.

Sepenggal Kisah

Film ini menjadi salah satu film yang selalu memporak-porandakan hati aku dan suami. ada beberapa adegan bahkan situasi yang kebetulan sama dengan kami.

Dan potongan cerita itu tadi sering kali menjadi pegangan ketika masa-masa sulit yang pernah, sedang dan akan kami hadapi.

Ya, kami yakin satu kesulitan terlewati maka aka nada kesulitan lain yang menanti. Entah salah satu atau bahkan kami berdua yang mengalaminya.

Ketika titik itu tiba tidak ada orang lain lagi yang lebih memahami selain pasangan kita.

Sepenggal Makna

Keadaan yang dialami Radhika sekeluarga itu sangat nyata. semua keluarga pasti pernah mengalaminya. Yang bisa kita adaptasi dari perjalan hidup mereka adalah saling percaya dan mendukung keputusan serta usaha pasangan.

Orang bilang, kesetiaan wanita diuji ketika suaminya tidak memiliki apa-apa.

Tidak selalu benar, karena banyak juga laki-laki yang memilih lari dari pada memikul beban bersama.

Tapi, ketika suami berusaha hingga mengerahkan seluruh energi yang dimiliki maka beban berat itu akan sedikit ringan ketika ada istri yang bersedia mengusap peluh yang menetes, memberika bahunya yang lemah sebagai tempat suaminya beristirahat sejenak.

Suami hanya memerlukan dukungan, kepercayaan serta apresiasi dari istrinya. seberapa kecil pun hasil yang diperoleh mari kita hargai. Bahkan kita dukung, berikan semangat agar esok bisa lebih baik lagi. dan yakinkan bahwa kerja keras akan memberikan hasil yang sepandan.

Radhika melakukannya. Tidak peduli beratnya pekerjaan yang dijalaninya atau bantuan ayahnya yang menghina suaminya, Radhika tetap yakin bahwa suaminya tidak akan membiarkan keluarganya menderita selamanya.

Kadang aku mengutip dialog Radhika, sekedar untuk guyonan serius ketika Mr. GPP merasa lemah. Meski sejujurnya kalimat itu lebih ditujukan kepada diriku sendiri untuk terus yakin bahwa seberapapun menderitanya hidup kita selalu ada suami yang akan berusaha membuatnya lebih baik.

Senin, 27 April 2020

Alfameria chapter v part 3

22.46 0 Comments
Alfa memandang sebuah persegi panjang berwarna ungu dihadapannya. Kotak berisi brownis yang Aksa berikan padanya beberapa hari lalu.

Pemberian Tante Marisa. Dan sebuah permintaan khusus untuk memberikan komentar terhadap hasil percobaannya membuat kue.
Motret sendiri


Sejujurnya Alfa terkejut ketika Aksa yang memberikan kue brownis itu padanya. Mengapa bukan Ameria sendiri yang memberikan? Dan kenapa harus melalui Aksa? Mungkinkah Ameria marah padanya?

Atau kah ….

Alfa menggeleng-gelengkan kepala. Menolak untuk melanjutkan kemungkinan-kemungkinan atas penyebab keberadaan yang ada diatas meja kamarnya itu.

Kemungkinan yang tidak berani dia bayangkan tentu saja tidak terjadi. kalau pun benar tante Marisa akan mengkonfrontasinya beberapa hari lalu saat Alfa menelpon untuk mengucapkan terimakasih.
Ameria, Alfa merindukanya.

Sepekan lebih Alfa tidak bertemu dan berbincang dengan sahabatnya. Meski kelas mereka bersebelahan tapi selama istirahat tak sekalipun ada pemandangan ketika Ameria dan Alfa sedang bercakap-cakap.

Ahh …
Alfa melihat Ameria. Dihari yang sama Ia mendapatkan kotak berwarna ungu tersebut. dihari ketika Ia tiba-tiba merasakan kemarahan yang hampir diluar kendalinya.

Tiga hari berlalu setelah hari itu. Alfa ingin kembali berbincang dengan Ameria.

Bukankah hari ini pekan pertama diawal bulan? Jadwal rutinnya untuk pergi ke perpustakaan umum. Itu artinya hari ini akan bertemu dengan Ameria. Dan pertemuan itu hanya ada mereka berdua.

Tapi tunggu, mungkin sebaiknya pertemuan hari ini tidak di perpustakaan. Mungkin Alfa perlu mencari tempat lain untuk membaca. Sebuah tempat terbuka dengan pohon yang banyak. Kemudian Alfa hanya perlu membawa buku dan sedikit makanan dan minuman sebagai bekal karena disana pasti tidak ada penjual makanan.

Sempurna!

Ameria akan terkagum-kagum dengan idenya itu. Ia pasti akan sangat girang karena menemukan tempat dengan suasana baru untuk membaca buku. Atau mungkin akan menjadi waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini ditahannya.
Motret sendiri


Alfa merasa sangat bersemangat sehingga langsung menghubungi Ameria.

Pada dering pertama Ameria tidak menjawab. Alfa pun mengulangi lagi. hingga dering ketiga masih tidak ada yang menjawab. Lalu sebuah pesan masuk.

Ameria  : Aku lagi dirumah sakit.
Alfa  : kamu sakit? atau tante marisa?
Ameria  : bukan
Ameria : Aksa tadi pagi kecelakaan. Dia keserempet pas lagi pakai otoped. Sekarang lagi diperiksa di UGD. Badannya lecet-lecet, Al (emoticon nangis).
Alfa : Yaudah, aku kesana sekarang.

Detik berikutnya Mama masuk kedalam kamar. Membawa setumpuk pakaian yang sudah selesai di setrika.

“Tumben belum siap? Nanti Ameria marah lho nungguin kamu kelamaan.”

Mama memasukkan pakaian kedalam lemari. Saat hendak menutup pintu lemari, Mama memandang cukup lama pada dinding didalamnya. Ada cukup banyak foto Ameria yang sengaja ditempel disana. Semuanya diambil secara sembunyi-sembunyi.

“Mama jarang ketemu Ameria tapi rasanya kaya tiap hari ketemu.”

Setelah menutup lemari Mama duduk di tempat tidur. Melihat anaknya yang masih mengenakan kaos tidur.

“Mau disimpan sampai kapan? Kamu baik sama dia, perhatian, kamu jagain dia. Tapi Ameria nggak akan tahu kalau kamu nggak bilang. Udah tiga tahun, Alfa.”

Alfa hanya duduk diam sambil memutar-mutar kursi yang didudukinya.

Tiga tahun? Ia tidak pernah mengira bisa menyimpan perasaannya nyaris 1000 hari lamanya. Alfa benar-benar pandai menata rapi rasa sukanya pada Ameria hingga ia sendiri merasa cukup dengan hubungannya saat ini.

Hari-harinya selalu dihabiskan bersama Ameria. Disekolah hingga dirumah, semua waktunya selalu dengan Ameria.

Persahabatan atau kah pacaran, bagi Alfa tidak ada bedanya. Selama bisa bersama, saling berbagi banyak hal sudah lebih dari cukup. Apakah Ia perlu memberitahu bahwa Ameria adalah ratu dihatinya?

Alfa tidak merasa perlu melakukannya. Toh, selama ini Ameria selalu menerima dan membalas semua sikap baik dan perhatiannya. Bahkan bisa dikatakan bahwa Ameria adalah satu-satunya orang yang paling mengenalnya selain mama papa.

“Kami baik-baik.”

Mama tersenyum. “Tentu kalian baik-baik saja. Tapi kalau suatu saat ada yang datang mendekati Ameria, apa semuanya tetap baik-baik saja?”

Kursi yang sejak tadi berputar-putar langsung berhenti. Energi yang sejak tadi digunakan untuk membuat kursi beroda mengalir hingga keatas. Memutar-mutar isi kepala alfa untuk memasukkan sebuah kode unik yang baru saja disebutkan mama lalu memprosesnya untuk menghasilkan sebuah jawaban yang selama ini tidak disadarinya.

Aksa menyukai Ameria.

Mama hanya tersenyum melihatnya. Dia tahu anak lelakinya itu pandai. Kesukaannya membaca buku hanya stimulan kecil untuk membuat cabang-cabang baru diotaknya. Hanya saja kecepatan reaksi otaknya berbanding terbalik dengan tingkah polanya. Ditambah kepribadiannya yang tertutup membuat orang lain semakin susah membaca sikapnya.

“Ma, menurut mama sebaiknya aku kuliah dimana?”

Senyum mama seketika memudar. Bagaimana mungkin topik pembicaraan mengenai perasaan berganti dengan kuliah. Sungguh hal ini benar-benar membuat Mama semakin tidak paham dengan jalan pikiran anaknya.

“Kamu serius tanya Mama?”

Alfa mengangguk mantap.

Mama harus kecewa pembicaraan tentang Ameria harus berakhir seperti biasa tanpa pernah ada ujung yang jelas. Namun, pembicaraan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. karena menyangkut masa depan yang selama ini tidak begitu menarik perhatian Alfa.

“Kamu maunya apa?”

Alfa hanya mengendikkan bahu.

Mama harus menggosok lengannya karena dibuat gemas oleh anaknya sendiri. Kecerdasaan otak kirinya boleh diatas rata-rata tapi kemampuannya untuk mengenal diri sendiri nyaris tidak mendapatkan nilai.

“Kalau Alfa tahu, Alfa nggak akan bertanya.” Alfa kembali diam. “Gimana kalau Alfa masuk IKJ?”

Mama memicingkan mata. menatap penuh selidik pada Alfa yang sejak tadi bersikap sangat tenang. Terlalu tenang bahkan. Mama ingin mencari barangkali ada sesuatu yang terlewat dari perhatiannya.

“Kamu yakin? Mama tidak melihat kamu punya ketertarikan dengan seni.”

“Memang harus ya? Nggak bisa kalau aku cuma ingin kuliah disana?”

“Bukan begitu. ketertarikan , kesukaan adalah bagian dari sebuah passion. Dan passion itu penting agar kita tetap konsisten dengan tujuan.” Mama memperbaiki posisi duduknya. “Kamu boleh kuliah di IKJ. Pertanyaannya adalah apakah dengan masuk IKJ tujuan kamu akan tercapai?”

“Belajar memang harus punya alasan, ya? Apa salah kalau aku masuk IKJ karena ingin belajar seni.”

“Setiap hal didunia ini diciptakan dengan tujuan. Mama memilih menyekolahkan kamu di Sekolah formal untuk mempermudah ketika ingin mendaftar di perguruan tinggi. Kakak kamu memilih langsung melanjutkan S2 karena ingin memperdalam ilmunya sebelum benar-benar terjun ke dunia kerja. Kalau kamu cuma ingin belajar seni, kenapa harus nunggu masuk IKJ? Sekarang pun bisa.”
“Satu lagi,” lanjut Mama “buat keputusan itu karena diri kamu sendiri. Bukan karena mama bukan karena papa atau orang lain. Tapi karena kamu.”

Minggu, 26 April 2020

Alfameria chapter v part 2

19.08 0 Comments
Kabar burung yang ramai dibicarakan lama-lama membuat Alfa jengah. Hari-harinya jadi terasa lebih berisik karena telinganya selalu menangkap temannya berbisik tiap bertemu dengannya.
Awalnya Alfa tidak perlu merasa pusing dengan kabar selentingan itu. Selama bukan keluar dari mulut Ameria sendiri Alfa tidak akan peduli. Lagipula ada hal lain yang jauh membuatnya khawatir dibandingkan berita yang tidak jelas kebenarannya.
Bang Ijal motret


Namun respon teman-teman lah yang membuatnya tidak nyaman. Hari-harinya mulai dipenuhi dengan bisik-bisik perihal dirinya yang dicampakkan Ameria, kacang lupa kulitnya lah, habis manis sepah dibuang lah. Memang tidak pernah ada yang secara terang-terangan mengonfirmasi kebenaran itu padanya namun tatapan mengasihani itulah yang tidak ingin Alfa lihat.

Satu hal yang Alfa tidak bisa mengelak adalah kebersamaannya dengan Ameria sedang berkurang. Mungkin itu juga yang membuat berita itu bertahan cukup lama mengalahkan kabar putusnya Axel si kapten basket dengan pacarnya kapten tim pemandu sorak. Mengejutkan bukan?

Bukan tanpa alasan intensitas pertemuannya dengan Ameria berkurang. Karena minggu-minggu ini Alfa sedang melakukan sesi konsultasi dengan salah satu guru Bimbingan Konseling untuk menentukan masa depannya setelah lulus dari SMA Persada.

Kabar menggembirakan itu pun datang juga. Setelah melewati konsultasi panjang akhirnya Alfa menemukan satu jurasan yang akan ia ambil di IKJ. Meski guru BK tersebut cukup menentang keputusan Alfa untuk melanjutkan kuliah disana.

Dan hari ini Ia ingin membagi kabar bahagia tersebut pada sahabatnya. Namun sebelum itu Alfa harus ke depan sekolah terlebih dahulu untuk mengambil milkshake yang dipesannya melalui sebuah aplikasi jasa pesan antar. Itu juga yang membuatnya mengabaikan panggilan Ameria karena dia sedang terburu-buru mengambil pesanannya di pos satpam.

Dikedua tangannya sudah ada dua gelas plastik berlabel nama coffeshop. Sebuah oreo milkshake dan cappuccino bland. Alfa benar-benar kesulitan menyembunyikan kebahagiannya. Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya ditambah langkahnya yang penuh semangat membuat adik kelas yang ditemuinya merasakan aura bahagia yang sama.

Pada akhirnya Alfa akan mengatakan pada Ameria bahwa dia juga punya passion dalam dunia seni. Dan yang lebih penting lagi adalah kebersamaan mereka akan berumur panjang.

Rencana tetaplah sebuah rencana. Proses dan hasil adalah Tuhan yang menentukan. Senyum semangat yang begitu kuat memancar dari dalam diri Alfa perlahan meredup. Matanya yang berbinar kini hanya menatap penuh hampa pada seseorang berdiri sepuluh meter didepannya.

Keceriaan diwajah Ameria terpancar dengan jelas. Suara tawanya yang ringan pun tertangkap cukup jelas oleh telinganya. Ameria sedang merasa senang. Meski rasa itu tidak terjadi dalam kebersamaannya melainkan bersama Aksa.
Bang Ijal motret


Sulit untuk tidak ikut tersenyum. Meski didalam hati Alfa merasakan sesuatu yang berlawanan. Sesuatu yang membuatnya menarik diri dan membatalkan niat berbagi kebahagiaannya.
Mungkin Alfa harus membuka hati dan menerima kenyataan bahwa memang ada hubungan khusus antara Ameria dan Aksa. meski sebagian besar dari dirinya menentang keras. Namun, akankah Alfa rela memenangkan sebagian dirinya yang menentang hubungan Ameria dan Aksa lalu mengacurkan senyum bahagia itu?

“Ini buat kalian.”

Alfa memberikan minuman yang sudah susah payah dipesannya itu. dan tentu saja disambut baik oleh dua adik kelas perempuannya.

“Makasih, Kak.”

Sabtu, 25 April 2020

Alfameria : Chapter V part 1

22.23 0 Comments
Putih warna yang sedang ngetrend pagi ini. Jalanan dipenuhi orang mengenakan pakaian lambang kesucian yang dipadukan dengan warna lain seperti merah, biru dan abu-abu. Mereka yang berjalan kaki, kendaraan umum juga mereka yang turun dari kendaraan pribadi berkumpul di sepanang jalan yang menjadi alamat sejumlah sekolah.
Bang Ijal motret


“Jangan lupa pesanan Bunda buat Alfa.”

“Iya. Lagian kenapa harus di sekolah sih? Kan nanti aku bisa minta Alfa mampir ke rumah.”

“Suka-suka bunda, dong. Jangan lupa suruh dia chat ke bunda kalau udah selesai makan brownisnya.”

Ameria menatap Marisaa malas. “Yang sahabatan sama Alfa itu aku apa bunda?”

“Bawel kamu. Udah cepetan turun. Bunda udah telat, nih”

Ameria mencium pipi kanan dan kiri

Marisa sebelum keluar dari mobil.
Mobil SUV berwarna hitam itu pun berlalu bercampur dengan ratusan kendaraan lain dijalan raya. Begitu juga dengan Ameria yang sudah melebur ditengah ratusan murid SMA Persada.

Pagi ini SMA Persada sedang di hebohkan dengan sebuah berita. Habis manis sepah dibuang, begitulah headline news pekan ini. Sementara terduga pelaku tidak merasa sedang menjadi perbincangan seluruh penghuni sekolah. Anak perempuan yang bergosip di kantin, kamar mandi anak laki-laki bahkan rumput sintetis yang ada dilapangan pun semakin bergoyang dengan adanya kabar miring tersebut.

“Mer,”
“Hhmm …” Sang pemilik nama sedang
fokus mengerjakan soal terakhir dari pekerjaan rumah yang baru saja diberikan guru matematika. Sudah sewajarnya yang namanya PR dikerjakan di rumah. Tapi Ameria itu adalah sebuah larangan.

“Tapi kamu jangan marah, ya?”

“Iya.”

“Janji?”

“Iya. Ya ampun Citra. Kamu bikin aku jadi nggak konsen, deh.” Ameria meletakkan pensilnya dan mengganti posisi duduknya.
“Apaan?”

Teman sebangkunya itu menengok kanan kiri untuk memastikan teman-temannya yang lain sudah pergi ke kantin untuk menghabiskan waktu istirahat. “Kamu beneran pacaran sama Aksa?”

“Hah??”

“Kok kaget gitu, sih?”

“Gimana nggak kaget? Pertanyaan kamu itu ngaco.”

“Kok ngaco? Berita kalian itu heboh banget.” Ameria diam, merasa bingung dengan ucapan Citra. “Jangan bilang kamu belum ngecek grup WA.”

Ameria langsung mengeluarkan gawai dari dalam tas sekolahnya. Ia langsung mengarahkan pandangannya pada Aplikasi Whatsapp lalu langsung membukanya.
Ada banyak pesan masuk tapi hanya satu grup yang chatnya mencapai ratusan, Anila Persada19. Grup WA khusus Anak Ilmu Alam SMA Persada angkatan 2019.

Ratusan percakapan yang berasal dari ratusan anak sedang di scanning menggunakan mesin digital yang dimiliki indera penglihatan Ameria. Sehingga tidak perlu waktu lama untuk mengetahui topik hangat yang sedang diperbincangkan itu.

Ameria masih melihat beberapa kali Aksa memberi tanggapan. Seperti biasa Alfa sama sekali tidak pernah muncul dalam diskusi terbuka di dunia maya seperti ini.
Bang Ijal motret


“Ya ampun. Iseng banget sih yang bikin gosip.”

“Aku juga nggak tahu, Mer. Bangun tidur pas baca grup udah rame. Jadi ya, banyak yang ku skip. Tapi bener kalian nggak pacaran?”

“Bener, Cit.” tegas Ameria

 “Akhir-akhir ini aku juga lumayan sering lihat kamu bareng sama Aksa ketimbang Alfa.”

Ameria menutup aplikasi lalu memasukkan ponsel kedalam tas. Dia tidak ingin terlalu mengambil pusing kabar burung tersebut. Ameria pun melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun lima menit setelahnya, teman sebangkunya itu menyenggol bahunya.

“Alfa, tuh.”

Citra menunjuk satu-satunya murid laki-laki yang kemana-mana selalu membawa buku. Alfa baru saja berjalan melewati kelas Ameria.

“Al!” Ameria berteriak dari dalam kelas. “Duluan ya, Cit.”

Ameria bergegas mengejar Alfa. Dan kembali menyebut nama Alfa dengan lantang namun panggilannya tenggelam dengan suara yang dihasilkan oleh murid-murid yang sedang beristirahat. Alfa tidak mendengar seruan Ameria yang berdiri di lorong kelas.

“Alfameria!”

Seseorang menepuk bahunya. Membuat Ameria terlonjak kaget.

“Kok bengong gitu sih mukanya?”

“Ini namanya kaget Aksa.”

Aksa terkekeh geli melihatnya. “Kamu kok sendirian? Salah dong aku tadi manggilnya.”

“Beneran aneh ya kalau aku nggak sama Alfa?”

Aksa tersenyum. Bingung harus menjawab apa. Karena dia tidak merasa ada yang aneh dengan Ameria yang sendirian. Lagipula hari-hari terakhir Aksa cukup sering menghabiskan waktu bersama Ameria seperti jajan di kantin atau duduk di pinggir lapangan untuk melihatnya bermain basket.

“Aneh karena aku nggak bisa manggil Alfameria kalau kamu sendiri.”

“Emang yang aneh tuh Alfa. Akhir-akhir ini ngilang-ngilangan mulu kalau disekolah. Dikelas gitu juga nggak sih?”

Sejak Ameria pergi berdua dengan Aksa. Alfa memang jarang sekali menghabiskan waktu istirahat bersama Ameria. Ameria sendiri tidak pernah merasa risau karena dia sendiri tidak merasa ada yang salah. Hanya saja dia perlu memberikan pesanan Bunda kalau tidak bisa kena ceramah di sore hari.

“Hhmm … “ Aksa berpikir. Dia tidak pernah merasa ada yang aneh. “Biasa aja sih. Cuma dia lebih pasif aja dari biasanya. Lebih sering melamun.”

“Ya ampun. Kenapa ya? Apa sakit?”

“Kenapa nggak kamu WA aja? Atau telpon.”

“Kita nggak biasa chatingan, lebih sering ketemu dan ngobrol. Lagian kalo lagi jam sekolah gini dia suka matiin HP.”

“Makanya kamu juga jarang bales WA aku ya?”

“Apaan sih, Aksa. Bales, kok. Cuma lama.” Ameria menyeringai.




Jumat, 24 April 2020

Alfameria : Chapter IV part 2

19.42 0 Comments
Secangkir cappuccino hangat dan segelas oreo milkshake datang mengisi meja. Disusul sebuah plater berisi chips dan kentang goreng.


Alfa menyeruput minuman berkafein miliknya. Hangatnya mengalir melewati kerongkongannya. Perlahan bereaksi didalam tubuh dan membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Nikmatnya minuman hangat itu membuatnya terlena hingga mengabaikan sahabatnya yang sedang bermuram durja. Memang Alfa sengaja menyeret Ameria keluar perpustakaann. Dia sadar perbuatannya itu sangat mengesalkan. Bahkan jika hal itu terjadi pada dirinya, murung saja tidak akan cukup untuk melampaiskan kekesalannya.

Tapi bukan Alfa kalau membiarkan wajah Ameria cemberut. Segelas minuman susu dengan taburan biskuit adalah salah satu titik lemah Ameria.

“Harus ada penjelasan yang lebih dari segelas milkshake.”

Alfa tersenyum melihat Ameria menyedot minuman susunya hingga separuh gelas. Kemudian mengambil satu persatu chips and fries tanpa berbicara. Lalu kembali dengan minuman yang tersisa hingga habis tak tersisa.

“Benar kalau buku tadi bikin mood membacaku berantakan. Tapi kalau aku tetap disana, mungkin kekesalanmu akan berubah karena aku tidak mau pulang.”

“Serius deh, Al.”

“Aku serius. Buku tadi bikin aku jadi tahu bahwa keserakahan manusia itu tidak akan pernah habis bahkan ketika alam sudah menunjukkan amarahnya.”

Ameria semakin tidak mengerti pembicaraan Alfa. Ia memilih mengambil tas Alfa dan mengeluarkan buku setebal 300-an halaman tersebut. Ameria hanya perlu membaca sekilas untuk memahami pembicaraan Alfa.

“Ini kan hanya prediksi dan pendapat seseorang aja, Al. Kenapa dibuat serius gitu.”

“Beda, Mer. Pendapat yang dijelaskan dibuku itu meringkas kejadian saat ini dan memproyeksikannya dimasa depan. Kamu ingat film The Day After Tomorrow yang pernah kita tonton?”

“Ingat. Film yang dibuat bahkan sebelum kita lahir, kan? Apa hubungannya?”

“Difilm itu kan menjelaskan keadaan bumi karena perubahan iklim. Kamu sadar nggak kalau itu benar-benar terjadi? Hujan es, peningkatan permukaan air laut, mencairnya es di kutub, kebakaran yang baru saja terjadi di Sumatra dan Kalimantan.”

“Hubungannya dengan buku ini?”

“Mereka sama.”

Ameria menyisihkan semua gelas dan piring. Meletakkan sikunya diatas meja untuk menyangga kepalanya yang bersandar pada telapak tangannya. Dia sedang memposisikan diri senyaman mungkin. Bukan pada topik yang dibicarakan Alfa. Tetapi pada Alfa sendiri. America perlu posisi yang nyaman untuk menikmati daya tarik pada objek dihadapannya. Yang terus berbicara dengan penuh semangat. Bahkan setiap kalimat yang Alfa ucapkan tidak benar-benar didengarnya.


Ini pertama kalinya Alfa antusias terhadap sesuatu. Biasanya semangatnya tidak akan setinggi ini jika membicarakan buku yang telah dibacanya. Dan tentu saja menjadi sisi lain dari alfa yang belum pernah Ia temui. 
Selama ini America mengenal Alfa sebagai sosok yang tenang, yang tidak mudah terpengaruh dengan kejadian disekitarnya. Yang selalu mendengar semua ocehannya meski sebagian besar hanya deretan mimpi yang Ameria sendiri tidak tahu akan terwujud atau tidak. Alfa yang selama ini menyukai apa yang Ia sukai. Tidak pernah benar-benar menunjukkan ketertarikannya pada sesuatu, selain bacaan-bacaan yang terlalu berat untuk usianya yang baru 18 tahun.

Alfa yang tidak memiliki popularitas tinggi seperti Axel, kapten basket sekolah. Tidak  juga atletis seperti Aksa. Wajahnya pun tidak setampan Aliando. Alfa hanya remaja biasa yang kebetulan memiliki kecerdasan cukup tinggi, yang tidak memiliki banyak aktivitas selain membaca dan sekolah. Tapi hari ini terlihat berbeda. Matanya berbinar-binar penuh semangat. Tidak banyak senyum yang tercipta dibibirnya tapi kebahagian itu tergambar dengan jelas.

“Kita harus melawan keserakahan kita sendiri.”

Alfa menyudahi orasi panjanganya tentang sifat manusia dan dunia. Yang membuat Ameria terkesima sendiri. Dengan sebelah tangan Alfa mengangkat cangkir lalu meminumnya dengan elegan. Ameria bahkan mengira bahwa sahabatnya itu sedang mempraktekkan cara minum kopi yang baik dan benar yang diperoleh dari buku.

“Jadi menurut kamu apa yang bisa kita lakukan saat ini?”

“Entahlah. Membiarkan hewan hidup bebas di alam.” Alfa mengangkat bahunya cuek.

“Jadi kamu mau jadi penyelamat binatang-binatang buas, gitu?”

“Aku nggak tahu, Mer.”

“Kamu udah ngoceh panjang lebar gitu masih nggak tahu mau ngapain?” Ameria menghempaskan punggungnya ke belakang. “Kamu juga masih nggak tahu mau kuliah apa dan dimana?”

Alfa menghela nafas. “Kan aku udah bilang akan kuliah di kampus yang kamu pilih.”

“Tapi IKJ, Al. Kamu nggak pernah bicara soal seni. Dan kamu mau kuliah disana?”

“Kuliah itu untuk belajar, Mer. Bukan berarti karena aku nggak pernah membicarakannya lalu aku nggak mau memperlajarinya. Justru aku harus belajar sesuatu yang aku sendiri nggak tahu. Kalau aku udah tahu ngapain juga repot-repot belajar.”

“Lalu apa kabar dengan passion?”

Alfa berpikir. “Passion … kayanya ada di kulkasnya Tante Marisa, deh.”

“Alfa!”

Suara tawa mereka menyatu dengan suara music yang dipasang sejak kafe ini buka. Menambah hangat atmosferpersahabatan yang Alfa dan Ameria bawa kedalam kafe ini.

“Jadi kamu habis dari mana sebelum datang ke perpus?” Alfa akhirnya mengucapkan pertanyaan yang sejak tadi ditahannya.

Ameria meringis. “Aku habis dari CFD.”

“Sama Tante Marisa?”

“Mana mungkin. Bunda lagi sibuk nyobain resep dari youtube.” Sepotong kentang masuk kedalam mulut Ameria. “Percaya nggak kalau aku tadi pergi sama Aksa?”

“Aksa? Jadi itu alasan kamu nggak perlu dijemput?”

“Iya. Sebenarnya kemarin dia ngajak kita berdua cuma kupikir kamu nggak bakal mau.”

“Kenapa kamu mikir gitu?”

“Ya ampun, Alfa. Kita kenal udah lama. Dan aku tahu banget, kamu nggak akan keluar kamar sebelum jam makan siang. Kamu lupa, aku pernah minta ditemenin ke museum untuk cari bahan buat tugas. Kamu malah ngasih aku buku dan balik tidur lagi.”

Alfa mengaduk-aduk ingatannya. Sepertinya itu kejadian hampir dua tahun lalu. Saat ia merasa pusing karena terlalu asik membaca buku hingga subuh.

“Oh iya, Aksa ngajak kita nonton. Besok sepulang sekolah.”

Alfa berhenti mengaduk-aduk isi kepalanya. Namun, hatinya belum. Tidak biasanya kafein membuat jantungnya berdetak sangat cepat seperti saat ini.

“Kayanya aku nggak bisa. Aku harus ngantar mama ke bengkel buat ambil mobil yang mogok waktu itu.”

“Yang waktu itu belum selesai? Yah … masa kamu nggak ikut lagi.”

“Mau gimana lagi, nggak enak kalau nolak mama.”

Sebenarnya Alfa sedang mencari-cari alasan saja. Mobil Mamanya sudah dirumah sejak kemarin. Dia hanya perlu mencari alasan untuk menghindar dari ajakan Ameria. Meski akhirnya harus mengecewakan Ameria.


Melarang Ameria pergi dengan Aksa sangat tidak mungkin. Karena Alfa tidak punya hak. Bahkan dia sendiri tidak tahu mengapa tidak suka ketika Ameria dekat dengan Aksa.

Hubungan Alfa dan Ameria tidak lebih dari seorang teman dekat. Yang didekatkan dengan kesukaan yang sama. Tidak pernah ada yang menerjemahkan kedekatan itu sebagai sesuatu yang spesial. Meski orang lain melihatnya berbeda.

Karena menghormati hubungan itulah, baik Alfa maupun Ameria mau mengharap lebih. Hanya saja mereka tidak bisa mengendalikan rasa yang Tuhan berikan. Yang pelan-pelan menyelinap. Mereaksikan perasaan yang ada sehingga membentuk rasa baru yang tidak pernah disadari.

Selasa, 21 April 2020

Alfameria : Chapter IV part 1

00.40 12 Comments
Untuk membuat brownis dengan citarasa coklat yang cukup kuat harus menggunakan banyak komponan dari pohon coklat. Coklat bubuk yang dicampur dengan tepung terigu dan coklat leleh. Sayangnya Marisa melupakan coklat block dalam daftar belanjanya kemarin sehingga. Ingin menunda saja tetapi beberapa bahan sudah menjadi adonan sementara jika harus membeli saat itu juga butuh waktu yang lumayan karena jarak rumah dengan supermarket cukup jauh.

Bel berbunyi tetapi Marisa tidak mendengar karena masih bimbang dengan kedua pilihannya tersebut. Pada bunyi yang kedua Marisa langsung tersentak. Kepalanya otomatis langsung menoleh pada dinding di sebelah kiri.

“Masih pagi.” Jam dinding menunjuk angka 05.30. “Tumbenan Alfa udah kesini”

Untuk yang ketiga kalinya bel berbunyi.

“Ini anak iseng banget sih pake bunyi-bunyiin bel.” Marisa menggerutu kemudian membuka pintu. “Masuk aja kali, Al. Eh, bukan Alfa. Hallo!”

“Pagi Tante,” Sapa Aksa.

“Pagi.” Tante Marissa membalas dengan nada yang sama cerianya dengan kicau burung diatas pohon. “Siapa, ya?”

“Saya Aksa, Tante. Teman sekolahnya Ameria. Kemarin udah janjian mau ke CFD.”

“Car free day?” Marisa menggumam heran.

“Masuk dan tunggu didalam aja, ya. Biasanya jam segini Amey belum keluar kamar.”

Aksa masuk dan berjalan mengikuti Marisa.

“Duduk dulu. Mau minum apa?”
“Nggak usah, Tante. Cuma sebentar aja kok.”

“Hhmm kaya Alfa aja malu-malu pas pertama kali datang.  Tenang aja, minuman kamu udah habis juga Amey masih dandan.”

“Apaan sih, Bun.” Sahut Ameria sambil menenteng sepatu bertali.

“Eh … anak bunda udah bangun.” Marisa berjalan masuk dan menghampiri Ameria yang tengah duduk di meja makan.

Rumah Ameria tidak memiliki dinding penyekat kecuali kamar sebagai ruang pribadi. Hanya menggunakan partisi-partisi kayu untuk membedakan ruangan tamu dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Sehingga setiap orang bisa melihat dengan mudah isi dari dalam rumah itu.

“Siapa?” tanya Marisa sambil berbisik.

“Teman sekolah.”

“Berdua aja. Alfa nggak ikut?”

“Jam segini mana mungkin Alfa keluar kamar.”

“Kamu?”

Pertanyaan dan jawaban singkat ini mirip dengan kejadian di ruang interogasi. Marisa sebagai penyidik dan Ameria sebagai tersangka.

“Aku mau nyoba hal baru aja, Bun.”

“Hari minggu bukannya kamu pergi sama Alfa?”

“Ke perpusnya kan siang. Lagian CFD cuma sampe jam 9 aja.”

Marisa masih merasa janggal dengan rencana Ameria. Selama 18 tahun tinggal bersama, Ameria paling sulit diajak melakukan hal baru. Butuh pengantar panjang dan berliku untuk membuatnya berkata, “Iya, deh.”

“Kamu sama Alfa nggak lagi berantem, kan?”

“Ya ampun, Bunda. Aku sama Alfa baik-baik aja. Kemarin kan masih nganterin aku pulang.”

“Ya kali berantem virtual yang dibawa ke dunia nyata.”

“Bunda, iihhhh. Apalagi itu berantem virtual.” Ameria mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Kemudian menunjukkan ruang percakapannya bersama Alfa. “Nih.”

“Bukan Bunda nggak percaya, Mey.”

“Bunda kuatir aku berantem sama Alfa.” Ucap Ameria mendahului. “Kita nggak mungkin marahan. Dunia kebalik kalau Alfa sampe marah. Udah, Ah. Aku berangkat dulu.

Marisa ikut berjalan sampai kedepan rumah. “Mey, nitip beliin coklat blok ya? Uangnya Bunda ganti kalau kamu udah pulang.” Teriak Marisa ketika Ameria hendak masuk kedalam mobil.
Pixabay


Marisa memang memiliki pembawaan sangat santai. Terutama dengan temna-teman Ameria. Dengan bersikap seperti itu Marisa juga bisa mengenal lingkungan pergaulan anaknya. Tidak heran kalau Marisa bisa dekat dengan Alfa.

Berbeda dengan Ameria yang sering merasa malu dengan sikap Bundanya yang menurutnya lupa usia. Setiap Alfa datang ke rumah lebih sering menghabiskan waktu bersama Marisa dibanding dengannya. Sehingga America selalu mengajak Alfa pergi kalau tidak ingin sahabatnya itu disabotase Marisa.

Chapter sebelumnya Jam Kosong Ala Alfameria

====

“Hey,”

Alfa mengamati seseorang yang baru saja menghampirinya. Berdiri tegak dihadapannya. Dengan topi putih bertengger manis dikepalanya. Rambutnya diikat menjadi dua bagian yang salah satunya jatuh dipundak. Jaket yang dikenakannya kini sudah menutupi sandaran kursi. Menampakkan kaos berwarna mint yang basah dibagian leher.

“Kamu telat.” Ucap Alfa tanpa memberi komentar pada penampilan Ameria.

“Sorry, sorry.” Ameria menarik kursi pelan dan duduk mengendap. Seperti murid yang takut ketahuan karena terlambat masuk kelas. “Baca buku apa?” Ameria kembali menunduk untuk mengintip judul dari buku yang sedang dibaca Alfa. “Ya ampun, Al. jauh-jauh ke perpus tapi bawa buku dari rumah.”

“Tanggung, Mey. Bentar lagi kelar.” Alfa membalik halaman.

Kalau anak buku sedang asik membaca tidak akan memedulikan sekitarnya. Maka Ameria pun pergi untuk mengambil buku. 
Kali ini dia menghampiri rak yang berisi buku-buku seni, hiburan dan pertunjukkan. Dia membutuhkan tambahan referensi untuk memastikan pilihan jurusan yang akan diambil ketika kuliah nanti. Meski sudah memantabkan hati untuk menjadi mahasiswa di IKJ.

Pixabay


Marisa mengatakan bahwa lakukan apapun yang sesuai dengan passion kita. Agar kita tidak mudah menyerah ketika kesulitan menghampiri. Kita akan berusaha lebih giat lagi untuk menaklukkan sebesar apapun rintangan yang menghadang. Bahkan ketika orang lain memandang rendah, kita akan tetap fokus pada pilihan itu. dan tidak akan berhenti sebelum tercapai.

Sebuah buku tentang jurnalisme pertelevisian Indonesia diambilnya. Ameria tertarik dengan dunia perfilman dan pertelevisian, namun pengalamannya mengikuti casting membuatnya menghapus mimpi menjadi artis. Akhirnya buku tersebut kembali pada tempatnya semula.
Sebuah getaran terasa di saku celananya. Layar ponselnya menunjukkan sebuah pemberitahuan dari Instagram. Ameria teringat bahwa hari ini postingan di feed instagramnya belum bertambah.

Rupanya akun media sosial membawanya untuk mengambil sebuah buku yang berisi desain grafis. Aktivitasnya sebagai seorang bookstagram, mau tidak mau, memaksanya untuk menguasai teknik mengambil gambar, mengedit gambar untuk memberikan hasil yang instagramable.

Buku itu benar-benar menenggelamkannya. Baris demi baris kalimat Ia baca tanpa terlewat. Ditambah gambar-gambar ilustrasi yang membuatnya semakin enggan walau untuk berkedip. Mungkin ini buku non fiksi pertama yang memikatnya pada pandangan pertama. Hingga membuatnya tidak sadar, seseorang tengah berdiri menatapnya.

“Nggak tahu ada fasilitas kursi disediakan biar orang membaca sambil duduk?”

Ameria hanya memamerkan deretan giginya.

“Tanggung, Al. Lagi seru.”

“Tumben, bukan novel atau buku bergambar?”

“Yee … emang aku anak TK baca buku bergambar.” Ameria mencebik. “Kamu udahan bacanya?”

Alfa mengedikkan bahu.

“Kenapa?” Ameria merasa heran dengan sikap Alfa. Tidak seperti biasa. Seburuk apapun buku yang selesai dibaca akan membuatnya tersenyum. Meski komentar menkritik yang banyak keluar dari mulutnya.

Alfa mendesah. “Buku ini bikin aku … jadi … ngantuk.”

Pernah lihat kartun Tom and Jerry? Yang mulut bagian bawah Tom jatuh sampai menyentuh lantai. Itulah yang terjadi pada Ameria.

“Ke kafe depan, yuk! Biar bisa ngobrol tanpa bisik-bisik.”







Jumat, 17 April 2020

Kopi Untuk Pemula

22.45 16 Comments

Ngopi apa hari ini?

Pagi ini aku bikin yang manis-manis, kebawa halu dari manisnya kisah Cinta dan Rangga. Kopi susu instan dari salah satu brand yang salah satu brand ambasadornya dari Negeri Gingseng. Ketebak pasti, hehehe

Sudah lama suka dengan minuman berkafein dengan cita rasa asam dan pahit. Kalau disuruh pilih minuman antara coklat atau kopi, tanpa mikir pasti langsung pilih kopi. 

Dulu semua jenis kopi diminum. Bahkan dari kecil suka curi-curi minum kopi milik bapak. Kopi dan kehidupan petani desa memang erat kaitannya. Bahkan dibanding dengan teh, kopi lebih merakyat. Di desa kelahiran saya ada sebuah warung yang racikannya terus dirindukan hingga sekarang. Padahal teknik menyeduhnya sangat tradisional sekali, tubruk.

Baru dua tahun belakangan aku benar-benar minum kopi yang sesungguhnya alias kopi yang diseduh dengan air bersuhu 96 derajat celcius tanpa tambahan lain seperti gula, susu, krim dan sebagainya. Atas saran suami Americano jadi pilihan pertama untuk belajar minum kopi. Waktu itu masih dengan tambahan gula. Lama-lama setelah menemukan sebuah kedai yang cocok mulai dengan kopi-kopi tradisional nusantara. Tentu dengan percobaan segala jenis dan teknik penyeduhan.
Americano no sugar


Setelah melewati berbagai pengujian (uji lidah sendiri maksudnya hahaha) dan sering ngobrol dengan orang yang paham kopi, aku akhirnya menemukan titik nyaman minum kopi. Beberapa tips berikut harus dilakukan secara bersamaan minimal dua poin agar minum kopi menjadi moment menyenangkan. Sebagai contoh adalah kopi kerinci (Arabica, medium roasted, honey process).

Robusta ajah

Dulu kalau pesen kopi itu duluin yang namanya gengsi tanpa ilmu. Akhirnya nyungsep dan gagal menikmati kopi yang sesungguhnya. Pilihan selalu jatuh pada kopi Arabica yang harganya rata-rata lebih mahal dibanding Robusta. Padahal tingkat keasamannya lebih tinggi Arabica. Seperti Aceh Gayo, Bali Kintamani, Toraja pokoknya kopi-kopi yang sudah mendunia.

Waktu pengetahuan kopi masih sedikit sekali. Sampai sekarang sih, Cuma karena diimbangi dengan menjadi pelaku akhirnya pengetahuan tadi bertambah. Ditambah aku selalu ngobrol tiap pesan kopi. Memang di sini (Mojokerto) minum kopi asli populeritasnya belum setinggi cappuccino, moccacino, latte dan minuman kopi lain yang kalorinya bikin diet berantakan. Kebetulannya lagi adalah baik pemilik maupun baristanya sangat terbuka dengan pertanyaan seputar kopi. Jadi saya memanfaatkannya. Bonusnya adalah aku dapat tester racikan kopi Dampit dengan medium roasted.

Salah satu sudut kedai kopi langganan

Kopi Robusta ini pun aku masih menyarankan yang berasal dari pulau jawa seperti Dampit, Trawas atau Temanggung. Tidak cukup signifikan hanya saja kesan pertama menjadi hal penting dalam minum kopi.

Medium Roasted

Pilihan medium roasted ini pun tidak semata-mata datang begitu saja. Satu kedai kopi dengan kedai lainnya akan memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan proses penyangraian kopi. Kebetulan di kedai ini aku cocok dan hampir semua jenis kopi  selalu memilih medium roasted untuk tingkat penyangraiannya.

Awalnya kupikir sama saja. Ternyata benar-benar berbeda. Awal tahun lalu suami membawa pulang Kopi Arabica Toraja yang disangrai hingga hitam (dark roasted). Rasanya pahit dan asam. Bahkan ketika dicampur dengan gula pun tidak berkurang banyak. Rasanya benar-benar kuat. Kesan minum kopi yang tidak mengenakan tentu saja. 

Dapat tester seduhan Kopi Robusta Dampit yang kuceritakan diatas benar-benar membuatku jatuh cinta dengan tingkat kematangan proses menyangrai kopi ini. Bahkan memantabkan diri untuk selalu memilih medium roasted ketika memesan kopi.

Honey Process

Sebelum kopi bisa dinikmati ada banyak tahapan yang dilalui, salah satunya adalah proses pengolahan biji kopi. Kali ini yang akan kubahas hanya honey process atau miel process. 

Sederhananya honey process adalah proses pemisahan biji kopi dari daging buah dengan menyisakan sedikit kulit daging pada biji kopi sebelum dijemur. Dalam Bahasa Spanyol, kulit daging yang tersisa ini disebut miel yang berarti honey atau madu.

Nah, honey process yang pernah kucoba adalah kopi kerinci (Arabica, medium roasted, honey process). Rasanya asam dengan campuran manis dari miel. Sementara rasa pahitnya hampir tidak terasa

Robusta Dampit, Dark Roasted, Brewing : French Press


Jenis kopi, tingkat penyangraian kopi, dan proses pengolahan biji kopi hanya sedikit faktor yang memengaruhi cita rasa kopi. Jika mendalami kopi akan ada banyak faktor lain yang membuat kopi terasa berbeda. Bahkan tangan seseorang pun katanya bisa memberikan sumbangsih rasa yang berbeda (hasil seduhanku dan suami berbeda meski sama-sama menggunkan jenis dan metode penyeduhan yang sama hehehe).

Badanku ini termasuk yang sensitif dengan kopi. Pasti dijamin melek kalau udah minum kopi dan pasti lebih sering ke kamar mandi untuk buang air kecil. Semua itu terjadi hingga sekarang ketika minum kopi instan atau kopi pabrikan. Bahkan ada beberapa merek kopi yang kuhindari karena efeknya sedikit berlebihan seperti jantung berdebar dan badan lemas. Pas minum kopi giling/bukan hasil olahan pabrik badan lebih toleran meski aktivitas buang air kecil sama seringnya.

Baca juga : beberapa jenis penyajian kopi

Barista dikedai kopi langgananku bilang kalau aku penyuka teknik V60 karena hampir semua jenis kopi yang kupesan selalu memilih teknik itu. Padahal teknik ini kurang OK untuk gaya hidup minim sampah hehehe

Jadi, apa kopi kesukaanmu?

P.S. Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi sehingga mengandung subjektivitas tinggi. Tiap orang mungkin akan berbeda tergantung selera masing-masing.

Sabtu, 04 April 2020

Kemanusiaan didalam Drama Korea

06.20 4 Comments
Weekend penuh dengan kemalasan meski anak-anak menanti bundanya turun tangan untuk menintervensi tugas sekolah. Tidak menyelesaikan buku yang sedang dibaca bahkan kewajiban membaca jurnal untuk referensi pun tidak. Hiburan kedua yang kupilih selain membaca adalah menonton. Kali ini adalah giliran Kim Sabu dan jajarannya dalam Romantic Dr. Kim. (Lagi-lagi pengulangan entah keberapa)
Pixabay


Seperti judulnya, drama korea ini bercerita tentang aktivitas dokter dalam menangani pasien. Dengan konflik didalam rumah sakit tergambar dengan jelas. Tapi jangan berharap ada adegan super romantis antara tokoh utama. Yang banyak justru adegan menegangkan di ruang IGD dan ruang operasi.

Seperti yang sedang saya saksikan sekarang, Dr. Kang Dong Jo ahli bedah yang bertugas di IGD Rumah Sakit Doldam kedatangan pasien yang diduga terinfeksi virus MERS berdasarkan pemeriksaan kondisi pasien yang mengalami batuk-batuk serta mengaku baru saja pulang dari kawasan timur tengah. Yang kebetulan saat itu sedang terkena wabah dari kerabat dekatnya covid-19 yang saat ini juga sedang mewabah diseluruh dunia.

Yang ingin saya garis bawahi dari salah satu bagian drama ini adalah kecekatan dalam mengambil keputusan Dr. Kang Dong Jo yang terkenal cerdas. Meski hanya berdasarkan dari dugaan (merujuk pada gejala) dokter memutuskan untuk mengisolasi ruang IGD. Padaha disana ada beberapa pasien lain yang lebih dulu dirawat. Tapi tindakan cepat sebagai upaya pencegahan ini membuatku benar-benar terenyuh.

Tidak hanya mengisolasi ruang IGD agar tidak menyebar lebih luas, Dokter kepala dan Direktur rumah sakit pun memutuskan untuk memulangkan seluruh pasien yang dalam kondisi mulai membaik.

Suasana horor sekejap langsung menyelimuti. Kepanikan nampak pada setiap orang, pasien yang diduga terjangkit, petugas medis yang ikut diisolasi karena melakukan kontak atau berada dalam satu ruangan dengan pasien serta seuruh elemen di rumah sakit. Benar-benar sangat terasa emosi yang dirasakan mereka ketika ancaman virus sedang mereka hadapi. (Namanya juga drama, pintar sekali memainkan emosi penonton)
Pixabay


Aku bukan ingin membandingkan drama dengan kondisi yang saat ini sedang terjadi dengan Negara kita. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa tenaga medis tidak pernah bermain-main dengan profesi mereka. Bahkan sebelum terikat dengan sumpah profesi, kemanusiaan mereka adalah yang pertama kali merespon ketika ada hal yang membahayakan kesehatan umat manusia.

“Hanya ada satu cara mengetahui dokter melakukan pekerjaannya dengan baik adalah bagaimana ia memperlakukan pasiennya.” (Kim Sabu-Romantic Dr. Kim)
Lebih dari setengah abad menjadi manusia memberi saya kesempatan bertemu banyak tenaga medis dengan berbagai macam karakter. Pernah saya menghadapi seorang dokter yang sangat pelit informasi bahkan tidak mau menyentuh pasien ketika memeriksa. Dokter hanya mendengar dan langsung memberikan vonis tentang penyakit yang diderita. Untungnya  diagnosa yang diberikan yang jelas-jelas kutolak. Tentu dengan berbagai pertimbangan, salah satunya adalah pengamatan yang kulakukan bertahun-tahun ditambah referensi yang pernah kubaca (bukan Om Gogel) karena tidak masuk akal. Yang akhirnya membuatku kapok untuk berobat kesana lagi. 

Aku mungkin calon pasien atau keluarga pasien yang tidak ingin ditemui dokter karena sok tahu dan tidak mau asal terima hasil diagnose. Cerewetnya amit-amit dan maunya serba detail.

Pernah juga yang berhadapan dengan dokter super modis dan ganteng sayangnya sudah menikah namun begitu telaten ketika memeriksa, menguasai berbagai teknik komunikasi hanya untuk sekedar memudahkan berkomunikasi dengan berbagai karakter pasien. Hingga membuat Aku tidak kehabisan ide ketika membicarakan betapa baiknya dokter itu.

Aku juga pernah bertemu dokter yang memberikan alternatif pengobatan bukan dengan obat melainkan dengan bahagia. Waktu itu suami mengalami infeksi lambung karena asam lambung meningkat. Tanpa bertanya dokter tersebut menjelaskan semua makanan yang tidak dianjurkan. Tapi ketika saya menyebut tentang aktivitas merokok suami, dokter perempuan itu hanya tersenyum.

“Dikurangi boleh, berhenti lebih baik. Tapi apa bisa? Nggak malah berantem? Diajak bercanda saja, dibuat santai. Kalau Bapak sudah mulai diam, ibu bisa mengajak Bapak jalan-jalan. Suaminya pendiam kan? Jadi dibuat santai saja, rileks jangan sampai stress. Karena stress juga bisa memicu naiknya asam lambung.”
Pixabay


Cukup beragam ya, padahal hanya sedikit yang kutuliskan. Belum lagi jika ditambahkan dengan pengalaman orang lain. mungkin bisa menyamai banyaknya penduduk Indonesia saat ini.

Pengalaman adalah kemampuan (Kang Dong Jo-Romantic Dr. Kim)

Kita tidak bisa memilih apalagi mengatur bagaimana tenaga medis bersikap kepada kita (pasien). Namun menjadi seorang manusia terlahir untuk berbuat dan bersikap baik kepada sesama adalah pilihan yang layak dipertahankan.

Follow Us @soratemplates