Selasa, 31 Maret 2020

Alfameria_CHAPTER III

23.20 0 Comments


Jam kosong bagi sebagian besar murid SMA Persada adalah golden moment. Mereka bisa berada di sekolah tanpa harus dibuat stres oleh kimia, fisika, matematika, akuntansi dan huruf kanji untuk anak bahasa. Meski seharusnya mereka harus didalam kelas karena selalu ada tugas yang harus mereka kerjakan.
Pixabay

Ada dua tempat utama yang menjadi konsentrasi siswa, kantin dan halaman sekolah. Mereka biasanya akan menghabiskan sebagian besar waktu dengan jajan dikantin sambil bergosip, melakukan permainan di lapangan atau hanya sekedar duduk di taman.
Begitu juga dengan Alfa, biasanya dia akan duduk di pojokan perpustakaan menghabiskan buku yang Ia bawa dari rumah atau buku-buku yang ada diperpustakaan. Salah satu koleksi perpustakaan SMA Persada yang menjadi favoritnya adalah buku-buku biografi.
Golden moment kali ini Alfa habiskan dengan duduk di taman. Ia sedang malas untuk berjalan menuju perpustakaan yang jaraknya cukup jauh dengan kelasnya.
Sebuah meja semen dibawah pohon ketapang kosong, disanalah Alfa akan menghabiskan dua jam kedepan. Tujuh belas menit berlalu tapi buku dengan warna sampunya yang mulai pudar masih tertutup. Mata penuh kesedihan dari gadis kecil yang ada disampul itu seperti kehilangan daya tariknya.
“Alfa, Alfa lihat, deh. Aku panen DM lagi.” Ameria menghampiri Alfa dengan semangat. Dan langsung menunjukkan kolom direct message di akun Instagram miliknya yang diberi nama @amrbookland. “Mereka minta rekomendasi novel-novel yang diangkat dari kisah nyata.” Alfa masih belum menanggapi.
“Aku jarang baca novel gituan, jadi koleksiku nggak banyak. Buku apa ini?” Ameria mengambil buku yang ada di hadapan Alfa. “Three cups of Tea, boleh juga nih. Setting tempatnya juga keren, Himalaya.”
Alfa hanya menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Ameria. Kali ini dia memakai bandana dengan simpul ikatan dipuncak kepala. Rambutnya diikat agak tinggi sehingga bergoyang-goyang setiap kepalanya bergerak. Seperti sekarang ketika sedang membicarakan permintaan dari pengikut di akun instagramnya. Tidak hanya tangannya, bibir, mata bahkan alis semuanya bergerak. Ameria selalu bersemangat dan antusias terhadap hal yang disukainya.
“Menurut kamu gimana?”
“Buat polling aja. Pake feature yang ada diinstastory.”
“Oh iya. Kok aku nggak kepikiran ya? Padahal aku sering lihat di akun bookstagram lain.”
Ameria kembali mengarahkan matanya untuk fokus pada layar ponsel. Keriuhan yang terjadi seperti tidak membuatnya terganggu, sedikit pun. Anak-anak cheerleader yang sedang berlatih, lapangan yang dipenuhi teriakan saling mengumpan bola atau sekelompok murid perempuan yang histeris penuh semangat melihat permainan  kapten basket sekolah pun berlalu begitu saja.
“Kamu nggak capek? Tiap hari mikir buat bikin postingan, jungkir balik cuma buat foto bahkan kamu nggak kenal sama follower kamu.”
“Karena aku suka.” Menulis tetapi mulutnya ikut bergerak. Mirip seperti mbah dukun mengucap mantra. Begitulah salah satu tanda ketika Ameria sedang serius dengan satu hal. Jika hal itu terjadi, jangan baper dengan jawaban singkat atau diabaikan.
“Nggak jelas.” Alfa mencemooh.
“Sahabat terbaikku Alfa,” Ameria meletakkan ponsel pintarnya. “Tidak ada satu hal di dunia ini yang tidak memiliki kejelasan. Bahkan ketika Mr. Mark menciptakan Instagram juga punya tujuan.” Ucap Ameria diplomatis.
“Biar dia dapat uang.”
Ameria mencondongkan badannya. Memandang tepat kedalam mata Alfa. “Sebuah senyuman yang tercipta dari usaha kita lebih berharga dari permata.”
Wajah Ameria begitu dekat. Nafas Alfa nyaris berhenti ketika bola mata Ameria terlihat sangat jelas. Alfa terkunci. Namun, sedetik kemudian dia memalingkan wajah untuk mengambil oksigen sebanyak mungkin.
“Teori absurd apalagi itu.” Alfa kembali bersuara ketika dadanya kembali bergerak tenang.
“Profesor Marisa Hanafi.” Ameria tergelak sendiri setelah menyebut nama bundanya dengan gelar tertinggi dari seorang dosen. Alfa sendiri tanpa sadar ikut tertawa meski tidak bermaksud untuk menertawakan.
“Kayanya kamu harus tinggal dipedalaman hutan kalimatan dulu, deh. Terus kamu selamatin Orang utan, Anakonda, dan semua hewan-hewan yang jadi korban kebakaran. Jadi kamu nggak perlu capek-capek memahami teori absurd tadi.” Lajutnya dengan teori yang lebih absurd lagi.

“Aku tuh nggak ngerti sama rencana kamu, ya. Ikut casting cuma buat pembuktian. Milih kuliah di IKJ juga cuma untuk memastikan pilihan. Terus sekarang sibuk ngurusin Instagram. Sebenarnya kamu mau fokus dimana sih?”
“Fokus sama hal yang aku suka.”
Alfa hanya memberikan cibiran. Kemudian menarik kembali buku yang sejak tadi belum dibacanya.
“Alfameria!”
Sebuah bola berwarna oranye bergerak. Memantul semakin lama semakin rendah. Kemudian menggelinding ke bawah kaki Alfa. Hanya saja Ia tidak menyadari sesuatu menyentuh sepatu hitamnya. Ameria yang mendengar namanya dipanggil mengetahui kedatangan bola basket itu lalu melemparnya.
“Makasih ya, Mer.” Aksa tersenyum.
Jam kosong menyumbangkan lembar penuh warna dalam buku cerita masa abu-abu. Bahkan jika hanya dihabiskan dengan duduk dan mengobrol. Tapi dari obrolan itulah, baik singkat atau panjang, akan menjadi penentu pada detik kemudian.
====
“Mati gaya deh kita.” Ucap Ameria lesu.
Ucapan Ameria sangat bertolak belakang dengan teman-temannya. Mereka berhamburan keluar kelas dengan penuh rencana. Ada yang pergi ke mall sekedar jalan-jalan, hunting kafe yang lagi trending atau pergi ke rumah teman sekedar untuk menghabiskan waktu. Semua rencana itu terdengar jelas ditengah keriuhan menyambut pulang pagi.
Alfameria, sebutan Aksa untuk Alfa dan Ameria, manganggap pulang pagi menjadi hal yang menyebalkan. Bagi mereka yang terbiasa hidup dengan rencana akan kebingungan dengan waktu yang tidak terjadwal.
Pixabay

“Mau ke perpus?” usul Alfa.
“Kan minggu besok kita kesana. Masa seminggu dua kali.”
“Toko buku?”
“Udah weekend kemarin. Novelku juga belum selesai semua.”
“Masa kita jalan ke mall.” Ucap Ameria murung.
Mall adalah salah satu tempat yang enggan mereka kunjungi. Keduanya pernah mengalami hal tidak menyenangkan. Semua itu terjadi ketika mereka ingin mencoba hal yang biasa dilakukan teman-temannya, jalan-jalan di mall. Hanya saja pilihan waktu yang kurang tepat sehingga meninggalkan kesan yang tidak mengenakan.
Saat itu ada sedang berlangsung meet and great artis. Acara yang diselenggarakan dalam rangka promo film terbaru. Film yang bercerita tentang gaya pacaran remaja yang kelewat batas sangat booming sekali. Terbayang kan betapa penuhnya pusat perbelanjaan saat itu. Bahkan pihak dari managemen mall mengerahkan petugas tambahan untuk mengamankan acara. Hal itu belum ditambah dengan pengamanan dari managemen artis sendiri.
Kejadian itu membuat mereka kapok. Masih terasa bagaimana penuh dan pengabnya gedung sebesar itu. Akhirnya setiap kali pergi ke mall, mereka selalu menghindari akhir pekan. Itu juga yang membuat mereka memilih toko buku langganan yang berada di gedung sendiri. Selain koleksi yang lengkap juga suasananya yang tenang dan kondusif untuk menjelajah.
Sebenarnya ada, sebuah tempat yang ingin Alfa datangi bersama Ameria. Sebuah tempat terbuka dengan angin yang bertiup cukup kencang. Hanya saja konsep tempat itu sangat berbeda dengan kebiasaan mereka selama ini. Yang menurut Alfa tidak akan disukai oleh America. Namun Alfa ingin sekali kesana.
Meski ragu untuk mengusulkan pergi kesana, apa salahnya mencoba. Paling kalimat sarkas Ameria yang akan Ia dengar sebagai bentuk penolakan. Dan mereka akan memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, menyelesaikan gunungan buku yang belum dibaca. Tempat paling nyaman tentu saja.
“Mer, kalau …”
“Alfameria!” Aksa berlari menghampiri mereka. “Mau langsung balik?” Aksa mengajukan pertanyaan untuk keduanya.
“Nggak tahu, nih. Lagi bingung juga mau kemana.” Jawab Ameria.
“Nonton pertandinganku aja.”
“Hah?”
“Anak-anak udah ada acara semua. Supporter bayaraku juga lagi sibuk.”
“Kamu serius?”
“Nggak percaya, ya? Gini-gini aku atlet, lho. Bener kan, Fa?”
“Iya. Aksa memang Atlit badminton. Pernah mewakili sekolah kita untuk ikut Porseni.”
“Serius! Kok kamu nggak pernah cerita sih, Al.”
Aksa tersenyum, “Jadi gimana? Kalian bisa datang kan?”
“Bisa-bisa.” Balas Ameria antusias. “Jam berapa tandingnya?”
“Jam dua. Cuma lokasi tandingnya lumayan jauh dari sini. Belum macetnya. Ini aku mau langsung kesana.”
“Oh iya bener. Harus pemanasan dulu ya.”
Aksa tertawa mendengar jawaban polos Ameria. “Aku tunggu disana, ya.” Aksa pergi terlebih dahulu. Bergabung dengan anak-anak yang sudah memenuhi halaman depan hingga gerbang sekolah. Membuat satpam kewalahan untuk memastikan murid-murid aman di jalan.
“Alfa, kamu tahu tempatmya kan?”
=====
Gelanggang olahraga siang ini sepi sekali. Nyaris tidak terdengar suara yang menunjukkan sedang berlangsungnya pertandingan. Meski halaman parkir cukup penuh. Ameria harus berulang kali memastikan bahwa Alfa tidak salah tempat.
“Percaya deh, Mer. Bener kok tempatnya disini.”
“Habis sepi banget.”
“Berarti lombanya udah mulai.”
Benar saja, ketika Ameria masuk melalui pintu sebelah barat gedung, dua orang remaja sedang beradu di dalam lapangan. Tepat saat Ameria duduk di salah satu bangku penonton pertandingan tersebut berakhir.
Tepuk tangan penonton pun menggema. Beberapa orang ada yang berdiri berteriak penuh semangat.
“Kita udah ketinggalan, ya? Tapi kan Aksa belum main.” Ameria menengok kanan kiri, penasaran karena ini adalah pertama kalinya menonton pertandingan secara langsung. Biasanya Ia hanya menyaksikan melalui layar TV saat menemani ayahnya. Itu pun hanya sebentar karena menurutnya tidak menarik.
“Belum. Yang barusan selesai itu perebutan juara tiga. Habis ini final, perebutan juara satu dan dua. Tuh Aksa.”
Alfa menunjuk laki-laki berambut cepak sedang berjalan ketengah lapangan. Ditangan kanannya yang memagang raket terpasang handband berwarna putih. Senada dengan warna kaosnya yang bercorak hitam.
“Kok kamu bisa tahu banyak sih, Al?”
Aksa melambaikan tangan. Ameria membalasnya dengan anggukan kepala kemudian tertawa lebar tanpa suara. Penampilan Aksa benar-benar membuatnya enggan memalingkan pandangan. Kaos jersey dengan celana pendek khas atlet itu benar-benar membuat Aksa terlihat berbeda, lebih segar dan percaya diri. Sangat berbeda ketika mengenakan seragam sekolah.
“Aku lumayan sering kesini. Setiap bulan pasti ada turnamen, kadang  basket, volley, futsal. Aku juga beberapa kali lihat Aksa tanding. Mer?”
Alfa memastikan sahabatnya masih duduk disampingnya. Karena sejak tadi Ia merasa seperti sedang bermonolog.
Dan benar saja, Ameria tidak menyimak setiap kata yang Alfa ucapkan. Dia sedang berbincang dengan Aksa. Meski jarak antara lapangan dan tribun penonton cukup jauh tidak menghalangi komunikasi tanpa suara itu. Ameria terlihat bahagia meski keringat mulai membasahi keningnya. Membuat poninya basah dan menempel di dahi.
Pixabay

“Mer?”
“Oh, gitu ya.” Jawab Ameria sedikit tergagap. “Panas ya disini.” Ameria mengibaskan telapak tangannya.
Alfa tersenyum. Dia tahu Ameria sedang gugup. Sahabatnya itu tidak pandai menyembunyikan sesuatu. Jelas sekali Ameria  tidak mendengar penjelasannya. Tapi Alfa tidak tersinggung, karena Ameria sahabatnya. Dan Dia berusaha menjaga perasaannya dengan bersikap pura-pura.
“Mau kubelikan kipas? Biasanya diluar banyak pedagang asongan yang jualan.”
“Nggak usah. Nggak apa-apa, nanti juga dingin sendiri. Eh, udah mulai tuh.”
Ameria benar-benar merasa tidak enak. Meski sudah berteman lama tapi sikapnya tadi benar-benar keterlaluan. Mengabaikan orang ketika berbicara bukan hal yang sopan dilakukan meski pada sahabat sendiri. Dan bunda pasti marah jika anaknya melakukan itu. Untung saja Alfa tidak menyadarinya, batinnya.
Pertandingan ini berlangsung sangat seru. Meski baru pertama kali melihat secara langsung, Ameria sangat menikmati. Ditengah udara yang lumayan panas tdak mengurangi keseruan menonton pertandingan
. Kemampuan Aksa dan lawannya sama-sama kuat. Skore mereka saling mengejar satu sama lain. Ketegangan nampak menyelimuti seluruh tribun. Semua penonton benar-benar fokus menikmati perpindahan bola antara Aksa dan pemain yang tingginya lebih rendah dibanding Aksa.
Bola melambung cukup tinggi. Dan itu dimanfaatkan Aksa dengan melakukan jumping smash. Bola bisa ditangkis oleh lawan. Hanya saja jatuh diluar garis sehingga menambah poin Aksa. Posisi Aksa unggul 1 poin.
Satu poin yang Aksa butuhkan untuk mengakhiri pertandingan ini. Serve pun dilakukan. Lawan yang memakai kaos berwarna biru itu bisa mengembalikan. Aksa menerima dengan baik. Reley panjang pun terjadi. Membuat jantung penontong semakin berpacu. Sayangnya lawan melakukan kesalahan dengan membuat bola melambung yang langsung dibalas Aksa dengan smash keras. Bola jatuh dekat di depan dan lawan terlambat menangkisnya.
Seketika suasana hening berganti dengan sorak kemenangan yang berasal dari bangku penonton. Ameria tidak ketinggalan. Dia bahkan melakukan standing applaus dengan teriakan yang penuh semangat.
Alfa pun melakukan hal serupa. Meski tanpa berusuara tawanya yang lepas menunjukkan betapa dia senang dengan kemenangan Aksa. Sejak awal Alfa sudah menduga keberhasilan teman sebangkunya itu.
Di kelas, Aksa termasuk murid yang biasa saja. Tidak masuk kedalam barisan belakang artinya murid dengan nilai terbawah. Juga tidak unggul seperti Alfa. Tapi kalau sudah berhubungan dengan lapangan, kemampuan Aksa patut diperhitungkan. Tidak heran kalau hari-hari di sekolah, Aksa lebih sering dijumpai berada di lapangan.
“Lho, udahan?”
Ameria melihat banyak orang meninggalkan bangku penonton.
“Iya. Ini hari terakhir dari rangkaian turnamen.”
“Ya … kirain bakal ada lagi.”
Alfa tersenyum melihat wajah kecewa Ameria.
“Mau langsung balik?” Ameria benar-benar kecewa mengetahui pertandingan benar-benar usai. “Atau mau nyamperin Aksa dulu?”
“Bisa?” Ops, keceplosan. Ameria terlalu antusias menyambut tawaran Alfa.
“Tuh Aksa manggil.”
Aksa melambaikan kedua tangannya. Memanggil kedua teman sekolahnya untuk segera turun.
“Selamat, ya!” Ucap Ameria diikuti Alfa. “Seru banget pertandingannya.”
Aksa tertawa. Dia malu mendapat ucapan dari Ameria. Wajahnya yang penuh keringat kembali meningkatkan suhu hingga membuat wajahnya memerah.
Disaat itu sebuah dering ponsel berbunyi.
“Dari mama.” Alfa menjawab tatapan penuh tanya Ameria. ”Aku angkat sebentar.”
Alfa berjalan menjauh untuk menerima panggilan. Meski demikian matanya tidak lepas dari Aksa dan Ameria yang berdiri berhadapan sambil bercakap-cakap. Dari sikap tubuh yang ditunjukkan, Ameria terlihat akrab sekali dengan Aksa. Padahal mereka tidak pernah berbincang sekalipun. Hanya kalau melihat kepribadian Ameria yang ceria, wajar saja jika dia mudah akrab dengan orang baru.
“Gimana?” Tanya Ameria saat Alfa sudah kembali.
“Mobil Mama mogok. Jadi aku harus jemput.”
“Yah, gimana dong? Aksa ngajak kita makan-makan.”
“Kalau Alfa nggak bisa ya ditunda aja.” Balas Aksa.
Alfa memandang satu-satu antara Ameria dan Aksa. Terlihat wajah penuh harap cemas Ameria. Dan Alfa tidak tega membuatnya berubah menjadi kecewa.
“Kalian aja, nggak pa-pa. Nanti aku bisa nyusul setelah ngantar mama pulang.”
“Ya Alfa. Terus aku bereng siapa?”
“Bareng aku aja.” Jawab Aksa cepat.
Aksa terkejut sesaat namun kembali bisa menguasai diri. “Iya, bareng Aksa aja. Nanti langsung ketemu ditempat makan.”
Meski demikian, terlihat raut kecewa di wajah Ameria. Tapi bagaimana lagi. Ia tidak mungkin melarang alfa menjemput mamanya. “Hati-hati, ya?”
Gedung olahraga itu Alfa tinggalkan dengan berjalan sendiri. Ameria masih menunggu Aksa yang masih harus mengikuti ceremony pemberian juara.
Kali ini berjalan sendiri terasa asing. Biasanya selalu ada celotehan ringan dari Ameria. Bisa tentang karakter novel yang dibaca, kekesalan karena alur cerita yang tidak jelas atau tentang banyaknya komentar yang masuk di akun Instagramnya. Semua itu seperti sebuah kebiasaan. Kini terasa berbeda. Entah dimana letak perbedaan itu. Alfa hanya merasakannya saja.






Jumat, 27 Maret 2020

SETELAH KAMU MENGHILANG

21.11 0 Comments


Pixabay

“Bu!!! Ada polisi.”
Butiran keringat menempel dipelipis Bi Marni. Bukan hanya itu nafasnya pun tersengal-sengal. Namun ibu sama sekali tidak terusik dengan ketegangan yang ditampilkan oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak  Rea belum dilahirkan. Ibu sudah terbiasa menghadapi Bi Marni yang sering berlebihan menghadapi beberapa situasi. Ingat kejadian Rea pingsan tapi Bi Marni mengatakan meninggal?
“Bu, Kayanya Bi Marni nggak lebay deh.” Rea mengingatkan.
Ibu pun melepas sarung tangan karetnya dan meletakkan cangkul kecilnya. Singkong-singkong didepannya sebenarnya ingin segera dicabutnya karena sudah harus dimasak mala mini agar etalase di kafe tidak kosong esok pagi.
“Memangnya Bi Marni habis lihat apa?”
“Polisi, Bu. Didepan rumah.”
“Rumah siapa?”
“Rumah kita. Ada banyak mobil dan orang-orang berpakaian hitam. Lagi  nunggu diluar. Saya nggak berani bukain pager. Takut.”
Kepanikan yang diperlihatkan Bi Marni sepertinya bukan sikap berlebihan.
Tanpa melepas celemek yang masih melekat Ibu langsung melangkah pergi. Rea menyusul dibelakangnya dengan Bi Marni yang berjalan takut-takut.
Kali ini bukan hanya Bi Marni, Ibu dan Rea pun lemas melihat halaman depan rumah sudah dipenuhi kendaraan milik aparat keamanan dan dua mobil sedan mewah. Pertanyaannya adalah siapa yang membukakan pagar rumah?
Dengan langkah cepat ketiga wanita tadi memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka itu. dengan dua laki-laki mengenakan setelan berwarna hitam seperti yang dikatakan Bi Marni serta dua polisi yang duduk dikursi teras.
Bisa ditebak betapa tegangnya wajah tiga wanita berbeda generasi itu. ibu bahkan tidak merasa perlu menyapa apalagi bertanya bagaimana orang-orang berpenampilan sangar itu bisa memasuki rumahnya. Yang Rea yakini sesuatu yang tidak beres pasti sedang terjadi. hatinya selalu berbisik semoga sesuatu itu bukan lagi hal yang mendatangkan kesedihan dirumahnya. Tahun boleh berganti tapi waktu, sejauh ini, belum mampu menghapuskan kesedihan yang pernah menghampiri tanpa permisi.
Ini bukan sinetron atau film yang penuh dengan dramatisasi. Tapi drama itu benar-benar sedang terjadi. secara tiba-tiba langkah ibu terhenti ketika sudah melewati pintu. Ibu hanya berdiri mematung tanpa memedulikan Rea dan Bi Marni yang nyaris menabraknya karena berhenti secara tiba-tiba.
“Ibu!” Rea memprotes. “Ada … apa?”
***
Pixabay

Bukan tanpa alasan polisi dan para bodyguard itu bertandang ke kediaman keluarga Rea. Para laki-laki yang bertugas memberikan pengamanan itu sedang mengawal mantan Presiden ke-5 Indonesia. Tentu saja kedatangannya tidak sendiri melainkan bersama istri juga anaknya.
Kedatangan salah satu tokoh penting Negara saja sudah memberikan kejutan yang tidak terduga bagi Pak Haryo. Jangan dikira perasaan bahagia yang sedang dirasakan. Perasaan itu masih 10% persen menyapa. Sisanya adalah gugup dan panic. itu belum ditambah dengan tujuan khusus yang dibawa.
Bi Marni datang dengan satu nampan penuh teh panas dan satu piring besar singkong goreng. Meletakkan satu per satu cangkir didepan enam orang yang duduk saling berhadapan. Rea berharap semua ini adalah salah satu mimpinya yang sebentar lagi menghilang bersama uap panas dari dalam cangkir putih itu.
Sajiansedap.com

“Sebelumnya kami mohon maaf sudah menganggu waktu istirahat Pak Haryo. Tapi sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kami Orang tua Albi. Tapi teman-temannya lebih sering memanggilnya Ben, betul begitu Anak Rea?”
Rea hanya menanggapi dengan anggukan pelan. Sangat pelan.
“Maksud kedatangan kami yang mendadak ini ingin menyambung silahturahim dengan keluarga Bapak.”
“Ba … baik, Pak. Te .. terimakasih atas kunjungannya.”
“Silahkan diminum. Singkong hasil panen dari sawah kami sendiri.”
Kalau berhadapan dengan orang, Ibu sangat bisa diandalkan dibanding Bapak. Ibu memang memiliki kemampuan diplomasi yang sangat bagus. Tentu saja kemampuan itu bukan turunan atau takdir seperti yang kebanyakan orang yakini bahwa kecerdasan itu menurun. Meski hanya menjadi istri petani, Ibu adalah sarjana komunikasi. Kemampuan itu juga yang mengantarkan Bapak menjadi seperti saat ini.
“Saya dengar dari Albi kalau Bapak jadi pemasok bahan baku disalah satu perusaan besar.”
“Ya … kebetulan tetangga menyewakan sawahnya untuk kami kelola. Bagi hasil dari kerjasama itu lumayan. Minimal sebagian besar masyarakat sini tidak pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik atau satpam karena merasa penghasilan dari bertani tidak cukup.”
Percakapan basa-basi yang dilakukan ibu itu rupanya tidak sekalipun mengalihkan kegelisahan hati Rea. Bukan karena kedatangan tamu besar atau karena kemunculan yang mengejutkan dari laki-laki yang duduk didepannya. Melainkan tujuan utama yang belum juga tersampaikan setelah percakapan panjang itu.
“Suguhan yang disajikan Ibu sangat memanjakan kami. Tentu saja itu bukan maksud kedatangan kami.”
Rea ingin sekali menarik nafas dalam lalu menghembuskannya lagi. hanya sekedar meredakan degup jantungnya yang tidak beraturan.
“Selain silahturahim, maksud kedatangan kami adalah untuk meminta putri bapak ibu, Nak Rea. Karena anak bungsu kami, Albi berkeinginan untuk meminang Nak Rea.”
“Sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih atas niat baik bapak sekeluarga. Saya mewakili bapak sangat senang atas maksud kedatangan bapak.”
Sesak semakin menghimpit Rea. Bukan hanya dari pertemuan dua keluarga atau tatapan Ben yang sejak tadi tidak berpaling yang hanya membuat Rea semakin terkunci dalam duduknya. Remasan di kedua tangannya pun semakin kuat.
Ibu menarik salah satu tangan Rea yang berkeringat dan menggenggamnya. Menegakkan duduknya, Ibu memandang putrid tunggalnya tersebut.
“Rea memang bukan gadis istimewa. Bukan pula seorang anak yang terlahir dari keluarga terpandang. Tapi Rea kami besarkan dilingkungan yang menjunjung tinggi norma-norma timur yang menjunjung tinggi kehormatannya. Pendidikannya juga tinggi meski hanya anak dari keluarga petani. Dengan latar belakang keluarga kami yang saya yakin sudah bapak ketahui. Saya atas nama suami menerima pinangan putra bapak, Albi.”
“Ibu … “ Rea mendesis menatap ibunya yang dengan percaya diri menjadi juru bicara itu.
Rea tidak habis pikir bagaimana mungkin Ibu membuat keputusan tanpa bertanya terlebih dahulu padanya. Memang seperti budaya yang dianut keluarga besar selama ini bahwa suami dari anak perempuan adalah tanggung jawab orang tua. Tapi bukan berarti tanpa mempertimbangkan pendapat seorang anak, bukan?
“Alhamdulillah.”
Ucap syukur tidak hanya ditunjukkan oleh kedua orang tua Ben. Bahkan Bapak pun merasa sangat lega mendengar kesepakatan yang baru saja terjadi itu.
“Kalau begitu kapan kita adakan pertemuan lagi untuk membahas tanggal pernikahan?”
Rea menatap sekaligus meremas tangan ibunya. Berharap ibunya mau memberikan sebuah kesempatan untuknya menyampaikan pendapat.
“Semakin cepat semakin baik. Bahkan kalau bapak ibu tidak ada rencana, sekarang pun bisa kita membicarakannya.”
***

“Ibu, kenapa nggak tanya Rea dulu?”
“Ini sudah adat keluarga, Rea. Ingat?”
“Tapi Rea ada disana. Bu. Rea bukan manekin yang bisa diatur sesuka hati. Pernikahan itu …”
“Kamu yang jalani?”
Rea terdiam mendangar kalimatnya dipotong Ibu dengan cepat.
“Bukan hanya persoalan adat keluarga Rea. Ibu tahu kamu juga menginginkan pernikahan ini terjadi. Ben keluarga terpandang yang dengan jelas menginginkan kamu menjadi bagian keluarga mereka. Tidak ada yang salah dari semua ini.”
“Salah, Bu. Semua ini salah. Justru karena Ben dan keluarganya pernikahan ini adalah kesalahan.”
“Dibagian mananya Ben salah?”
“Ibu nggak ngerti. Rea nggak bisa nikah dengan Ben.”
“Kenapa?”
“Karena … karena …”
“Karena Ben usianya lebih muda dari kamu? Karena Ben anak mantan pejabat?” cecer Ibu.
“Karena Rea sudah bertunangan!!!”
“Dendra sudah meninggal, Rea. Dia sudah pergi dua tahun yang lalu.” Sahut Bapak dengan suaranya yang dalam.
Tidak ada yang bersuara setelahnya. Hanya Rea yang akhirnya menjatuhkan air mata dipipi.
“Kedua orangtua Dendra sudah ikhlas. Kami semua sudah ikhlas. Cincin yang kamu kenakan itu tidak memiliki arti apa-apa lagi.” Bapak menatap lingkaran emas dijari manis anaknya. Lalu berindah pada wajah Rea yang bersimbah air mata. “Lepaskan.”
Wajah Ayu Rea memandang tidak percaya pada Bapak dan Ibu secara bergantian. Tidak percaya karena memutuskan pernikahan secara sepihak. Tidak percaya karena meminta anaknya melepaskan cincin pertunangan dengan begitu mudah.
Rea bangkit dari duduk dan pergi tanpa berucap sepata kata pun.
“Pernikahan ini untuk kebaikanmu Rea. Karena kami …”
Debaman pintu menjadi jawaban perkataan bapak yang belum usai.
“Karena kami menyayangimu.” Lanjut Bapak lirih.
Sepasang suami istri yang rambutnya mulai memutih itu kembali menyambut duka. Sangat mengerti kehilangan yang pernah dialaminya putrinya. Bahkan mereka pun merasakan hal yang sama. Hanya tidak pernah mengira bahwa ratusan hari yang sudah terlewati belum juga membawa pergi duka yang tersisa.
Ibu meraih telapak tangan Bapak. Menggenggamnya lembut.
“Rea pasti bisa ikhlas, Pak. Rea pasti bisa menerima Ben.”
“Entahlah, Bu. Bapak bahkan tidak apa yang Rea rasakan selama ini.”
“Percaya saja, Pak. Rea hanya perlu sedikit waktu lagi untuk menerima Ben.”
“Maksud, Ibu?”
“Menurut Bapak, dari mana keluarga Pak Yudho melamar Rea?”
“Entahlah. Tuhan yang mengirim?” jawab Bapak tidak yakin.
“Melantur Bapak ini.”
“Lah bisa saja tho. Namanya jodoh Cuma tuhan yang tahu.”
“Rea dan Ben itu sudah lama saling kenal. Kalau nggak salah sekarang Ben itu jadi suplyer tetap di kedai kopi Rea.”
“Ya itu kan cuma urusan pekerjaan Bu.”
“Bapak aja yang nggak tahu. Ben itu beberapa kali pernah ke rumah pas antar Rea pulang.”
“Jadi ibu udah kenal Ben lama?”
“Ya tahu aja Pak.”
“Berarti ibu juga tahu kalau Ben anaknya mantan presiden?”
“Nah kalau itu ibu juga baru tahu.” Ibu menyesap the yang sudah dingin. “Ibu tadi beneran takut ada apa-apa, Pak. Rumah didatangi polisi. Ibu pikir bapak jadi korban tabrak lari.”
“Emang ibu aja. bapak juga hampir kena serangan jantung. Pulang dari sawah ditungguin mobil polisi. Kirain rumah kita habis dirampok.”
Ya, perbincangan itu sudah melenceng jauh. Secepat itulah topic pembicaraan itu berganti. Seolah persoalan yang sedang mereka hadapi semudah mencabut singkong di kebun belakang atau menanamnya di sawah.
Padahal disalah satu ruangan dirumah besar mereka, termenung Rea seorang diri. menangisi sesuatu yang sudah lama meninggalkannya atau kebahagian yang datang terlalu cepat hingga gagal menginterpretasikannya dengan benar.
Ben, siapa lagi seseorang yang selalu gagal dipahami Rea. Meski hati kecil Rea berusaha menerobos dinding penolakan yang Rea bangun. Usaha yang begitu gigih itu pun meruntuhkan sedikit demi sedikit tembok pembatas. Yang kini telah mengibarkan bendera kemenangan. Sedikit lagi Rea akan menyadari bahwa Ben adalah laki-laki yang tepat dari segala perbedaan yang semu itu.
Benar kata ibu, bahwa Rea hanya perlu sedikit waktu lagi. tambahan kesempatan untuk mengumpulkan kepingan kepingan hati yang selama ini tercecer yang akan disatukan dan membentuk nama Ben dihatinya.
Tidak hanya semesta yang mendukungnya. Bahkan jika Tuhan memberi kesempatan, Dendra akan menyemangatinya untuk kembali mencinta tanpa perlu melupakan cinta yang pernah hadir sebelumnya.



Rabu, 25 Maret 2020

Alfameria_ CHAPTER II

01.16 10 Comments

  
Tiga puluh pasang meja dan kursi berbaris rapi membentuk tiga baris memanjang. Semua penghuninya sedang menatap serius pada selembar kertas yang berisi 5 soal fisika. Enam puluh menit sudah berlalu tapi tidak satu pun kepala yang mendongak. Semuanya menunduk memastikan rumus yang mereka gunakan untuk memecahkan kode-kode yang diciptakan oleh Newton berabad-abad lalu.
Pak Robby tengah duduk di mejanya sambil memeriksa jawaban dari kelas sebelumnya. Sang guru fisika tersebut tidak perlu berjalan berkeliling untuk memastikan murid-muridnya bersikap jujur. Karena soal-soal yang Ia berikan sudah cukup menyita perhatian murid-murid sehingga tidak akan memiliki kesempatan untuk bertindak curang.
Bel sekolah berbunyi. Tanda jam pelajaran telah usai sekaligus berakhirnya masa penyiksaan otak bagi murid-murid kelas XII IPA 3. Tentu saja layak disebut penyiksaan karena dua jam terakhir sebelum jam sekolah selesai adalah masa-masa otak berada dalam gelombang beta. Kalau disederhanakan menjadi jam tidur siang. Seharusnya waktu-waktu tersebut sebaiknya diisi dengan pelajaran agama atau sejarah yang sangat cocok untuk dongeng sebelum tidur.
“Yang duduk paling belakang silahkan mengumpulkan jawaban teman-temannya.” Perintah Pak Robby.
Seketika keheningan kelas musnah. Berganti dengan suara lega siswa meski tidak ada yang puas dengan jawaban soal fisika tetapi mereka merasa senang bisa segera pulang.
“Langsung balik, Fa?” tanya Aksa sambil menutup tasnya.
“Biasanya gitu.”
“Bareng Ameria?”
“Biasanya.” Jawab Alfa singkat.
“Dari dulu aku penasaran dengan hubungan kalian.”
Alfa menyimak.
“Kalian yakin cuma sahabatan?” tanya Aksa heran. “Nggak pernah punya perasaan khusus gitu? Ya, tahulah.”
“Suka maksudnya?”
“Ya, mungkin. Setiap orang punya definisi sendiri-sendiri.”
“Tentu aku menyukai Ameria. Dia tipikal cewek yang menyenangkan untuk diajak ngobrol dan jalan. Asik aja.”
Aksa tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. “Okay.”
“Kenapa emang?” selidik Alfa.
“Nggak. Cuma penasaran aja. Yaudah, duluan ya.”
Aksa meninggalkan Alfa yang masih belum menyelesaikan aktifitas merapikan peralatan sekolah sebelum pulang. Percakapan singkat dengan teman sebangkunya sejak kelas X itu membuatnya harus menunda memasukkan buku-buku kedalam tas.
“Alfa!”
Suara ringan dan penuh semangat sudah menantinya di depan kelas. Siapa lagi kalau bukan Ameria. Tas ransel berwarna merah dengan sebuah totebag dibahu kiri membuat tubuh mungilnya semakin tenggelam.
Alfa bergegas. Tidak ingin sahabat terbaiknya itu menunggu terlalu lama dengan barang bawaan yang lebih besar dari badannya sendiri.
Langkah yang Alfa niatkan untuk bergerak cepat mulai melambat. Pandangannya menangkap Ameria sedang berbincang dengan Aksa di pintu kelas. Iya, dipintu. Menghalangi satu-satunya jalan keluar.
“Jangan lupa, ya.”
Alfa menangkap senyum bahagia tercipta di bibir Ameria usai teman sebangkunya itu pergi.
“Hei.”
“Al,”
“hhmm”
“Jadi teman sebangku kamu itu bukan kapten basket?”
“Bukan.”
“Ya ampun, pantes kok dia ketawa waktu kutanya soal badminton.”
“Maksudnya?”
“Tadi kita sempet ngobrol dikit. Say hello gitu deh. Terus dia nawarin aku buat datang di Tournamen Badminton. Kutanya dong siapa yang main, eh dijawabnya dia salah satu atlit peserta.”
“Kok bisa kamu nyangkain kalau Aksa itu kapten basket?”
“Ya, aku sering lihat dia main basket. Badannya juga tinggi cocok lah jadi anak basket. Terus … “ Ameria sedikit ragu bahkan malu-malu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ganteng.” Alfa menambahkan.
Ameria hanya menjawab dengan cengiran lucu. “Tunggu, kalau Aksa bukan kapten basket. Terus siapa dong?”
Alfa merasa kesal dengan senyum Ameria. Entah apa alasannya. Dia hanya merasa tidak suka dan memilih berjalan lebih dulu.
“Al, tunggu dong. Jalannya jangan cepet-cepet. Berat nih.”
Alfa mendesah. Rasa kesalnya selalu dikalahkan oleh empatinya sebagai sahabat. Dia pun melangkah mundur lalu mengangkat tas yang ada di bahu kiri Ameria tanpa bicara.
Pinterest

Diperhatikan begitu selalu membuat Ameria senang. Dimatanya Alfa benar-benar sahabat sejati. Selalu ada saat Ia membutuhkan. Selalu membantu bahkan saat ia sendiri tidak tahu apa kesulitannya.
Kalau ditanya apakah dia tidak memiliki perasaan pada Alfa maka dengan tegas akan menjawab ‘ada’.
Perasaan itu pernah muncul ketika masih duduk di kelas X. Tepat setelah tiga bulan hubungan persahabatan itu berjalan. Ameria berusaha menunjukkan pada Alfa tentang perasaannya. Tapi Alfa tidak pernah menangkap sinyal-sinyal yang Ia kirimkan. Hingga Ameria merasa bahwa Alfa hanya tertarik untuk menjalin persahabatan saja dengannya.
“Alfa tunggu!” Ameria harus berlari untuk bisa menyusul langkah Alfa yang lebar. Ia harus mengerahkan energinya dua kali hanya agar bisa menyesuaikan langkah orang-orang giganteus. Istilah yang Ameria buat untuk orang-orang yang lebih tinggi darinya.
“Kamu marah gara-gara aku bilang Aksa ganteng?”
“Untuk apa aku marah?”
“Ya kali kamu nggak suka aku bilang Aksa ganteng.”
Alfa memilih tidak menjawab dan mempercepat langkahnya. Ia bahkan mengabaikan getaran ponsel dari saku celananya.
“Alfa! Nyebelin banget sih.”
Alfa terpaksa menghentikan langkah dan berbalik malas karena dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Berdiri bersedakap dengan wajah ditekuk dan bibir yang dimajukan. Itulah yang terjadi dengan sahabatnya saat ngambek.
“Astaga, Mer.” Ameria memalingkan wajahnya. “Aku nggak tahu harus bersikap apa saat kamu bilang Aksa ganteng. Nggak mungkin kan aku loncat-loncat kegirangan. Aku cowok, dimataku semua cowok itu sama. Memangnya kamu nggak serem lihat aku bilang cowok ganteng sambil tersipu kaya kamu barusan.”
“Bener?” bibir monyong Ameria mulai kembali ke bentuk semula.
“Iya.”
“Terus ngapain kamu jalan cepet-cepet gitu?”
Kadang Alfa bisa kehabisan akal menghadapi sikap Ameria. Kalau bukan karena besarnya rasa sayang seorang sahabat mungkin Ia tidak akan peduli meski Ameria mengamuk.
“Tante Marisa udah nunggu di depan. Kamu dari tadi ditelponin nggak bisa.” Alfa menunjukkan layar ponselnya yang berkedip dengan memunculkan nama Tante Marisa.
“Kenapa baru bilang. Bunda kan nggak suka nunggu.”
Seperti dikejar anjing galak, Ameria berlari seketika. Tubuhnya memang kecil yang tingginya tidak sampai 160 cm tetapi larinya cepat dan gesit. Alfa bahkan ikut berlari untuk bisa segera menyusul.
Rasa kesal yang membuat hatinya berkabut hilang seketika. Wajah panik Ameria yang takut karena telah membuat Tante Marisa menunggu menumbuhkan senyum diwajah Alfa.
====

“Pagi, Tante.”
“Hey, Alfa. Pas banget kamu datangnya. Tante baru aja selesai bikin cookies. Nyobain resep yang suka berseliweran di Youtube.” Tante Marisa mengeluarkan toples kaca dari salah satu kabinet yang ada di dapur. “Tante setengah mati dibuat penasaran sama Youtuber yang nggak pernah kasih lihat mukanya itu. Kok bisa bikin kue pake bahan minuman instan.”
Selagi Tante Marisa memasukkan kue kering berbentuk bulat kedalam toples, Alfa mencomot satu dan memakannya dalam sekali suap.
“Gimana?” tanya Tante Marisa penasaran.
“Entahlah.” Alfa memakan satu cookies lagi. Kali ini dengan penuh penghayatan. Dengan mata yang sesekali memejam seolah sedang mengerahkan seluruh kekutan pada indera perasanya.
Tante Marisa benar-benar sedang menanti pendapat Alfa tentang kue buatannya itu. hanya saja, setelah Alfa berhasil menelan kue kedua, mulutnya mengunyah kue ketiga lalu keempat. Saat tangannya hendak mengambil kue kelima, Tante Marisa segera menutup toples.
“Ngincip apa doyan?” Tante Marisa meninggalkan Alfa yang tergelak dengan mulut penuh makanan.
“Sekarang trend-nya tukang ngincip yang doyan, Tan.”
“Bisaan ya, kamu itu.” Tante Marisa menyalakan TV kemudian duduk di sofa berwarna putih. “Sini temenin Tante ngabisin kue sambil nonton TV.”
“Drama korea, Tan?”
“Waktu Tante nggak sebanyak Ameria yang bisa menghabiskan satu drama dalam 24 jam.”
tvseriesfinale.com

Pada layar datar itu sedang menampilkan sebuah regu pemadam kebakaran sedang melakukan pencarian didalam kargo pesawat. Tidak lama kemudian petugas tersebut menemukan sebuah kardus besar. Ketika dibuka kubus berukuran sangat besar itu berisi seorang pria yang lemas karena terjebak didalamnya selama berjam-jam.
“Tante lagi suka lihat film-film penyelamatan kaya gini.”
Laki-laki yang diperkirakan berusia 20 tahunan tersebut menderita hipotermia. Sehingga petugas berseragam biru tersebut menyelimutinya dengan selimut khusus untuk menghangatkan.
“Orang mungkin lebih mengenal Batman, Spidermen, Kapten Amerika, bahkan Gundala sebagai superhero. Tapi buat Tante merekalah superhero sesungguhnya. Seorang manusia biasa yang memilih berprofesi sebagai seorang penolong.”
Adegan berganti saat pemuda tadi akan dimasukkan kedalam ambulan. Kemudian seorang petugas memberikan ponsel padanya.
“Lihat wanita yang bernama Maggy. Dia berusaha keras untuk menyelamatkan pemuda itu hanya dengan suaranya. Dia meyakinkan pemuda itu untuk yakin bahwa dia pasti selamat. Bukan hal mudah tentu saja.”
Narasi panjang yang diberikan Tante Marisa benar-benar membuat Alfa terhipnotis. Perhatiannya berpusat pada adegan demi adegan yang Ia saksikan di layar televisi. Hingga membuatnya lupa tujuannya datang kesana.
Kisah penyelamatan pemuda yang terjebak dalam sebuah kardus membuat sebuah ketukan lembut dalam hatinya. Getaran itu berlanjut kemudian mengirimkan sinyal-sinyal pada otaknya untuk dibuatkan bentuk visual. Namun, belum sempat imajinasi itu terjadi sebuah suara yang khas ditelinganya bergema.
“Diihh, malah asik nemenin bunda nonton TV. Jadi pergi nggak?”
“Gimana nggak asik. Nungguin kamu dandan aja lama banget. Padahal tambah cantik juga nggak. Gimana mau punya pacar.” Bunda menyahut.
“Cantik dan punya pacar itu nggak ada hubungannya kali, Bun. Yuk, berangkat. Keburu tutup toko bukunya.”
Sepertinya Ameria sedang berada di zona peralihan, antara dunia nyata dengan dunia fiksi yang dibacanya semalaman. Sehingga Ia tidak tahu sedang di dunia mana saat ini. Padahal matahari sedang bersemangat menyinari bumi dan disambut gembira oleh kepakan sayap kupu-kupu mencari sari bunga malah disangkanya sudah malam.
Ameria mencium tangan bundanya untuk berpamitan. Disusul Alfa sambil mengucapkan terima kasih karena sudah diberi kesempatan mencicipi cookies buatannya.
“Kuenya beneran enak, Tan.”

====

Akhirnya buku bersampul putih itu berhasil Alfa temukan. Setelah berjalan mengelilingi toko buku. Beralih dari satu rak ke rak yang lainnya.
Sebenarnya mudah saja jika ingin membeli sebuah buku tanpa harus mencari satu per satu. Tinggal menggunakan komputer yang sudah disediakan lalu masukkan judul buku atau nama penulisnya. Maka katalog digital tersebut akan menemukannya dengan menunjukkan  kategori dan ketersediaannya saat ini.
Tentu saja hal itu tidak dilakukan anak-buku seperti Alfa dan Ameria. Berkunjung ke toko buku seperti hangout di mall bersama teman.

Setelah menemukan salah satu buku karangan David Wallace-wells, Alfa mencari Ameria. Tidak sulit mencari gadis mungil diantara lautan buku ini. cari saja diantara rak buku-buku fiksi. Disanalah satu-satunya sudut toko buku yang bisa menahan Ameria hingga berjam-jam lamanya.
Nah, itu dia. Satu-satunya perempuan yang masih mengenakan penutup kepala berbahan rajut ditengah hebohnya bunny hat. Alfa langsung menemukan Ameria bahkan saat Ia masih dibagian buku-buku bahasa yang letaknya dipaling ujung.
“Mau dibeli semua?”
Ameria mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari buku yang sedang dibaca. Disampingnya ada tas yang hampir penuh dengan buku.
“Winna Effendy, Winna Effendy, Ilana Tan, Prince Charming? Move on?” Alfa menaikkan satu oktaf pada nada suaranya. “Mau sampai kapan kamu baca buku ginian?”
“Buku ginian?” Ameria menurunkan buku yang sejak tadi menutupi wajahnya.
“Ya gini. Buku-buku yang bahas cinta-cintaan yang terlalu sulit ditemukan dalam dunia nyata.”
Ameria menutup bukunya. Kemudian mengambil sebuah buku yang ada ditangan Alfa.
“Bumi Yang Tak Dapat Di Huni. Kamu sendiri ngapain baca buku ginian?” balas Ameria ketus.
“Ginian? Kamu tahu nggak buku ini tuh berisi tentang betapa kacaunya bumi saat … “
“Udah deh, Stop book shaming … “
“Setiap orang punya selera masing-masing.” Ucap keduanya bersamaan.
Alfa meringis. “Sorry, khilaf.”
Mereka sudah sepakat untuk tidak mengomentari pilihan bacaan orang. topik-topik tentang buku fisik atau buku digital, fiksi atau non-fiksi semuanya memiliki sisi baik dan buruk. Semua itu kembali pada selera masing-masing.
“Udahan, yuk? Haus banget.” Ameria mengambil ponsel di dalam tas. “Astaga! Udah tiga jam kita disini.”
Ameria nyelonong sendiri menuju kasir. Melupakan tas yang berisi buku-buku yang akan dibelinya. Juga sahabatnya yang hendak berucap sesuatu karena lawan bicaranya sudah pergi.
====
“Mau makan apa?”
“Minum aja deh. Makan dirumah aja. Bunda udah masak. Nanti ngomel lagi kalau anaknya nggak makan dirumah.”
Mereka sudah tiba disebuah coffe shop. Letaknya sangat dekat karena masih satu gedung dengan toko buku langganan mereka. Hanya berbeda lantai saja. toko buku berada dilantai atas sementara kafe berada dilantai dasar.
“Yaudah. Kamu mau minum apa?”
Salted caramel milkshake sama air mineral, deh.”
“Oke. Tunggu bentar, ya.”
Setelah Alfa pergi untuk memesan, Ameria kembali disibukkan dengan hasil belajanya. Setelah memastikan meja dihadapannya bersih, Ameria mengeluarkan semua buku-buku tersebut. Menatanya sedemian rupa sehingga tampak menarik saat dilakukan pengambilan gambar.
Satu bidikan berhasil diambil. Tetapi Ameria masih merasa belum cukup. Ia lalu mengubah sedikit kompisisinya dengan mengubah posisi buku.
Alfa sudah kembali dengan nampan berisi dua gelas besar dan satu botol air putih. Ia mendesah melihat sahabatnya itu meliuk-liukkan badan demi mendapatkan sebuah foto.
“Nggak bisa dirumah aja?”
“Hari ini aku belum posting sama sekali. Nyampe rumah pasti nggak sempet. Harus mandi dulu lah, makan dulu lah. Belum alarm peringatan untuk belajar.” Setelah blitz berkedip barulah Ameria berdiri tegak seperti manusia normal. “Cukuplah. Nanti tinggal edit dikit.”
Ameria segera mematikan ponsel, menyimpan kedalam tas lalu membereskan buku-buku dari atas meja. Setelah Alfa meletakkan semua pesanan diatas meja, Ameria langsung mengahabiskan sebotol air dalam sekali teguk. Alfa hanya bisa berdecak dengan sikap tidak sabarannya.
“Lega akhirnya.” Ameria mengusap dahinya yang berkeringat. “Dehidrasi deh, aku.”
“Kupluk kamu basah tuh. Kena keringat.”
Ameria memegang ujung penutup kepalanya. Memang terasa lembab. “Biarin aja, deh.”
“Tapi, Mer. Kamu perlu memperkaya bacaan deh. Aku nggak meremehkan suma, ya, sesekali keluar dari kebiasaan aja.”
“Selama novel aku mau.”
“Kamu anti banget sama buku non fiksi.”
“Bukan anti. Mauku selesai baca itu seneng, fresh makanya aku lebih suka baca teenlit karena ceritanya ringan.”
“Ehm … “Alfa sedang berpikir. “Coba seri Dark Guardiannya Rachel Hawhorne, deh. Fantasi sih tapi asik kok. Ada cinta-cintaannya juga.”
“Kamu baca novel? Serius?”
Alfa mengangguk sambil menyeruput Americano hangatnya.
“Terus kenapa kamu ngomel terus kalau aku baca novel?”
Alfa mengangkat bahunya ke atas, acuh. “Iseng, aja.”
“Alfa!”
 “Tunggu, ada chat dari bunda.”
Ini salah satu aturan tidak tertulis yang mereka sepakati. Tidak menggunakan gawai untuk aktivitas media sosial ketika bersama. Keculi untuk hal-hal tertentu seperti panggilan dari orang tua dan mereka memberi nada khusus sebagai pemberitahuan.
“Bunda nanya kapan kita pulang. Aku bilang sejam lagi sampai rumah.” Ameria membaca dan menjawab isi pesan dari Tante Marisa agar juga Alfa mengetahuinya. Setelah mengirim balasan itu, sebuah notifikasi dari Instagram muncul. Dan isinya tidak sengaja terbaca olehnya.
“Kamu tahu nggak? Follower instagram aku udah sampai 3000. Hari ini mungkin lebih.”
“Tahulah. Kamu lupa kalau aku salah satu dari 3000 akun itu.”
Ameria menjawab dengan menunjukkan deretan giginya yang rapi.
“Mau sampai kapan kamu aktif di komunitas itu?”
“Sampai semua orang biasa membaca buku.”
Alfa mendesah. “Itu sama aja kaya kamu lagi nunggu perdamaian antara Palestina dan Israel.”
“Kiamat, dong” balas Ameria. ”Ya nggak apa-apa. Biar lama tapi kan pasti terjadi. Meski entah kapan.” Ameria meminum milkshake melalui sedotan. “Kamu tahu nggak, salah satu pengikutku nge-DM aku. dia bilang bahwa sejak mengikuti postinganku dia mulai baca buku. Padahal awalnya dia follow aku karena dia suka sama konsep feed IG aku yang sederhana dan klasik.”
“Kita tuh nggak bisa maksa orang buat ngikutin kesukaan kita. Lagi pula media sosial bikin orang lupa waktu”
“Emang. Tapi kita nggak bisa menilai dari salah satu sisi aja. Lihat, ada banyak orang yang terbantu dari medsos. Ya, meski banyak juga yang akhirnya kena musibah. Tapi kan kita bisa ngasih pengaruh positif untuk banyak orang. Makanya influenzer sekarang pertumbuhannya kaya pengguna facebook.” Ameria mengakhiri teorinya dengan senyum percaya diri.
“Analogi kamu tuh sama sekali nggak nyambung.”
Ameria mengangguk setuju lalu tertawa bersama Alfa. Tawa yang selalu mengiasi percakapan tentang penilaian terhadap sesuatu.
“Alfameria?”
Dua orang pemilik nama langsung menghentikan tawa. Dan mencari sumber suara yang menggabung kedua nama mereka.
“Aksa? Disini juga?” Ameria menyambut dengan antusias.
“Iya lagi beli minum terus lihat kalian.”
“Sendirian?” tanya Alfa.
“Sama nyokap tapi lagi belanja. Tuh disana.” Aksa menunjuk pada seorang wanita yang ada di sebuah gerai baju tepat di depan kafe.
“Gabung yuk?” Ajak Ameria.
“Thanks. Tapi lain kali aja. Nggak enak kalau dicariin nyokap. Yaudah, aku duluan ya?”
Alfa dan Ameria memerhatikan Aksa yang berjalan keluar kafe. Perhatian itu bahkan berlangsung sampai Aksa menghampiri mamanya yang sedang memilih baju.
“Lucu, ya? Masih ada aja anak milenial yang nemenin mamanya jalan. Nggak kaya …” Ameria melanjutkan ucapannya dengan lirikan mata yang ditujukan pada Alfa.
“Kalau tiap weekend aku nemenin mama jalan lalu yang bawain belanjaan buku kamu siapa?”
Lagi-lagi Ameria hanya bisa meringis. “Makasih udah nemenin aku kemanapun aku pergi.”
“Lebay, deh. Pulang yuk?”







Follow Us @soratemplates