Selasa, 31 Maret 2020

# Alfameria # Fiksi

Alfameria_CHAPTER III



Jam kosong bagi sebagian besar murid SMA Persada adalah golden moment. Mereka bisa berada di sekolah tanpa harus dibuat stres oleh kimia, fisika, matematika, akuntansi dan huruf kanji untuk anak bahasa. Meski seharusnya mereka harus didalam kelas karena selalu ada tugas yang harus mereka kerjakan.
Pixabay

Ada dua tempat utama yang menjadi konsentrasi siswa, kantin dan halaman sekolah. Mereka biasanya akan menghabiskan sebagian besar waktu dengan jajan dikantin sambil bergosip, melakukan permainan di lapangan atau hanya sekedar duduk di taman.
Begitu juga dengan Alfa, biasanya dia akan duduk di pojokan perpustakaan menghabiskan buku yang Ia bawa dari rumah atau buku-buku yang ada diperpustakaan. Salah satu koleksi perpustakaan SMA Persada yang menjadi favoritnya adalah buku-buku biografi.
Golden moment kali ini Alfa habiskan dengan duduk di taman. Ia sedang malas untuk berjalan menuju perpustakaan yang jaraknya cukup jauh dengan kelasnya.
Sebuah meja semen dibawah pohon ketapang kosong, disanalah Alfa akan menghabiskan dua jam kedepan. Tujuh belas menit berlalu tapi buku dengan warna sampunya yang mulai pudar masih tertutup. Mata penuh kesedihan dari gadis kecil yang ada disampul itu seperti kehilangan daya tariknya.
“Alfa, Alfa lihat, deh. Aku panen DM lagi.” Ameria menghampiri Alfa dengan semangat. Dan langsung menunjukkan kolom direct message di akun Instagram miliknya yang diberi nama @amrbookland. “Mereka minta rekomendasi novel-novel yang diangkat dari kisah nyata.” Alfa masih belum menanggapi.
“Aku jarang baca novel gituan, jadi koleksiku nggak banyak. Buku apa ini?” Ameria mengambil buku yang ada di hadapan Alfa. “Three cups of Tea, boleh juga nih. Setting tempatnya juga keren, Himalaya.”
Alfa hanya menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Ameria. Kali ini dia memakai bandana dengan simpul ikatan dipuncak kepala. Rambutnya diikat agak tinggi sehingga bergoyang-goyang setiap kepalanya bergerak. Seperti sekarang ketika sedang membicarakan permintaan dari pengikut di akun instagramnya. Tidak hanya tangannya, bibir, mata bahkan alis semuanya bergerak. Ameria selalu bersemangat dan antusias terhadap hal yang disukainya.
“Menurut kamu gimana?”
“Buat polling aja. Pake feature yang ada diinstastory.”
“Oh iya. Kok aku nggak kepikiran ya? Padahal aku sering lihat di akun bookstagram lain.”
Ameria kembali mengarahkan matanya untuk fokus pada layar ponsel. Keriuhan yang terjadi seperti tidak membuatnya terganggu, sedikit pun. Anak-anak cheerleader yang sedang berlatih, lapangan yang dipenuhi teriakan saling mengumpan bola atau sekelompok murid perempuan yang histeris penuh semangat melihat permainan  kapten basket sekolah pun berlalu begitu saja.
“Kamu nggak capek? Tiap hari mikir buat bikin postingan, jungkir balik cuma buat foto bahkan kamu nggak kenal sama follower kamu.”
“Karena aku suka.” Menulis tetapi mulutnya ikut bergerak. Mirip seperti mbah dukun mengucap mantra. Begitulah salah satu tanda ketika Ameria sedang serius dengan satu hal. Jika hal itu terjadi, jangan baper dengan jawaban singkat atau diabaikan.
“Nggak jelas.” Alfa mencemooh.
“Sahabat terbaikku Alfa,” Ameria meletakkan ponsel pintarnya. “Tidak ada satu hal di dunia ini yang tidak memiliki kejelasan. Bahkan ketika Mr. Mark menciptakan Instagram juga punya tujuan.” Ucap Ameria diplomatis.
“Biar dia dapat uang.”
Ameria mencondongkan badannya. Memandang tepat kedalam mata Alfa. “Sebuah senyuman yang tercipta dari usaha kita lebih berharga dari permata.”
Wajah Ameria begitu dekat. Nafas Alfa nyaris berhenti ketika bola mata Ameria terlihat sangat jelas. Alfa terkunci. Namun, sedetik kemudian dia memalingkan wajah untuk mengambil oksigen sebanyak mungkin.
“Teori absurd apalagi itu.” Alfa kembali bersuara ketika dadanya kembali bergerak tenang.
“Profesor Marisa Hanafi.” Ameria tergelak sendiri setelah menyebut nama bundanya dengan gelar tertinggi dari seorang dosen. Alfa sendiri tanpa sadar ikut tertawa meski tidak bermaksud untuk menertawakan.
“Kayanya kamu harus tinggal dipedalaman hutan kalimatan dulu, deh. Terus kamu selamatin Orang utan, Anakonda, dan semua hewan-hewan yang jadi korban kebakaran. Jadi kamu nggak perlu capek-capek memahami teori absurd tadi.” Lajutnya dengan teori yang lebih absurd lagi.

“Aku tuh nggak ngerti sama rencana kamu, ya. Ikut casting cuma buat pembuktian. Milih kuliah di IKJ juga cuma untuk memastikan pilihan. Terus sekarang sibuk ngurusin Instagram. Sebenarnya kamu mau fokus dimana sih?”
“Fokus sama hal yang aku suka.”
Alfa hanya memberikan cibiran. Kemudian menarik kembali buku yang sejak tadi belum dibacanya.
“Alfameria!”
Sebuah bola berwarna oranye bergerak. Memantul semakin lama semakin rendah. Kemudian menggelinding ke bawah kaki Alfa. Hanya saja Ia tidak menyadari sesuatu menyentuh sepatu hitamnya. Ameria yang mendengar namanya dipanggil mengetahui kedatangan bola basket itu lalu melemparnya.
“Makasih ya, Mer.” Aksa tersenyum.
Jam kosong menyumbangkan lembar penuh warna dalam buku cerita masa abu-abu. Bahkan jika hanya dihabiskan dengan duduk dan mengobrol. Tapi dari obrolan itulah, baik singkat atau panjang, akan menjadi penentu pada detik kemudian.
====
“Mati gaya deh kita.” Ucap Ameria lesu.
Ucapan Ameria sangat bertolak belakang dengan teman-temannya. Mereka berhamburan keluar kelas dengan penuh rencana. Ada yang pergi ke mall sekedar jalan-jalan, hunting kafe yang lagi trending atau pergi ke rumah teman sekedar untuk menghabiskan waktu. Semua rencana itu terdengar jelas ditengah keriuhan menyambut pulang pagi.
Alfameria, sebutan Aksa untuk Alfa dan Ameria, manganggap pulang pagi menjadi hal yang menyebalkan. Bagi mereka yang terbiasa hidup dengan rencana akan kebingungan dengan waktu yang tidak terjadwal.
Pixabay

“Mau ke perpus?” usul Alfa.
“Kan minggu besok kita kesana. Masa seminggu dua kali.”
“Toko buku?”
“Udah weekend kemarin. Novelku juga belum selesai semua.”
“Masa kita jalan ke mall.” Ucap Ameria murung.
Mall adalah salah satu tempat yang enggan mereka kunjungi. Keduanya pernah mengalami hal tidak menyenangkan. Semua itu terjadi ketika mereka ingin mencoba hal yang biasa dilakukan teman-temannya, jalan-jalan di mall. Hanya saja pilihan waktu yang kurang tepat sehingga meninggalkan kesan yang tidak mengenakan.
Saat itu ada sedang berlangsung meet and great artis. Acara yang diselenggarakan dalam rangka promo film terbaru. Film yang bercerita tentang gaya pacaran remaja yang kelewat batas sangat booming sekali. Terbayang kan betapa penuhnya pusat perbelanjaan saat itu. Bahkan pihak dari managemen mall mengerahkan petugas tambahan untuk mengamankan acara. Hal itu belum ditambah dengan pengamanan dari managemen artis sendiri.
Kejadian itu membuat mereka kapok. Masih terasa bagaimana penuh dan pengabnya gedung sebesar itu. Akhirnya setiap kali pergi ke mall, mereka selalu menghindari akhir pekan. Itu juga yang membuat mereka memilih toko buku langganan yang berada di gedung sendiri. Selain koleksi yang lengkap juga suasananya yang tenang dan kondusif untuk menjelajah.
Sebenarnya ada, sebuah tempat yang ingin Alfa datangi bersama Ameria. Sebuah tempat terbuka dengan angin yang bertiup cukup kencang. Hanya saja konsep tempat itu sangat berbeda dengan kebiasaan mereka selama ini. Yang menurut Alfa tidak akan disukai oleh America. Namun Alfa ingin sekali kesana.
Meski ragu untuk mengusulkan pergi kesana, apa salahnya mencoba. Paling kalimat sarkas Ameria yang akan Ia dengar sebagai bentuk penolakan. Dan mereka akan memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, menyelesaikan gunungan buku yang belum dibaca. Tempat paling nyaman tentu saja.
“Mer, kalau …”
“Alfameria!” Aksa berlari menghampiri mereka. “Mau langsung balik?” Aksa mengajukan pertanyaan untuk keduanya.
“Nggak tahu, nih. Lagi bingung juga mau kemana.” Jawab Ameria.
“Nonton pertandinganku aja.”
“Hah?”
“Anak-anak udah ada acara semua. Supporter bayaraku juga lagi sibuk.”
“Kamu serius?”
“Nggak percaya, ya? Gini-gini aku atlet, lho. Bener kan, Fa?”
“Iya. Aksa memang Atlit badminton. Pernah mewakili sekolah kita untuk ikut Porseni.”
“Serius! Kok kamu nggak pernah cerita sih, Al.”
Aksa tersenyum, “Jadi gimana? Kalian bisa datang kan?”
“Bisa-bisa.” Balas Ameria antusias. “Jam berapa tandingnya?”
“Jam dua. Cuma lokasi tandingnya lumayan jauh dari sini. Belum macetnya. Ini aku mau langsung kesana.”
“Oh iya bener. Harus pemanasan dulu ya.”
Aksa tertawa mendengar jawaban polos Ameria. “Aku tunggu disana, ya.” Aksa pergi terlebih dahulu. Bergabung dengan anak-anak yang sudah memenuhi halaman depan hingga gerbang sekolah. Membuat satpam kewalahan untuk memastikan murid-murid aman di jalan.
“Alfa, kamu tahu tempatmya kan?”
=====
Gelanggang olahraga siang ini sepi sekali. Nyaris tidak terdengar suara yang menunjukkan sedang berlangsungnya pertandingan. Meski halaman parkir cukup penuh. Ameria harus berulang kali memastikan bahwa Alfa tidak salah tempat.
“Percaya deh, Mer. Bener kok tempatnya disini.”
“Habis sepi banget.”
“Berarti lombanya udah mulai.”
Benar saja, ketika Ameria masuk melalui pintu sebelah barat gedung, dua orang remaja sedang beradu di dalam lapangan. Tepat saat Ameria duduk di salah satu bangku penonton pertandingan tersebut berakhir.
Tepuk tangan penonton pun menggema. Beberapa orang ada yang berdiri berteriak penuh semangat.
“Kita udah ketinggalan, ya? Tapi kan Aksa belum main.” Ameria menengok kanan kiri, penasaran karena ini adalah pertama kalinya menonton pertandingan secara langsung. Biasanya Ia hanya menyaksikan melalui layar TV saat menemani ayahnya. Itu pun hanya sebentar karena menurutnya tidak menarik.
“Belum. Yang barusan selesai itu perebutan juara tiga. Habis ini final, perebutan juara satu dan dua. Tuh Aksa.”
Alfa menunjuk laki-laki berambut cepak sedang berjalan ketengah lapangan. Ditangan kanannya yang memagang raket terpasang handband berwarna putih. Senada dengan warna kaosnya yang bercorak hitam.
“Kok kamu bisa tahu banyak sih, Al?”
Aksa melambaikan tangan. Ameria membalasnya dengan anggukan kepala kemudian tertawa lebar tanpa suara. Penampilan Aksa benar-benar membuatnya enggan memalingkan pandangan. Kaos jersey dengan celana pendek khas atlet itu benar-benar membuat Aksa terlihat berbeda, lebih segar dan percaya diri. Sangat berbeda ketika mengenakan seragam sekolah.
“Aku lumayan sering kesini. Setiap bulan pasti ada turnamen, kadang  basket, volley, futsal. Aku juga beberapa kali lihat Aksa tanding. Mer?”
Alfa memastikan sahabatnya masih duduk disampingnya. Karena sejak tadi Ia merasa seperti sedang bermonolog.
Dan benar saja, Ameria tidak menyimak setiap kata yang Alfa ucapkan. Dia sedang berbincang dengan Aksa. Meski jarak antara lapangan dan tribun penonton cukup jauh tidak menghalangi komunikasi tanpa suara itu. Ameria terlihat bahagia meski keringat mulai membasahi keningnya. Membuat poninya basah dan menempel di dahi.
Pixabay

“Mer?”
“Oh, gitu ya.” Jawab Ameria sedikit tergagap. “Panas ya disini.” Ameria mengibaskan telapak tangannya.
Alfa tersenyum. Dia tahu Ameria sedang gugup. Sahabatnya itu tidak pandai menyembunyikan sesuatu. Jelas sekali Ameria  tidak mendengar penjelasannya. Tapi Alfa tidak tersinggung, karena Ameria sahabatnya. Dan Dia berusaha menjaga perasaannya dengan bersikap pura-pura.
“Mau kubelikan kipas? Biasanya diluar banyak pedagang asongan yang jualan.”
“Nggak usah. Nggak apa-apa, nanti juga dingin sendiri. Eh, udah mulai tuh.”
Ameria benar-benar merasa tidak enak. Meski sudah berteman lama tapi sikapnya tadi benar-benar keterlaluan. Mengabaikan orang ketika berbicara bukan hal yang sopan dilakukan meski pada sahabat sendiri. Dan bunda pasti marah jika anaknya melakukan itu. Untung saja Alfa tidak menyadarinya, batinnya.
Pertandingan ini berlangsung sangat seru. Meski baru pertama kali melihat secara langsung, Ameria sangat menikmati. Ditengah udara yang lumayan panas tdak mengurangi keseruan menonton pertandingan
. Kemampuan Aksa dan lawannya sama-sama kuat. Skore mereka saling mengejar satu sama lain. Ketegangan nampak menyelimuti seluruh tribun. Semua penonton benar-benar fokus menikmati perpindahan bola antara Aksa dan pemain yang tingginya lebih rendah dibanding Aksa.
Bola melambung cukup tinggi. Dan itu dimanfaatkan Aksa dengan melakukan jumping smash. Bola bisa ditangkis oleh lawan. Hanya saja jatuh diluar garis sehingga menambah poin Aksa. Posisi Aksa unggul 1 poin.
Satu poin yang Aksa butuhkan untuk mengakhiri pertandingan ini. Serve pun dilakukan. Lawan yang memakai kaos berwarna biru itu bisa mengembalikan. Aksa menerima dengan baik. Reley panjang pun terjadi. Membuat jantung penontong semakin berpacu. Sayangnya lawan melakukan kesalahan dengan membuat bola melambung yang langsung dibalas Aksa dengan smash keras. Bola jatuh dekat di depan dan lawan terlambat menangkisnya.
Seketika suasana hening berganti dengan sorak kemenangan yang berasal dari bangku penonton. Ameria tidak ketinggalan. Dia bahkan melakukan standing applaus dengan teriakan yang penuh semangat.
Alfa pun melakukan hal serupa. Meski tanpa berusuara tawanya yang lepas menunjukkan betapa dia senang dengan kemenangan Aksa. Sejak awal Alfa sudah menduga keberhasilan teman sebangkunya itu.
Di kelas, Aksa termasuk murid yang biasa saja. Tidak masuk kedalam barisan belakang artinya murid dengan nilai terbawah. Juga tidak unggul seperti Alfa. Tapi kalau sudah berhubungan dengan lapangan, kemampuan Aksa patut diperhitungkan. Tidak heran kalau hari-hari di sekolah, Aksa lebih sering dijumpai berada di lapangan.
“Lho, udahan?”
Ameria melihat banyak orang meninggalkan bangku penonton.
“Iya. Ini hari terakhir dari rangkaian turnamen.”
“Ya … kirain bakal ada lagi.”
Alfa tersenyum melihat wajah kecewa Ameria.
“Mau langsung balik?” Ameria benar-benar kecewa mengetahui pertandingan benar-benar usai. “Atau mau nyamperin Aksa dulu?”
“Bisa?” Ops, keceplosan. Ameria terlalu antusias menyambut tawaran Alfa.
“Tuh Aksa manggil.”
Aksa melambaikan kedua tangannya. Memanggil kedua teman sekolahnya untuk segera turun.
“Selamat, ya!” Ucap Ameria diikuti Alfa. “Seru banget pertandingannya.”
Aksa tertawa. Dia malu mendapat ucapan dari Ameria. Wajahnya yang penuh keringat kembali meningkatkan suhu hingga membuat wajahnya memerah.
Disaat itu sebuah dering ponsel berbunyi.
“Dari mama.” Alfa menjawab tatapan penuh tanya Ameria. ”Aku angkat sebentar.”
Alfa berjalan menjauh untuk menerima panggilan. Meski demikian matanya tidak lepas dari Aksa dan Ameria yang berdiri berhadapan sambil bercakap-cakap. Dari sikap tubuh yang ditunjukkan, Ameria terlihat akrab sekali dengan Aksa. Padahal mereka tidak pernah berbincang sekalipun. Hanya kalau melihat kepribadian Ameria yang ceria, wajar saja jika dia mudah akrab dengan orang baru.
“Gimana?” Tanya Ameria saat Alfa sudah kembali.
“Mobil Mama mogok. Jadi aku harus jemput.”
“Yah, gimana dong? Aksa ngajak kita makan-makan.”
“Kalau Alfa nggak bisa ya ditunda aja.” Balas Aksa.
Alfa memandang satu-satu antara Ameria dan Aksa. Terlihat wajah penuh harap cemas Ameria. Dan Alfa tidak tega membuatnya berubah menjadi kecewa.
“Kalian aja, nggak pa-pa. Nanti aku bisa nyusul setelah ngantar mama pulang.”
“Ya Alfa. Terus aku bereng siapa?”
“Bareng aku aja.” Jawab Aksa cepat.
Aksa terkejut sesaat namun kembali bisa menguasai diri. “Iya, bareng Aksa aja. Nanti langsung ketemu ditempat makan.”
Meski demikian, terlihat raut kecewa di wajah Ameria. Tapi bagaimana lagi. Ia tidak mungkin melarang alfa menjemput mamanya. “Hati-hati, ya?”
Gedung olahraga itu Alfa tinggalkan dengan berjalan sendiri. Ameria masih menunggu Aksa yang masih harus mengikuti ceremony pemberian juara.
Kali ini berjalan sendiri terasa asing. Biasanya selalu ada celotehan ringan dari Ameria. Bisa tentang karakter novel yang dibaca, kekesalan karena alur cerita yang tidak jelas atau tentang banyaknya komentar yang masuk di akun Instagramnya. Semua itu seperti sebuah kebiasaan. Kini terasa berbeda. Entah dimana letak perbedaan itu. Alfa hanya merasakannya saja.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates