Jam
kosong bagi sebagian besar murid SMA Persada adalah golden moment. Mereka bisa berada di sekolah tanpa harus dibuat
stres oleh kimia, fisika, matematika, akuntansi dan huruf kanji untuk anak
bahasa. Meski seharusnya mereka harus didalam kelas karena selalu ada tugas
yang harus mereka kerjakan.
Pixabay |
Ada
dua tempat utama yang menjadi konsentrasi siswa, kantin dan halaman sekolah.
Mereka biasanya akan menghabiskan sebagian besar waktu dengan jajan dikantin
sambil bergosip, melakukan permainan di lapangan atau hanya sekedar duduk di
taman.
Begitu
juga dengan Alfa, biasanya dia akan duduk di pojokan perpustakaan menghabiskan
buku yang Ia bawa dari rumah atau buku-buku yang ada diperpustakaan. Salah satu
koleksi perpustakaan SMA Persada yang menjadi favoritnya adalah buku-buku
biografi.
Golden moment
kali ini Alfa habiskan dengan duduk di taman. Ia sedang malas untuk berjalan
menuju perpustakaan yang jaraknya cukup jauh dengan kelasnya.
Sebuah
meja semen dibawah pohon ketapang kosong, disanalah Alfa akan menghabiskan dua
jam kedepan. Tujuh belas menit berlalu tapi buku dengan warna sampunya yang
mulai pudar masih tertutup. Mata penuh kesedihan dari gadis kecil yang ada disampul
itu seperti kehilangan daya tariknya.
“Alfa,
Alfa lihat, deh. Aku panen DM lagi.” Ameria menghampiri Alfa dengan semangat.
Dan langsung menunjukkan kolom direct
message di akun Instagram miliknya yang diberi nama @amrbookland. “Mereka
minta rekomendasi novel-novel yang diangkat dari kisah nyata.” Alfa masih belum
menanggapi.
“Aku
jarang baca novel gituan, jadi koleksiku nggak banyak. Buku apa ini?” Ameria
mengambil buku yang ada di hadapan Alfa. “Three cups of Tea, boleh juga nih. Setting tempatnya juga keren, Himalaya.”
Alfa
hanya menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Ameria. Kali ini dia memakai
bandana dengan simpul ikatan dipuncak kepala. Rambutnya diikat agak tinggi
sehingga bergoyang-goyang setiap kepalanya bergerak. Seperti sekarang ketika
sedang membicarakan permintaan dari pengikut di akun instagramnya. Tidak hanya
tangannya, bibir, mata bahkan alis semuanya bergerak. Ameria selalu bersemangat
dan antusias terhadap hal yang disukainya.
“Menurut
kamu gimana?”
“Buat
polling aja. Pake feature yang ada diinstastory.”
“Oh
iya. Kok aku nggak kepikiran ya? Padahal aku sering lihat di akun bookstagram
lain.”
Ameria
kembali mengarahkan matanya untuk fokus pada layar ponsel. Keriuhan yang
terjadi seperti tidak membuatnya terganggu, sedikit pun. Anak-anak cheerleader
yang sedang berlatih, lapangan yang dipenuhi teriakan saling mengumpan bola
atau sekelompok murid perempuan yang histeris penuh semangat melihat permainan kapten basket sekolah pun berlalu begitu saja.
“Kamu
nggak capek? Tiap hari mikir buat bikin postingan, jungkir balik cuma buat foto
bahkan kamu nggak kenal sama follower
kamu.”
“Karena
aku suka.” Menulis tetapi mulutnya ikut bergerak. Mirip seperti mbah dukun
mengucap mantra. Begitulah salah satu tanda ketika Ameria sedang serius dengan
satu hal. Jika hal itu terjadi, jangan baper dengan jawaban singkat atau
diabaikan.
“Nggak
jelas.” Alfa mencemooh.
“Sahabat
terbaikku Alfa,” Ameria meletakkan ponsel pintarnya. “Tidak ada satu hal di
dunia ini yang tidak memiliki kejelasan. Bahkan ketika Mr. Mark menciptakan
Instagram juga punya tujuan.” Ucap Ameria diplomatis.
“Biar
dia dapat uang.”
Ameria
mencondongkan badannya. Memandang tepat kedalam mata Alfa. “Sebuah senyuman yang tercipta dari usaha kita lebih berharga
dari permata.”
Wajah Ameria begitu dekat. Nafas Alfa nyaris berhenti
ketika bola mata Ameria terlihat sangat jelas. Alfa terkunci. Namun, sedetik
kemudian dia memalingkan wajah untuk mengambil oksigen sebanyak mungkin.
“Teori absurd
apalagi itu.” Alfa kembali bersuara ketika dadanya kembali bergerak tenang.
“Profesor Marisa Hanafi.” Ameria tergelak
sendiri setelah menyebut nama bundanya dengan gelar tertinggi dari seorang dosen. Alfa sendiri tanpa
sadar ikut tertawa meski tidak bermaksud untuk menertawakan.
“Kayanya kamu harus tinggal dipedalaman hutan
kalimatan dulu, deh. Terus kamu selamatin Orang utan, Anakonda, dan semua
hewan-hewan yang jadi korban kebakaran. Jadi kamu nggak perlu capek-capek
memahami teori absurd tadi.” Lajutnya
dengan teori yang lebih absurd lagi.
“Aku tuh nggak ngerti sama rencana kamu, ya.
Ikut casting cuma buat pembuktian. Milih
kuliah di IKJ juga cuma untuk memastikan pilihan. Terus sekarang sibuk ngurusin
Instagram. Sebenarnya kamu mau fokus dimana sih?”
“Fokus sama hal yang aku suka.”
Alfa hanya memberikan cibiran. Kemudian
menarik kembali buku yang sejak tadi belum dibacanya.
“Alfameria!”
Sebuah
bola berwarna oranye bergerak. Memantul semakin lama semakin rendah. Kemudian
menggelinding ke bawah kaki Alfa. Hanya saja Ia tidak menyadari sesuatu
menyentuh sepatu hitamnya. Ameria yang mendengar namanya dipanggil mengetahui
kedatangan bola basket itu lalu melemparnya.
“Makasih
ya, Mer.” Aksa tersenyum.
Jam
kosong menyumbangkan lembar penuh warna dalam buku cerita masa abu-abu. Bahkan
jika hanya dihabiskan dengan duduk dan mengobrol. Tapi dari obrolan itulah,
baik singkat atau panjang, akan menjadi penentu pada detik kemudian.
====
“Mati
gaya deh kita.” Ucap Ameria lesu.
Ucapan
Ameria sangat bertolak belakang dengan teman-temannya. Mereka berhamburan
keluar kelas dengan penuh rencana. Ada yang pergi ke mall sekedar jalan-jalan,
hunting kafe yang lagi trending atau pergi ke rumah teman sekedar untuk
menghabiskan waktu. Semua rencana itu terdengar jelas ditengah keriuhan
menyambut pulang pagi.
Alfameria,
sebutan Aksa untuk Alfa dan Ameria, manganggap pulang pagi menjadi hal yang
menyebalkan. Bagi mereka yang terbiasa hidup dengan rencana akan kebingungan
dengan waktu yang tidak terjadwal.
Pixabay |
“Mau
ke perpus?” usul Alfa.
“Kan
minggu besok kita kesana. Masa seminggu dua kali.”
“Toko
buku?”
“Udah
weekend kemarin. Novelku juga belum selesai semua.”
“Masa
kita jalan ke mall.” Ucap Ameria murung.
Mall
adalah salah satu tempat yang enggan mereka kunjungi. Keduanya pernah mengalami
hal tidak menyenangkan. Semua itu terjadi ketika mereka ingin mencoba hal yang biasa
dilakukan teman-temannya, jalan-jalan di mall. Hanya saja pilihan waktu yang
kurang tepat sehingga meninggalkan kesan yang tidak mengenakan.
Saat
itu ada sedang berlangsung meet and great
artis. Acara yang diselenggarakan dalam rangka promo film terbaru. Film yang
bercerita tentang gaya pacaran remaja yang kelewat batas sangat booming sekali. Terbayang kan betapa
penuhnya pusat perbelanjaan saat itu. Bahkan pihak dari managemen mall mengerahkan
petugas tambahan untuk mengamankan acara. Hal itu belum ditambah dengan pengamanan
dari managemen artis sendiri.
Kejadian
itu membuat mereka kapok. Masih terasa bagaimana penuh dan pengabnya gedung
sebesar itu. Akhirnya setiap kali pergi ke mall, mereka selalu menghindari
akhir pekan. Itu juga yang membuat mereka memilih toko buku langganan yang berada
di gedung sendiri. Selain koleksi yang lengkap juga suasananya yang tenang dan
kondusif untuk menjelajah.
Sebenarnya ada, sebuah tempat yang ingin Alfa
datangi bersama Ameria. Sebuah tempat terbuka dengan angin yang bertiup cukup
kencang. Hanya saja konsep tempat itu sangat berbeda dengan kebiasaan mereka
selama ini. Yang menurut Alfa tidak akan disukai oleh America. Namun Alfa ingin
sekali kesana.
Meski ragu untuk mengusulkan pergi kesana, apa
salahnya mencoba. Paling kalimat sarkas Ameria yang akan Ia dengar sebagai
bentuk penolakan. Dan mereka akan memutuskan untuk pulang ke rumah
masing-masing, menyelesaikan gunungan buku yang belum dibaca. Tempat paling
nyaman tentu saja.
“Mer,
kalau …”
“Alfameria!”
Aksa berlari menghampiri mereka. “Mau langsung balik?” Aksa mengajukan
pertanyaan untuk keduanya.
“Nggak
tahu, nih. Lagi bingung juga mau kemana.” Jawab Ameria.
“Nonton
pertandinganku aja.”
“Hah?”
“Anak-anak
udah ada acara semua. Supporter bayaraku juga lagi sibuk.”
“Kamu
serius?”
“Nggak
percaya, ya? Gini-gini aku atlet, lho. Bener kan, Fa?”
“Iya.
Aksa memang Atlit badminton. Pernah mewakili sekolah kita untuk ikut
Porseni.”
“Serius!
Kok kamu nggak pernah cerita sih, Al.”
Aksa
tersenyum, “Jadi gimana? Kalian bisa datang kan?”
“Bisa-bisa.”
Balas Ameria antusias. “Jam berapa tandingnya?”
“Jam
dua. Cuma lokasi tandingnya lumayan jauh dari sini. Belum macetnya. Ini aku mau
langsung kesana.”
“Oh
iya bener. Harus pemanasan dulu ya.”
Aksa
tertawa mendengar jawaban polos Ameria. “Aku tunggu disana, ya.” Aksa pergi
terlebih dahulu. Bergabung dengan anak-anak yang sudah memenuhi halaman depan
hingga gerbang sekolah. Membuat satpam kewalahan untuk memastikan murid-murid
aman di jalan.
“Alfa,
kamu tahu tempatmya kan?”
=====
Gelanggang
olahraga siang ini sepi sekali. Nyaris tidak terdengar suara yang menunjukkan
sedang berlangsungnya pertandingan. Meski halaman parkir cukup penuh. Ameria
harus berulang kali memastikan bahwa Alfa tidak salah tempat.
“Percaya
deh, Mer. Bener kok tempatnya disini.”
“Habis
sepi banget.”
“Berarti
lombanya udah mulai.”
Benar
saja, ketika Ameria masuk melalui pintu sebelah barat gedung, dua orang remaja
sedang beradu di dalam lapangan. Tepat saat Ameria duduk di salah satu bangku
penonton pertandingan tersebut berakhir.
Tepuk
tangan penonton pun menggema. Beberapa orang ada yang berdiri berteriak penuh
semangat.
“Kita
udah ketinggalan, ya? Tapi kan Aksa belum main.” Ameria menengok kanan kiri,
penasaran karena ini adalah pertama kalinya menonton pertandingan secara
langsung. Biasanya Ia hanya menyaksikan melalui layar TV saat menemani ayahnya.
Itu pun hanya sebentar karena menurutnya tidak menarik.
“Belum.
Yang barusan selesai itu perebutan juara tiga. Habis ini final, perebutan juara
satu dan dua. Tuh Aksa.”
Alfa
menunjuk laki-laki berambut cepak sedang berjalan ketengah lapangan. Ditangan
kanannya yang memagang raket terpasang handband
berwarna putih. Senada dengan warna kaosnya yang bercorak hitam.
“Kok
kamu bisa tahu banyak sih, Al?”
Aksa
melambaikan tangan. Ameria membalasnya dengan anggukan kepala kemudian tertawa
lebar tanpa suara. Penampilan Aksa benar-benar membuatnya enggan memalingkan
pandangan. Kaos jersey dengan celana pendek khas atlet itu benar-benar membuat
Aksa terlihat berbeda, lebih segar dan percaya diri. Sangat berbeda ketika mengenakan
seragam sekolah.
“Aku
lumayan sering kesini. Setiap bulan pasti ada turnamen, kadang basket, volley,
futsal. Aku juga beberapa kali lihat Aksa tanding. Mer?”
Alfa
memastikan sahabatnya masih duduk disampingnya. Karena sejak tadi Ia merasa seperti
sedang bermonolog.
Dan
benar saja, Ameria tidak menyimak setiap kata yang Alfa ucapkan. Dia sedang berbincang
dengan Aksa. Meski jarak antara lapangan dan tribun penonton cukup jauh tidak
menghalangi komunikasi tanpa suara itu. Ameria terlihat bahagia meski keringat
mulai membasahi keningnya. Membuat poninya basah dan menempel di dahi.
Pixabay |
“Mer?”
“Oh,
gitu ya.” Jawab Ameria sedikit tergagap. “Panas ya disini.” Ameria mengibaskan
telapak tangannya.
Alfa
tersenyum. Dia tahu Ameria sedang gugup. Sahabatnya itu tidak pandai
menyembunyikan sesuatu. Jelas sekali Ameria tidak mendengar penjelasannya. Tapi Alfa tidak
tersinggung, karena Ameria sahabatnya. Dan Dia berusaha menjaga perasaannya
dengan bersikap pura-pura.
“Mau
kubelikan kipas? Biasanya diluar banyak pedagang asongan yang jualan.”
“Nggak
usah. Nggak apa-apa, nanti juga dingin sendiri. Eh, udah mulai tuh.”
Ameria
benar-benar merasa tidak enak. Meski sudah berteman lama tapi sikapnya tadi
benar-benar keterlaluan. Mengabaikan orang ketika berbicara bukan hal yang
sopan dilakukan meski pada sahabat sendiri. Dan bunda pasti marah jika anaknya
melakukan itu. Untung saja Alfa tidak menyadarinya, batinnya.
Pertandingan
ini berlangsung sangat seru. Meski baru pertama kali melihat secara langsung, Ameria
sangat menikmati. Ditengah udara yang lumayan panas tdak mengurangi keseruan
menonton pertandingan
.
Kemampuan Aksa dan lawannya sama-sama kuat. Skore mereka saling mengejar satu
sama lain. Ketegangan nampak menyelimuti seluruh tribun. Semua penonton
benar-benar fokus menikmati perpindahan bola antara Aksa dan pemain yang
tingginya lebih rendah dibanding Aksa.
Bola
melambung cukup tinggi. Dan itu dimanfaatkan Aksa dengan melakukan jumping smash. Bola bisa ditangkis oleh lawan.
Hanya saja jatuh diluar garis sehingga menambah poin Aksa. Posisi Aksa unggul 1
poin.
Satu
poin yang Aksa butuhkan untuk mengakhiri pertandingan ini. Serve pun dilakukan. Lawan yang memakai kaos berwarna biru itu bisa
mengembalikan. Aksa menerima dengan baik. Reley
panjang pun terjadi. Membuat jantung penontong semakin berpacu. Sayangnya lawan
melakukan kesalahan dengan membuat bola melambung yang langsung dibalas Aksa
dengan smash keras. Bola jatuh dekat
di depan dan lawan terlambat menangkisnya.
Seketika
suasana hening berganti dengan sorak kemenangan yang berasal dari bangku
penonton. Ameria tidak ketinggalan. Dia bahkan melakukan standing applaus dengan teriakan yang penuh semangat.
Alfa
pun melakukan hal serupa. Meski tanpa berusuara tawanya yang lepas menunjukkan
betapa dia senang dengan kemenangan Aksa. Sejak awal Alfa sudah menduga keberhasilan
teman sebangkunya itu.
Di
kelas, Aksa termasuk murid yang biasa saja. Tidak masuk kedalam barisan
belakang artinya murid dengan nilai terbawah. Juga tidak unggul seperti Alfa.
Tapi kalau sudah berhubungan dengan lapangan, kemampuan Aksa patut
diperhitungkan. Tidak heran kalau hari-hari di sekolah, Aksa lebih sering
dijumpai berada di lapangan.
“Lho,
udahan?”
Ameria
melihat banyak orang meninggalkan bangku penonton.
“Iya.
Ini hari terakhir dari rangkaian
turnamen.”
“Ya
… kirain bakal ada lagi.”
Alfa
tersenyum melihat wajah kecewa Ameria.
“Mau
langsung balik?” Ameria benar-benar kecewa mengetahui pertandingan benar-benar
usai. “Atau mau nyamperin Aksa dulu?”
“Bisa?”
Ops, keceplosan. Ameria terlalu antusias menyambut tawaran Alfa.
“Tuh
Aksa manggil.”
Aksa
melambaikan kedua tangannya. Memanggil kedua teman sekolahnya untuk segera
turun.
“Selamat,
ya!” Ucap Ameria diikuti Alfa. “Seru banget pertandingannya.”
Aksa
tertawa. Dia malu mendapat ucapan dari Ameria. Wajahnya yang penuh keringat
kembali meningkatkan suhu hingga membuat wajahnya memerah.
Disaat
itu sebuah dering ponsel berbunyi.
“Dari
mama.” Alfa menjawab tatapan penuh tanya Ameria. ”Aku angkat sebentar.”
Alfa
berjalan menjauh untuk menerima panggilan. Meski demikian matanya tidak lepas
dari Aksa dan Ameria yang berdiri berhadapan sambil bercakap-cakap. Dari sikap
tubuh yang ditunjukkan, Ameria terlihat akrab sekali dengan Aksa. Padahal
mereka tidak pernah berbincang sekalipun. Hanya kalau melihat kepribadian Ameria
yang ceria, wajar saja jika dia mudah akrab dengan orang baru.
“Gimana?”
Tanya Ameria saat Alfa sudah kembali.
“Mobil
Mama mogok. Jadi aku harus jemput.”
“Yah,
gimana dong? Aksa ngajak kita makan-makan.”
“Kalau
Alfa nggak bisa ya ditunda aja.” Balas Aksa.
Alfa
memandang satu-satu antara Ameria dan Aksa. Terlihat wajah penuh harap cemas Ameria.
Dan Alfa tidak tega membuatnya berubah menjadi kecewa.
“Kalian
aja, nggak pa-pa. Nanti aku bisa nyusul setelah ngantar mama pulang.”
“Ya
Alfa. Terus aku bereng siapa?”
“Bareng
aku aja.” Jawab Aksa cepat.
Aksa
terkejut sesaat namun kembali bisa menguasai diri. “Iya, bareng Aksa aja. Nanti
langsung ketemu ditempat makan.”
Meski
demikian, terlihat raut kecewa di wajah Ameria. Tapi bagaimana lagi. Ia tidak
mungkin melarang alfa menjemput mamanya. “Hati-hati, ya?”
Gedung
olahraga itu Alfa tinggalkan dengan berjalan sendiri. Ameria masih menunggu
Aksa yang masih harus mengikuti ceremony
pemberian juara.
Kali
ini berjalan sendiri terasa asing. Biasanya selalu ada celotehan ringan dari Ameria.
Bisa tentang karakter novel yang dibaca, kekesalan karena alur cerita yang
tidak jelas atau tentang banyaknya komentar yang masuk di akun Instagramnya.
Semua itu seperti sebuah kebiasaan. Kini terasa berbeda. Entah dimana letak
perbedaan itu. Alfa hanya merasakannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar