Tiga puluh pasang meja dan kursi berbaris rapi membentuk tiga baris memanjang. Semua
penghuninya sedang menatap serius pada selembar kertas yang berisi 5 soal
fisika. Enam puluh menit sudah berlalu tapi tidak satu pun kepala yang
mendongak. Semuanya menunduk memastikan rumus yang mereka gunakan untuk
memecahkan kode-kode yang diciptakan oleh Newton berabad-abad lalu.
Pak
Robby tengah duduk di mejanya sambil memeriksa jawaban dari kelas sebelumnya.
Sang guru fisika tersebut tidak perlu berjalan berkeliling untuk memastikan
murid-muridnya bersikap jujur. Karena soal-soal yang Ia berikan sudah cukup
menyita perhatian murid-murid sehingga tidak akan memiliki kesempatan untuk
bertindak curang.
Bel
sekolah berbunyi. Tanda jam pelajaran telah usai sekaligus berakhirnya masa
penyiksaan otak bagi murid-murid kelas XII IPA 3. Tentu saja layak disebut
penyiksaan karena dua jam terakhir sebelum jam sekolah selesai adalah masa-masa
otak berada dalam gelombang beta. Kalau disederhanakan menjadi jam tidur siang.
Seharusnya waktu-waktu tersebut sebaiknya diisi dengan pelajaran agama atau
sejarah yang sangat cocok untuk dongeng sebelum tidur.
“Yang
duduk paling belakang silahkan mengumpulkan jawaban teman-temannya.” Perintah
Pak Robby.
Seketika
keheningan kelas musnah. Berganti dengan suara lega siswa meski tidak ada yang
puas dengan jawaban soal fisika tetapi mereka merasa senang bisa segera pulang.
“Langsung
balik, Fa?” tanya Aksa sambil menutup tasnya.
“Biasanya
gitu.”
“Bareng
Ameria?”
“Biasanya.”
Jawab Alfa singkat.
“Dari
dulu aku penasaran dengan hubungan kalian.”
Alfa
menyimak.
“Kalian
yakin cuma sahabatan?” tanya Aksa heran. “Nggak pernah punya perasaan khusus
gitu? Ya, tahulah.”
“Suka
maksudnya?”
“Ya,
mungkin. Setiap orang punya definisi sendiri-sendiri.”
“Tentu
aku menyukai Ameria. Dia tipikal cewek yang menyenangkan untuk diajak ngobrol dan
jalan. Asik aja.”
Aksa
tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. “Okay.”
“Kenapa
emang?” selidik Alfa.
“Nggak.
Cuma penasaran aja. Yaudah, duluan ya.”
Aksa
meninggalkan Alfa yang masih belum menyelesaikan aktifitas merapikan peralatan
sekolah sebelum pulang. Percakapan singkat dengan teman sebangkunya sejak kelas
X itu membuatnya harus menunda memasukkan buku-buku kedalam tas.
“Alfa!”
Suara
ringan dan penuh semangat sudah menantinya di depan kelas. Siapa lagi kalau
bukan Ameria. Tas ransel berwarna merah dengan sebuah totebag dibahu kiri
membuat tubuh mungilnya semakin tenggelam.
Alfa
bergegas. Tidak ingin sahabat terbaiknya itu menunggu terlalu lama dengan
barang bawaan yang lebih besar dari badannya sendiri.
Langkah
yang Alfa niatkan untuk bergerak cepat mulai melambat. Pandangannya menangkap Ameria
sedang berbincang dengan Aksa di pintu kelas. Iya, dipintu. Menghalangi
satu-satunya jalan keluar.
“Jangan
lupa, ya.”
Alfa
menangkap senyum bahagia tercipta di bibir Ameria usai teman sebangkunya itu
pergi.
“Hei.”
“Al,”
“hhmm”
“Jadi
teman sebangku kamu itu bukan kapten basket?”
“Bukan.”
“Ya
ampun, pantes kok dia ketawa waktu kutanya soal badminton.”
“Maksudnya?”
“Tadi
kita sempet ngobrol dikit. Say hello
gitu deh. Terus dia nawarin aku buat datang di Tournamen Badminton. Kutanya
dong siapa yang main, eh dijawabnya dia salah satu atlit peserta.”
“Kok
bisa kamu nyangkain kalau Aksa itu kapten basket?”
“Ya,
aku sering lihat dia main basket. Badannya juga tinggi cocok lah jadi anak
basket. Terus … “ Ameria sedikit ragu bahkan malu-malu untuk melanjutkan
kalimatnya.
“Ganteng.”
Alfa menambahkan.
Ameria
hanya menjawab dengan cengiran lucu. “Tunggu, kalau Aksa bukan kapten basket.
Terus siapa dong?”
Alfa
merasa kesal dengan senyum Ameria. Entah apa alasannya. Dia hanya merasa tidak
suka dan memilih berjalan lebih dulu.
“Al,
tunggu dong. Jalannya jangan cepet-cepet. Berat nih.”
Alfa
mendesah. Rasa kesalnya selalu dikalahkan oleh empatinya sebagai sahabat. Dia
pun melangkah mundur lalu mengangkat tas yang ada di bahu kiri Ameria tanpa
bicara.
Diperhatikan
begitu selalu membuat Ameria senang. Dimatanya Alfa benar-benar sahabat sejati.
Selalu ada saat Ia membutuhkan. Selalu membantu bahkan saat ia sendiri tidak
tahu apa kesulitannya.
Kalau
ditanya apakah dia tidak memiliki perasaan pada Alfa maka dengan tegas akan
menjawab ‘ada’.
Perasaan
itu pernah muncul ketika masih duduk di kelas X. Tepat setelah tiga bulan hubungan
persahabatan itu berjalan. Ameria berusaha menunjukkan pada Alfa tentang
perasaannya. Tapi Alfa tidak pernah menangkap sinyal-sinyal yang Ia kirimkan.
Hingga Ameria merasa bahwa Alfa hanya tertarik untuk menjalin persahabatan saja
dengannya.
“Alfa
tunggu!” Ameria harus berlari untuk bisa menyusul langkah Alfa yang lebar. Ia
harus mengerahkan energinya dua kali hanya agar bisa menyesuaikan langkah
orang-orang giganteus. Istilah yang Ameria
buat untuk orang-orang yang lebih tinggi darinya.
“Kamu
marah gara-gara aku bilang Aksa ganteng?”
“Untuk
apa aku marah?”
“Ya
kali kamu nggak suka aku bilang Aksa ganteng.”
Alfa
memilih tidak menjawab dan mempercepat langkahnya. Ia bahkan mengabaikan
getaran ponsel dari saku celananya.
“Alfa!
Nyebelin banget sih.”
Alfa
terpaksa menghentikan langkah dan berbalik malas karena dia tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Berdiri bersedakap dengan wajah ditekuk dan bibir yang
dimajukan. Itulah yang terjadi dengan sahabatnya saat ngambek.
“Astaga,
Mer.” Ameria memalingkan wajahnya. “Aku nggak tahu harus bersikap apa saat kamu
bilang Aksa ganteng. Nggak mungkin kan aku loncat-loncat kegirangan. Aku cowok,
dimataku semua cowok itu sama. Memangnya kamu nggak serem lihat aku bilang
cowok ganteng sambil tersipu kaya kamu barusan.”
“Bener?”
bibir monyong Ameria mulai kembali ke bentuk semula.
“Iya.”
“Terus
ngapain kamu jalan cepet-cepet gitu?”
Kadang
Alfa bisa kehabisan akal menghadapi sikap Ameria. Kalau bukan karena besarnya
rasa sayang seorang sahabat mungkin Ia tidak akan peduli meski Ameria mengamuk.
“Tante
Marisa udah nunggu di depan. Kamu dari tadi ditelponin nggak bisa.” Alfa
menunjukkan layar ponselnya yang berkedip dengan memunculkan nama Tante Marisa.
“Kenapa
baru bilang. Bunda kan nggak suka nunggu.”
Seperti
dikejar anjing galak, Ameria berlari seketika. Tubuhnya memang kecil yang
tingginya tidak sampai 160 cm tetapi larinya cepat dan gesit. Alfa bahkan ikut
berlari untuk bisa segera menyusul.
Rasa
kesal yang membuat hatinya berkabut hilang seketika. Wajah panik Ameria yang
takut karena telah membuat Tante Marisa menunggu menumbuhkan senyum diwajah
Alfa.
====
“Pagi, Tante.”
“Hey,
Alfa. Pas banget kamu datangnya. Tante baru aja selesai bikin cookies. Nyobain
resep yang suka berseliweran di Youtube.” Tante Marisa mengeluarkan toples kaca
dari salah satu kabinet yang ada di dapur. “Tante setengah mati dibuat
penasaran sama Youtuber yang nggak pernah kasih lihat mukanya itu. Kok bisa
bikin kue pake bahan minuman instan.”
Selagi
Tante Marisa memasukkan kue kering berbentuk bulat kedalam toples, Alfa mencomot satu dan memakannya
dalam sekali suap.
“Gimana?”
tanya Tante Marisa penasaran.
“Entahlah.”
Alfa memakan satu cookies lagi. Kali ini dengan penuh penghayatan. Dengan mata
yang sesekali memejam seolah sedang mengerahkan seluruh kekutan pada indera
perasanya.
Tante
Marisa benar-benar sedang menanti pendapat Alfa tentang kue buatannya itu.
hanya saja, setelah Alfa berhasil menelan kue kedua, mulutnya mengunyah kue
ketiga lalu keempat. Saat tangannya hendak mengambil kue kelima, Tante Marisa
segera menutup toples.
“Ngincip
apa doyan?” Tante Marisa meninggalkan Alfa yang tergelak dengan mulut penuh
makanan.
“Sekarang
trend-nya tukang ngincip yang doyan, Tan.”
“Bisaan
ya, kamu itu.” Tante Marisa menyalakan TV kemudian duduk di sofa berwarna
putih. “Sini temenin Tante ngabisin kue sambil nonton TV.”
“Drama
korea, Tan?”
“Waktu
Tante nggak sebanyak Ameria yang bisa menghabiskan satu drama dalam 24 jam.”
tvseriesfinale.com |
Pada
layar datar itu sedang menampilkan sebuah regu pemadam kebakaran sedang
melakukan pencarian didalam kargo pesawat. Tidak lama kemudian petugas tersebut
menemukan sebuah kardus besar. Ketika dibuka kubus berukuran sangat besar itu
berisi seorang pria yang lemas karena terjebak didalamnya selama berjam-jam.
“Tante
lagi suka lihat film-film penyelamatan kaya gini.”
Laki-laki
yang diperkirakan berusia 20 tahunan tersebut menderita hipotermia. Sehingga
petugas berseragam biru tersebut menyelimutinya dengan selimut khusus untuk
menghangatkan.
“Orang
mungkin lebih mengenal Batman, Spidermen, Kapten Amerika, bahkan Gundala
sebagai superhero. Tapi buat Tante merekalah superhero sesungguhnya. Seorang
manusia biasa yang memilih berprofesi sebagai seorang penolong.”
Adegan
berganti saat pemuda tadi akan dimasukkan kedalam ambulan. Kemudian seorang
petugas memberikan ponsel padanya.
“Lihat
wanita yang bernama Maggy. Dia berusaha keras untuk menyelamatkan pemuda itu
hanya dengan suaranya. Dia meyakinkan pemuda itu untuk yakin bahwa dia pasti
selamat. Bukan hal mudah tentu saja.”
Narasi
panjang yang diberikan Tante Marisa benar-benar membuat Alfa terhipnotis.
Perhatiannya berpusat pada adegan demi adegan yang Ia saksikan di layar
televisi. Hingga membuatnya lupa tujuannya datang kesana.
Kisah
penyelamatan pemuda yang terjebak dalam sebuah kardus membuat sebuah ketukan
lembut dalam hatinya. Getaran itu berlanjut kemudian mengirimkan sinyal-sinyal
pada otaknya untuk dibuatkan bentuk visual. Namun, belum sempat imajinasi itu terjadi sebuah
suara yang khas ditelinganya bergema.
“Diihh,
malah asik nemenin bunda nonton TV. Jadi pergi nggak?”
“Gimana
nggak asik. Nungguin kamu dandan aja lama banget. Padahal tambah cantik juga
nggak. Gimana mau punya pacar.” Bunda menyahut.
“Cantik
dan punya pacar itu nggak ada hubungannya kali, Bun. Yuk, berangkat. Keburu
tutup toko bukunya.”
Sepertinya
Ameria sedang berada di zona peralihan, antara dunia nyata dengan dunia fiksi
yang dibacanya semalaman. Sehingga Ia tidak tahu sedang di dunia mana saat ini.
Padahal matahari sedang bersemangat menyinari bumi dan disambut gembira oleh
kepakan sayap kupu-kupu mencari sari bunga malah disangkanya sudah malam.
Ameria
mencium tangan bundanya untuk berpamitan. Disusul Alfa sambil mengucapkan terima kasih karena
sudah diberi kesempatan mencicipi cookies buatannya.
“Kuenya beneran enak, Tan.”
====
Akhirnya buku bersampul putih itu berhasil Alfa temukan. Setelah berjalan mengelilingi toko buku. Beralih dari satu rak ke rak yang lainnya.
Sebenarnya mudah saja jika ingin membeli
sebuah buku tanpa harus mencari satu per satu. Tinggal menggunakan komputer
yang sudah disediakan lalu masukkan judul buku atau nama penulisnya. Maka katalog
digital tersebut akan menemukannya
dengan menunjukkan kategori dan
ketersediaannya saat ini.
Tentu saja hal itu tidak dilakukan anak-buku
seperti Alfa dan Ameria. Berkunjung ke toko buku seperti hangout di mall bersama teman.
Setelah menemukan salah satu buku karangan David
Wallace-wells, Alfa mencari Ameria. Tidak sulit mencari gadis mungil diantara lautan
buku ini. cari saja diantara rak buku-buku fiksi. Disanalah satu-satunya sudut
toko buku yang bisa menahan Ameria hingga berjam-jam lamanya.
Nah, itu dia. Satu-satunya perempuan yang
masih mengenakan penutup kepala berbahan rajut ditengah hebohnya bunny hat. Alfa langsung menemukan Ameria
bahkan saat Ia masih dibagian buku-buku bahasa yang letaknya dipaling ujung.
“Mau dibeli semua?”
Ameria mengangguk tanpa melepaskan pandangan
dari buku yang sedang dibaca. Disampingnya ada tas yang hampir penuh dengan
buku.
“Winna Effendy, Winna Effendy, Ilana Tan,
Prince Charming? Move on?” Alfa menaikkan satu oktaf pada nada suaranya. “Mau
sampai kapan kamu baca buku ginian?”
“Buku ginian?” Ameria menurunkan buku yang
sejak tadi menutupi wajahnya.
“Ya gini. Buku-buku yang bahas cinta-cintaan
yang terlalu sulit ditemukan dalam dunia nyata.”
Ameria menutup bukunya. Kemudian mengambil
sebuah buku yang ada ditangan Alfa.
“Bumi Yang Tak Dapat Di Huni. Kamu sendiri
ngapain baca buku ginian?” balas Ameria ketus.
“Ginian? Kamu tahu nggak buku ini tuh berisi
tentang betapa kacaunya bumi saat … “
“Udah deh, Stop book shaming … “
“Setiap orang punya selera masing-masing.”
Ucap keduanya bersamaan.
Alfa meringis. “Sorry, khilaf.”
Mereka sudah sepakat untuk tidak mengomentari
pilihan bacaan orang. topik-topik tentang buku fisik atau buku digital, fiksi
atau non-fiksi semuanya memiliki sisi baik dan buruk. Semua itu kembali pada
selera masing-masing.
“Udahan, yuk? Haus banget.” Ameria mengambil
ponsel di dalam tas. “Astaga! Udah tiga jam kita disini.”
Ameria nyelonong sendiri menuju kasir. Melupakan tas yang
berisi buku-buku yang akan dibelinya. Juga sahabatnya yang hendak berucap
sesuatu karena lawan bicaranya sudah pergi.
====
“Mau makan apa?”
“Minum aja deh. Makan dirumah aja. Bunda udah
masak. Nanti ngomel lagi kalau anaknya nggak makan dirumah.”
Mereka sudah tiba disebuah coffe shop.
Letaknya sangat dekat karena masih satu gedung dengan toko buku langganan
mereka. Hanya berbeda lantai saja. toko buku berada dilantai atas sementara
kafe berada dilantai dasar.
“Yaudah. Kamu mau minum apa?”
“Salted caramel
milkshake sama air mineral, deh.”
“Oke. Tunggu bentar, ya.”
Setelah Alfa pergi untuk memesan, Ameria
kembali disibukkan dengan hasil belajanya. Setelah memastikan meja dihadapannya
bersih, Ameria mengeluarkan semua buku-buku tersebut. Menatanya sedemian rupa
sehingga tampak menarik saat dilakukan pengambilan gambar.
Satu bidikan berhasil diambil. Tetapi Ameria
masih merasa belum cukup. Ia lalu mengubah sedikit kompisisinya dengan mengubah
posisi buku.
Alfa sudah kembali dengan nampan berisi dua
gelas besar dan satu botol air putih. Ia mendesah melihat sahabatnya itu
meliuk-liukkan badan demi mendapatkan sebuah foto.
“Nggak bisa dirumah aja?”
“Hari ini aku belum posting sama sekali.
Nyampe rumah pasti nggak sempet. Harus mandi dulu lah, makan dulu lah. Belum
alarm peringatan untuk belajar.” Setelah blitz berkedip barulah Ameria berdiri tegak
seperti manusia normal. “Cukuplah. Nanti tinggal edit dikit.”
Ameria segera mematikan ponsel, menyimpan
kedalam tas lalu membereskan buku-buku dari atas meja. Setelah Alfa meletakkan
semua pesanan diatas meja, Ameria langsung mengahabiskan sebotol air dalam
sekali teguk. Alfa hanya bisa berdecak dengan sikap tidak sabarannya.
“Lega akhirnya.” Ameria mengusap dahinya yang
berkeringat. “Dehidrasi deh, aku.”
“Kupluk kamu basah tuh. Kena keringat.”
Ameria memegang ujung penutup kepalanya.
Memang terasa lembab. “Biarin aja, deh.”
“Tapi, Mer. Kamu perlu memperkaya bacaan deh.
Aku nggak meremehkan suma, ya, sesekali keluar dari kebiasaan aja.”
“Selama novel aku mau.”
“Kamu anti banget sama buku non fiksi.”
“Bukan anti. Mauku selesai baca itu seneng,
fresh makanya aku lebih suka baca teenlit karena ceritanya ringan.”
“Ehm … “Alfa sedang berpikir. “Coba seri Dark
Guardiannya Rachel Hawhorne, deh. Fantasi sih tapi asik kok. Ada
cinta-cintaannya juga.”
“Kamu baca novel? Serius?”
Alfa mengangguk sambil menyeruput Americano
hangatnya.
“Terus kenapa kamu ngomel terus kalau aku
baca novel?”
Alfa mengangkat bahunya ke atas, acuh.
“Iseng, aja.”
“Alfa!”
“Tunggu,
ada chat dari bunda.”
Ini salah satu aturan tidak tertulis yang
mereka sepakati. Tidak menggunakan gawai untuk aktivitas media sosial ketika
bersama. Keculi untuk hal-hal tertentu seperti panggilan dari orang tua dan
mereka memberi nada khusus sebagai pemberitahuan.
“Bunda nanya kapan kita pulang. Aku bilang
sejam lagi sampai rumah.” Ameria membaca dan menjawab isi pesan dari Tante
Marisa agar juga Alfa mengetahuinya. Setelah mengirim balasan itu, sebuah notifikasi
dari Instagram muncul. Dan isinya tidak sengaja terbaca olehnya.
“Kamu tahu nggak? Follower instagram aku udah sampai 3000. Hari ini mungkin lebih.”
“Tahulah. Kamu lupa kalau aku salah satu dari
3000 akun itu.”
Ameria menjawab dengan menunjukkan deretan
giginya yang rapi.
“Mau sampai kapan kamu aktif di komunitas
itu?”
“Sampai semua orang biasa membaca buku.”
Alfa mendesah. “Itu sama aja kaya kamu lagi
nunggu perdamaian antara Palestina dan Israel.”
“Kiamat, dong” balas Ameria. ”Ya nggak
apa-apa. Biar lama tapi kan pasti terjadi. Meski entah kapan.” Ameria meminum
milkshake melalui sedotan. “Kamu tahu nggak, salah satu pengikutku nge-DM aku.
dia bilang bahwa sejak mengikuti postinganku dia mulai baca buku. Padahal
awalnya dia follow aku karena dia suka sama konsep feed IG aku yang sederhana
dan klasik.”
“Kita tuh nggak bisa maksa orang buat
ngikutin kesukaan kita. Lagi pula media sosial bikin orang lupa waktu”
“Emang. Tapi kita nggak bisa menilai dari
salah satu sisi aja. Lihat, ada banyak orang yang terbantu dari medsos. Ya,
meski banyak juga yang akhirnya kena musibah. Tapi kan kita bisa ngasih pengaruh
positif untuk banyak orang. Makanya influenzer sekarang pertumbuhannya kaya
pengguna facebook.” Ameria mengakhiri teorinya dengan senyum percaya diri.
“Analogi kamu tuh sama sekali nggak
nyambung.”
Ameria mengangguk setuju lalu tertawa bersama
Alfa. Tawa yang selalu mengiasi percakapan tentang penilaian terhadap sesuatu.
“Alfameria?”
Dua orang pemilik nama langsung menghentikan
tawa. Dan mencari sumber suara yang menggabung kedua nama mereka.
“Aksa? Disini juga?” Ameria menyambut dengan
antusias.
“Iya lagi beli minum terus lihat kalian.”
“Sendirian?” tanya Alfa.
“Sama nyokap tapi lagi belanja. Tuh disana.”
Aksa menunjuk pada seorang wanita yang ada di sebuah gerai baju tepat di depan
kafe.
“Gabung yuk?” Ajak Ameria.
“Thanks. Tapi lain kali aja. Nggak enak kalau
dicariin nyokap. Yaudah, aku duluan ya?”
Alfa dan Ameria memerhatikan Aksa yang
berjalan keluar kafe. Perhatian itu bahkan berlangsung sampai Aksa menghampiri
mamanya yang sedang memilih baju.
“Lucu, ya? Masih ada aja anak milenial yang
nemenin mamanya jalan. Nggak kaya …” Ameria melanjutkan ucapannya dengan
lirikan mata yang ditujukan pada Alfa.
“Kalau tiap weekend aku nemenin mama jalan
lalu yang bawain belanjaan buku kamu siapa?”
Lagi-lagi Ameria hanya bisa meringis.
“Makasih udah nemenin aku kemanapun aku pergi.”
“Lebay, deh. Pulang yuk?”
Cerita remaja dan persahabatannya keren, aku belum bisa begini apalagi dialog heuuu
BalasHapusWah nanti gimana nih ya Alfa sama ameria ini, apa bakal temenan terus apa jadi kekasih ya di akhir. Ga sabar nunggu lanjutannya
BalasHapusWow, alurnya mengalir jadi enak bacanya. Apa ini tentang cinta segitiga ya. Ditunggu kelanjutannya mbak.
BalasHapusCiyeh...ciyeh... Alfameria... Kirain mah, tentang istilah fisika. Pas banget pembukanya ujian fisika. HEhehe
BalasHapusWah mba ternyata jago juga nulis tulisan kayak gini. Keren ikh. Soalnya aku ga bisa nulis fiksi kayak gini. Aku bisanya nulis curhat doang di blog
BalasHapusMbak bagus banget ceritanya, ngalir, bisa ngebayangin langsung adegannya. Ada lanjutannya nggak.
BalasHapusYa ampuun aku suka banget ceritanya...ku jadi inget masa-masa mudaku huhuhu
BalasHapusLanjutkeun Mbak...ini bagus sekali!
kusukaaa!!
Mereka-reka alur cerita selanjutnya gimana ya? Hihi...menebak-nebak sp tahu samaan ide ya mb...
BalasHapusWoww, suka ceritanya. Ceria banget khas anak remaja. Kerenn, Mbak
BalasHapusMbak, ini cinta segitiga gt ya, ah ngingetin saat masih gadis mbak hihi. Ceritanya mengalir, bagus mbak. Ditunggu lanjutannya :))
BalasHapus