Rabu, 25 Maret 2020

# Alfameria # Fiksi

Alfameria_ CHAPTER II


  
Tiga puluh pasang meja dan kursi berbaris rapi membentuk tiga baris memanjang. Semua penghuninya sedang menatap serius pada selembar kertas yang berisi 5 soal fisika. Enam puluh menit sudah berlalu tapi tidak satu pun kepala yang mendongak. Semuanya menunduk memastikan rumus yang mereka gunakan untuk memecahkan kode-kode yang diciptakan oleh Newton berabad-abad lalu.
Pak Robby tengah duduk di mejanya sambil memeriksa jawaban dari kelas sebelumnya. Sang guru fisika tersebut tidak perlu berjalan berkeliling untuk memastikan murid-muridnya bersikap jujur. Karena soal-soal yang Ia berikan sudah cukup menyita perhatian murid-murid sehingga tidak akan memiliki kesempatan untuk bertindak curang.
Bel sekolah berbunyi. Tanda jam pelajaran telah usai sekaligus berakhirnya masa penyiksaan otak bagi murid-murid kelas XII IPA 3. Tentu saja layak disebut penyiksaan karena dua jam terakhir sebelum jam sekolah selesai adalah masa-masa otak berada dalam gelombang beta. Kalau disederhanakan menjadi jam tidur siang. Seharusnya waktu-waktu tersebut sebaiknya diisi dengan pelajaran agama atau sejarah yang sangat cocok untuk dongeng sebelum tidur.
“Yang duduk paling belakang silahkan mengumpulkan jawaban teman-temannya.” Perintah Pak Robby.
Seketika keheningan kelas musnah. Berganti dengan suara lega siswa meski tidak ada yang puas dengan jawaban soal fisika tetapi mereka merasa senang bisa segera pulang.
“Langsung balik, Fa?” tanya Aksa sambil menutup tasnya.
“Biasanya gitu.”
“Bareng Ameria?”
“Biasanya.” Jawab Alfa singkat.
“Dari dulu aku penasaran dengan hubungan kalian.”
Alfa menyimak.
“Kalian yakin cuma sahabatan?” tanya Aksa heran. “Nggak pernah punya perasaan khusus gitu? Ya, tahulah.”
“Suka maksudnya?”
“Ya, mungkin. Setiap orang punya definisi sendiri-sendiri.”
“Tentu aku menyukai Ameria. Dia tipikal cewek yang menyenangkan untuk diajak ngobrol dan jalan. Asik aja.”
Aksa tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. “Okay.”
“Kenapa emang?” selidik Alfa.
“Nggak. Cuma penasaran aja. Yaudah, duluan ya.”
Aksa meninggalkan Alfa yang masih belum menyelesaikan aktifitas merapikan peralatan sekolah sebelum pulang. Percakapan singkat dengan teman sebangkunya sejak kelas X itu membuatnya harus menunda memasukkan buku-buku kedalam tas.
“Alfa!”
Suara ringan dan penuh semangat sudah menantinya di depan kelas. Siapa lagi kalau bukan Ameria. Tas ransel berwarna merah dengan sebuah totebag dibahu kiri membuat tubuh mungilnya semakin tenggelam.
Alfa bergegas. Tidak ingin sahabat terbaiknya itu menunggu terlalu lama dengan barang bawaan yang lebih besar dari badannya sendiri.
Langkah yang Alfa niatkan untuk bergerak cepat mulai melambat. Pandangannya menangkap Ameria sedang berbincang dengan Aksa di pintu kelas. Iya, dipintu. Menghalangi satu-satunya jalan keluar.
“Jangan lupa, ya.”
Alfa menangkap senyum bahagia tercipta di bibir Ameria usai teman sebangkunya itu pergi.
“Hei.”
“Al,”
“hhmm”
“Jadi teman sebangku kamu itu bukan kapten basket?”
“Bukan.”
“Ya ampun, pantes kok dia ketawa waktu kutanya soal badminton.”
“Maksudnya?”
“Tadi kita sempet ngobrol dikit. Say hello gitu deh. Terus dia nawarin aku buat datang di Tournamen Badminton. Kutanya dong siapa yang main, eh dijawabnya dia salah satu atlit peserta.”
“Kok bisa kamu nyangkain kalau Aksa itu kapten basket?”
“Ya, aku sering lihat dia main basket. Badannya juga tinggi cocok lah jadi anak basket. Terus … “ Ameria sedikit ragu bahkan malu-malu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ganteng.” Alfa menambahkan.
Ameria hanya menjawab dengan cengiran lucu. “Tunggu, kalau Aksa bukan kapten basket. Terus siapa dong?”
Alfa merasa kesal dengan senyum Ameria. Entah apa alasannya. Dia hanya merasa tidak suka dan memilih berjalan lebih dulu.
“Al, tunggu dong. Jalannya jangan cepet-cepet. Berat nih.”
Alfa mendesah. Rasa kesalnya selalu dikalahkan oleh empatinya sebagai sahabat. Dia pun melangkah mundur lalu mengangkat tas yang ada di bahu kiri Ameria tanpa bicara.
Pinterest

Diperhatikan begitu selalu membuat Ameria senang. Dimatanya Alfa benar-benar sahabat sejati. Selalu ada saat Ia membutuhkan. Selalu membantu bahkan saat ia sendiri tidak tahu apa kesulitannya.
Kalau ditanya apakah dia tidak memiliki perasaan pada Alfa maka dengan tegas akan menjawab ‘ada’.
Perasaan itu pernah muncul ketika masih duduk di kelas X. Tepat setelah tiga bulan hubungan persahabatan itu berjalan. Ameria berusaha menunjukkan pada Alfa tentang perasaannya. Tapi Alfa tidak pernah menangkap sinyal-sinyal yang Ia kirimkan. Hingga Ameria merasa bahwa Alfa hanya tertarik untuk menjalin persahabatan saja dengannya.
“Alfa tunggu!” Ameria harus berlari untuk bisa menyusul langkah Alfa yang lebar. Ia harus mengerahkan energinya dua kali hanya agar bisa menyesuaikan langkah orang-orang giganteus. Istilah yang Ameria buat untuk orang-orang yang lebih tinggi darinya.
“Kamu marah gara-gara aku bilang Aksa ganteng?”
“Untuk apa aku marah?”
“Ya kali kamu nggak suka aku bilang Aksa ganteng.”
Alfa memilih tidak menjawab dan mempercepat langkahnya. Ia bahkan mengabaikan getaran ponsel dari saku celananya.
“Alfa! Nyebelin banget sih.”
Alfa terpaksa menghentikan langkah dan berbalik malas karena dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Berdiri bersedakap dengan wajah ditekuk dan bibir yang dimajukan. Itulah yang terjadi dengan sahabatnya saat ngambek.
“Astaga, Mer.” Ameria memalingkan wajahnya. “Aku nggak tahu harus bersikap apa saat kamu bilang Aksa ganteng. Nggak mungkin kan aku loncat-loncat kegirangan. Aku cowok, dimataku semua cowok itu sama. Memangnya kamu nggak serem lihat aku bilang cowok ganteng sambil tersipu kaya kamu barusan.”
“Bener?” bibir monyong Ameria mulai kembali ke bentuk semula.
“Iya.”
“Terus ngapain kamu jalan cepet-cepet gitu?”
Kadang Alfa bisa kehabisan akal menghadapi sikap Ameria. Kalau bukan karena besarnya rasa sayang seorang sahabat mungkin Ia tidak akan peduli meski Ameria mengamuk.
“Tante Marisa udah nunggu di depan. Kamu dari tadi ditelponin nggak bisa.” Alfa menunjukkan layar ponselnya yang berkedip dengan memunculkan nama Tante Marisa.
“Kenapa baru bilang. Bunda kan nggak suka nunggu.”
Seperti dikejar anjing galak, Ameria berlari seketika. Tubuhnya memang kecil yang tingginya tidak sampai 160 cm tetapi larinya cepat dan gesit. Alfa bahkan ikut berlari untuk bisa segera menyusul.
Rasa kesal yang membuat hatinya berkabut hilang seketika. Wajah panik Ameria yang takut karena telah membuat Tante Marisa menunggu menumbuhkan senyum diwajah Alfa.
====

“Pagi, Tante.”
“Hey, Alfa. Pas banget kamu datangnya. Tante baru aja selesai bikin cookies. Nyobain resep yang suka berseliweran di Youtube.” Tante Marisa mengeluarkan toples kaca dari salah satu kabinet yang ada di dapur. “Tante setengah mati dibuat penasaran sama Youtuber yang nggak pernah kasih lihat mukanya itu. Kok bisa bikin kue pake bahan minuman instan.”
Selagi Tante Marisa memasukkan kue kering berbentuk bulat kedalam toples, Alfa mencomot satu dan memakannya dalam sekali suap.
“Gimana?” tanya Tante Marisa penasaran.
“Entahlah.” Alfa memakan satu cookies lagi. Kali ini dengan penuh penghayatan. Dengan mata yang sesekali memejam seolah sedang mengerahkan seluruh kekutan pada indera perasanya.
Tante Marisa benar-benar sedang menanti pendapat Alfa tentang kue buatannya itu. hanya saja, setelah Alfa berhasil menelan kue kedua, mulutnya mengunyah kue ketiga lalu keempat. Saat tangannya hendak mengambil kue kelima, Tante Marisa segera menutup toples.
“Ngincip apa doyan?” Tante Marisa meninggalkan Alfa yang tergelak dengan mulut penuh makanan.
“Sekarang trend-nya tukang ngincip yang doyan, Tan.”
“Bisaan ya, kamu itu.” Tante Marisa menyalakan TV kemudian duduk di sofa berwarna putih. “Sini temenin Tante ngabisin kue sambil nonton TV.”
“Drama korea, Tan?”
“Waktu Tante nggak sebanyak Ameria yang bisa menghabiskan satu drama dalam 24 jam.”
tvseriesfinale.com

Pada layar datar itu sedang menampilkan sebuah regu pemadam kebakaran sedang melakukan pencarian didalam kargo pesawat. Tidak lama kemudian petugas tersebut menemukan sebuah kardus besar. Ketika dibuka kubus berukuran sangat besar itu berisi seorang pria yang lemas karena terjebak didalamnya selama berjam-jam.
“Tante lagi suka lihat film-film penyelamatan kaya gini.”
Laki-laki yang diperkirakan berusia 20 tahunan tersebut menderita hipotermia. Sehingga petugas berseragam biru tersebut menyelimutinya dengan selimut khusus untuk menghangatkan.
“Orang mungkin lebih mengenal Batman, Spidermen, Kapten Amerika, bahkan Gundala sebagai superhero. Tapi buat Tante merekalah superhero sesungguhnya. Seorang manusia biasa yang memilih berprofesi sebagai seorang penolong.”
Adegan berganti saat pemuda tadi akan dimasukkan kedalam ambulan. Kemudian seorang petugas memberikan ponsel padanya.
“Lihat wanita yang bernama Maggy. Dia berusaha keras untuk menyelamatkan pemuda itu hanya dengan suaranya. Dia meyakinkan pemuda itu untuk yakin bahwa dia pasti selamat. Bukan hal mudah tentu saja.”
Narasi panjang yang diberikan Tante Marisa benar-benar membuat Alfa terhipnotis. Perhatiannya berpusat pada adegan demi adegan yang Ia saksikan di layar televisi. Hingga membuatnya lupa tujuannya datang kesana.
Kisah penyelamatan pemuda yang terjebak dalam sebuah kardus membuat sebuah ketukan lembut dalam hatinya. Getaran itu berlanjut kemudian mengirimkan sinyal-sinyal pada otaknya untuk dibuatkan bentuk visual. Namun, belum sempat imajinasi itu terjadi sebuah suara yang khas ditelinganya bergema.
“Diihh, malah asik nemenin bunda nonton TV. Jadi pergi nggak?”
“Gimana nggak asik. Nungguin kamu dandan aja lama banget. Padahal tambah cantik juga nggak. Gimana mau punya pacar.” Bunda menyahut.
“Cantik dan punya pacar itu nggak ada hubungannya kali, Bun. Yuk, berangkat. Keburu tutup toko bukunya.”
Sepertinya Ameria sedang berada di zona peralihan, antara dunia nyata dengan dunia fiksi yang dibacanya semalaman. Sehingga Ia tidak tahu sedang di dunia mana saat ini. Padahal matahari sedang bersemangat menyinari bumi dan disambut gembira oleh kepakan sayap kupu-kupu mencari sari bunga malah disangkanya sudah malam.
Ameria mencium tangan bundanya untuk berpamitan. Disusul Alfa sambil mengucapkan terima kasih karena sudah diberi kesempatan mencicipi cookies buatannya.
“Kuenya beneran enak, Tan.”

====

Akhirnya buku bersampul putih itu berhasil Alfa temukan. Setelah berjalan mengelilingi toko buku. Beralih dari satu rak ke rak yang lainnya.
Sebenarnya mudah saja jika ingin membeli sebuah buku tanpa harus mencari satu per satu. Tinggal menggunakan komputer yang sudah disediakan lalu masukkan judul buku atau nama penulisnya. Maka katalog digital tersebut akan menemukannya dengan menunjukkan  kategori dan ketersediaannya saat ini.
Tentu saja hal itu tidak dilakukan anak-buku seperti Alfa dan Ameria. Berkunjung ke toko buku seperti hangout di mall bersama teman.

Setelah menemukan salah satu buku karangan David Wallace-wells, Alfa mencari Ameria. Tidak sulit mencari gadis mungil diantara lautan buku ini. cari saja diantara rak buku-buku fiksi. Disanalah satu-satunya sudut toko buku yang bisa menahan Ameria hingga berjam-jam lamanya.
Nah, itu dia. Satu-satunya perempuan yang masih mengenakan penutup kepala berbahan rajut ditengah hebohnya bunny hat. Alfa langsung menemukan Ameria bahkan saat Ia masih dibagian buku-buku bahasa yang letaknya dipaling ujung.
“Mau dibeli semua?”
Ameria mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari buku yang sedang dibaca. Disampingnya ada tas yang hampir penuh dengan buku.
“Winna Effendy, Winna Effendy, Ilana Tan, Prince Charming? Move on?” Alfa menaikkan satu oktaf pada nada suaranya. “Mau sampai kapan kamu baca buku ginian?”
“Buku ginian?” Ameria menurunkan buku yang sejak tadi menutupi wajahnya.
“Ya gini. Buku-buku yang bahas cinta-cintaan yang terlalu sulit ditemukan dalam dunia nyata.”
Ameria menutup bukunya. Kemudian mengambil sebuah buku yang ada ditangan Alfa.
“Bumi Yang Tak Dapat Di Huni. Kamu sendiri ngapain baca buku ginian?” balas Ameria ketus.
“Ginian? Kamu tahu nggak buku ini tuh berisi tentang betapa kacaunya bumi saat … “
“Udah deh, Stop book shaming … “
“Setiap orang punya selera masing-masing.” Ucap keduanya bersamaan.
Alfa meringis. “Sorry, khilaf.”
Mereka sudah sepakat untuk tidak mengomentari pilihan bacaan orang. topik-topik tentang buku fisik atau buku digital, fiksi atau non-fiksi semuanya memiliki sisi baik dan buruk. Semua itu kembali pada selera masing-masing.
“Udahan, yuk? Haus banget.” Ameria mengambil ponsel di dalam tas. “Astaga! Udah tiga jam kita disini.”
Ameria nyelonong sendiri menuju kasir. Melupakan tas yang berisi buku-buku yang akan dibelinya. Juga sahabatnya yang hendak berucap sesuatu karena lawan bicaranya sudah pergi.
====
“Mau makan apa?”
“Minum aja deh. Makan dirumah aja. Bunda udah masak. Nanti ngomel lagi kalau anaknya nggak makan dirumah.”
Mereka sudah tiba disebuah coffe shop. Letaknya sangat dekat karena masih satu gedung dengan toko buku langganan mereka. Hanya berbeda lantai saja. toko buku berada dilantai atas sementara kafe berada dilantai dasar.
“Yaudah. Kamu mau minum apa?”
Salted caramel milkshake sama air mineral, deh.”
“Oke. Tunggu bentar, ya.”
Setelah Alfa pergi untuk memesan, Ameria kembali disibukkan dengan hasil belajanya. Setelah memastikan meja dihadapannya bersih, Ameria mengeluarkan semua buku-buku tersebut. Menatanya sedemian rupa sehingga tampak menarik saat dilakukan pengambilan gambar.
Satu bidikan berhasil diambil. Tetapi Ameria masih merasa belum cukup. Ia lalu mengubah sedikit kompisisinya dengan mengubah posisi buku.
Alfa sudah kembali dengan nampan berisi dua gelas besar dan satu botol air putih. Ia mendesah melihat sahabatnya itu meliuk-liukkan badan demi mendapatkan sebuah foto.
“Nggak bisa dirumah aja?”
“Hari ini aku belum posting sama sekali. Nyampe rumah pasti nggak sempet. Harus mandi dulu lah, makan dulu lah. Belum alarm peringatan untuk belajar.” Setelah blitz berkedip barulah Ameria berdiri tegak seperti manusia normal. “Cukuplah. Nanti tinggal edit dikit.”
Ameria segera mematikan ponsel, menyimpan kedalam tas lalu membereskan buku-buku dari atas meja. Setelah Alfa meletakkan semua pesanan diatas meja, Ameria langsung mengahabiskan sebotol air dalam sekali teguk. Alfa hanya bisa berdecak dengan sikap tidak sabarannya.
“Lega akhirnya.” Ameria mengusap dahinya yang berkeringat. “Dehidrasi deh, aku.”
“Kupluk kamu basah tuh. Kena keringat.”
Ameria memegang ujung penutup kepalanya. Memang terasa lembab. “Biarin aja, deh.”
“Tapi, Mer. Kamu perlu memperkaya bacaan deh. Aku nggak meremehkan suma, ya, sesekali keluar dari kebiasaan aja.”
“Selama novel aku mau.”
“Kamu anti banget sama buku non fiksi.”
“Bukan anti. Mauku selesai baca itu seneng, fresh makanya aku lebih suka baca teenlit karena ceritanya ringan.”
“Ehm … “Alfa sedang berpikir. “Coba seri Dark Guardiannya Rachel Hawhorne, deh. Fantasi sih tapi asik kok. Ada cinta-cintaannya juga.”
“Kamu baca novel? Serius?”
Alfa mengangguk sambil menyeruput Americano hangatnya.
“Terus kenapa kamu ngomel terus kalau aku baca novel?”
Alfa mengangkat bahunya ke atas, acuh. “Iseng, aja.”
“Alfa!”
 “Tunggu, ada chat dari bunda.”
Ini salah satu aturan tidak tertulis yang mereka sepakati. Tidak menggunakan gawai untuk aktivitas media sosial ketika bersama. Keculi untuk hal-hal tertentu seperti panggilan dari orang tua dan mereka memberi nada khusus sebagai pemberitahuan.
“Bunda nanya kapan kita pulang. Aku bilang sejam lagi sampai rumah.” Ameria membaca dan menjawab isi pesan dari Tante Marisa agar juga Alfa mengetahuinya. Setelah mengirim balasan itu, sebuah notifikasi dari Instagram muncul. Dan isinya tidak sengaja terbaca olehnya.
“Kamu tahu nggak? Follower instagram aku udah sampai 3000. Hari ini mungkin lebih.”
“Tahulah. Kamu lupa kalau aku salah satu dari 3000 akun itu.”
Ameria menjawab dengan menunjukkan deretan giginya yang rapi.
“Mau sampai kapan kamu aktif di komunitas itu?”
“Sampai semua orang biasa membaca buku.”
Alfa mendesah. “Itu sama aja kaya kamu lagi nunggu perdamaian antara Palestina dan Israel.”
“Kiamat, dong” balas Ameria. ”Ya nggak apa-apa. Biar lama tapi kan pasti terjadi. Meski entah kapan.” Ameria meminum milkshake melalui sedotan. “Kamu tahu nggak, salah satu pengikutku nge-DM aku. dia bilang bahwa sejak mengikuti postinganku dia mulai baca buku. Padahal awalnya dia follow aku karena dia suka sama konsep feed IG aku yang sederhana dan klasik.”
“Kita tuh nggak bisa maksa orang buat ngikutin kesukaan kita. Lagi pula media sosial bikin orang lupa waktu”
“Emang. Tapi kita nggak bisa menilai dari salah satu sisi aja. Lihat, ada banyak orang yang terbantu dari medsos. Ya, meski banyak juga yang akhirnya kena musibah. Tapi kan kita bisa ngasih pengaruh positif untuk banyak orang. Makanya influenzer sekarang pertumbuhannya kaya pengguna facebook.” Ameria mengakhiri teorinya dengan senyum percaya diri.
“Analogi kamu tuh sama sekali nggak nyambung.”
Ameria mengangguk setuju lalu tertawa bersama Alfa. Tawa yang selalu mengiasi percakapan tentang penilaian terhadap sesuatu.
“Alfameria?”
Dua orang pemilik nama langsung menghentikan tawa. Dan mencari sumber suara yang menggabung kedua nama mereka.
“Aksa? Disini juga?” Ameria menyambut dengan antusias.
“Iya lagi beli minum terus lihat kalian.”
“Sendirian?” tanya Alfa.
“Sama nyokap tapi lagi belanja. Tuh disana.” Aksa menunjuk pada seorang wanita yang ada di sebuah gerai baju tepat di depan kafe.
“Gabung yuk?” Ajak Ameria.
“Thanks. Tapi lain kali aja. Nggak enak kalau dicariin nyokap. Yaudah, aku duluan ya?”
Alfa dan Ameria memerhatikan Aksa yang berjalan keluar kafe. Perhatian itu bahkan berlangsung sampai Aksa menghampiri mamanya yang sedang memilih baju.
“Lucu, ya? Masih ada aja anak milenial yang nemenin mamanya jalan. Nggak kaya …” Ameria melanjutkan ucapannya dengan lirikan mata yang ditujukan pada Alfa.
“Kalau tiap weekend aku nemenin mama jalan lalu yang bawain belanjaan buku kamu siapa?”
Lagi-lagi Ameria hanya bisa meringis. “Makasih udah nemenin aku kemanapun aku pergi.”
“Lebay, deh. Pulang yuk?”







10 komentar:

  1. Cerita remaja dan persahabatannya keren, aku belum bisa begini apalagi dialog heuuu

    BalasHapus
  2. Wah nanti gimana nih ya Alfa sama ameria ini, apa bakal temenan terus apa jadi kekasih ya di akhir. Ga sabar nunggu lanjutannya

    BalasHapus
  3. Wow, alurnya mengalir jadi enak bacanya. Apa ini tentang cinta segitiga ya. Ditunggu kelanjutannya mbak.

    BalasHapus
  4. Ciyeh...ciyeh... Alfameria... Kirain mah, tentang istilah fisika. Pas banget pembukanya ujian fisika. HEhehe

    BalasHapus
  5. Wah mba ternyata jago juga nulis tulisan kayak gini. Keren ikh. Soalnya aku ga bisa nulis fiksi kayak gini. Aku bisanya nulis curhat doang di blog

    BalasHapus
  6. Mbak bagus banget ceritanya, ngalir, bisa ngebayangin langsung adegannya. Ada lanjutannya nggak.

    BalasHapus
  7. Ya ampuun aku suka banget ceritanya...ku jadi inget masa-masa mudaku huhuhu
    Lanjutkeun Mbak...ini bagus sekali!
    kusukaaa!!

    BalasHapus
  8. Mereka-reka alur cerita selanjutnya gimana ya? Hihi...menebak-nebak sp tahu samaan ide ya mb...

    BalasHapus
  9. Woww, suka ceritanya. Ceria banget khas anak remaja. Kerenn, Mbak

    BalasHapus
  10. Mbak, ini cinta segitiga gt ya, ah ngingetin saat masih gadis mbak hihi. Ceritanya mengalir, bagus mbak. Ditunggu lanjutannya :))

    BalasHapus

Follow Us @soratemplates