Jumat, 27 Maret 2020

# cerpen # Fiksi

SETELAH KAMU MENGHILANG



Pixabay

“Bu!!! Ada polisi.”
Butiran keringat menempel dipelipis Bi Marni. Bukan hanya itu nafasnya pun tersengal-sengal. Namun ibu sama sekali tidak terusik dengan ketegangan yang ditampilkan oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak  Rea belum dilahirkan. Ibu sudah terbiasa menghadapi Bi Marni yang sering berlebihan menghadapi beberapa situasi. Ingat kejadian Rea pingsan tapi Bi Marni mengatakan meninggal?
“Bu, Kayanya Bi Marni nggak lebay deh.” Rea mengingatkan.
Ibu pun melepas sarung tangan karetnya dan meletakkan cangkul kecilnya. Singkong-singkong didepannya sebenarnya ingin segera dicabutnya karena sudah harus dimasak mala mini agar etalase di kafe tidak kosong esok pagi.
“Memangnya Bi Marni habis lihat apa?”
“Polisi, Bu. Didepan rumah.”
“Rumah siapa?”
“Rumah kita. Ada banyak mobil dan orang-orang berpakaian hitam. Lagi  nunggu diluar. Saya nggak berani bukain pager. Takut.”
Kepanikan yang diperlihatkan Bi Marni sepertinya bukan sikap berlebihan.
Tanpa melepas celemek yang masih melekat Ibu langsung melangkah pergi. Rea menyusul dibelakangnya dengan Bi Marni yang berjalan takut-takut.
Kali ini bukan hanya Bi Marni, Ibu dan Rea pun lemas melihat halaman depan rumah sudah dipenuhi kendaraan milik aparat keamanan dan dua mobil sedan mewah. Pertanyaannya adalah siapa yang membukakan pagar rumah?
Dengan langkah cepat ketiga wanita tadi memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka itu. dengan dua laki-laki mengenakan setelan berwarna hitam seperti yang dikatakan Bi Marni serta dua polisi yang duduk dikursi teras.
Bisa ditebak betapa tegangnya wajah tiga wanita berbeda generasi itu. ibu bahkan tidak merasa perlu menyapa apalagi bertanya bagaimana orang-orang berpenampilan sangar itu bisa memasuki rumahnya. Yang Rea yakini sesuatu yang tidak beres pasti sedang terjadi. hatinya selalu berbisik semoga sesuatu itu bukan lagi hal yang mendatangkan kesedihan dirumahnya. Tahun boleh berganti tapi waktu, sejauh ini, belum mampu menghapuskan kesedihan yang pernah menghampiri tanpa permisi.
Ini bukan sinetron atau film yang penuh dengan dramatisasi. Tapi drama itu benar-benar sedang terjadi. secara tiba-tiba langkah ibu terhenti ketika sudah melewati pintu. Ibu hanya berdiri mematung tanpa memedulikan Rea dan Bi Marni yang nyaris menabraknya karena berhenti secara tiba-tiba.
“Ibu!” Rea memprotes. “Ada … apa?”
***
Pixabay

Bukan tanpa alasan polisi dan para bodyguard itu bertandang ke kediaman keluarga Rea. Para laki-laki yang bertugas memberikan pengamanan itu sedang mengawal mantan Presiden ke-5 Indonesia. Tentu saja kedatangannya tidak sendiri melainkan bersama istri juga anaknya.
Kedatangan salah satu tokoh penting Negara saja sudah memberikan kejutan yang tidak terduga bagi Pak Haryo. Jangan dikira perasaan bahagia yang sedang dirasakan. Perasaan itu masih 10% persen menyapa. Sisanya adalah gugup dan panic. itu belum ditambah dengan tujuan khusus yang dibawa.
Bi Marni datang dengan satu nampan penuh teh panas dan satu piring besar singkong goreng. Meletakkan satu per satu cangkir didepan enam orang yang duduk saling berhadapan. Rea berharap semua ini adalah salah satu mimpinya yang sebentar lagi menghilang bersama uap panas dari dalam cangkir putih itu.
Sajiansedap.com

“Sebelumnya kami mohon maaf sudah menganggu waktu istirahat Pak Haryo. Tapi sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kami Orang tua Albi. Tapi teman-temannya lebih sering memanggilnya Ben, betul begitu Anak Rea?”
Rea hanya menanggapi dengan anggukan pelan. Sangat pelan.
“Maksud kedatangan kami yang mendadak ini ingin menyambung silahturahim dengan keluarga Bapak.”
“Ba … baik, Pak. Te .. terimakasih atas kunjungannya.”
“Silahkan diminum. Singkong hasil panen dari sawah kami sendiri.”
Kalau berhadapan dengan orang, Ibu sangat bisa diandalkan dibanding Bapak. Ibu memang memiliki kemampuan diplomasi yang sangat bagus. Tentu saja kemampuan itu bukan turunan atau takdir seperti yang kebanyakan orang yakini bahwa kecerdasan itu menurun. Meski hanya menjadi istri petani, Ibu adalah sarjana komunikasi. Kemampuan itu juga yang mengantarkan Bapak menjadi seperti saat ini.
“Saya dengar dari Albi kalau Bapak jadi pemasok bahan baku disalah satu perusaan besar.”
“Ya … kebetulan tetangga menyewakan sawahnya untuk kami kelola. Bagi hasil dari kerjasama itu lumayan. Minimal sebagian besar masyarakat sini tidak pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik atau satpam karena merasa penghasilan dari bertani tidak cukup.”
Percakapan basa-basi yang dilakukan ibu itu rupanya tidak sekalipun mengalihkan kegelisahan hati Rea. Bukan karena kedatangan tamu besar atau karena kemunculan yang mengejutkan dari laki-laki yang duduk didepannya. Melainkan tujuan utama yang belum juga tersampaikan setelah percakapan panjang itu.
“Suguhan yang disajikan Ibu sangat memanjakan kami. Tentu saja itu bukan maksud kedatangan kami.”
Rea ingin sekali menarik nafas dalam lalu menghembuskannya lagi. hanya sekedar meredakan degup jantungnya yang tidak beraturan.
“Selain silahturahim, maksud kedatangan kami adalah untuk meminta putri bapak ibu, Nak Rea. Karena anak bungsu kami, Albi berkeinginan untuk meminang Nak Rea.”
“Sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih atas niat baik bapak sekeluarga. Saya mewakili bapak sangat senang atas maksud kedatangan bapak.”
Sesak semakin menghimpit Rea. Bukan hanya dari pertemuan dua keluarga atau tatapan Ben yang sejak tadi tidak berpaling yang hanya membuat Rea semakin terkunci dalam duduknya. Remasan di kedua tangannya pun semakin kuat.
Ibu menarik salah satu tangan Rea yang berkeringat dan menggenggamnya. Menegakkan duduknya, Ibu memandang putrid tunggalnya tersebut.
“Rea memang bukan gadis istimewa. Bukan pula seorang anak yang terlahir dari keluarga terpandang. Tapi Rea kami besarkan dilingkungan yang menjunjung tinggi norma-norma timur yang menjunjung tinggi kehormatannya. Pendidikannya juga tinggi meski hanya anak dari keluarga petani. Dengan latar belakang keluarga kami yang saya yakin sudah bapak ketahui. Saya atas nama suami menerima pinangan putra bapak, Albi.”
“Ibu … “ Rea mendesis menatap ibunya yang dengan percaya diri menjadi juru bicara itu.
Rea tidak habis pikir bagaimana mungkin Ibu membuat keputusan tanpa bertanya terlebih dahulu padanya. Memang seperti budaya yang dianut keluarga besar selama ini bahwa suami dari anak perempuan adalah tanggung jawab orang tua. Tapi bukan berarti tanpa mempertimbangkan pendapat seorang anak, bukan?
“Alhamdulillah.”
Ucap syukur tidak hanya ditunjukkan oleh kedua orang tua Ben. Bahkan Bapak pun merasa sangat lega mendengar kesepakatan yang baru saja terjadi itu.
“Kalau begitu kapan kita adakan pertemuan lagi untuk membahas tanggal pernikahan?”
Rea menatap sekaligus meremas tangan ibunya. Berharap ibunya mau memberikan sebuah kesempatan untuknya menyampaikan pendapat.
“Semakin cepat semakin baik. Bahkan kalau bapak ibu tidak ada rencana, sekarang pun bisa kita membicarakannya.”
***

“Ibu, kenapa nggak tanya Rea dulu?”
“Ini sudah adat keluarga, Rea. Ingat?”
“Tapi Rea ada disana. Bu. Rea bukan manekin yang bisa diatur sesuka hati. Pernikahan itu …”
“Kamu yang jalani?”
Rea terdiam mendangar kalimatnya dipotong Ibu dengan cepat.
“Bukan hanya persoalan adat keluarga Rea. Ibu tahu kamu juga menginginkan pernikahan ini terjadi. Ben keluarga terpandang yang dengan jelas menginginkan kamu menjadi bagian keluarga mereka. Tidak ada yang salah dari semua ini.”
“Salah, Bu. Semua ini salah. Justru karena Ben dan keluarganya pernikahan ini adalah kesalahan.”
“Dibagian mananya Ben salah?”
“Ibu nggak ngerti. Rea nggak bisa nikah dengan Ben.”
“Kenapa?”
“Karena … karena …”
“Karena Ben usianya lebih muda dari kamu? Karena Ben anak mantan pejabat?” cecer Ibu.
“Karena Rea sudah bertunangan!!!”
“Dendra sudah meninggal, Rea. Dia sudah pergi dua tahun yang lalu.” Sahut Bapak dengan suaranya yang dalam.
Tidak ada yang bersuara setelahnya. Hanya Rea yang akhirnya menjatuhkan air mata dipipi.
“Kedua orangtua Dendra sudah ikhlas. Kami semua sudah ikhlas. Cincin yang kamu kenakan itu tidak memiliki arti apa-apa lagi.” Bapak menatap lingkaran emas dijari manis anaknya. Lalu berindah pada wajah Rea yang bersimbah air mata. “Lepaskan.”
Wajah Ayu Rea memandang tidak percaya pada Bapak dan Ibu secara bergantian. Tidak percaya karena memutuskan pernikahan secara sepihak. Tidak percaya karena meminta anaknya melepaskan cincin pertunangan dengan begitu mudah.
Rea bangkit dari duduk dan pergi tanpa berucap sepata kata pun.
“Pernikahan ini untuk kebaikanmu Rea. Karena kami …”
Debaman pintu menjadi jawaban perkataan bapak yang belum usai.
“Karena kami menyayangimu.” Lanjut Bapak lirih.
Sepasang suami istri yang rambutnya mulai memutih itu kembali menyambut duka. Sangat mengerti kehilangan yang pernah dialaminya putrinya. Bahkan mereka pun merasakan hal yang sama. Hanya tidak pernah mengira bahwa ratusan hari yang sudah terlewati belum juga membawa pergi duka yang tersisa.
Ibu meraih telapak tangan Bapak. Menggenggamnya lembut.
“Rea pasti bisa ikhlas, Pak. Rea pasti bisa menerima Ben.”
“Entahlah, Bu. Bapak bahkan tidak apa yang Rea rasakan selama ini.”
“Percaya saja, Pak. Rea hanya perlu sedikit waktu lagi untuk menerima Ben.”
“Maksud, Ibu?”
“Menurut Bapak, dari mana keluarga Pak Yudho melamar Rea?”
“Entahlah. Tuhan yang mengirim?” jawab Bapak tidak yakin.
“Melantur Bapak ini.”
“Lah bisa saja tho. Namanya jodoh Cuma tuhan yang tahu.”
“Rea dan Ben itu sudah lama saling kenal. Kalau nggak salah sekarang Ben itu jadi suplyer tetap di kedai kopi Rea.”
“Ya itu kan cuma urusan pekerjaan Bu.”
“Bapak aja yang nggak tahu. Ben itu beberapa kali pernah ke rumah pas antar Rea pulang.”
“Jadi ibu udah kenal Ben lama?”
“Ya tahu aja Pak.”
“Berarti ibu juga tahu kalau Ben anaknya mantan presiden?”
“Nah kalau itu ibu juga baru tahu.” Ibu menyesap the yang sudah dingin. “Ibu tadi beneran takut ada apa-apa, Pak. Rumah didatangi polisi. Ibu pikir bapak jadi korban tabrak lari.”
“Emang ibu aja. bapak juga hampir kena serangan jantung. Pulang dari sawah ditungguin mobil polisi. Kirain rumah kita habis dirampok.”
Ya, perbincangan itu sudah melenceng jauh. Secepat itulah topic pembicaraan itu berganti. Seolah persoalan yang sedang mereka hadapi semudah mencabut singkong di kebun belakang atau menanamnya di sawah.
Padahal disalah satu ruangan dirumah besar mereka, termenung Rea seorang diri. menangisi sesuatu yang sudah lama meninggalkannya atau kebahagian yang datang terlalu cepat hingga gagal menginterpretasikannya dengan benar.
Ben, siapa lagi seseorang yang selalu gagal dipahami Rea. Meski hati kecil Rea berusaha menerobos dinding penolakan yang Rea bangun. Usaha yang begitu gigih itu pun meruntuhkan sedikit demi sedikit tembok pembatas. Yang kini telah mengibarkan bendera kemenangan. Sedikit lagi Rea akan menyadari bahwa Ben adalah laki-laki yang tepat dari segala perbedaan yang semu itu.
Benar kata ibu, bahwa Rea hanya perlu sedikit waktu lagi. tambahan kesempatan untuk mengumpulkan kepingan kepingan hati yang selama ini tercecer yang akan disatukan dan membentuk nama Ben dihatinya.
Tidak hanya semesta yang mendukungnya. Bahkan jika Tuhan memberi kesempatan, Dendra akan menyemangatinya untuk kembali mencinta tanpa perlu melupakan cinta yang pernah hadir sebelumnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates