“Bu!!!
Ada polisi.”
Butiran
keringat menempel dipelipis Bi Marni. Bukan hanya itu nafasnya pun
tersengal-sengal. Namun ibu sama sekali tidak terusik dengan ketegangan yang
ditampilkan oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak Rea belum dilahirkan. Ibu sudah terbiasa
menghadapi Bi Marni yang sering berlebihan menghadapi beberapa situasi. Ingat
kejadian Rea pingsan tapi Bi Marni mengatakan meninggal?
“Bu,
Kayanya Bi Marni nggak lebay deh.” Rea mengingatkan.
Ibu
pun melepas sarung tangan karetnya dan meletakkan cangkul kecilnya.
Singkong-singkong didepannya sebenarnya ingin segera dicabutnya karena sudah
harus dimasak mala mini agar etalase di kafe tidak kosong esok pagi.
“Memangnya
Bi Marni habis lihat apa?”
“Polisi,
Bu. Didepan rumah.”
“Rumah
siapa?”
“Rumah
kita. Ada banyak mobil dan orang-orang berpakaian hitam. Lagi nunggu diluar. Saya nggak berani bukain
pager. Takut.”
Kepanikan
yang diperlihatkan Bi Marni sepertinya bukan sikap berlebihan.
Tanpa
melepas celemek yang masih melekat Ibu langsung melangkah pergi. Rea menyusul
dibelakangnya dengan Bi Marni yang berjalan takut-takut.
Kali
ini bukan hanya Bi Marni, Ibu dan Rea pun lemas melihat halaman depan rumah
sudah dipenuhi kendaraan milik aparat keamanan dan dua mobil sedan mewah.
Pertanyaannya adalah siapa yang membukakan pagar rumah?
Dengan
langkah cepat ketiga wanita tadi memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka
itu. dengan dua laki-laki mengenakan setelan berwarna hitam seperti yang
dikatakan Bi Marni serta dua polisi yang duduk dikursi teras.
Bisa
ditebak betapa tegangnya wajah tiga wanita berbeda generasi itu. ibu bahkan
tidak merasa perlu menyapa apalagi bertanya bagaimana orang-orang berpenampilan
sangar itu bisa memasuki rumahnya. Yang Rea yakini sesuatu yang tidak beres
pasti sedang terjadi. hatinya selalu berbisik semoga sesuatu itu bukan lagi hal
yang mendatangkan kesedihan dirumahnya. Tahun boleh berganti tapi waktu, sejauh
ini, belum mampu menghapuskan kesedihan yang pernah menghampiri tanpa permisi.
Ini
bukan sinetron atau film yang penuh dengan dramatisasi. Tapi drama itu
benar-benar sedang terjadi. secara tiba-tiba langkah ibu terhenti ketika sudah
melewati pintu. Ibu hanya berdiri mematung tanpa memedulikan Rea dan Bi Marni
yang nyaris menabraknya karena berhenti secara tiba-tiba.
“Ibu!”
Rea memprotes. “Ada … apa?”
Bukan
tanpa alasan polisi dan para bodyguard itu bertandang ke kediaman keluarga Rea.
Para laki-laki yang bertugas memberikan pengamanan itu sedang mengawal mantan
Presiden ke-5 Indonesia. Tentu saja kedatangannya tidak sendiri melainkan
bersama istri juga anaknya.
Kedatangan
salah satu tokoh penting Negara saja sudah memberikan kejutan yang tidak
terduga bagi Pak Haryo. Jangan dikira perasaan bahagia yang sedang dirasakan.
Perasaan itu masih 10% persen menyapa. Sisanya adalah gugup dan panic. itu
belum ditambah dengan tujuan khusus yang dibawa.
Bi
Marni datang dengan satu nampan penuh teh panas dan satu piring besar singkong
goreng. Meletakkan satu per satu cangkir didepan enam orang yang duduk saling
berhadapan. Rea berharap semua ini adalah salah satu mimpinya yang sebentar
lagi menghilang bersama uap panas dari dalam cangkir putih itu.
Sajiansedap.com |
“Sebelumnya
kami mohon maaf sudah menganggu waktu istirahat Pak Haryo. Tapi sebelumnya saya
ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kami Orang tua Albi. Tapi
teman-temannya lebih sering memanggilnya Ben, betul begitu Anak Rea?”
Rea
hanya menanggapi dengan anggukan pelan. Sangat pelan.
“Maksud
kedatangan kami yang mendadak ini ingin menyambung silahturahim dengan keluarga
Bapak.”
“Ba
… baik, Pak. Te .. terimakasih atas kunjungannya.”
“Silahkan
diminum. Singkong hasil panen dari sawah kami sendiri.”
Kalau
berhadapan dengan orang, Ibu sangat bisa diandalkan dibanding Bapak. Ibu memang
memiliki kemampuan diplomasi yang sangat bagus. Tentu saja kemampuan itu bukan
turunan atau takdir seperti yang kebanyakan orang yakini bahwa kecerdasan itu
menurun. Meski hanya menjadi istri petani, Ibu adalah sarjana komunikasi.
Kemampuan itu juga yang mengantarkan Bapak menjadi seperti saat ini.
“Saya
dengar dari Albi kalau Bapak jadi pemasok bahan baku disalah satu perusaan
besar.”
“Ya
… kebetulan tetangga menyewakan sawahnya untuk kami kelola. Bagi hasil dari
kerjasama itu lumayan. Minimal sebagian besar masyarakat sini tidak pergi ke
kota untuk menjadi buruh pabrik atau satpam karena merasa penghasilan dari
bertani tidak cukup.”
Percakapan
basa-basi yang dilakukan ibu itu rupanya tidak sekalipun mengalihkan
kegelisahan hati Rea. Bukan karena kedatangan tamu besar atau karena kemunculan
yang mengejutkan dari laki-laki yang duduk didepannya. Melainkan tujuan utama
yang belum juga tersampaikan setelah percakapan panjang itu.
“Suguhan
yang disajikan Ibu sangat memanjakan kami. Tentu saja itu bukan maksud
kedatangan kami.”
Rea
ingin sekali menarik nafas dalam lalu menghembuskannya lagi. hanya sekedar
meredakan degup jantungnya yang tidak beraturan.
“Selain
silahturahim, maksud kedatangan kami adalah untuk meminta putri bapak ibu, Nak
Rea. Karena anak bungsu kami, Albi berkeinginan untuk meminang Nak Rea.”
“Sebelumnya
saya mengucapkan banyak terimakasih atas niat baik bapak sekeluarga. Saya
mewakili bapak sangat senang atas maksud kedatangan bapak.”
Sesak
semakin menghimpit Rea. Bukan hanya dari pertemuan dua keluarga atau tatapan
Ben yang sejak tadi tidak berpaling yang hanya membuat Rea semakin terkunci
dalam duduknya. Remasan di kedua tangannya pun semakin kuat.
Ibu
menarik salah satu tangan Rea yang berkeringat dan menggenggamnya. Menegakkan
duduknya, Ibu memandang putrid tunggalnya tersebut.
“Rea
memang bukan gadis istimewa. Bukan pula seorang anak yang terlahir dari
keluarga terpandang. Tapi Rea kami besarkan dilingkungan yang menjunjung tinggi
norma-norma timur yang menjunjung tinggi kehormatannya. Pendidikannya juga
tinggi meski hanya anak dari keluarga petani. Dengan latar belakang keluarga
kami yang saya yakin sudah bapak ketahui. Saya atas nama suami menerima
pinangan putra bapak, Albi.”
“Ibu
… “ Rea mendesis menatap ibunya yang dengan percaya diri menjadi juru bicara
itu.
Rea
tidak habis pikir bagaimana mungkin Ibu membuat keputusan tanpa bertanya
terlebih dahulu padanya. Memang seperti budaya yang dianut keluarga besar
selama ini bahwa suami dari anak perempuan adalah tanggung jawab orang tua.
Tapi bukan berarti tanpa mempertimbangkan pendapat seorang anak, bukan?
“Alhamdulillah.”
Ucap
syukur tidak hanya ditunjukkan oleh kedua orang tua Ben. Bahkan Bapak pun
merasa sangat lega mendengar kesepakatan yang baru saja terjadi itu.
“Kalau
begitu kapan kita adakan pertemuan lagi untuk membahas tanggal pernikahan?”
Rea
menatap sekaligus meremas tangan ibunya. Berharap ibunya mau memberikan sebuah
kesempatan untuknya menyampaikan pendapat.
“Semakin
cepat semakin baik. Bahkan kalau bapak ibu tidak ada rencana, sekarang pun bisa
kita membicarakannya.”
***
“Ibu,
kenapa nggak tanya Rea dulu?”
“Ini
sudah adat keluarga, Rea. Ingat?”
“Tapi
Rea ada disana. Bu. Rea bukan manekin yang bisa diatur sesuka hati. Pernikahan
itu …”
“Kamu
yang jalani?”
Rea
terdiam mendangar kalimatnya dipotong Ibu dengan cepat.
“Bukan
hanya persoalan adat keluarga Rea. Ibu tahu kamu juga menginginkan pernikahan
ini terjadi. Ben keluarga terpandang yang dengan jelas menginginkan kamu
menjadi bagian keluarga mereka. Tidak ada yang salah dari semua ini.”
“Salah,
Bu. Semua ini salah. Justru karena Ben dan keluarganya pernikahan ini adalah
kesalahan.”
“Dibagian
mananya Ben salah?”
“Ibu
nggak ngerti. Rea nggak bisa nikah dengan Ben.”
“Kenapa?”
“Karena
… karena …”
“Karena
Ben usianya lebih muda dari kamu? Karena Ben anak mantan pejabat?” cecer Ibu.
“Karena
Rea sudah bertunangan!!!”
“Dendra
sudah meninggal, Rea. Dia sudah pergi dua tahun yang lalu.” Sahut Bapak dengan
suaranya yang dalam.
Tidak
ada yang bersuara setelahnya. Hanya Rea yang akhirnya menjatuhkan air mata
dipipi.
“Kedua
orangtua Dendra sudah ikhlas. Kami semua sudah ikhlas. Cincin yang kamu kenakan
itu tidak memiliki arti apa-apa lagi.” Bapak menatap lingkaran emas dijari
manis anaknya. Lalu berindah pada wajah Rea yang bersimbah air mata.
“Lepaskan.”
Wajah
Ayu Rea memandang tidak percaya pada Bapak dan Ibu secara bergantian. Tidak
percaya karena memutuskan pernikahan secara sepihak. Tidak percaya karena
meminta anaknya melepaskan cincin pertunangan dengan begitu mudah.
Rea
bangkit dari duduk dan pergi tanpa berucap sepata kata pun.
“Pernikahan
ini untuk kebaikanmu Rea. Karena kami …”
Debaman
pintu menjadi jawaban perkataan bapak yang belum usai.
“Karena
kami menyayangimu.” Lanjut Bapak lirih.
Sepasang
suami istri yang rambutnya mulai memutih itu kembali menyambut duka. Sangat
mengerti kehilangan yang pernah dialaminya putrinya. Bahkan mereka pun
merasakan hal yang sama. Hanya tidak pernah mengira bahwa ratusan hari yang
sudah terlewati belum juga membawa pergi duka yang tersisa.
Ibu
meraih telapak tangan Bapak. Menggenggamnya lembut.
“Rea
pasti bisa ikhlas, Pak. Rea pasti bisa menerima Ben.”
“Entahlah,
Bu. Bapak bahkan tidak apa yang Rea rasakan selama ini.”
“Percaya
saja, Pak. Rea hanya perlu sedikit waktu lagi untuk menerima Ben.”
“Maksud,
Ibu?”
“Menurut
Bapak, dari mana keluarga Pak Yudho melamar Rea?”
“Entahlah.
Tuhan yang mengirim?” jawab Bapak tidak yakin.
“Melantur
Bapak ini.”
“Lah
bisa saja tho. Namanya jodoh Cuma tuhan yang tahu.”
“Rea
dan Ben itu sudah lama saling kenal. Kalau nggak salah sekarang Ben itu jadi
suplyer tetap di kedai kopi Rea.”
“Ya
itu kan cuma urusan pekerjaan Bu.”
“Bapak
aja yang nggak tahu. Ben itu beberapa kali pernah ke rumah pas antar Rea pulang.”
“Jadi
ibu udah kenal Ben lama?”
“Ya
tahu aja Pak.”
“Berarti
ibu juga tahu kalau Ben anaknya mantan presiden?”
“Nah
kalau itu ibu juga baru tahu.” Ibu menyesap the yang sudah dingin. “Ibu tadi
beneran takut ada apa-apa, Pak. Rumah didatangi polisi. Ibu pikir bapak jadi
korban tabrak lari.”
“Emang
ibu aja. bapak juga hampir kena serangan jantung. Pulang dari sawah ditungguin
mobil polisi. Kirain rumah kita habis dirampok.”
Ya,
perbincangan itu sudah melenceng jauh. Secepat itulah topic pembicaraan itu
berganti. Seolah persoalan yang sedang mereka hadapi semudah mencabut singkong
di kebun belakang atau menanamnya di sawah.
Padahal
disalah satu ruangan dirumah besar mereka, termenung Rea seorang diri.
menangisi sesuatu yang sudah lama meninggalkannya atau kebahagian yang datang
terlalu cepat hingga gagal menginterpretasikannya dengan benar.
Ben,
siapa lagi seseorang yang selalu gagal dipahami Rea. Meski hati kecil Rea
berusaha menerobos dinding penolakan yang Rea bangun. Usaha yang begitu gigih
itu pun meruntuhkan sedikit demi sedikit tembok pembatas. Yang kini telah
mengibarkan bendera kemenangan. Sedikit lagi Rea akan menyadari bahwa Ben
adalah laki-laki yang tepat dari segala perbedaan yang semu itu.
Benar
kata ibu, bahwa Rea hanya perlu sedikit waktu lagi. tambahan kesempatan untuk
mengumpulkan kepingan kepingan hati yang selama ini tercecer yang akan
disatukan dan membentuk nama Ben dihatinya.
Tidak
hanya semesta yang mendukungnya. Bahkan jika Tuhan memberi kesempatan, Dendra
akan menyemangatinya untuk kembali mencinta tanpa perlu melupakan cinta yang
pernah hadir sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar