Sabtu, 14 Maret 2020

# Alfameria # Fiksi

Alfameria_chapter 1


“Hallo!” sapa gadis dengan kupluk rajut berwarna coklat. Langkahnya ringan, senada dengan senyumnya yang terus berkembang.

Ruangan seluas dua puluh lima meter persegi sudah dipenuhi kamera yang berjejer. Yang membuat siapa saja akan merasa terintimidasi. Benda berlensa itu seperti memiliki kekuatan magis yang bisa melemahkan kekuatan lawan.

Tiga orang yang duduk dibalik meja panjang yang berada di tengah ruangan menjawab sapaan yang penuh energi itu serempak.

“Perkenalkan diri kamu. Sebutkan nama, usia dan pekerjaan kamu saat ini.” ucap laki-laki yang duduk ditengah.

“Selamat sore. Nama saya Ameria. Sekarang duduk dikelas XII. Usia saya 17 tahun.”

“Langsung mulai saja, ya. Action!”

Ameria melenturkan tangannya lemas. Kertas putih yang dipegangnya terjatuh. Kepalanya tertunduk lemah. Dan terangkat perlahan.

“Itu dia masalahnya, Gas. Aku nggak pernah bener-bener tahu.” Matanya menyalang. Menatap lurus dan tajam. “Aku nunggu, Gas. Nunggu.” Tangan kiri yang mengepal, mengeras didepan dadanya yang membungkuk kedepan.

“Tapi akhirnya aku sadar satu hal,” kakinya melangkah kedepan “kamu nggak sesayang itu sama aku.”

Menegakkan badan dan menghembuskan nafas dalam. “Aku nggak milih siapa-siapa.”

“CUT!”

Tepuk tangan berderai mengikuti. Membuat ramai ruangan bercat putih itu. Wajah berseri  nampak menghapus semua ketegangan selama 5 menit sebelumnya.

“Ameria.” Ucap laki-laki berbadan besar yang duduk ditengah dengan kumisnya yang tebal.

“Saya suka tipe suara kamu, berkarakter. Artikulasi dari dialog kamu juga jelas. Tapi nggak ada jiwanya. Emosi kamu nggak keluar.”

“Iya,” sahut wanita yang duduk disebelahnya. “gerak tubuh kamu itu bertolak belakang. Seharusnya kamu menunjukkan kekecewaan, kesedihan sekaligus marah disatu waktu. Tapi kamu hanya menunjukkan kemarahan saja. itu pun nggak maksimal.”

“Ini pertama kalinya kamu ikutan casting ya?” tanya pria yang mengenakan topi.

“Iya.”

“Acting kamu bagus tapi masih mentah. Interpretasi kamu nggak jelas. Dan, untuk memerankan tokoh Jasmine ini buat aku belum.”

“Banyak latihan.” Laki-laki berkumis itu menambahkan.

Sedih, kecewa bahkan mungkin marah akan menghampiri Ameria. Tapi malah sebaliknya. Wajahnya yang bulat tidak berkerut sedikit. Senyumnya bahkan melebar manakala dia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas.

“Makasih.” Ameria hendak pergi tapi tidak jadi. Seperti sedang menahan sesuatu. “Om, boleh minta tanda tangannya, nggak?”

Ketiga juri itu tersenyum mendengarnya. Ameria berjalan mendekat dan memberikannya pada laki-laki berkumis.


“Mamaku ngefans banget lho sama Om Rano. Dia nonton semua seri si Doel anak sekolahan.”

“Oh ya?” jawab Om Rano sambil menggeser kertas agar ditanda tangan pada juri yang lain.

“Iya. Waktu nobar di plaza yang om datang itu, mamaku nonton. Cuma nggak kebagian foto bareng.”

“Oh nonton bareng.” sahut Om Rano.

“Kamu beneran mau kita tanda tangan disini?” laki-laki yang ada diujung membolak balik kertas berukuran A4 itu.

“Ini piagam penghagaan, lho. Beneran mau dicoret-coret?”

“Iya, nggak pa-pa.”

“Kamu hebat lho. Juara satu lomba cerdas cermat. Kenapa ikut casting?”

Percakapan yang terjadi lebih banyak memakan waktu dibanding peran yang dimainkan Ameria. Bahkan kini terdengar lebih akrab seperti seorang paman yang bertanya pada keponakannya tentang cita-cita.

“Pengen bikin tandingannya Marvel Studio.”

Jawaban polos Ameria mengundang tawa juri.

“Baik-baik. Selamat ya. salam buat mama.”

=====

Tembok itu menjadi tempatnya bersandar. Menghabiskan waktu yang pelan-pelan membuatnya terserang rasa bosan. Didalam tasnya hanya ada sebuah buku yang berisi kumpulan soal dan sudah cukup memuakkan untuk dibaca ulang.

Otaknya cukup penat menuruti kemauan Ameria mengikuti lomba cerdas cermat. Harusnya hari libur seperti ini ia bisa tidur seharian dikamar. Atau pergi ke toko buku. Ada sebuah buku yang sangat menarik dan ingin sekali dibacanya. Dan terpaksa harus ditunda lagi demi sebuah persahabatan.

Sebuah teriakan mengejutkannya. Bayangan buku bersampul putih perlahan kabur diterjang seorang gadis dengan penutup kepala yang ingin sekali dibuangnya.


“Alfa, aku seneng banget.”

“Kamu lolos? Diterima?” Antusias yang Ameria bawa meracuninya juga. Bagaimana pun juga ratusan menitnya bisa terbayar dengan keberhasilan sahabatnya itu.

“Hhmm … mana mungkin.”

Jawaban apa itu? sangat kontradiktif.

“Aku dapat tanda tangannya Om Rano Karno.”

“Ngapain kamu minta tanda tangan pejabat?”

Alfa dengan nada datarnya itu benar-baner merusak kesenangan Ameria. Sahabatnya yang jenius meski tidak pernah belajar itu terlalu banyak bersinggungan dengan buku-buku yang terlalu tua untuk anak remaja seusianya.

“Demi apa coba.” Ameria berkacak pinggang. “Kamu beneran nggak tahu siapa Rano Karno?”


“Gubernur Banten dari tahun 2014-2017.”

“plt Gubernur Banten. Beliau menggantikan Ratu Atut Chosiyah.”
“Yang terkena kasus korupsi.” Lanjut keduanya bersamaan. Kompak.

Hening sejenak kemudian derai tawa keduanya pun menggema. Meski tidak selucu tingkahnya Rowan Atkinson ketika memerankan karakter Mr. Bean, kejadian seperti itu selalu terdengar lucu. Saling melengkapi atau membenarkan seperti sebuah hal tanpa pernah membuat satu sama lain merasa lebih rendah.

“Jadi kamu gagal?”

Mereka berjalan bersisian. Dengan lebar langkah yang sama. Dan dengan sepatu yang sama.

Alfa sangat bersyukur Ameria tidak memintanya untuk mengenakan penutup kepala yang terbuat dari rajutan. Karena hal itu hanya akan membuatnya terlihat konyol.

“Iya. Makan, yuk? Laper nih.”

Ameria sering mengubah topic pembicaraan secara tiba-tiba. Dan Alfa seperti seorang pengemudi yang akan mengembalikan ke jalan semula.

“Kok kamu nggak sedih?”

Ameria menghentikan langkahnya. “Memangnya semua kegagalan harus dirayakan dengan derai air mata dan tangis penuh ratapan?”

Alfa mengangkat kedua tangannya, tidak tahu.

“Aku hanya perlu pembuktian seberapa berbakatnya aku dibidang seni peran.”

“Pembuktian pada tante Marisa?”

“Mama hanya salah satu alasanku. Aku hanya ingin tahu arah dari masa depanku sebelum lulus SMA.”

Alfa mengikuti Ameria yang kembali berjalan.

“Kalau nanti aku serius didunia acting kamu mau nemenin aku?”

“Ogah. Jadi orang lain terus dilihat jutaan orang? makasih.”

“Kalau gitu kamu jadi sutradara aja. Isi kepalamu itu terlalu liar kalau cuma disimpan dalam kepala. Aku mau deh, jadi pemeran utamanya. Kujamin film pertamamu langsung meledak dipasaran.”

Alfa menertawakan ide yang disampaikan Ameria.

“Kamu ngeremehin bakat actingku?”

Alfa memutar kedua bola matanya sebelum berlari meninggalkan Ameria yang berteriak kesal.

Dalam larinya itu Alfa memikirkan ucapan Ameria tentang masa depan. Ratusan buku yang sudah dibacanya hingga kini tidak membuatnya berpikir akan seperti apa hidupnya kelak. Dia tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Selama ada Ameria masih berkhayal ke langit ketujuh dan toko buku masih buka maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

====

“Kepalaku mau pecah rasanya.” Ameria datang dengan sejuta keluhannya yang khas. “Masa Pak Anwar tiba-tiba ngasih kuis. Katanya kalau nilai kusinya bagus, ulangan minggu depan bakal ditiadakan. Kalau nilainya ancur-ancuran selama jam fisika minggu depan bakal diisi dengan ulangan.”

Ameria meneguk botol minuman yang ada didepannya tanpa memastikan isinya juga bertanya siapa pemiliknya. Melupakan tumpukan map plastik dan buku yang Ia bawa. Mengisi salah satu sisi meja ditaman yang ditempati Alfa sejak bel istirahat berbunyi.

“Bukannya nilai fisika kamu selalu bagus.”

“Alfa!” hardik Ameria.

“Apa?” balas Alfa tenang seolah manusia paling suci seantero SMA Persada. Sikapnya yang selalu tenang kadang Ia manfaatkan untuk menggoda sahabatnya yang bertubuh mungil dengan mulut sebesar gajah alias cerewet.

“Kamu kasih aku kopi?”

“Aku nggak ngasih. Kamu sendiri main langsung minum nggak pake tanya.”

Ameria mengabaikan Alfa dan kembali meneguk minuman kopi instan yang dikemas didalam botol. Meski minuman berkafein sangat tidak disukainya tapi saat ini Ia butuh sesuatu untuk membuat kepalanya kembali dingin setelah dipaksa mengerjakan soal-soal fisika.

“Kamu tuh ya, buku yang sering kamu baca aja udah  ketuaan untuk usia kita. Ditambah dengan kopi, instan pula. Benar-benar remaja jadul.”

Ocehan panjang Ameria hanya dibalas dengan gelak tawa Alfa. Semua penilaian Ameria terhadap kebiasaannya selalu terlihat lucu.

“Kupluk kamu mana?” tanya Alfa usia tawanya reda.

Ameria sedang membuka map plastik. Kertas hasil fotokopi itu tidak menarik bagi Alfa melainkan sesuatu yang melekat dikepala sahabatnya. Yang menjaga rambut lurus Ameria tidak jatuh menutupi wajahnya.

“Ulah mama, nih. Masa hari ini aku disuruh pakai bando. Emang ini jamannya bawang merah bawang putih apa.”

Tawa Alfa kembali membahana. Kali ini lebih keras hingga membuatnya terpingkal-pingkal.

“Ketawa sana sampai puas. Kamu mau bilang kalau seleraku sama jadulnya dengan minuman kesukaanmu kan? Aku udah bilang sama mama kalau bando itu udah nggak hits ditengah budak teknologi.”

“Tante Marisa emang paling jago bikin anaknya terlihat cantik.” Ameria mendelik menganggap pujian Alfa sebagai ejekan dalam kalimat positif.

“Beneran” Alfa menegaskan.

Penegesan yang dilakukan Alfa dibalas dengan angin yang datang tiba-tiba. Hembusannya yang kuat menerbangkan apa saja yang memiliki bobot ringan. Daun-daun kering, bungkus plastik di tempat sampah. Semuanya saling berkejaran termasuk Ameria yang kertasnya sudah berlarian ke sana kemari.

Ada selembar kertas yang terbang dan langsung ditangkap oleh Alfa. Selembar kertas yang bersisi bagian dari naskah skenario. Setiap huruf yang tertera sangat menarik perhatiannya hingga melupakan seseorang yang datang mendekati Ameria.

“Ameria kan?” Seorang laki-laki mengenakan seragam olahraga membantu memungut kertas. “Anak XII IPA 3. Aku Aksa, teman sekelasnya Alfa.”

Dalam hati Ameria tertawa. Siapa yang tidak tahu Aksa. Murid laki-laki paling populer di SMA Persada saat ini. Entah apa yang membuatnya terkenal. Karena sejak bersekolah di sini, Ameria sama sekali tidak pernah satu kelas. Jadi tidak heran kalau dia termasuk kelompok minoritas yang menganggap Aksa biasa saja.

“Makasih.” Ameria menerima kertas yang diulurkan Aksa.

Serombongan anak laki-laki keluar dari lapangan. Tembok kawat yang memberi batas antara lapangan dengan taman harus mereka lewati melalui sebuah pintu yang ada di keempat sudutnya.

“Aksa, ganti yuk!”

Meninggalkan sebuah senyum, Aksa berlalu meninggalkan Ameria yang merapikan kertasnya. Bergabung dengan teman-temannya untuk berganti baju karena sebentar lagi jam istirahatnya selesai.

Sambil menghitung untuk memastikan lembar naskahnya tidak berkurang, Ameria melirikkan matanya pada geng Aksa yang nampak punggungnya saja.

“Kamu beneran mau serius dengan acting?”

Akhirnya Alfa sadar sedang bersama dengan Ameria lalu menghampirinya. Meskipun matanya belum bisa lepas dari penggalan adegan yang sedang Ia baca.

“Bukan acting tapi seni.” Ameria bangkit.

“Aku belum tahu seni apa yang ingin aku dalami nanti. Yang jelas tahun depan aku mau kuliah di IKJ untuk mencari tahu seni apa yang paling cocok denganku.”

“IKJ?”

“Iya. Itu salah satu kampus yang melahirkan banyak seniman. Bahkan sutradara-sutradara besar di Indonesia banyak yang lulusan sana.”

Alfa hanya manggut-manggut. Dia kurang begitu paham dengan dunia perfileman Indonesia. Pergi ke bioskop hanya saat Ameria mengajaknya. Itupun jarang dilakukan karena mereka lebih senang nonton film di rumah. Alasannya sederhana, karena di rumah mereka bisa berisik untuk memberikan sejuta komentar pada film.

“Kenapa nggak ke Korsel aja? Semua artis dari drama-drama yang sering kamu lihat pasti multitalented.”

“Iihhh ... Alfa.” Ameria memukul-mukul Alfa menggunakan sebelah tangannya yang kosong. “Aku serius!”

Alfa bingung sendiri karena dia juga serius dengan ucapannya tadi. Kalau menggunakan karya seni sebagai alasan untuk memilih kampus maka Korsel menjadi tujuan utama. Lihat saja, di Indonesia drama korea memiliki penggemar yang jumlahnya sangat fantastis. Belum lagi jika ditambahkan dengan pengagum idol-idol Korea Selatan.
Meski tidak bermaksud untuk bercanda dengan usulannya tadi, sepertinya Ameria benar-benar tersinggung. Dia berjalan meninggalkan Alfa dibelakang.

“Iya deh, maaf.” Susul Alfa. Dia tidak tega melihat Ameria sedih. Meski bukan kesalahannya Alfa selalu berusaha memperbaiki suasana hati gadis yang sudah cukup lama dikenalnya. “Aku temanin kamu masuk IKJ. Tapi jangan ngambek lagi.”

“Beneran? Kamu mau sekolah seni?” Alfa mengangguk mantab. “Tapi kan kamu nggak suka seni.”

“Tidak harus suka untuk belajar hal baru. Lagian nggak harus jadi seniman kan kalau lulus dari IKJ?”

Hal terbaik mana selain menemukan sesuatu yang ingin kita lakukan di masa depan. Ameria sudah menemukan itu dan Alfa senang melihatnya. Meskipun ia sendiri belum bisa melihat pintu masa depannya terbuka disebelah mana.
Bagi Alfa, seni bukan sesuatu yang diminatinya. Tapi Ameria membuatnya ingin mencoba hal baru dan mulai memikirkan apa yang ingin dicapainya di masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates