Selasa, 30 April 2019

Alone Again? Seriously?

22.11 0 Comments

Wah…timeline medsos udah mulai countdown time puasa. Really awesome, huh?

Artinya hari pertama puasa sedang banyak disiapkan lebih dari separuh populasi manusia nusantara. Status WA mulai berisi rencana menu sahur, kangen masak sahur, jadwal buka puasa bareng yang jumlahnya melebihi waktu puasa sendiri, bahkan pilihan baju lebaran pun sudah mulai diperbincangkan.
Jadi apa yang sedang terjadi dirumah kami? Home sweet home yang selalu dirindukan ini.

Kebetulan awal mei ini sedang libur. Pun di hari-hari berikutnya. Tak banyak yang berubah meski libur. Bangun pagi, mandi dan  sarapan rutinitas yang nggak pernah terlewat. Bedanya Cuma setelahnya. Biasanya akan bosen denger “Kak, buruan dong. Udah telat nih.” Sementara si kakak masih dengan santainya jalan ambil kaos kaki di lemari. Adik udah siap dengan helm dan berdiri di samping pager buka pintu. Semuanya diganti “Pergi main ya, Bun? Assalammualaikum.” Masyaallah soleh solehahnya anak firridjal atau “Bun, minta uang buat beli jajan.”

Membosankan, bukan?

Ya begitulah hari-hari kami lewati dengan suami yang jauh di perantauan sana. Bukan hal mudah tapi ya nggak sulit-sulit juga. Cuma lagi nggak bahas itu sekarang hehehe
Di tahun-tahun sebelumnya, hari-hari kaya gini bahasanya pasti keluhan atau aduan sahur pertama sendiri. Meski menjalaninya nggak sendiri, ya iyalah, suami disana juga sendiri tapi kaya harus aja topic itu dibincangkan. Tapi tahun ini nggak sedrama sebelumnya, meski aslinya nggak drama juga hehehe.
Bukan karena udah mastah atau biasa, keadaan seperti ini nggak bakal biasa dan akan selalu tidak biasa meski setiap tahun berulang. Cuma sekarang mau dialihkan aja. Karena tahun ini akan sedikit dan mungkin banyak berbeda.
Suami sekarang kerja tanpa partner artinya semuanya dikerjakan sendiri sementara beban kerja sama. Kompensasi lebih besar dong? Mungkin. Yang pasti adalah waktu semakin banyak di arahkan untuk kerjaan.

Saya dirumah masih gitu-gitu aja, nggak jauh berbeda. Cuma sekarang kebetulan ahh bukan tapi Alhamdulillah masih dikasih kesempatan untuk melewati proses editing buku yang akan terbit. Masih belum buku solo tapi semoga disegerakan. Amin
Dan karena anak-anak dua-duanya udah pada gede pelajaran rukun islam ke tiga ini pun nggak boleh main-main. Jadi ya kudu dipikirin bener-bener. Apalagi yang sulung lagi masuk pra remaja yang saya sendiri belum siap buat itu.
Tapi apa yang mencengangkan dari puasa pertama dalam kehidupan pernikahan kami?

Kami menikah sudah cukup lama apalagi kalau ditambah dengan pertama kenal, udah sampe angka puluhan. Tapi-tapi yang bikin dramatis adalah kami hampir belum pernah melewati sahur pertama bersama selama menikah.
Keren bukan?

Seolah-olah dari awal menikah sudah LDR hahaha tapi bener lho soalnya kami nikah itu setelah hari raya dan dari awal pekerjaan suami memang harus berjauhan dengan keluarga. Bahkan saya hamil aja nggak bareng suami.
Tapi-tapi semua itu udah lewat. Sedih, kesel marah semuanya udah jadi unforgettable sweet moment.
Hanya saja setiap tahun pasti ada hal unik yang kami lakukan. Entah saya atau suami. tapi dari puasa tahun  lalu yang paling ingat banget itu aktivitas bangunin.
Memang sih ide-ide gila LDR sering munculnya dari saya tapi the eksekutor tetep suami (malu sendiri hehehe)
Jadi waktu itu saya lagi ngalem bin manja pengen dibangunin sahur kaya kebanyakan orang. padahal kami berada di waktu yang berbeda. Saya imsyak suami baru mau sahur. Kebayangkan gimana ribetnya.

Tapi kesampaian kok meski Cuma beberapa malam aja karena saya nyerah. Kasihan…

Gimana banguninnya?

Pertama malam sebelumnya pasti udah saling ingetin buat pasang alarm. Dan senjata mutakhir yaitu handphone. Suami bakal bangun sekitar jam 2-3 pagi. Awalnya telpon sekali, du kali, tiga kali. Nggak diangkat ganti chat WA sebanyak dan sesering mungkin.

Diawal-awal bangunnya cepet dan langsung denger, “bangun ndis, sahur. Jangan lupa bangunin kakak.”

Nambah hari nambah lama juga bangunya. Bisa sampe puluhan miscall dan chat WA. Kadang sampe menjelang imsak dan yang didenger jadi beda. “Ndis baru bangun? Udah mau imsa’ tahu. Ndul baru pulang beli makan. Buruan gih”

Akhirnya saya milih udahan aja, nggak tega. Soalnya kadang klo lagi banyak kerjaan suami sengaja nggak tidur. baru tidur pas udah kelar sahur. Dan saya diminta bangunin karena hari itu ada janji rapat atau yang lain. dan keadaan bisa berubah 90 derajat. Puluhan miscall dan chat WA bakal numpuk di layar hape suami (what a cute moment, huh?).

Ucapan selamat berbuka, cerita menu buka puasa dan banyak topik ramadhan lainnya bakal riwa-riwi di chatting panjang kami. Konsultasi ibadah nggak pernah lupa. Karena gimana pun juga, sebanyak apapun pelajaran yang saya cari di luar sana, suami tetap filter utama segala hal yang akan masuk ke dalam kepala.

Ya…itulah cuplikan sejarah ramadhan kami. Hal unik apalagi yang akan terjadi di ramadhan tahun ini? who knows (smily) karena tahun ini mau focus ke ibadah aja. Nggak lagi ngerengek hal-hal remeh yang kami sendiri tahu nggak akan banyak yang berubah selain dari menikmati dan mesyukuri apa yang kami jalani saat ini. ikhlas membuat langkah jarak jauh kami semakin ringan dan Allah Sang Maha penjaga yang akan melindungi iman dan hati kami.





Marhaban ya Ramadhan

Minggu, 28 April 2019

Resensi Buku Cahaya Palestine

20.52 2 Comments

“Seseorang jika sudah berada di ujung tebing, masihkah ia menggunakan perasaannya untuk meratapi diri, sementara ia sendiri sudah pasti tak akan pernah selamat” Paletine Bin Haidar




Judul               : Cahaya Paletine
Penulis             : Vanny C.W
Penerbit           : PT. Sinar Kejora
Siapa yang menyangka bahwa Palestine di dalam buku ini bukanlah sebuah Negara? Awalnya saya mengira akan menemuka banyak hal tentang Negara palestina. Rupanya Palestine yang dimaksud adalah nama seorang anak perempuan yang menjadi pusat dari seluruh cerita.
Seorang gadis yang berusia 11 tahun ini tak memiliki perbedaan jauh dengan nasib anak-anak lain yang berasal dari sebuah wilayah perbatasan Negeri Palestina, Gaza. Korban dari kedzaliman Israel yang menghancurkan rumah juga keluarganya. Bungsu dari tiga bersaudara yang hidup sendiri karena ibu bersama saudaranya telah meninggal setelah rumahnya menjadi salah satu dari puluhan rumah yang menjadi sasaran penyerangan Israel.
Sementara ibu dan kakaknya sudah jelas nasibnya, berbeda dengan ayahnya. Palestine tidak mengetahui apakah ayahnya masih hidup atau tidak. Kemudian Palestine tinggal bersama dengan anak-anak lainnya di sebuah pengungsian. Dalam keterbatasan yang ada sekaligus dendam dan kebenciannya terhadap Israel Palestine terus berusaha mencari kabar tentang ayahnya.


Selain itu juga digambarkan tentang gerilya yang dilakukan oleh anak-anak palestina. Keberanian bocah-bocah itu dalam menunjukkan bahwa mereka tidak pernah merasa terintimidasi dengan keberadaaan pasukan-pasukan militer Israel yang berada di tanah kelahiran mereka.


Menurut saya buku ini tidak seperti novel kebanyakan. Lebih seperti slice of life dari Palestine. Perjalanan dari pertama kali tiba dipengungsian hingga proses pencarian ayahnya di kisahkan sepotong-sepotong. Waktu dan tempat kejadian ditunjukkan diawal seperti saat menonton film dokumenter.


Sayangnya sudut pandang yang digunakan sedikittidak konsisten. Secara keseluruhan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun ditengah-tengah tiba-tiba akan muncul sosok aku.
Seperti dibagian ke-13.
Sejak dulu, aku tidak menyukai darah merah yang mengucur hingga melenyapkan nyawa manusia, siapapun itu. tapi jika tidak karena berita itu, salah satu sahabatku diculik dan ditawan oleh Hamas, Gilad Salit, maka aku tidak akan pernah mendaftarkan diri sebagai seorang tentara
Sampai dua paragraf sudut pandang orang pertama masih digunakan yaitu Abigail, seorang tentara perempuan Israel. Tapi tiba-tiba berganti pada kalimat pertama paragraf keempat dan kembali menjadi ‘aku’ di akhir paragraf.
Sejak dulu, Abigail sama sekali tidak menyukai peperangan. Dan tidak suka melihat anak-anak kecil dan wanita menjadi korban. Jika saja aku punya kekuatan, aku akan membebaskan mereka, walau tujuanku tetap. MEMBUNUH HAMAS! TITIK.


Kemudian muncul sebuah adegan mistis saat akhirnya Palestine mengetahui tentang nasib ayahnya. Yaitu Palestine yang sudah dinyatakan meninggal tiba-tiba roh nya bisa berjalan-jalan kesuatu tempat. Bahkan dia bisa menyaksikan kejadian yang sedang berlangsung disana.
Menurut saya bagian ini membuat emosi saat membanca menjadi jatuh bebas dan menganggu. Karena sebelumnya pembaca sudah dinaikkan emosinya dengan meninggalnya Palestine disaat belum satu pun keinginananya terpenuhi.
Kemunculan sisi romantisme pun sedikit dipaksakan juga. Karena untuk tokoh dengan usia belasan tahun yang dikelilingi dengan jiwa perjuangan rasanya agak berlebihan kalau dimunculkan perasaan suka terhadap lawan jenis.



Bagi yang suka dengan puisi atau sajak buku ini sangat direkomendasikan. Karena banyak sekali sisipan puisi hampir disetiap bagian. Bahkan setiap tokoh pasti memiliki puisi yang menggambarkan pribadinya.

Pemuda yang jatuh cinta,
Kamu tidak akan pernah tahu, bila kamu akan jatuh cinta
Namun, apabila sampai saatnya tiba,
Cepat-cepat raihlah ia dengan kedua tanganmu,
Dan, janganlah biarkan dia pergi,
Dengan sejuta rasa tanda tanya di hatinya…


Remind Me_sebelas

18.48 0 Comments

 Seperti hari-hari sebelumnya, Lila kembali berjibaku dengan peralatan dapur. Satu kompor menyala dengan panci berisi air kaldu dan satunya lagi sebuah wajan sedang menunggu panas merata. Meja dibelakangnya pun tak kalah ramai. Beberapa mangkuk berisi sayuran berbeda jenis yang sudah dipotong, satu mangkuk lain berisi udang yang sedang di marinasi ditambah sebuah piring kecil berisi potongan bumbu-bumbu lainnya. Rasanya tak ada lagi tempat tersisa dari permukaan meja.
Lila tidak sedang menyiapkan jamuan makan besar. Dia hanya sedang merasa bahagia. Meski perhelatan digaleri menyisakan letih ditubuhnya. Tapi semangat untuk menyajikan sesuatu yang special untuk suami terkasih mengalahkan segalanya.
Tepat pukul 06.00 semangkuk sup sayur, sambal kecap dan udang goreng telur asin tersaji. Lila tinggal mengambil nasi dan menyelesaikan satu menu tambahan untuk bekal.
Ray berjalan menuruni tangga saat Lila sedang menggoreng masakan terakhirnya. Aroma seafood yang pertama kali hinggap di penciumananya. Membuatnya bergegas mendekat pada sumbernya.
Tentu saja Ray terkesima dengan pemandangan meja makan yang menggugah seleranya. Biasanya dia hanya melirik acuh kini tanpa diminta sudah duduk dengan piring ditangannya.
Lila berbalik dengan sebelah tangannya memegang samosa yang baru saja diangkat pun terkejut.
“Maaf, aku makan duluan.” Ucap Ray dengan mulut penuh makanan.
Lila tersenyum dan meletakkan makanan di piring. Setelah mematikan kompor, ia menyusul duduk dihadapan Ray.
“Nggak pa-pa. udah siang juga.” Lila meletakkan piring yang masih mengeluarkan asap dari makanan diatasnya.
“Itu apa?”
“Samosa daging. Mau coba?”
Ray mengambil sepotong dan mencuil sedikit untuk menghilangkan uap panas.
“Hhmm…enak. Kamu bikin banyak nggak?”
“Nggak banyak. Ya…lumayan lah.”
“Aku boleh bawa nggak? Mau aku makan dikantor nanti.”
Lila tersenyum ditahan. “Aku bikin ini memang untuk kamu, Mas.”
Ray jadi salah tingkah. Ia tidak tahu harus melakukan apa atau menanggapi seperti apa. Mencomot satu udang yang ada dipiringnya lalu menelannya dengan cepat.
“Hari ini rencana kamu apa?”
“Entahlah.” Lila memasukkan satu per satu samosa ke dalam kotak bekal berwarna biru. “Hari ini aku off dari galeri. Mungkin aku mau ke rumah Kakek.”
Ya, rumah kakek. Rumah kedua orangtua Lila. Saksi bahwa Lila kebahagiaan pernah menjadi bagian hidupnya yang pernah menguap dari derasnya duka yang terjadi. Kematian dan kehilangan.
Kini rumah itu hanya bangunan kosong tak berpenghuni yang secara teratur di datangi oleh Bi Ani untuk dibersihkan. Yang menyimpan setiap detik rekam kehidupan Lila dari lahir hingga menjelang pernikahan.

Sebelum berangkat, Lila sudah menghubungi Bi Ani untuk datang mengunjungi rumah kakek. Karena memang semenjak menikah Lila hampir tidak pernah kesana. Kunci rumah sengaja di titipkan pada Bi Ani yang sudah bekerja pada keluarga semenjak kedua orang tua Lila belum menikah.
Rumah dengan cat berwarna biru yang mulai memudar masih berdiri kokoh. Taman kecil di halamannya juga tetap tumbuh dengan baik meski tak lagi ada warna-warni bunga yang bermekaran.
Mama
Taman itu mengingatkan Lila pada mama. wanita terbaik dalam hidupnya yang mengajaknya berkebun. Membeli bibit dan memindahkannya kedalam pot-pot berwarna-warni. Dari mama Lila mencoba keahlian tangannya untuk membuat pot bunga biasa menjadi pot yang cantik.
Lila mengetuk pintu. Pada ketukan ketiga seorang perempuan yang sudah memasuki usia senja menyapa.
“Neng Lila..”
Alih-alih membalas sapaan Lila malah menghambur memeluk Bi Ani. Meski hanya seorang asisten rumah tangga tapi Bi Ani sangat berarti bagi Lila. Terutama saat Lila sedang terpuruk atas kehilangan orang tua juga Ray diwaktu yang relative berdekatan. Bi Ani yang menjaga Lila saat dirumah. Menyiapkan pakaiannya, mengingatkannya makan juga obat yang harus rutin di minum
“Bi Ani sehat?” Lila melepas pelukan dan menyeka sisa haru yang menetes di pelupuk matanya.
“Sehat, Neng. Neng Lila sehat-sehat juga. Baik-baik sama Nak Ray.”
Begitulah Bi Ani. Mulutnya selalu mengeluarkan doa-doa terbaik untuk orang-orang yang disayanginya.
“Neng Lila sudah makan? Bibi bawain bubur kacang hijau dan ketan hitam kesukaan Neng.”
“Yang kacang hijaunya besar-besar?”
“Iya. Yang kacang hijaunya besar-besar.”
“Lila ke kamar sebentar habis itu makan bubur.” Lila berlalu tapi kembali lagi. “Kita makan sama-sama ya Bi?”
Lila bergegas memasuki kamarnya. Duduk di depan meja yang pernah menjadi tempatnya bermain-main dengan perkakas kewanitaan. Dulu Lila bahkan memiliki lemari kecil khusus menyimpan aksesoris. Dari berbagai macam karet warna warni, jepit rambut, bando bahkan roll rambut.
Dihadapannya ada sebuah laci yang sengaja tidak pernah ia buka. Di dalamnya terdapat sebuah benda yang sempat menjadi satu-satunya harapan hidupnya. Namun saat semuanya sudah berada digenggaman, Lila mengabaikannya.
Menariknya pelan, Lila mengambil sebuah kotak hitam yang cat nya sama sekali belum berubah dari pertama kali ia membawanya ke rumah ini. kotak persegi yang sama sekali tidak pernah ia buka. Meski saat ini ia sudah memiliki kunci yang membuat benda tersebut tertutup rapat.
Lila memegang dan menyentuh beberapa kali di setiap sisinya sebelum menyimpannya kedalam tas selempangnya. Kunci kecil yang bisa membuka kotak tersebut selalu Lila bawa. Setiap saat selalu dipastikan berada di tempat yang sama, menyatu dengan gantungan kunci yang diberikan Ray untuk kunci rumah mereka. Hanya sebatas itu saja.
Kehilangan semangat dan antusias mungkin saja terjadi. Tapi pasrah lebih tepat mewakili naluri Lila saat ini terhadap benda keramat tersebut. Keinginannya tak lagi menggebu-gebu untuk membuka atau mengetahui isi yang ada di dalamnya. Sepuluh tahun berlalu membuatnya terbiasa dengan kotak yang tertutup rapat.
“Neng, buburnya sudah siap.”
Panggilan Bi Ani menarik Lila keluar kamar. Membiarkan kenangan itu tetap tertutup rapat. Fase pasrah dalam hidupnya membuatnya menghapus harapan-harapan semu. Dan itu membuat Lila menjadi lebih tenang.
“Neng?”
Lila sudah menghabiskan sendokan kedua dalam mulutnya.
“Iya, Bi.”
“Neng Lila masih minum obat?”
Lila menghentikan gerakan mulutnya mencacah butir-butir kacang hijau yang terasa empuk.
“Kenapa Bi?” Lila menatap Bi Ani dengan tersenyum. “Memangnya aku kelihatan masih sakit?”
Bi Ani menggelengkan kepala. “Neng Lila sehat. Sehat sekali. Bibi Cuma memastikan kalau Neng Lila tidak lagi hidup dengan bergantung pada obat.”
“Bibi masih khawatir ya?”
“Selalu Neng. Pesan Bapak yang tidak akan pernah bibi lupa.”
Kakek selalu menjadi yang terbaik. Sikap keras yang selalu di tunjukan pada Lila tak kan mampu menutup kelembutan hatinya.
Lila meraih tangan Bi Ani. Dari tangannya lah Lila masih bisa merasakan kasih ibu yang lebih dulu pergi dari hidupnya. Keriput ditangannya sangat terasa.
“Aku sehat Bi, sehat banget. Nggak akan lagi minum obat buat hidup. Bibi bisa percaya itu.”
“Tentu. Sekarang sudah ada Mas Ray yang gantiin Bapak, yang akan bertanggung jawab segala hal tentang Neng.” Bi Ani tersenyum sambil menepuk-nepuk tangan Lila yang mengenggamnya.
Ray memang sudah menggantikan posisi ayah juga kakek atas dirinya. Tapi hati tetaplah Lila sendiri yang harus bertanggung jawab.

***

“Lil, kamu tahu jam tanganku yang mati nggak? Perasaan aku taruh di meja kerja.” Teriak Ray masih dibalik meja kerjanya yang berada di lantai atas. Memindahkan tumpukan buku dan map yang menutupi permukaan. Menduga barangkali benda yang dicarinya itu tertutup sesuatu.
Sementara Lila sedang berada di depan TV yang berada di lantai bawah, sedang membersihkan karpet menggunakan vacuum cleaner. Suara bising yang dihasilkan mesin penyedot debu tersebut membuat Lila tidak bisa mendengar ucapan suaminya.
“Lil,”
Akhirnya Ray turun setelah seruannya tidak mendapat jawaban. Dan mengulangi pertanyaan yang sama setelah bertatap muka dengan Lila.
“Ohh yang kalepnya udah mau lepas itu” jawab Lila sambil mengingat. “Kayanya aku simpan di laci meja kamar. Tunggu, aku cari dulu.”
“Nggak usah,” Ray menahan lengan Lila. “Biar aku aja. Dilaci kamar kan?” Ray menegaskan dan di setujui Lila dengan sebuah anggukan.
Sesungguhnya melakukan pencarian benda dirumah sama sulitnya dengan menyelesaikan teka-teki silang di Koran. Pasalnya perempuan memiliki keunikan dalam menyimpan sesuatu yang biasanya hanya mereka dan tuhan yang tahu. tapi petunjuk Lila cukup jelas yaitu laci meja. Dikamar mereka hanya ada 1 meja yang sebagian besar dipenuhi dengan produk perawatan tubuh Lila dan sebuah nakas disamping tempat tidur.
Ray memulai pencariannya pada meja dengan kaca besar yang menampilkan wajahnya yang belum tersentuh air. Setelah membuka laci bagian atas yang sebagian besar isinya adalah karet, jepit dan rol rambut. Melihat itu Ray tersenyum geli.
Ahh kebiasaanmu nggak banyak berubah, Lil.
Kemudian dia melanjutkan pada laci terakhir yang ada pada meja tersebut. sepertinya Ray harus segera beralih pada tempat lain saat menjumpai didalamnya yang berisi buku buku kecil yang biasa Lila gunakan untuk mencatat keuangan juga kebutuhan bulanan rumah tangga mereka. Tapi sudut mata Ray menangkap secarik kertas yang tersembul dari buku catatan yang berada ditumpukan paling bawah. Melupakan sejenak tujuan pencariannya.
Mengambil buku kecil degan sampul berwarna biru pastel Ray membuka tepat pada kertas yang menjadi pembatasnya. Sebuah amplop putih dengan kop sebuah nama hotel. Tanpa tending apa-apa Ray mengambil dan membukanya.
Sebuah kertas berbentuk persegi panjang dengan gambar pemandangan sebuah pegunungan. Diatas nya tertulis : voucher paket honeymoon. Dengan stempel tanggal masa berlaku yang berada di sudutnya.
“Lil,”
Berjalan bergegas menuruni tangga mencari keberadann Lila yang sudah menghilang dari ruang keluarga.
“Lil,”
Ray pun beralih ke belakang dan mendapati Lila berada di dekan mesin cuci yang sedang menyala. Sedang memasukkan pakaian yang sudah kering kedalam keranjang agar tempat menjemur itu kosong.
“Ini apa?”
Ray menunjukkan hasil penemuannya yang dengan cepat langsung berpindah kedalam genggaman Lila. Saat itu juga Ray mendapati wajah panic Lila bercampur khawatir juga bingung.
“Lil?” sekali lagi memanggilnya setelah menunggu beberapa saat tapi tak kunjung mendengar penjelasan dari perempuan yang berdiri menciut dihadapannya.
“I..itu. sebenarnya…”
Menghadapi istrinya yang seperti seorang anak kecil yang ketahuan makan permen tanpa izin itu, Ray membawanya duduk di teras belakang. Dengan keranjang baju yang masih dipeluk erat.
“Jujur padaku, Lil.”
Lila menghela nafas dalam. Tak ada gunanya lagi menyembunyikannya. Lagi pula apa yang bisa diperbuat kertas berukuran tak lebih dari 10 cm tersebut pada hubungan pernikahannya.
“Itu hadiah pernikahan kita dari Oma.” Ray menyimak dengan seksama. “Aku pikir Mas akan merasa terbebani dengan hadiah itu jadi aku mencari waktu yang tepat untuk ngasih tahu.”
Tentu saja waktu yang tepat itu tidak pernah Lila dapatkan hingga voucher tersebut tak memiliki nilai lagi setelah masa berlakunya terlewat lebih dari dua bulan lamanya.
“Seharusnya kamu memberitahuku tanpa perlu mencari waktu khusus.” Ucap Ray dengan sedikit penyesalan.
Sesal karena Lila begitu memperhitungkan perasaannya hanya untuk memberitahukan hadiah paket bulan madu. Sedingin itukah sikapnya selama ini sampai Lila harus berpikir berulang kali, pikir Ray.
“Kalau voucher ini masih berlaku enak kali dipakai pas libur kaya gini.” Kenang Ray, “Tapi mau gimana lagi udah expired.”
Mendengar itu Lila semakin mengeratkan pelukannya pada keranjang baju. Menunjukkan penyesalan yang cukup besar.
Andai saja saat itu Lila memiliki cukup keberanian. Andai saja Lila sudah mengabaikan sikap acuh dari suaminya itu. mungkin sesal tak akan memberatkan hatinya seperti saat ini.
Rona penyesalan itu tampak jelas untuk diabaikan. Bahkan cicak yang membelakangi mereka pun tahu sebesar apa penyesalan Lila.
“Sebenarnya tanpa voucher pun masih bisa pergi. nggak harus ke Bandung. Bisa ke Bali, Lombok atau raja ampat.”
Ray sempat melihat kilatan cahaya di mata Lila tapi sedetik kemudian menghilang.
“Kenapa?”
“Nggak pa-pa.”
Mendengar itu Lila sangat antusias. Tapi melakukan perjalanan bersama Ray sepertinya bukan hal yang bisa diharapkan saat ini. dia sangat ingin, tapi Ray pasti tidak sependapat dengannya.
Ray mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi pemesanan hotel.
“Kalo ke Lombok atau raja ampat perlu ngajuin cuti dulu,“ Ray bergumam sembari jarinya menyapu aktif membuka halaman demi halaman di layar ponsel pintarnya. “Sayang aja kalo Cuma sehari dua hari disana. Kalo Bali masih memungkinkan. Hotel-hotel yang bagus dan dekat pantai juga nggak terlalu mahal.”
Lila semakin jengah dengan ketidakpedulian Ray terhadapnya. Kalau dia memang sedang merencanakan sebuah perjalanan liburan, seharusnya tidak perlu menahan keberadaan Lila. Dia bisa melakukannya dibalik laptop seperti biasanya. Sehingga Lila tidak perlu tahu juga merasa diabaikan seperti ini.
Ray menghentikan aktivitasnya berselancar di dunia maya. Dan menatap Lila dengan mata yang bersemangat.
“Kamu mau ke Bali atau Bandung?”




Kamis, 18 April 2019

Remind Me_sepuluh

14.31 0 Comments

Lebih dari dua jam Lila menghabiskan waktu dikamar mandi. Sudah puluhan kali dia memakai sabun, menggosok-gosok badan, membilasnya. Mengulanginya lagi sampai sabun yang ada di dalam botol habis. Pun dilakukan dengan rambut panjangnya. Nasib yang sama pun menerpa botol sampo yang kini telah kosong.
Lila merasa udara dingin menusuk-nusuk kulitnya. Bahkan dibeberapa tempat terasa perih. Mungkin karena terlalu keras saat menggosok sehingga ada kulit yang terkelupas.
“Kamu habis mandi? Keramas?”
Ray yang duduk menyandar diatas tempat tidur menatap Lila dengan sorot mata tajam juga heran.
“Mas Ray belum tidur?”
Lila menyunggingkan senyum. Senyum tulus seperti saat dia sedang bahagia.
Ray masih memandang Lila. Menunggu penjelsan.
“Sudah malam, Mas. Hampir jam sebelas malam. Sebaiknya kita tidur.”
Lila menyusul masuk kedalam selimut. Masih dengan jubah mandi yang dipakainya. Ia terlalu lelah hanya untuk menukarnya dengan piaya tidur yang nyaman. Kepalanya juga mulai berdenyut.
Lampu utama sudah dipadamkan. Berganti dengan lampu tidur yang lebih temaram. Menarik mata yang terbuka untuk segera tertutup. Rapat.
Tidak butuh waktu lama bagi Ray untuk terlelap. Mungkin karena pengaruh obat yang diminumnya tadi. Sementara Lila harus berjuang lebih lagi. Selain udara dingin menusuk yang dihasilkan pendingin ruangan juga kepalanya terasa seperti mau pecah.
Lila bangun. Sepertinya dia harus tidur di tempat lain. Ia tidak mungkin mematikan AC. Mungkin akan menyebabkan Ray menjadi tidak nyaman karena tidak biasa.
Kamar tamu dipilih Lila untuk menghabiskan sisa malam. Sudah mendekati dini hari. Tapi disana, ia juga tidak menemukan sebuah kenyamanan yang mampu membuatnya terlelap. Lila hanya setengah berbaring dengan kepalanya menyandar pada headboard.
Kedua matanya terus menatap sebuah kanvas yang tertutup kain. Lalu ke sebuah tabung berisi berbagai macam kuas dengan berbagai macam ukuran.
Suatu ketika Kakek memberinya sebuah kuas setelah kematian orang tuanya.
“Kalau tangis dan kata tidak cukup mengungkapkan perasaanmu, gunakan kuas ini untuk melukiskannya.”
Semenjak saat itu Lila belajar melukis. Menggoreskan tiap rasa dalam hatinya. Dengan begitu perasaannya sedikit lebih ringan.
Sayangnya semua itu tidak berguna lagi. Jemarinya tak lagi mampu menggerakkan kuas. Otak kananya seperti sedang dalam masa hibernasi panjang sehingga kemampuannya saat ini hanya satu, menangis.
Derai air mata yang mengalir deras. Sederas air terjun Niagara yang tak pernah surut. Hanya musim dingin yang membekukan yang mampu membuatnya berhenti mengalir. Sementara tak ada musim yang berbeda dalam hidup Lila. Musim kesedihan yang berlangsung sepanjang hidupnya. Hanya kadarnya saja yang berubah tapi tak pernah tergantikan dengan musim yang lain. Ia bahkan lupa pernah bahagia.

***

Hari ini adalah hari terakhir persiapan pementasan yang akan dilakukan besok malam. Ada banyak orang yang berdatangan terutama mereka yang akan menjadi pengisi acara. Gladi resik di lakukan di studio pementasan.
Saat-saat seperti ini yang sangat ditunggu Lila. Merasakan debar-bebar menegangkan. Menanti sebuah pertunjukan besar yang menghadirkan kepuasan saat penonton pulang.  
Setiap detail persiapan tidak luput dari perhatian Lila. Mulai dari property, tamu undangan, Lighting, pengatur music, bahkan vendor yang bertangggung jawab terhadap konsumsi panitia dan pengisi acara pun Lila sendiri yang memastikan semuanya tersusun rapi. Sekarang Lila sedang duduk dikursi penonton untuk melihat proses gladi bersih.
“Hari ini semangat sekali, La?” Mbak Ika duduk disamping Kaylila.
“Semua orang juga semangat, Mbak. Hari ini kan persiapan terakhir.” Kaylila membuat kerutan didahinya.
“Mbak tahu. Tapi tidak biasanya kamu mengecek setiap pos untuk pertunjukan besok. Anak-anak tadi banyak yang protes karena kena teguran sama kamu”
“Lalu?”
“Ya, mbak harap ini memang bentuk tanggungjawab kamu sebagai owner di galeri ini. Bukan sebagai pelarian atas masalah yang sedang kamu hadapi.”
Mbak Ika benar. Lila memang sedang membutuhan hal lain untuk mengalihkan pikirannya. Kejadian semalam seperti sedang membuka kotak Pandora. Segala perasaan negative menghampiri dirinya satu persatu. Dan menyisakan satu hal yang membuatnya tetap bertahan. Harapan.
“Mbak Lila” Suara pak yadi, satpam yang bertugas menjaga keamanan .
“Iya pak?”
“Ada Mas Ray di lobi.”
“Hah?”Lila membuka mulutnya cukup lama. “Hhmm…tolong bilang tunggu sebentar ya”
Pak Yadi pun pergi terlebih dahulu.
“Ngapain Ray kesini? Tumben banget. Kalian lagi berantem?” Mbak Ika mencecar Lila atas ketidakwajaran menurut versinya
Bukan hanya mbak Ika yang merasa heran atas kehadiran Ray di galeri. Tapi juga Lila. Selama menikah belum sekalipun Ray menginjakkan kaki di bangunan kesenian tersebut.
“Mana Lila tahu mbak? Lila aja masih disini sama mbak belum ketemu Ray. “
Menghentikan perdebatan mengenai alasan Ray datang, Lila berjalan diikuti mbak Ika. Didalam hati Lila terus mencari sesuatu yang memungkinkan Ray untuk datang. Dan tidak satu pun cukup alasan.
Lila menemukan Ray berada di lobi sedang melihat-lihat beberapa lukisan yang dipajang disana. Yang sebagian besar adalah miliknya. Dan beberapa adalah milik kedua orang tuanya. Dan semuanya hanya untuk di lihat. Tidak untuk kepentingan lain.
“Mas?”
Rupanya Ray benar-benar menunggu Lila. Hanya sekali panggil saja langsung menoleh. Dengan kemeja dikeluarkan dan dasi yang sudah dilepas Ray datang. Juga dengan wajah lelah usai bekerja.
“Hey.”
“Tumben?”
Ray hanya mengedikkan bahu.
“Kenalin ini mbak Ika.”
“Hallo, senang akhirnya bisa ketemu langsung sama kamu. Terakhir kali kita ketemu pas resepsi kalian” Mbak Ika menjabat tangan Ray. “Take your time. Mbak, tinggal dulu ya.” Mbak menepuk bahu Lila sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Ada perlu apa ya mas datang ke sini?” tanya Lila setelah mbak Ika pergi.
“Nggak ada. Kerjaanku udah beres dan bisa pulang lebih awal. Sekalian jemput kamu juga.”
“Jemput?” Lila spontan mengucapkannya dengan cukup keras hanya untuk mempercayai pendengarannya tidak sedang bermasalah. “Maaf, kelepasan.”
“Nggak pa-pa. Mungkin kamu juga kaget aku tiba-tiba datang kesini.”
“Banget.”
Keduanya pun terdiam. Kehilangan bahan pembicaraan.
Lila berdeham. “Sepertinya aku belum bisa pulang sekarang. Aku masih …”
“Aku tunggu.” Ray memotong ucapan Lila. “Disana. Boleh?” Lalu menunjuk sebuah sofa yang ada di salah satu sudut lobby.
Percakapannya dengan Lila semalam setidaknya membuatnya kembali menapak pada bumi. Tak lagi melambungkan harapan yang tidak pasti. Tetapi mencoba melihat lebih dekat apa yang nampak di hadapannya. Saat yang dekat saja tak bisa dimiliki bagaimana dia bisa mengejar yang jauh?
Ray hanya mencoba realistis. Menjalani pernikahan sewajarnya. Mencoba semampunya. Andai semua itu tetap mengantarnya pada perpisahan. Maka dia tak lagi merasa bersalah pada Lila.

****

Seorang laki-laki berjalan memutar dengan punggungnya yang dibongkokkan dan sebelah tangannya memegang pinggang. Bejalan berlawanan arah dari laki-laki lain dengan tubuh yang kurus dan tinggi tak lupa kedua tangannya diikat kebelakang dan dengan muka yang diangkat seperti sedang berpikir. Keduanya berjalan berjalan membentuk lingkaran. Terus memutar hingga lingkaran tersebut mengecil dan keduanya bertemu dengan sebuah tabrakan lucu yang mengundang decak tawa.
Meski hanya sebuah geladi resik masing-masing pemain melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pementasan drama musical yang mengangkat kisah punakawan itu di kemas dalam bentuk komedi tanpa meninggalkan unsure utama pembangun cerita.
Suara tawa masih terdengar dari bangku penoton meski adegan telah berganti. Ray menjadi salah yang menyumbangkan tawanya. Dia benar-benar sedang menikmati pertunjukkan.
Lila bisa merasakan kegembiraan yang sama. Bukan dari atas panggung melainkan dari tribun penonton. Tawa itu masih menggema di telingannya. Barisan gigi yang terlihat, sudut mata yang mengecil dan guratan-guratan kecil  diwajahnya. Lila melihat semuanya. Mata hitamnya yang mengecil saat tertawa. Dan akan menyorot tajam saat amarah menguasai.
Sekejap itu pula Lila melupakan tahta yang tidak bisa ia miliki. Meski secara hukum pria itu adalah suaminya. Tapi singgasana ratu di hati Ray bukan miliknya. Ada orang lain yang sudah merebutnya. Menghapus setiap jejak dirinya.
“La, balik yuk? Anak-anak juga udah banyak yang pulang. Tinggal bagian property aja yang lagi beres-beres.” Mbak Ika membuat Lila berkedip. Mengalihkan pandangannya dari bangku penonton.
“Okeh. Ayo!”
Setelah mbak Ika berjalan mendahuluinya, Lila kembali mengarahkan pandangannya kearah tribun. Pandangnya beradu dengan penguasa seluruh ruang dihatinya. Yang bertahta hampir seumur hidup Lila.
Ray membalas tatapannya.
Blouse cantik itu telah berubah menjadi kemeja kebesaran yang dibiarkan tidak terkancing. Menutupi kaos putih polos. Celana jins dengan aksen robek dibeberapa tempat telah mengeliminasi rok megar bermotif cerah. Transformasi penampilan yang menyilaukan mata Ray. Bahkan jepit rambut warna-warni itu telah digantikan sebuah karet pengikat rambut yang hampir lepas.
Lila kecilnya benar-benar berubah. Bukan lagi seorang gadis kecil manja yang harus dituruti setiap kemauannya. Melainkan seorang wanita dewasa dengan segala keterampilan yang tidak pernah dikuasai sebelumnya. Memasak, mengurus rumah, bahkan menjadi penanggung jawab pertunjukan teater. Juga membuat dirinya terlihat baik-baik saja.
Sebulan menjelang pernikahannya, Oma pernah memintanya untuk menjaga Lila. Dengan atau tanpa perasaan yang tulus, Ray harus bersama Lila. Hanya ini kesempatannya untuk melihat Lila tetap hidup.
Tentu saja hal itu menyisakan tanya dibenakknya. Tapi kecewa mendominasi hatinya sehingga mengabaikan hal itu hingga sekarang.
Gadis itu hidup sangat baik. Kemampuannya pulih dari kejadian buruk yang menimpanya sangat cepat. Ray harus mengakui kehebatan itu. sehingga keinginanya untuk mengetahui keadaan Lila saat mereka berpisah pun tenggelam.
Lila menghampiri Ray.
“Yuk, pulang.” Ajak Lila.
“Tunggu!”
Ray bangkit lalu berjalan mendekati Lila. Setelah berdiri dihadapannya, dia memandang lekat kedalam wajah Lila. Lalu tangan kanan Ray bergerak kebelakang punggung Lila seperti hendak memeluk. Namun kedua tangan itu hanya menarik lepas karet rambut hampir terjatuh.
“Ahh biar aku sendiri, mas.”
Suara Lila tenggelam kedalam suara detak jantungnya yang bertalu-talu. Merasakan kedekatan yang datang tiba-tiba. Lila bahkan bisa mencium aroma tubuh Ray yang telah bercampur dengan keringat juga parfum.
Meski ingin menolak tapi Lila membiarkan Ray menyentuh rambutnya. Mengikatnya kembali. Lalu merapikan anak rambut yang jatuh dipelipisnya.
“Udah. Yuk, pulang.”
Lila bahagia. Sungguh. Apapun maksud Ray bersikap manis padanya akan ia abaikan. Dia tidak ingin merusak bahagianya yang sederhana. Meskipun ia tidak mampu meraih telapak tangan Ray terayun bebas dan menyelipkan jemarinya disana.
Tidak apa. Semua ini sangat cukup untuknya. Sangat cukup.

***

Lila masih berpesta pora. Kembang api yang meletup-letup terus menggelitik perutnya. Bahagianya memang sederhana. Sama sederhananya dengan wajahnya yang berseri-seri menutup seluruh kelelehan tubuhnya.
Wajah cerah berseri itu mulai berubah menjadi sebuah kernyitan heran saat mobil yang ditumpanginya berbelok berlawanan dengan arah pulang. Tapi itu tidak membuatnya untuk bertanya.
Keluar dari jalan utama. Ray membelokkan mobil memasuki jalan arteri. Dikanan kirinya banyak tumbuh pohon-pohon besar. Tidak hanya itu, kawasan ini juga dipenuhi dengan kafe dan restoran. Yang menjual berbagai macam makanan khas mulai dari western, chinness, japannes juga makanan tradisional. Ray mengarahkan mobilnya memasuki pelataran kafe yang cukup ramai.
“Keberatan nggak kalau kita makan malam disini?”
Ray sudah memarkir mobil tapi masih membiarkan mesinnya menyala.
Lila masih menggerakkan kepalanya ke segala arah. Mengamati tempat yang dimaksud Ray. Dinding kaca besar yang sengaja dibangun untuk menunjukkan desain interior yang ada didalamnya. Cahayanya dibuat temaram dengan lampu kuning yang mendominasi. Ada kursi-kursi tinggi yang menghadap langsung bagaimana barista-barista menghasilkan sebuah minuman kopi yang enak juga artistik. Lalu dindingnya banyak diisi dengan hiasan dinding berbahan kayu.
“Tempatnya bagus.” Lila mengucapkannya jujur. “Memangnya tempat kaya gini jual makanan berat? Perutku nggak cukup klo cuma diisi kentang goreng.”
“Tenang saja. Bimo baru saja bikin menu baru khusus untuk dinnernya orang Indonesia.” Ray tersenyum lalu mematikan mesin mobilnya.
“Bimo?” Ucap Lila pelan yang tidak didengar Ray karena dia sudah membuka pintu mobil.
“Tunggu!”Lila menahan tangan Ray yang akan keluar. “Ehhmm…bajuku…”
Ray mengamati penampilan Lila. Tapi dia tidak melihat ada yang salah. “Kenapa?”
“Aku nggak mau salah kostum lagi kaya makan malam kita dulu.” Lila mengucapkannya dengan menunduk dan terbata-bata. Jemarinya bahkan saling meremas-satu sama lain.
“Nggak salah kostum kok. Ayo!”
Lila menepuk-nepuk pakaiannya. Seperti sedang menghilangkan debu yang menumpuk setelah berbulan-bulan tidak dipakai. Tak lupa dia juga merapikan ikatan rambutnya. Dari kaca spion mobil Lila memastikan penampilannya baik-baik saja.
Acara makan malam memang membuatnya cukup trauma. Kejadian salah kostum itu benar-benar memalukan dirinya. Belum lagi saat memperhatikan pengunjung yang lebih dulu datang rata-rata adalah orang-orang yang cukup rapi, meski tidak formal. Dan orang-orang yang masih mengenakan pakaian kantor. Lila memang baru saja selesai bekerja. Tapi jenis pakaian kerjanya bukan blouse yang ditutup blazer dengan rok atau celana. Melainkan kemeja kebesaran dengan celana jins belel. Bukan tipe orang kantoran.
Setelah dirasa cukup Lila mengejar Ray yang sudah berjalan lebih dulu. Saat sudah berdampingan, Lila melihat seseorang melambai kearahnya. Lebih tepatnya kearah Ray.
Rupanya mereka sudah kenal. Mungkin juga dekat. Melihat cara mereka menyapa yang tidak hanya sekedar bersalaman tapi juga saling merangkul.
“Halo Lila. Senang akhirnya bisa ketemu kamu secara langsung.”
Pria ini juga mengenalnya. Yang membuat Lila semakin heran.
“Halo juga.” Lila tersenyum kikuk saat membalas uluran tangannya.
“Gue Bimo yang punya kafe ini.  Ray pasti sering cerita soal gue.” Bimo tertawa lebar dengan kadar kepercayaan diri maksimal.
“Tentu. Ray baru saja menyebutnya. Sekali.” Lila hanya mengucapkan itu dalam hati. Lila ikut tertawa. Entah apa yang sedang ia tertawakan.
“Kita kesini karena penasaran sama menu baru di kafe Lo.”
“Oh harus itu. kalian harus coba. Dan gue udah siapin tempat special buat kalian.” Bimo berjalan untuk menunjukkan tempat khusus yang dia maksud. “Meja disamping kaca yang menghadap jalanan. Gue udah hapal selera Lo, Mir.”
Suara jangkrik tiba-tiba terdengar saat ketiganya merasakan suasanan yang tiba-tiba senyap karena Bimo salah menyebut nama. Lalu dia tertawa keras untuk mencairkan suasana aneh itu.
“Kalian bisa lihat menu-menu lain. Gue siapin menu utamanya dulu.”
Saat Ray sibuk dengan buku menu hanya agar terlihat sibuk atas awkward moment yang baru saja terjadi Lila malah sebaliknya. Dia sedang menjelajah setiap detail dari ruangan yang ada di kafe tersebut. Lila bahkan membaca setiap tulisan-tulisan yang menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Ada yang sekedar ditulis ada juga yang memang diukir.
Kepalanya bahkan bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang sedang diputar. Posisi meja yang mereka tempati saat ini memang sangat strategis. Pemandangan jalanan saat ini yang basah terkena hujan dan bias air yang terkena cahaya lampu jalanan. Benar-benar menyenangkan. Pantas saja meja yang berdampingan dengan kaca lebih dulu penuh.
“Asik banget ya tempatnya. Aku suka.” Lila tersenyum. Membuat cekungan di pipinya terlihat. Manis dan juga tulus.
Kejadian malam ini terlalu berharga bila ditukar dengan secercah gelap yang menyelinap kedalam hatinya. Bukan tidak menyadari saat Bimo salah menyebut namanya. Yang sangat jelas menunjukkan siapa Almira sebenarnya.
Tapi nanti, akan datang waktu saat Lila harus mengurus kegelapan yang diam-diam menyelinap masuk dan berkumpul semakan pekat didalam hatinya. Dan membuatnya kehilangan arah. Saat ini dia hanya akan menikmati sisi terang yang masih  menyenangkan.





Follow Us @soratemplates