Minggu, 28 April 2019

# Buku # palestina

Resensi Buku Cahaya Palestine


“Seseorang jika sudah berada di ujung tebing, masihkah ia menggunakan perasaannya untuk meratapi diri, sementara ia sendiri sudah pasti tak akan pernah selamat” Paletine Bin Haidar




Judul               : Cahaya Paletine
Penulis             : Vanny C.W
Penerbit           : PT. Sinar Kejora
Siapa yang menyangka bahwa Palestine di dalam buku ini bukanlah sebuah Negara? Awalnya saya mengira akan menemuka banyak hal tentang Negara palestina. Rupanya Palestine yang dimaksud adalah nama seorang anak perempuan yang menjadi pusat dari seluruh cerita.
Seorang gadis yang berusia 11 tahun ini tak memiliki perbedaan jauh dengan nasib anak-anak lain yang berasal dari sebuah wilayah perbatasan Negeri Palestina, Gaza. Korban dari kedzaliman Israel yang menghancurkan rumah juga keluarganya. Bungsu dari tiga bersaudara yang hidup sendiri karena ibu bersama saudaranya telah meninggal setelah rumahnya menjadi salah satu dari puluhan rumah yang menjadi sasaran penyerangan Israel.
Sementara ibu dan kakaknya sudah jelas nasibnya, berbeda dengan ayahnya. Palestine tidak mengetahui apakah ayahnya masih hidup atau tidak. Kemudian Palestine tinggal bersama dengan anak-anak lainnya di sebuah pengungsian. Dalam keterbatasan yang ada sekaligus dendam dan kebenciannya terhadap Israel Palestine terus berusaha mencari kabar tentang ayahnya.


Selain itu juga digambarkan tentang gerilya yang dilakukan oleh anak-anak palestina. Keberanian bocah-bocah itu dalam menunjukkan bahwa mereka tidak pernah merasa terintimidasi dengan keberadaaan pasukan-pasukan militer Israel yang berada di tanah kelahiran mereka.


Menurut saya buku ini tidak seperti novel kebanyakan. Lebih seperti slice of life dari Palestine. Perjalanan dari pertama kali tiba dipengungsian hingga proses pencarian ayahnya di kisahkan sepotong-sepotong. Waktu dan tempat kejadian ditunjukkan diawal seperti saat menonton film dokumenter.


Sayangnya sudut pandang yang digunakan sedikittidak konsisten. Secara keseluruhan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun ditengah-tengah tiba-tiba akan muncul sosok aku.
Seperti dibagian ke-13.
Sejak dulu, aku tidak menyukai darah merah yang mengucur hingga melenyapkan nyawa manusia, siapapun itu. tapi jika tidak karena berita itu, salah satu sahabatku diculik dan ditawan oleh Hamas, Gilad Salit, maka aku tidak akan pernah mendaftarkan diri sebagai seorang tentara
Sampai dua paragraf sudut pandang orang pertama masih digunakan yaitu Abigail, seorang tentara perempuan Israel. Tapi tiba-tiba berganti pada kalimat pertama paragraf keempat dan kembali menjadi ‘aku’ di akhir paragraf.
Sejak dulu, Abigail sama sekali tidak menyukai peperangan. Dan tidak suka melihat anak-anak kecil dan wanita menjadi korban. Jika saja aku punya kekuatan, aku akan membebaskan mereka, walau tujuanku tetap. MEMBUNUH HAMAS! TITIK.


Kemudian muncul sebuah adegan mistis saat akhirnya Palestine mengetahui tentang nasib ayahnya. Yaitu Palestine yang sudah dinyatakan meninggal tiba-tiba roh nya bisa berjalan-jalan kesuatu tempat. Bahkan dia bisa menyaksikan kejadian yang sedang berlangsung disana.
Menurut saya bagian ini membuat emosi saat membanca menjadi jatuh bebas dan menganggu. Karena sebelumnya pembaca sudah dinaikkan emosinya dengan meninggalnya Palestine disaat belum satu pun keinginananya terpenuhi.
Kemunculan sisi romantisme pun sedikit dipaksakan juga. Karena untuk tokoh dengan usia belasan tahun yang dikelilingi dengan jiwa perjuangan rasanya agak berlebihan kalau dimunculkan perasaan suka terhadap lawan jenis.



Bagi yang suka dengan puisi atau sajak buku ini sangat direkomendasikan. Karena banyak sekali sisipan puisi hampir disetiap bagian. Bahkan setiap tokoh pasti memiliki puisi yang menggambarkan pribadinya.

Pemuda yang jatuh cinta,
Kamu tidak akan pernah tahu, bila kamu akan jatuh cinta
Namun, apabila sampai saatnya tiba,
Cepat-cepat raihlah ia dengan kedua tanganmu,
Dan, janganlah biarkan dia pergi,
Dengan sejuta rasa tanda tanya di hatinya…


2 komentar:

Follow Us @soratemplates