Cahaya matahari sudah
memanggil-manggilnya. Membuat sepasang mata kesulitan untuk terbuka. Uuntung
saja gorden dikamarnya masih tertutup rapat sehingganya matanya tidak terlalu
kaget menerima puluhan cahaya saat pertama kali membuka.
Ray bangun saat suasana
sudah terang. Dia mengambil handuk yang sepertinya menempel semalaman di
dahinya. Ray mengambil HP diatas nakas. Jam di ponselnya sudah menunjukkan jam
7 pagi. Sepertinya hari ini dia harus terlambat ke kantor.
Tidak biasanya Ray
bangun kesiangan. Selarut apapun dia tidur tidak membuatnya bangun terlambat.
Semalam dia merasa badannya kurang enak. Bahkan saat pulang dia langsung tidur.
Mungkin juga semalam badannya demam sehingga ada handuk di dahinya. Siapa yang
melakukannya? Tentu saja Lila. Memangnya ada siapa lagi di rumah ini.
Tapi sejauh ini rumah
terlalu sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Lila dirumah. Ray pun keluar
kamar. Matanya melihat sebuah tudung saji di meja makan. Spontanitas saja dia
langsung membukanya. Semangkuk soto dan sepiring nasi putih. Keduanya masih
mengeluarkan asap meski sedikit. Juga sebuah pesan disampingnya.
Makan dulu sebelum berangkat.
Jangan lupa minum obat.
Maaf aku pergi lebih awal, ada urursan
mendadak di galeri
Lila juga meninggalkan
nomer ponselnya kalau Ray membutuhkan sesuatu. Dan itu membuatnya tersenyum.
Lila mungkin mengira dia tidak memiliki nomer ponselnya. Hanya karena selama
ini dia tidak pernah menghubunginya.
Sudah lama Ray menyimpan
nomer Lila. Hanya dia tidak pernah membuat panggilan atau pesan yang ditujukan
pada nomer Lila.
Sebenarnya sarapan yang
disiapkan Lila ini bukan sebuah hal baru. Sudah hampir satu minggu ini Ray
terbiasa dengan keberadaan makanan di meja makan saat pagi. Hanya saja dia
belum pernah sekalipun menyentuhnya. Antara enggan dan tidak sempat. Yang
membuatnya sedikit heran adalah pesan yang ditinggalkan. Pulang pergi tanpa
pamit hal biasa. Bahkan ia sendiri tidak mempermasalahkan kalau itu Lila yang
melakukan. Lalu kenapa hari ini harus berbeda?
Ray mengabaikan
keanehan yang terasa hangat dihatinya itu. Dan memilih menghabiskan sarapannya.
Rupanya kuah hangat dari soto itu membuat nyaman tubuhnya. Meskipun masih
merasakan lemas tapi Ray cukup kuat untuk berangkat bekerja hari ini.
***
“Lila? Kamu sakit?”
Mbak Ika baru saja
masuk ke dalam ruangan dan melihat Lila sudah meletakkan kepalanya diatas meja.
“Ada perkembangan soal
genset, Mbak?” ucap Lila lirih.
“Udah. Akhirnya kita
dapat 2 tambahan lagi.”
Lila masih bergeming
dengan posisinya dari tadi.
“Syukurlah. Tapi plan B
tentang perubahan lighting tetap
disiapkan aja. Buat jaga-jaga kalau ada apa-apa.”
“Oke.”
“Lagian tumben-tumbenan
sih pemadaman malam hari.”
Lila merubah posisi
kepalanya ke arah lain.
“Kamu sakit, La?”
Mbak Ika mengulangi
pertanyaan yang belum dijawab Lila. Melihat Lila bermalas-malasan seperti ini
sangat jarang. Biasanya kalau bosan Lila akan melihat latihan pementasan atau
melihat-lihat lukisan di showroom.
“Kurang tidur aja mbak.
Semalam Ray demam tinggi banget. Sampe ngigau lagi.”
“Kecapekan kali, La.”
Capek
marah?
“Gini deh, La.” Mbak
Ika menarik kursi lalu duduk di hadapan Lila. “Sebaiknya kamu mengurangi jadwal
kamu.”
Lila mengangkat
kepalanya untuk menyimak penjelasan Mbak Ika. “Maksud Mbak?”
“Ya…banyakin waktu kamu
dirumah. Kalau perlu kamu boyong semua peralatan melukis kamu ke rumah.”
Lila meletakkan kembali
kepalanya diatas meja.
“Aku udah kepikiran
gitu sih mbak. Tapi gimana sama galeri?”
“Kan ada mbak. Nanti
kalau ada apa-apa mbak pasti kabari kamu. Jangan khawatir meski kamu nggak
disini mbak akan kasih kamu laporan lengkap. Kalau perlu tiap hari.”
Lila tersenyum
mendengarnya.
Sudah lama dia
berencana seperti ini. Bahkan sebagian alat lukisnya sudah ada yang ia bawa
pulang. Mungkin dengan jalan ini pernikahannnya bisa lebih baik kalau dia
mengahabiskan lebih banyak waktu di rumah.
****
Kaylila : Aku pulang telat. Mungkin jam 9 an baru sampe
rumah. Lila
Ray memandangi pesan
yang dikirim Lila beberapa waktu lalu. Dia sudah berada di garasi rumah saat
membacanya. Sepertinya Lila sudah mengirimnya dari sore tapi Ray terlalu sibuk
untuk sekedar melihat ponsel.
Semua ruangan
dirumahnya masih gelap saat Ray masuk. Dia menyalakan lampu namun ruangan
tersebut masih terlihat gelap bagi Ray. Ia kemudian berjalan menuju kamarnya
namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar tamu. Dia memilih membuka
pintu kamar tersebut.
Tak banyak yang bisa Ray
lihat sebuah single bed yang tertata
rapi, sebuah meja dan lemari. Tapi sebuah benda yang menarik perhatiannya. Yang
tertutup dengan kain putih. Dibawahnya ada sebuah box plastic berukuran besar.
Ray menyibak kain
penutupnya. Mata Ray langsung membulat, besar dan tidak berkedip. Ia ingat
lukisan itu sedang dikerjakan Lila kemarin. Dan sekarang keadaannya sangat
berantakan. Banyak cat berceceran disana. Sepertinya itu terkena tumpahan. Dan
kelihatannya dia menjadi tersangka utama dari kejadian itu.
Saat itu Ray memang
sangat marah. Bukan pada Lila atau orang lain. Tapi pada dirinya sendiri.
Dirinya yang tidak bisa
tegas. Bahkan pada hatinya sendiri pun tidak. Dia menikahi Lila dengan sadar
sementara hatinya masih memikirkan perempuan lain. Sungguh tidak adil bagi Lila
bahkan Almira.
Wanita yang seharusnya
menjadi pemilik hatinya. Tapi sebelum perasaan itu dideklarasikan, dia harus
dilepaskan oleh seseorang yang mengaku sangat mencintainya tapi terlalu
pengecut untuk memperjuangkan cintanya.
Ya, Ray dan Almira akan
berdiri ditempat masing-masing. Saling menatap tapi tak menyapa. Namun Almira
selangkah lebih maju, karena dia masih mengejar mimpi. Sementara Ray memilih
menyerah dan merelakan kecewa menyelimutinya sampai akhir.
***
Ray berjalan menuruni
tangga bersamaan dengan Lila membuka pintu rumah. Ray melihat kearah Lila begitu
pun sebaliknya. Tatapan mereka berlangsung selama beberapa saat sampai Ray yang
lebih dulu memalingkan wajahnya. Lila hanya menatap sendu karena Ray selalu
memalingkan wajah darinya terlebih dahulu.
“Mas Ray baru pulang
juga? Udah makan?”
Pertanyaan Lila menghentikan
langkah Ray yang berbalik hendak menaiki tangga.
“Aku barusan beli sup
ayam. Mas mandi dulu aja sambil aku siapin makan malamnya.” Lila pun pergi
menuju dapur sementara Ray masuk kedalam kamarnya.
Meja makan tersebut
telah dipenuhi oleh hidangan sup ayam yang baru dibeli Lila. Lila duduk
berhadapan dengan Ray. Beberapa saat mereka hanya duduk dalam diam tanpa ada
suara sendok yang beradu dengan mangkok layaknya kegiatan makan pada umumnya.
“Wahh aroma supnya enak
semoga rasanya juga sama.” ucap Lila. “Hhmm, enak juga,” gumam Lila.
Ditengah suasana makan
yang canggung itu Lila mencuri pandang pada Ray. Ray makan dengan tenang
sekali. Melihat wajah yang seperti itu Lila teringat kejadian semalam. Saat Ray
menggumam tidak jelas saat tidur. Badannya menggigil seperti orang kedinginan
meski saat dipegang terasa panas sekali.
Kemudian mata Lila
menatap sepasang manik hitam. Sepasang mata yang selama ini dirindukannya. Sorot
mata yang tajam itu menembus balik kedalam bola matanya. Lila pun sadar tengah
tertangkap basah sedang mengamati Ray.
“Katanya enak, kenapa
nggak dimakan?”
Ucapan Ray membuatnya
tergagap dan bingung harus menjawab apa.
“Eh iya. Ini dimakan.”
Lila kembali
menyendokkan makanan kedalam mulutnya.
Keheningan pun kembali
sampai dentingan sendok dan mangkuk berhenti pertanda makan malam mereka sudah
selesai. Lila pun membereskan meja dan memindahkan isi meja itu ke dapur untuk
dibersihkan.
Saat akan menaiki
tangga setelah mencuci peralatan makan ia merasakan semilir angin. Saat
mencari-cari sumber angin tersebut ia melihat pintu menuju halaman belakang
terbuka.
Ray memilih
menghabiskan sisa malamnya dengan duduk diteras belakang rumah. Tangannya
memainkan ponsel tanpa berniat membuka satu aplikasipun. Kemarin saat tiba-tiba
pergi dari rumah, Ray menghapus semua foto yang berisi gambar Almira. Sudah
saatnya dia menyimpan bayang-bayang almira dalam sebuah kotak kecil disudut
hatinya.
“Mas Ray?”
Suara Lila menginterupsi
lamunan Ray. Ray pun menyimpan ponselnya kedalam kantong piyama yang
dikenakannya.
“Gimana rasanya? Udah
mendingan?”
Lila duduk dikursi yang
ada di samping Ray.
“Baik. Makasih.”
“Tidak perlu, Mas.
Sudah jadi kewajibanku.”
Sebenarnya Ray merasa
aneh saat Lila memanggilnya dengan sebutan mas. Memang bukan hal baru. Karena
sewaktu kecil Lila sudah memanggilnya demikian. Hanya sedikit tidak biasa saat
mendengarnya saat dewasa. Sebelumnya Lila hanya memanggilnya dengan sebutan mas
saat bersama keluarganya. Ditambah Sikap Lila yang tidak lagi acuh tak acuh. Mungkin
hari ini ia baru benar-benar menyadarinya. Tapi sepertinya Lila sudah melakukannya
lebih awal.
“Lila,”
Lila menoleh mendengar
namanya disebut.
“Don’t do this anymore.”
“Do what?”
“Everything that you’ve
done. Menyiapkan makan, pakaian kerjaku juga merawat saat aku sakit.”
“Why?”
Lila menahan gemuruh
yang mulai menggelegar di rongga dada.
“Lakukan seperti awal. Seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apa diantara kita.”
Lila tertawa getir, “Karena
aku bukan Almira?”
Ray tercengang
mendengar sebuah nama keluar dari mulut Lila. Tidak satu orang pun bahkan
mungkin didunia ini tahu seperti apa perasaannya untuk Almira.
“Aku melihatnya. Di
album foto, kamar mas dirumah papa juga dalam dompet mas. Bahkan semalaman Mas
terus menggummamkan namanya. Mira, aku sempat mengira itu adalah Lila. Jadi dia
yang sudah menggantikan posisiku?”
Ray menghela nafas. Dia
tahu Lila sudah tersulut emosinya. Dan dia harus lebih tenang agar semuanya
baik-baik saja.
“Lila, ini bukan tentang
siapa yang diganti atau mengganti. Kita sudah tumbuh menjadi orang dewasa.
Begitu juga dengan hati dan perasaan. Semuanya pasti berubah.”
Lila menarik nafas
dalam. Mengatur degup jantungnya berpacu sangat cepat.
“Bagaimana kalau semua
itu tidak berubah?”
“Lila, pernikahan kita terjadi
karena perjodohan. Dan semua yang terjadi diluar kemauan kita tidak akan
berjalan dengan baik.”
“Begitu?” Lila masih
berusaha bersikap tenang. “Jadi Mas akan mengakhiri pernikahan Kita?”
“Bukankah kamu juga
berharap demikian?”
Lila tertawa sinis.
Menggerakkan kedua bola matanya keatas. Mencegah telaga dimatanya merembes
keluar.
“Mas tahu, Aku yang
membuat perjodohan ini terjadi. Dan benar aku masih hidup dengan masa lalu.”
Lila menggenggam kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Tapi tidak ada yang
berubah. Dulu bahkan sampai sekarang.”
“Lila, aku tidak ingin kamu
terluka lagi. Perpisahan kita dulu bahkan dengan pernikahan ini. Sepuluh tahun
sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu tidak…”
“Don’t!” kembali Lila
menarik nafas.
Kali ini pertahanannya
melemah. Telaga dimatanya telah membanjir membentuk sebuah aliran kecil yang
deras.
“Aku baik-baik saja
selama sepuluh tahun ini. Kalau harus melakukannya lagi tidak apa,” Lila
mengusap hidungnya yang berair. “ Tapi biarkan pernikahan ini tetap ada.”
“Lila,..” Ucap Ray sendu.
“Aku akan baik-baik
saja.” Ucap Lila tenang. Sangat tenang. Bahkan merasa terintimidasi dari
ketenangan yang ditunjukkan Lila.
Menarik nafas dalam dan
menghembuskannya lagi. Lalu membuka genggaman tangannya yang sedara tadi
tercengkeram erat.
“Jangan terlalu lama
diluar. Nanti Mas bisa sakit lagi.”
Lila bangkit dari
duduknya. Langsung masuk kedalam kamar. Meninggalkan suara dentuman pintu yang
cukup keras. Lila tidak sengaja melakukannya. Emosi yang membuatnya bersikap
demikian.
Tidak memerlukan bantal
untuk meredam tangisnya yang meraung-raung atau melempar semua benda yang ada
dihadapannya. Yang Lila butuhkan hanya air. Aliran air akan bisa menyaingi
derasanya tangisannya. Sehingga ia tidak perlu menangis lagi.
Tak lama kemudian Ray
menyusul Lila masuk. Dia mengikuti saran Lila untuk tidak berlama-lama diluar.
Saat dia jatuh sakit, dia hanya akan menambah beban pada Lila.
Tapi Ray tidak
menemukan keberadaan istrinya di dalam kamar. Ruangan tersebut. sepi juga masih
sama rapinya seperti saat ia baru pulang. Selimut masih terlipat, bantal masih
bersandar rapi bahkan meja masih dipenuhi benda-benda milik Lila. Tidak seperti
dugaannya yang akan memasuki sebuah ruangan yang berantakan dengan berbagai
macam benda bergeletakan dilantai. Yang mungkin akan menjadi sasaran emosi Lila
Sekarang Ray hanya mendengar suara aliran air
dikamar mandi. Tidak sedetikpun suaranya berhenti meski dia sudah sekitar 15
menit didalam. Mungkinkah Lila mandi? Di waktu yang tepat untuk orang-orang
beristirahat. Bahkan suara satpam melakukan patroli keamanan sudah dimulai.
Yang biasa dilakukan sejak jam Sembilan malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar