Jumat, 12 April 2019

# cinta # Fiksi

Remind Me_Sembilan

Cahaya matahari sudah memanggil-manggilnya. Membuat sepasang mata kesulitan untuk terbuka. Uuntung saja gorden dikamarnya masih tertutup rapat sehingganya matanya tidak terlalu kaget menerima puluhan cahaya saat pertama kali membuka.
Ray bangun saat suasana sudah terang. Dia mengambil handuk yang sepertinya menempel semalaman di dahinya. Ray mengambil HP diatas nakas. Jam di ponselnya sudah menunjukkan jam 7 pagi. Sepertinya hari ini dia harus terlambat ke kantor.
Tidak biasanya Ray bangun kesiangan. Selarut apapun dia tidur tidak membuatnya bangun terlambat. Semalam dia merasa badannya kurang enak. Bahkan saat pulang dia langsung tidur. Mungkin juga semalam badannya demam sehingga ada handuk di dahinya. Siapa yang melakukannya? Tentu saja Lila. Memangnya ada siapa lagi di rumah ini.
Tapi sejauh ini rumah terlalu sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Lila dirumah. Ray pun keluar kamar. Matanya melihat sebuah tudung saji di meja makan. Spontanitas saja dia langsung membukanya. Semangkuk soto dan sepiring nasi putih. Keduanya masih mengeluarkan asap meski sedikit. Juga sebuah pesan disampingnya.

Makan dulu sebelum berangkat.
Jangan lupa minum obat.
Maaf aku pergi lebih awal, ada urursan mendadak di galeri

Lila juga meninggalkan nomer ponselnya kalau Ray membutuhkan sesuatu. Dan itu membuatnya tersenyum. Lila mungkin mengira dia tidak memiliki nomer ponselnya. Hanya karena selama ini dia tidak pernah menghubunginya.
Sudah lama Ray menyimpan nomer Lila. Hanya dia tidak pernah membuat panggilan atau pesan yang ditujukan pada nomer Lila.
Sebenarnya sarapan yang disiapkan Lila ini bukan sebuah hal baru. Sudah hampir satu minggu ini Ray terbiasa dengan keberadaan makanan di meja makan saat pagi. Hanya saja dia belum pernah sekalipun menyentuhnya. Antara enggan dan tidak sempat. Yang membuatnya sedikit heran adalah pesan yang ditinggalkan. Pulang pergi tanpa pamit hal biasa. Bahkan ia sendiri tidak mempermasalahkan kalau itu Lila yang melakukan. Lalu kenapa hari ini harus berbeda?
Ray mengabaikan keanehan yang terasa hangat dihatinya itu. Dan memilih menghabiskan sarapannya. Rupanya kuah hangat dari soto itu membuat nyaman tubuhnya. Meskipun masih merasakan lemas tapi Ray cukup kuat untuk berangkat bekerja hari ini.

***

“Lila? Kamu sakit?”
Mbak Ika baru saja masuk ke dalam ruangan dan melihat Lila sudah meletakkan kepalanya diatas meja.
“Ada perkembangan soal genset, Mbak?” ucap Lila lirih.
“Udah. Akhirnya kita dapat 2 tambahan lagi.”
Lila masih bergeming dengan posisinya dari tadi.
“Syukurlah. Tapi plan B tentang perubahan lighting tetap disiapkan aja. Buat jaga-jaga kalau ada apa-apa.”
“Oke.
“Lagian tumben-tumbenan sih pemadaman malam hari.”
Lila merubah posisi kepalanya ke arah lain.
“Kamu sakit, La?”
Mbak Ika mengulangi pertanyaan yang belum dijawab Lila. Melihat Lila bermalas-malasan seperti ini sangat jarang. Biasanya kalau bosan Lila akan melihat latihan pementasan atau melihat-lihat lukisan di showroom.
“Kurang tidur aja mbak. Semalam Ray demam tinggi banget. Sampe ngigau lagi.”
“Kecapekan kali, La.”
Capek marah?
“Gini deh, La.” Mbak Ika menarik kursi lalu duduk di hadapan Lila. “Sebaiknya kamu mengurangi jadwal kamu.”
Lila mengangkat kepalanya untuk menyimak penjelasan Mbak Ika. “Maksud Mbak?”
“Ya…banyakin waktu kamu dirumah. Kalau perlu kamu boyong semua peralatan melukis kamu ke rumah.”
Lila meletakkan kembali kepalanya diatas meja.
“Aku udah kepikiran gitu sih mbak. Tapi gimana sama galeri?”
“Kan ada mbak. Nanti kalau ada apa-apa mbak pasti kabari kamu. Jangan khawatir meski kamu nggak disini mbak akan kasih kamu laporan lengkap. Kalau perlu tiap hari.”
Lila tersenyum mendengarnya.
Sudah lama dia berencana seperti ini. Bahkan sebagian alat lukisnya sudah ada yang ia bawa pulang. Mungkin dengan jalan ini pernikahannnya bisa lebih baik kalau dia mengahabiskan lebih banyak waktu di rumah.

****
Kaylila  :  Aku pulang telat. Mungkin jam 9 an baru sampe rumah. Lila
Ray memandangi pesan yang dikirim Lila beberapa waktu lalu. Dia sudah berada di garasi rumah saat membacanya. Sepertinya Lila sudah mengirimnya dari sore tapi Ray terlalu sibuk untuk sekedar melihat ponsel.
Semua ruangan dirumahnya masih gelap saat Ray masuk. Dia menyalakan lampu namun ruangan tersebut masih terlihat gelap bagi Ray. Ia kemudian berjalan menuju kamarnya namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar tamu. Dia memilih membuka pintu kamar tersebut.
Tak banyak yang bisa Ray lihat sebuah single bed yang tertata rapi, sebuah meja dan lemari. Tapi sebuah benda yang menarik perhatiannya. Yang tertutup dengan kain putih. Dibawahnya ada sebuah box plastic berukuran besar.
Ray menyibak kain penutupnya. Mata Ray langsung membulat, besar dan tidak berkedip. Ia ingat lukisan itu sedang dikerjakan Lila kemarin. Dan sekarang keadaannya sangat berantakan. Banyak cat berceceran disana. Sepertinya itu terkena tumpahan. Dan kelihatannya dia menjadi tersangka utama dari kejadian itu.
Saat itu Ray memang sangat marah. Bukan pada Lila atau orang lain. Tapi pada dirinya sendiri.
Dirinya yang tidak bisa tegas. Bahkan pada hatinya sendiri pun tidak. Dia menikahi Lila dengan sadar sementara hatinya masih memikirkan perempuan lain. Sungguh tidak adil bagi Lila bahkan Almira.
Wanita yang seharusnya menjadi pemilik hatinya. Tapi sebelum perasaan itu dideklarasikan, dia harus dilepaskan oleh seseorang yang mengaku sangat mencintainya tapi terlalu pengecut untuk memperjuangkan cintanya.
Ya, Ray dan Almira akan berdiri ditempat masing-masing. Saling menatap tapi tak menyapa. Namun Almira selangkah lebih maju, karena dia masih mengejar mimpi. Sementara Ray memilih menyerah dan merelakan kecewa menyelimutinya sampai akhir.

***
Ray berjalan menuruni tangga bersamaan dengan Lila membuka pintu rumah. Ray melihat kearah Lila begitu pun sebaliknya. Tatapan mereka berlangsung selama beberapa saat sampai Ray yang lebih dulu memalingkan wajahnya. Lila hanya menatap sendu karena Ray selalu memalingkan wajah darinya terlebih dahulu.
“Mas Ray baru pulang juga? Udah makan?”
Pertanyaan Lila menghentikan langkah Ray yang berbalik hendak menaiki tangga.
“Aku barusan beli sup ayam. Mas mandi dulu aja sambil aku siapin makan malamnya.” Lila pun pergi menuju dapur sementara Ray masuk kedalam kamarnya.
Meja makan tersebut telah dipenuhi oleh hidangan sup ayam yang baru dibeli Lila. Lila duduk berhadapan dengan Ray. Beberapa saat mereka hanya duduk dalam diam tanpa ada suara sendok yang beradu dengan mangkok layaknya kegiatan makan pada umumnya.
“Wahh aroma supnya enak semoga rasanya juga sama.” ucap Lila. “Hhmm, enak juga,” gumam Lila.
Ditengah suasana makan yang canggung itu Lila mencuri pandang pada Ray. Ray makan dengan tenang sekali. Melihat wajah yang seperti itu Lila teringat kejadian semalam. Saat Ray menggumam tidak jelas saat tidur. Badannya menggigil seperti orang kedinginan meski saat dipegang terasa panas sekali.
Kemudian mata Lila menatap sepasang manik hitam. Sepasang mata yang selama ini dirindukannya. Sorot mata yang tajam itu menembus balik kedalam bola matanya. Lila pun sadar tengah tertangkap basah sedang mengamati Ray.
“Katanya enak, kenapa nggak dimakan?”
Ucapan Ray membuatnya tergagap dan bingung harus menjawab apa.
“Eh iya. Ini dimakan.”
Lila kembali menyendokkan makanan kedalam mulutnya.
Keheningan pun kembali sampai dentingan sendok dan mangkuk berhenti pertanda makan malam mereka sudah selesai. Lila pun membereskan meja dan memindahkan isi meja itu ke dapur untuk dibersihkan.
Saat akan menaiki tangga setelah mencuci peralatan makan ia merasakan semilir angin. Saat mencari-cari sumber angin tersebut ia melihat pintu menuju halaman belakang terbuka.
Ray memilih menghabiskan sisa malamnya dengan duduk diteras belakang rumah. Tangannya memainkan ponsel tanpa berniat membuka satu aplikasipun. Kemarin saat tiba-tiba pergi dari rumah, Ray menghapus semua foto yang berisi gambar Almira. Sudah saatnya dia menyimpan bayang-bayang almira dalam sebuah kotak kecil disudut hatinya.
 “Mas Ray?”
Suara Lila menginterupsi lamunan Ray. Ray pun menyimpan ponselnya kedalam kantong piyama yang dikenakannya.
“Gimana rasanya? Udah mendingan?”
Lila duduk dikursi yang ada di samping Ray.
“Baik. Makasih.”
“Tidak perlu, Mas. Sudah jadi kewajibanku.”
Sebenarnya Ray merasa aneh saat Lila memanggilnya dengan sebutan mas. Memang bukan hal baru. Karena sewaktu kecil Lila sudah memanggilnya demikian. Hanya sedikit tidak biasa saat mendengarnya saat dewasa. Sebelumnya Lila hanya memanggilnya dengan sebutan mas saat bersama keluarganya. Ditambah Sikap Lila yang tidak lagi acuh tak acuh. Mungkin hari ini ia baru benar-benar menyadarinya. Tapi sepertinya Lila sudah melakukannya lebih awal.
“Lila,”
Lila menoleh mendengar namanya disebut.
“Don’t do this anymore.”
“Do what?”
“Everything that you’ve done. Menyiapkan makan, pakaian kerjaku juga merawat saat aku sakit.”
“Why?”
Lila menahan gemuruh yang mulai menggelegar di rongga dada.
 “Lakukan seperti awal. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita.”
Lila tertawa getir, “Karena aku bukan Almira?”
Ray tercengang mendengar sebuah nama keluar dari mulut Lila. Tidak satu orang pun bahkan mungkin didunia ini tahu seperti apa perasaannya untuk Almira.
“Aku melihatnya. Di album foto, kamar mas dirumah papa juga dalam dompet mas. Bahkan semalaman Mas terus menggummamkan namanya. Mira, aku sempat mengira itu adalah Lila. Jadi dia yang sudah menggantikan posisiku?”
Ray menghela nafas. Dia tahu Lila sudah tersulut emosinya. Dan dia harus lebih tenang agar semuanya baik-baik saja.
“Lila, ini bukan tentang siapa yang diganti atau mengganti. Kita sudah tumbuh menjadi orang dewasa. Begitu juga dengan hati dan perasaan. Semuanya pasti berubah.”
Lila menarik nafas dalam. Mengatur degup jantungnya berpacu sangat cepat.
“Bagaimana kalau semua itu tidak berubah?”
“Lila, pernikahan kita terjadi karena perjodohan. Dan semua yang terjadi diluar kemauan kita tidak akan berjalan dengan baik.”
“Begitu?” Lila masih berusaha bersikap tenang. “Jadi Mas akan mengakhiri pernikahan Kita?”
“Bukankah kamu juga berharap demikian?”
Lila tertawa sinis. Menggerakkan kedua bola matanya keatas. Mencegah telaga dimatanya merembes keluar.
“Mas tahu, Aku yang membuat perjodohan ini terjadi. Dan benar aku masih hidup dengan masa lalu.” Lila menggenggam kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Tapi tidak ada yang berubah. Dulu bahkan sampai sekarang.”
“Lila, aku tidak ingin kamu terluka lagi. Perpisahan kita dulu bahkan dengan pernikahan ini. Sepuluh tahun sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu tidak…”
“Don’t!” kembali Lila menarik nafas.
Kali ini pertahanannya melemah. Telaga dimatanya telah membanjir membentuk sebuah aliran kecil yang deras.
“Aku baik-baik saja selama sepuluh tahun ini. Kalau harus melakukannya lagi tidak apa,” Lila mengusap hidungnya yang berair. “ Tapi biarkan pernikahan ini tetap ada.”
“Lila,..” Ucap Ray sendu.
“Aku akan baik-baik saja.” Ucap Lila tenang. Sangat tenang. Bahkan merasa terintimidasi dari ketenangan yang ditunjukkan Lila.
Menarik nafas dalam dan menghembuskannya lagi. Lalu membuka genggaman tangannya yang sedara tadi tercengkeram erat.
“Jangan terlalu lama diluar. Nanti Mas bisa sakit lagi.”
Lila bangkit dari duduknya. Langsung masuk kedalam kamar. Meninggalkan suara dentuman pintu yang cukup keras. Lila tidak sengaja melakukannya. Emosi yang membuatnya bersikap demikian.
Tidak memerlukan bantal untuk meredam tangisnya yang meraung-raung atau melempar semua benda yang ada dihadapannya. Yang Lila butuhkan hanya air. Aliran air akan bisa menyaingi derasanya tangisannya. Sehingga ia tidak perlu menangis lagi.
Tak lama kemudian Ray menyusul Lila masuk. Dia mengikuti saran Lila untuk tidak berlama-lama diluar. Saat dia jatuh sakit, dia hanya akan menambah beban pada Lila.
Tapi Ray tidak menemukan keberadaan istrinya di dalam kamar. Ruangan tersebut. sepi juga masih sama rapinya seperti saat ia baru pulang. Selimut masih terlipat, bantal masih bersandar rapi bahkan meja masih dipenuhi benda-benda milik Lila. Tidak seperti dugaannya yang akan memasuki sebuah ruangan yang berantakan dengan berbagai macam benda bergeletakan dilantai. Yang mungkin akan menjadi sasaran emosi Lila

 Sekarang Ray hanya mendengar suara aliran air dikamar mandi. Tidak sedetikpun suaranya berhenti meski dia sudah sekitar 15 menit didalam. Mungkinkah Lila mandi? Di waktu yang tepat untuk orang-orang beristirahat. Bahkan suara satpam melakukan patroli keamanan sudah dimulai. Yang biasa dilakukan sejak jam Sembilan malam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates