Hiruk pikuk manusia
yang akan melakukan perjalanan dengan moda angkutan udara telah memadati
kawasan bandara Soekarno Hatta. Puluhan orang turun dari salah satu pesawat
yang baru saja mendarat. Ray menjadi salah satu dari orang-orang yang tengah berjalan
menuruni tangga pesawat. Sambil menarik koper dia keluar bandara menghampiri
sebuah taksi yang sudah menunggunya. Perjalanan cukup lancar saat berada dalam
tol bandara namun tidak demikian setelah
mobil yang ditumpanginya memasuki jalanan dalam kota.
Ditengah perjalanannya
yang sedikit tersendat oleh padatnya arus kendaraan membuat pikiran Ray
melayang pada perjalanannya selama di Singapore.
Sebuah papan reklame
besar berdiri kokoh bersaing dengan tingginya gedung-gedung pencakar langit.
Menampilkan sebuah video berdurasi singkat. Satu persatu wajah perempuan cantik
menunjukkan diri dengan memamerkan ekspresi terbaik mereka.
Ray mengenal salah satu
pemilik wajah cantik yang terpampang diatas digital reklame tersebut. Dengan
kulit eksotisnya yang membuatnya terlihat menonjol diantara dua belas wanita
yang memiliki kecantikan sesuai standar masyarakat.
Almira menjadi salah
satu finalis dari ajang pencarian model tingkat asia. Dan saat ini adalah pekan
terakhirnya disana, sebelum sesi terakhir dari perlombaan itu usai.
Sebenarnya kedatangan
Ray ke singapura untuk memenuhi undangan penyelenggara lomba model bergengsi
tersebut. karena sesi pemotretan terakhir tersebut mengambil tema keluarga. Dan
nama Ray tertulis dalam daftar nama yang Almira berikan pada panitia. Tentu
saja kedatangan Ray tidak diketahui Almira. Sebab itu pula Ray menolak
permintaan tersebut dan menghabiskan sepanjang waktunya di negeri singa
tersebut dengan menatap gambar kekasihnya itu disepanjang jalan.
Ray tidak ingin melukai
Almira. Meski rindu rasanya tak lagi bisa ditahan tapi Ray tidak ingin merusak
hari bahagia itu dengan kehadirannya.
Lagipula tak ada lagi
yang bisa diharapkan dari hubungan mereka. Ray sudah melepas Almira dan memilih
bersama wanita lain. biarlah rasa itu semesta simpan. Kalaupun diungkap tak
akan merubah apapun. Ray sudah kalah bahkan saat gendering perang belum
ditabuh.
Sopir taksi membuyarkan
lamunannya setelah mobil yang dikendarainya sampai di tempat tujuan yang telah
diberitahukan sebelumnya. Arka mengeluarkan dompet untuk mengambil sejumlah
uang sesuai argo taksi yang tertera sementara sopir taksi mengeluarkan kopernya
dari dalam bagasi.
****
Ray menarik kopernya
setelah membuka pintu. Dia dan Lila masing-masing memegang kunci rumah. Tentu
saja untuk memudahkan aktifitas mereka yang tidak memiliki kesamaan.
Ruang tamu yang baru
saja Ray masuki kosong. beralih keruang makan yang menyambung dengan dapur pun
sama. Tapi sebuah pintu menuju halaman belakang terbuka. Tirai putih yang
menutup sebagian berkibar-kibar terkena hembusan angin dari luar.
Segera Ray berjalan
mendekati pintu tersebut. Pelan-pelan dia menyibak tirai yang menggantung
diatas pintu. Ada Lila dengan telinga tertutup earphone sedang menata pot-pot
dengan warna-warna yang sangat cantik. Tentu
saja dia tidak menyadari bahwa seseorang sedang memerhatikan. Music yang
didengar Lila cukup kencang. Saking kencangnya, Ray bahkan tahu lagu apa yang
sedang diputar.
Ray terus memandang
wanita yang masih sibuk dengan pot-pot tersebut. Sesekali menambahkan warna
pada cat yang mengelupas karena belum kering. Lila sendiri yang menghias
gerabah-gerabah kecil tersebut. ada cukup banyak kaleng cat kosong yang
tergeletak di atas tanah yang tidak terlalu luas itu.
Ray pernah menjumpai
seseorang yang sering bermain dengan warna-warna. Bahkan memolekan dengan
sengaja disekujur tubuhnya. Tentu saja dengan nilai artistic yang tinggi
sekaligus komersial.
Tentu saja seseorang
itu bukan wanita yang saat ini berdiri mematung karena terkejut atas
kehadirannya yang baru saja diketahui.
“Mas Ray?” Lila
berjalan mendekat sambil mengelapkan tengannya pada apron yang menempel
dibadannya. “Sudah pulang dari tadi?”
“Ya sekitar 10 menitan.
Ka__” belum selesai kalimat Arka, Kaylila langsung menggenggam tangan Arka dan
menciumnya.
“Aku buatin kopi dulu”
Lila lalu berlalu
menuju dapur meninggalkan kaleng-kaleng kosong bergeletakan juga tanaman
didalam polybag menunggu untuk dipindahkan kedalam pot yang sudah dicat
warna-warni. Sementara Ray masih berdiri mematung. Terkejut, kaget dengan sikap
Lila yang terasa hangat.
“Mas Ray?”
Lagi. Suara Lila
membangunkannya dari keterkejutan.
“I-Iya” jawab Ray
tergagap.
“Ditanya dari tadi kok
bengong. Mau mandi dulu?” tanya Lila dari balik meja dapur.
“Ehm…” Ray berdehem
untuk mengurangi kecanggungan dalam dirinya. “Aku mandi dulu,”
Ray berjalan menuju
dapur dan mengambil kopernya yang berdiri diujung tangga. Dia memang belum
sempat membawanya kekamarnya dilantai atas.
“Biar aku aja yang
beresin.”Lila menahan koper yang akan Ray ambil. “Lebih efektif mengeluarkan
baju kotor dulu sebelumnya menyimpan koper diatas.” Senyum Lila mengakhiri
kalimat panjangnya.
“Oke.”
Ray buru-buru menarik
tangannya yang tidak sengaja bersentuhan dengan Lila saat memegang koper. Lila
mengikuti hal yang sama saat Ray menaiki tangga. Menatap punggung yang terus
menjauhinya.
Lila percaya akan
datang saat punggung itu berbalik. Dan menatapnya dengan keteduhan mata yang
selama ini selalu menjadi cerminnya. Yang akan menghipnotisnya bahwa kehilangan
itu hanya waktu tunggu untuk bahagia.
***
Setelah merapikan taman
belakang yang beberapa saat lalu dibuat berantakan, Lila mengeluarkan easel.
Meletakkannya di teras belakang yang langsung menghadap bunga mawar yang sudah
mekar sejak ia membelinya. Ia juga mengeluarkan lebih tepatnya memboyong
lukisan pertamanya dari galeri. Salah satu caranya untuk memindahkan hatinya
juga ke dalam rumah ini.
Sebuah lukisan, bukan,
lebih tepatnya sketsa. Karena hanya menggunakan pensil dan menyerupai bentuk
dari obyek aslinya. Karena Lila tidak bisa mengenakannya, sampai saat ini, maka
dia membuat sketsa itu dan menyimpannya di galeri. Tepat kedua setelah rumah
Kakek yang paling sering Lila gunakan sepanjang hidupnya. Mungkin rumah ini
akan tempat ketiga, mungkin.
Kembali ke sketsa yang
mungkin akan urung ia pajang di rumah ini juga. Menyusul replika yang asli yang
tidak pernah masuk kedalam rumah ini.
Lila menekuri jemarinya
yang sudah tersemat sebuah cincin pernikahan. Tapi dia tidak menemukan makna apapun
disana selain penanda bahwa dia bukan perempuan lajang.
Saat Lila mengalihkan
pandangannya pada kanvas, Ray berdiri diambang pintu.
Lila salah tingkah
karena merasa diperhatikan.
“Ehm…itu, ini, aku bawa
sebagian peralatan melukis ke rumah.”
Lila mengikuti
pergerakan Ray yang berjalan didepannya kemudian duduk di kursi yang ada
disebelahnya. Kemudian tangan laki-laki tersebut meletakkan sebuah kotak yang
terbuat dari kertas disamping kaleng cat yang terbuka diatas meja kecil.
“Untukku?”
Pembungkus kertas
berarwarna coklat itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan. Sekali lihat
saja orang akan tahu bahwa harga dari benda beserta isinya tersebut tidaklah
mahal. Tetapi Lila merasa terhormat bisa menerimanya. Bahkan kedua matanya
sampai berkaca-kaca karena terharu.
“Aku nggak sempat beli
oleh-oleh yang kamu suka. Pas jalan ke bandara ketemu kios kecil yang jual
aksesoris. Aku pikir bisa dipakai buat kunci rumah kita.”
Penutup kardus itu
telah dibuka. Membuat sepasang gantungan kunci itu terlihat. Terbuat dari kayu
dan berbentuk kepingan puzzle yang menyatu dan bisa dilepas.
“Makasih, Mas.”
Mata hitam kelereng
itu. Netra hitam yang selama ini selalu membuatnya tidak bisa mengatakan tidak.
Yang membuatnya luluh tiap bertatapan. Dan membuat hatinya selalu terasa hangat
meski musim dingin menyelimutinya.
Ray tahu, masa lalu
tidak sepenuhnya pergi meninggalkannya. Masa yang membuatnya bisa berdiri tegar
seperti saat ini. yang pernah selalu ia ingat sebelum tidur. yang membuatnya
dekat dengan Almira.
Tidak.
Almira tetap Almira. Si
wanita cantik dengan sejuta mimpi yang harus dia kejar. Dengan semangat yang
menggebu-gebu saat menyusun cara untuk mencapai satu persatu cita-citanya.
Celotehannya adalah candu bagi Ray. Yang tidak akan pernah bosan mendengarkan.
Almira bukan Kaylila.
Dan yang saat ini ada di hatinya adalah Almira.
Ray berdiri dan
berjalan dengan cepat. Meninggalkan Lila yang diam mematung. Yang menatap
kosong dengan keadaan disekelilingnya yang berantakan. Seolah jiwanya baru saja
ditarik secara paksa.
Sampai suara hantaman
benda keras membuatnya terlonjak keras. Lila meletakkan telapak tangan kanannya
di dada. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Kemudian dia berjalan tanpa
memedulikan peralatan melukisnya yang berpindah tempat dan cat berceceran dimana-mana.
Ia juga melupakan hadiah kecil yang beberapa waktu membuatnya bahagia.
Tergeletak begitu saja seperti sesuatu yang tidak diinginkan.
Memasuki kamar yang
sudah kosong. Lila bergerak ke kamar mandi lalu menguncinya dari dalam.
Menyalakan keran bath up juga shower secara bersamaan dan membawa masuk
tubuhnya yang kosong kedalam bak mandi yang mulai terisi air.
***
Siang berganti petang
lalu datang malam dengan kegelapannya. Lila sudah mengganti bajunya yang basah
dengan piyama tidur. rambut basahnya masih meneteskan air dibiarkan tergerai
berantakan tanpa tersentuh sisir.
Lili menuruni tangga
dan menyalakan semua lampu. Membuat seluruh ruangan terang benderang. Ia
kemudian menuju teras belakang. Menatap sebentar kemudian tangannya yang
keriput karena terlalu lama terkena air pun bergerak aktif. Melipat easel yang
masih berdiri menyangga sebuah kanvas kosong. Menumpuknya asal berikut dengan
lukisan kesayangannya yang sudah tak lagi jelas bentuknya karena terkena cat
yang tumpah
Setelah merapikan teras
belakang, Lila duduk di sofa dan menyalakan TV. Menggonta-ganti chanel. Meski akhirnya acara TV tersebut
berganti ratusan kali tapi tak satupun ada yang menarik perhatian Lila. Lalu
dia mengambil ponselnya dan membuka daftar kontaknya. Menggeser kebawah lalu kembali
keatas dan diulang terus menerus.
Lila tidak sedang
mencari sesuatu di dalam daftar kontak tersebut. Dia tahu apa keinginannya.
Tapi dia hanya perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan keinginannya
menghubungi seseorang. Seseorang yang tidak ia ketahui keberadaannya, yang
membuatnya mengalami kekosongan tapi selalu dirindukan sepanjang hidupnya.
Tengah malam menyambut
saat pintu rumah terbuka. Lila tersentak dari tidurnya di sofa ruang tamu
tetapi dia tidak mnggerakkan tubuhnya sama sekali kecuali kelopak matanya yang
sudah terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar