Jumat, 12 April 2019

# cinta # Fiksi. Fiction

Remind Me_Delapan

Hiruk pikuk manusia yang akan melakukan perjalanan dengan moda angkutan udara telah memadati kawasan bandara Soekarno Hatta. Puluhan orang turun dari salah satu pesawat yang baru saja mendarat. Ray menjadi salah satu dari orang-orang yang tengah berjalan menuruni tangga pesawat. Sambil menarik koper dia keluar bandara menghampiri sebuah taksi yang sudah menunggunya. Perjalanan cukup lancar saat berada dalam tol bandara namun tidak demikian  setelah mobil yang ditumpanginya memasuki jalanan dalam kota.
Ditengah perjalanannya yang sedikit tersendat oleh padatnya arus kendaraan membuat pikiran Ray melayang pada perjalanannya selama di Singapore.
Sebuah papan reklame besar berdiri kokoh bersaing dengan tingginya gedung-gedung pencakar langit. Menampilkan sebuah video berdurasi singkat. Satu persatu wajah perempuan cantik menunjukkan diri dengan memamerkan ekspresi terbaik mereka.
Ray mengenal salah satu pemilik wajah cantik yang terpampang diatas digital reklame tersebut. Dengan kulit eksotisnya yang membuatnya terlihat menonjol diantara dua belas wanita yang memiliki kecantikan sesuai standar masyarakat.
Almira menjadi salah satu finalis dari ajang pencarian model tingkat asia. Dan saat ini adalah pekan terakhirnya disana, sebelum sesi terakhir dari perlombaan itu usai.
Sebenarnya kedatangan Ray ke singapura untuk memenuhi undangan penyelenggara lomba model bergengsi tersebut. karena sesi pemotretan terakhir tersebut mengambil tema keluarga. Dan nama Ray tertulis dalam daftar nama yang Almira berikan pada panitia. Tentu saja kedatangan Ray tidak diketahui Almira. Sebab itu pula Ray menolak permintaan tersebut dan menghabiskan sepanjang waktunya di negeri singa tersebut dengan menatap gambar kekasihnya itu disepanjang jalan.
Ray tidak ingin melukai Almira. Meski rindu rasanya tak lagi bisa ditahan tapi Ray tidak ingin merusak hari bahagia itu dengan kehadirannya.
Lagipula tak ada lagi yang bisa diharapkan dari hubungan mereka. Ray sudah melepas Almira dan memilih bersama wanita lain. biarlah rasa itu semesta simpan. Kalaupun diungkap tak akan merubah apapun. Ray sudah kalah bahkan saat gendering perang belum ditabuh.
Sopir taksi membuyarkan lamunannya setelah mobil yang dikendarainya sampai di tempat tujuan yang telah diberitahukan sebelumnya. Arka mengeluarkan dompet untuk mengambil sejumlah uang sesuai argo taksi yang tertera sementara sopir taksi mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi.

****

Ray menarik kopernya setelah membuka pintu. Dia dan Lila masing-masing memegang kunci rumah. Tentu saja untuk memudahkan aktifitas mereka yang tidak memiliki kesamaan.  
Ruang tamu yang baru saja Ray masuki kosong. beralih keruang makan yang menyambung dengan dapur pun sama. Tapi sebuah pintu menuju halaman belakang terbuka. Tirai putih yang menutup sebagian berkibar-kibar terkena hembusan angin dari luar.
Segera Ray berjalan mendekati pintu tersebut. Pelan-pelan dia menyibak tirai yang menggantung diatas pintu. Ada Lila dengan telinga tertutup earphone sedang menata pot-pot dengan warna-warna yang sangat cantik.  Tentu saja dia tidak menyadari bahwa seseorang sedang memerhatikan. Music yang didengar Lila cukup kencang. Saking kencangnya, Ray bahkan tahu lagu apa yang sedang diputar.
Ray terus memandang wanita yang masih sibuk dengan pot-pot tersebut. Sesekali menambahkan warna pada cat yang mengelupas karena belum kering. Lila sendiri yang menghias gerabah-gerabah kecil tersebut. ada cukup banyak kaleng cat kosong yang tergeletak di atas tanah yang tidak terlalu luas itu.
Ray pernah menjumpai seseorang yang sering bermain dengan warna-warna. Bahkan memolekan dengan sengaja disekujur tubuhnya. Tentu saja dengan nilai artistic yang tinggi sekaligus komersial.
Tentu saja seseorang itu bukan wanita yang saat ini berdiri mematung karena terkejut atas kehadirannya yang baru saja diketahui.
“Mas Ray?” Lila berjalan mendekat sambil mengelapkan tengannya pada apron yang menempel dibadannya. “Sudah pulang dari tadi?”
“Ya sekitar 10 menitan. Ka__” belum selesai kalimat Arka, Kaylila langsung menggenggam tangan Arka dan menciumnya.
“Aku buatin kopi dulu”
Lila lalu berlalu menuju dapur meninggalkan kaleng-kaleng kosong bergeletakan juga tanaman didalam polybag menunggu untuk dipindahkan kedalam pot yang sudah dicat warna-warni. Sementara Ray masih berdiri mematung. Terkejut, kaget dengan sikap Lila yang terasa hangat.
“Mas Ray?”
Lagi. Suara Lila membangunkannya dari keterkejutan.
“I-Iya” jawab Ray tergagap.
“Ditanya dari tadi kok bengong. Mau mandi dulu?” tanya Lila dari balik meja dapur.
“Ehm…” Ray berdehem untuk mengurangi kecanggungan dalam dirinya. “Aku mandi dulu,”
Ray berjalan menuju dapur dan mengambil kopernya yang berdiri diujung tangga. Dia memang belum sempat membawanya kekamarnya dilantai atas.
“Biar aku aja yang beresin.”Lila menahan koper yang akan Ray ambil. “Lebih efektif mengeluarkan baju kotor dulu sebelumnya menyimpan koper diatas.” Senyum Lila mengakhiri kalimat panjangnya.
“Oke.”
Ray buru-buru menarik tangannya yang tidak sengaja bersentuhan dengan Lila saat memegang koper. Lila mengikuti hal yang sama saat Ray menaiki tangga. Menatap punggung yang terus menjauhinya.
Lila percaya akan datang saat punggung itu berbalik. Dan menatapnya dengan keteduhan mata yang selama ini selalu menjadi cerminnya. Yang akan menghipnotisnya bahwa kehilangan itu hanya waktu tunggu untuk bahagia.
***
Setelah merapikan taman belakang yang beberapa saat lalu dibuat berantakan, Lila mengeluarkan easel. Meletakkannya di teras belakang yang langsung menghadap bunga mawar yang sudah mekar sejak ia membelinya. Ia juga mengeluarkan lebih tepatnya memboyong lukisan pertamanya dari galeri. Salah satu caranya untuk memindahkan hatinya juga ke dalam rumah ini.
Sebuah lukisan, bukan, lebih tepatnya sketsa. Karena hanya menggunakan pensil dan menyerupai bentuk dari obyek aslinya. Karena Lila tidak bisa mengenakannya, sampai saat ini, maka dia membuat sketsa itu dan menyimpannya di galeri. Tepat kedua setelah rumah Kakek yang paling sering Lila gunakan sepanjang hidupnya. Mungkin rumah ini akan tempat ketiga, mungkin.
Kembali ke sketsa yang mungkin akan urung ia pajang di rumah ini juga. Menyusul replika yang asli yang tidak pernah masuk kedalam rumah ini.
Lila menekuri jemarinya yang sudah tersemat sebuah cincin pernikahan. Tapi dia tidak menemukan makna apapun disana selain penanda bahwa dia bukan perempuan lajang.
Saat Lila mengalihkan pandangannya pada kanvas, Ray berdiri diambang pintu.
Lila salah tingkah karena merasa diperhatikan.
“Ehm…itu, ini, aku bawa sebagian peralatan melukis ke rumah.”
Lila mengikuti pergerakan Ray yang berjalan didepannya kemudian duduk di kursi yang ada disebelahnya. Kemudian tangan laki-laki tersebut meletakkan sebuah kotak yang terbuat dari kertas disamping kaleng cat yang terbuka diatas meja kecil.
“Untukku?”
Pembungkus kertas berarwarna coklat itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan. Sekali lihat saja orang akan tahu bahwa harga dari benda beserta isinya tersebut tidaklah mahal. Tetapi Lila merasa terhormat bisa menerimanya. Bahkan kedua matanya sampai berkaca-kaca karena terharu.
“Aku nggak sempat beli oleh-oleh yang kamu suka. Pas jalan ke bandara ketemu kios kecil yang jual aksesoris. Aku pikir bisa dipakai buat kunci rumah kita.”
Penutup kardus itu telah dibuka. Membuat sepasang gantungan kunci itu terlihat. Terbuat dari kayu dan berbentuk kepingan puzzle yang menyatu dan bisa dilepas.
“Makasih, Mas.”
Mata hitam kelereng itu. Netra hitam yang selama ini selalu membuatnya tidak bisa mengatakan tidak. Yang membuatnya luluh tiap bertatapan. Dan membuat hatinya selalu terasa hangat meski musim dingin menyelimutinya.
Ray tahu, masa lalu tidak sepenuhnya pergi meninggalkannya. Masa yang membuatnya bisa berdiri tegar seperti saat ini. yang pernah selalu ia ingat sebelum tidur. yang membuatnya dekat dengan Almira.
Tidak.
Almira tetap Almira. Si wanita cantik dengan sejuta mimpi yang harus dia kejar. Dengan semangat yang menggebu-gebu saat menyusun cara untuk mencapai satu persatu cita-citanya. Celotehannya adalah candu bagi Ray. Yang tidak akan pernah bosan mendengarkan.
Almira bukan Kaylila. Dan yang saat ini ada di hatinya adalah Almira.
Ray berdiri dan berjalan dengan cepat. Meninggalkan Lila yang diam mematung. Yang menatap kosong dengan keadaan disekelilingnya yang berantakan. Seolah jiwanya baru saja ditarik secara paksa.
Sampai suara hantaman benda keras membuatnya terlonjak keras. Lila meletakkan telapak tangan kanannya di dada. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Kemudian dia berjalan tanpa memedulikan peralatan melukisnya yang berpindah tempat dan cat berceceran dimana-mana. Ia juga melupakan hadiah kecil yang beberapa waktu membuatnya bahagia. Tergeletak begitu saja seperti sesuatu yang tidak diinginkan.
Memasuki kamar yang sudah kosong. Lila bergerak ke kamar mandi lalu menguncinya dari dalam. Menyalakan keran bath up juga shower secara bersamaan dan membawa masuk tubuhnya yang kosong kedalam bak mandi yang mulai terisi air.
***
Siang berganti petang lalu datang malam dengan kegelapannya. Lila sudah mengganti bajunya yang basah dengan piyama tidur. rambut basahnya masih meneteskan air dibiarkan tergerai berantakan tanpa tersentuh sisir.
Lili menuruni tangga dan menyalakan semua lampu. Membuat seluruh ruangan terang benderang. Ia kemudian menuju teras belakang. Menatap sebentar kemudian tangannya yang keriput karena terlalu lama terkena air pun bergerak aktif. Melipat easel yang masih berdiri menyangga sebuah kanvas kosong. Menumpuknya asal berikut dengan lukisan kesayangannya yang sudah tak lagi jelas bentuknya karena terkena cat yang tumpah
Setelah merapikan teras belakang, Lila duduk di sofa dan menyalakan TV. Menggonta-ganti chanel. Meski akhirnya acara TV tersebut berganti ratusan kali tapi tak satupun ada yang menarik perhatian Lila. Lalu dia mengambil ponselnya dan membuka daftar kontaknya. Menggeser kebawah lalu kembali keatas dan diulang terus menerus.
Lila tidak sedang mencari sesuatu di dalam daftar kontak tersebut. Dia tahu apa keinginannya. Tapi dia hanya perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan keinginannya menghubungi seseorang. Seseorang yang tidak ia ketahui keberadaannya, yang membuatnya mengalami kekosongan tapi selalu dirindukan sepanjang hidupnya.
Tengah malam menyambut saat pintu rumah terbuka. Lila tersentak dari tidurnya di sofa ruang tamu tetapi dia tidak mnggerakkan tubuhnya sama sekali kecuali kelopak matanya yang sudah terbuka.

Ray berjalan sempoyongan melewati sofa yang ditempati Lila. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan seseorang disana karena Ray langsung menaiki tangga. Sesampainya di kamar ia langsung merebahkan badannya. Tidur. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates