Setiap
pagi Lila bangun lebih awal untuk mencuci pakaian. Sambil menunggu pakaian
selesai di cuci dia akan menyapu ala kadarnya. Baru kemudian menyiapkan diri
untuk bekerja. Dua hari di awal pekan saat Lila libur tidak bekerja ia
mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Menyetrika baju dan membersihkan
rumah secara menyeluruh. Kadang Lila bisa lebih santai bila Ray sudah
membersihkan rumah dilibur akhir pekannya.
Pekerjaan
mencuci selesai lebih awal bahkan hari masih gelap. Lila pun pergi ke
supermarket terdekat yang buka selama 24 jam. Kebetulan pagi ini dia sedang kangen nasi pecel yang biasa dia buat
saat mendiang kakek masih hidup.
Memasak
bukan hal sulit bagi Lila meski dia jarang melakukannya. Kakek pernah
mendatangkan guru memasak ke rumah hanya agar Lila terbiasa dengan dapur. Dan
itu baru dirasakan manfaatnya saat ini. Tahu penggorengan mana yang harus digunakan
saat membuat tumis kangkung atau menggoreng ikan. Atau pisau yang akan
digunakan untuk membuat fillet dada ayam dan mengupas kulit buah. Dan bisa
dibilang perlatan memasak Lila nyaris lengkap. Mungkin bisa dikurangi peralatan
untuk membuat kue.
Menu
nasi pecel cukup mudah dikerjakan dan cepat. Lila bahkan membuat sendiri sambal
kacangnya dengan cobek dan ulekan yang dibelinya sendiri di toko yang khusus menjual gerabah. Setelah semua matang dan tinggal
menyajikan di meja Lila lupa ada satu pelengkap wajib yang dia tidak punya.
Peyek.
Dia
pun pergi untuk mencari. Lagipula hari masih terlalu pagi untuk berangkat
bekerja jadi ia masih memiliki cukup waktu sampai Ray selesai bersiap-siap.
Akhirnya
Lila menemukan peyek di warung nasi yang berada di ujung jalan. Lila pun
berjalan pulang dengan senang. Akhirnya ada hari yang bisa dia awali dengan
bahagia.
Sayangnya
keberuntungan tidak bertahan lama. Lila melihat mobil Ray keluar dari rumah dan
melewatinya. Dia memang tidak tahu pasti ritme pekerjaan Ray. Tapi seingatnya
Ray tidak pernah berangkat sepagi ini.
Kecewa?
Pasti. Lila memang tidak membayangkan akan melewati sarapan manis dengan pujian
dari Ray tentang masakannya. Lila hanya ingin membagi menu sarapan dengan
satu-satunya orang yang tinggal satu atap dengannya. Suaminya.
Sebuah
rantang piknik menggantung di tangan kanan Lila. Dia berjalan santai memasuki
gedung galeri yang masih sepi. Hanya ada dua petugas kebersihan yang sedang
bekerja. Lila pun menyunggingkan senyum untuk menyapa.
Ruangan
mbak Ika yang Lila datangi pertama kali. Keadaannya tidak jauh berbeda. Kosong.
Sepertinya dia menjadi orang ketiga yang datang hari ini. Ia pun kembali ke
lobby dan memanggil Pak Amang dan Bu Siti, petuga kebersihan.
“Teh
Lila pinter pisan masakna." Puji Pak Amang.
"Iya.
Mbak Lila, bener. Tapi tumben masaknya banyak sampe kita-kita diajak
sarapan."
Lila
tersenyum mendapat pujian beruntun seperti itu.
"Iya.
Suami Lila nggak suka pecel."
Lila
menggunakan Ray sebagai alasan. Meski dia tidak tahu mengapa Ray tidak memakan
masakannya.
"Mbak
lain kali kalau masak suaminya ditanya dulu. Kepercayaan orang jawa itu pantangan
membiarkan suami keluar rumah dengan perut kosong."
"Ah
mana mungkin atuh teh Lila biarin suamina kelaparan. Pasti Neng Lila udah
bikini lauk lain. Bu Siti ini aya aya wae."
"Ih
Ibu nggak bilang gitu Amang."
Bu Siti memukul kepala Pak Amang dengan sendok. Meski kelihatan sebaya tapi dua orang pegawai kebersihan itu sebenarnya berbeda usia cukup jauh. Bu siti lebih tua sehingga sesekali memanggil pak amang dengan nama saja. terutama saat sedang bercanda.
Sebuah
panggilan dari Oma memecah keseruan Lila bercengkerama dengan dua pegawai
kebersihan itu.
"Iya,
Oma."
****
"Besok
aku ke Singapura."
Ray
membuka percakapan menjelang waktu tidur mereka. Bisa dikatakan ini pillow talk pertama yang Ray awali.
"Tugas
kantor lagi? Berapa lama?" Lila tidak merasa terkejut dengan percakapan
seperti ini. karena Ray sering melakukan perjalanan dinas. Tapi biasanya hanya
di luar kota. Paling jauh ke luar pulau jawa.
"Tiga
hari urusan kantor. Tapi aku stay
lagi satu hari disana. Ada urusan lain yang harus diselesaikan."
"Besok
aku juga ada janji mau ketemu sekalian antar Oma pulang ke Bandung."
Lampu
utama dimatikan diganti dengan lampu tidur yang memiliki cahaya lebih lembut.
Pertanda pillow talk itu telah
berakhir. Meskipun keduanya masih terjaga dan sibuk dengan pikiran
masing-masing. Tetapi tidak ada interaksi apapun.
Langit
yang mereka lihat setiap malam juga lantai yang mereka pijak pun sama. Hanya frekuensi
kepala mereka yang berbeda. Ray masih tidak tahu bagaimana menyikapi kehidupan
pernikahan mereka. Bagaimana menjadi seorang suami dari seseorang yang belum
sepenuhnya ia terima sebagai istri. Sementara Lila selangkah lebih didepan yang
sudah memutuskan untuk menjalankan perannya sebagai seorang istri. Sebagai
seseorang yang ada dibalik layar dari kesuksesan laki-laki.
Pelan-pelan
memperbaiki sikapnya dengan melakukan semua yang seharusnya dilakukan seorang
istri. Memasak, mencuci juga melayani suami.
Pagi
ini pun saat Ray belum bangun, Lila sudah bekerja. Menyiapkan pakaian yang akan Ray bawa selama perjalanan dinas. Juga
membuat sarapan. Petuah jawa yang Lila dengar dari Bu Siti membuatnya semakin
yakin untuk segera memulai hal baik ini.Tidak peduli apa yang akan ia dapatkan
nanti. Yang paling penting adalah segera memulainya.
Dengan
memakai rok selutut berwarna cream dengan blouse berkerah
bundar warna hitam dipadukan dengan sepatu convers putih kesayangan Lila sudah
siap di depan meja makan. Menunggu Ray untuk bergabung dengannya.
"Sarapan
dulu, Mas."
Ajakan
Lila itu membuat gerakan Ray menarik koper terhenti. Belum pernah sekalipun ia
melihat ada banyak makanan terhidang di atas meja sepagi ini. Roti dengan
cangkir masing-masing saja jarang Ray temukan diawal pernikahannya. Belum lagi
sapaan ‘mas’ yang sudah lama sekali tidak didengarnya.
"Aku
buatkan nasi goreng. Mama bilang Mas suka."
Telur
mata sapi dan ayam goreng menjadi lauk tambahannya. Juga acar dan beberapa
sayuran mentah untuk lalapan yang menghiasi piring berisi satu porsi nasi
goreng.
Mau
tidak mau Ray membiarkan kopernya berdiri dan duduk dihadapan Lila untuk
sarapan. Makan pagi pertama itu berlangsung cepat. Tanpa ada percakapan yang
menjadi pemanis di meja makan.
"Langsung
berangkat?" Ucap Lila begitu melihat Ray sudah menghabiskan makanannya.
"Hhm,"
Jawab Ray
"Aku
juga mau langsung ke rumah papa. Pagi ini Oma berangkat ke Bandung." Tanpa
menanggapi perkataan Lila, Ray melangkahkan kakinya mendekati pintu. Lila pun
mengikutinya.
Setelah
mengantar Ray yang tidak diakhiri dengan ritual pamitan pada umunya, cium
tangan dan kening. Lila kembali kedalam
rumah. Membereskan sisa sarapan lalu memesan taksi yang akan mengantarnya
bertemu Oma.
***
"Bagaimana
Ray?" Oma bertanya ditengah laju mobil yang membawa mereka menuju Bandung.
Pertanyaan
Oma sedikit ambigu. Setelah menarik nafas dan menghembuskannya Lila mencoba memilih
jawaban yang bijaksana, "Baik Oma".
Oma
tersenyum mendengar jawaban Oma. Sebuah jawaban yang sangat umum namun bukan
itu yang ingin Oma dengar.
"Ray
mungkin sudah sampai di Singapura sekarang. Dia sudah mengubungi kamu?"
Oma bertanya lagi kali sambil melihat Lila yang duduk disampingnya dibangku
penumpang.
Ya,
Lila yakin Ray sudah sampai di Singapore. Tapi dia tidak yakin kalau Ray akan
menghubungi hanya untuk sekedar memberitahunya bahwa dia sudah sampai dengan
selamat. Sebenarnya ingin sekali Lila mencoba menghubungi Ray terlebih dahulu
tapi dia ragu.
Ini
bukan perjalanan dinas Ray yang pertama setelah menikah. Dan Lila biasa saja
saat itu. hanya saja setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan seorang istri
membuatnya kembali menginginkan sesuatu. Dan tentu saja Lila hanya bisa
berharap
"Belum
Oma. Mungkin Mas Ray masih sibuk dengan pekerjaannya" jawab Lila diikuti
senyum tipis dibibirnya.
"Lila,
sesibuk apapun kalau suami sedang dinas sendiri begini tetap harus memberi
kabar. Biasanya juga seperti ini?"
Lila
hanya tersenyum menanggapinya.
"Ya
sepuluh tahun memang bukan waktu yang singkat. Anggap saja awal-awal pernikahan
ini jadi waktu untuk saling mengingat." Oma lalu meraih tangan Lila,
"Coba nanti pas udah sampe Bandung kamu telpon Ray. Bisa jadi dia juga
ingin menghubungi kamu duluan tapi gengsi. Laki-laki kan gengsinya selangit.”
Perjalanan
mereka menuju Bandung pun akan segera berakhir. Mobil sedan hitam mulai
menurunkan lajunya saat memasuki jalanan yang lebih kecil. Udara yang mulai
sejuk dengan pepohonan yang berdiri disamping kanan kiri jalan. Akhirnya mobil
pun berbelok memasuki sebuah rumah dengan halaman yang luas.
Lila
dan Oma keluar mobil hampir bersamaan. Mereka melewati jalanan setapak yang
membelah halaman untuk memasuki sebuah rumah berdesain klasik jaman kolonial
dengan jendela-jendela besar. Rumah yang jauh dari kesan modern tapi sangat
mewah dijamannya itu menyiratkan kesan hangat didalamnya. Bangunan yang luasnya
hampir 50m2 itu dikelilingi halaman dengan pohon yang menghiasi disetiap sudut juga
rumput hijau menutupi permukaannya.
"Wah
belum banyak yang berubah ya?pohonnya masih sama kaya dulu, adem deh rasanya.
Pantes Oma lebih memilih tinggal disini dari pada di Jakarta" Lila duduk
dikursi teras sambil melihat-lihat sekeliling.
"Yah
... untuk orang seusia Oma tinggal ditempat seperti jauh lebih baik. Paling
tidak bisa membuat umur Oma lebih panjang jadi bisa menunggu untuk gendong
cicit" Oma Rita tersenyum menggoda.
"Ahh
Oma..." ucap Lila malu, "Oma tinggal sendirian?"
Lila
berjalan masuk kedalam rumah mengikuti Oma.
"Sebenarnya
iya. Tapi ada Bi Sumi dan suaminya yang bantu-bantu. Kadang-kadang juga nginep
disini. Nah itu dia orangnya datang" secara kebetulan bi Sumi dan suaminya
tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah.
"Maaf
bu, tadi nggak dengar klo ibu sudah sampai" ucap bi sumi sambil bersalaman
dengan Oma, bergantian dengan suaminya, Mang Ujang.
"Ini
teh neng Lila istrinya Den Ray?" Bi Sumi sempat
terdiam menatap Lila saat hendak bersalaman, "Dulu mah masih segede ini" Tangan Bi Sumi menyejajarkan
pinggangnya. “Sekarang mah geulis,
cantik.”Lanjut Bi sumi diikuti tawa Oma Rita sementara Lila tersipu dengan
pipinya yang memerah.
Bi
Sumi orangnya sangat ramah dengan logat sunda yang sangat kental. Usianya
kira-kira sepantaran dengan Oma. Mungkin ini juga jadi salah satu alasan Oma
betah tinggal di Bandung selain karena tempatnya yang nyaman juga karena merasa
memiliki "teman".
"Sudah
waktunya makan siang. Neng Lila sama ibu pasti lapar. Bi Sumi siapin makan dulu
ya. Eneng harus cobain masakan bibi dulu sebelum pulang ke Jakarta." Ucap
Bi Sumi.
Saat
hendak berbalik menuju kebelakang tiba-tiba Lila menahan dengan perkataannnya.
"Lila
bantuin ya, Bi?"
"Aduh,
neng Lila pasti capek seharian dijalan. Istirahat aja nanti bibi bawain teh
hangat" Jawab bi Sumi lalu berbalik.
***
Oma
mengajak Lila berkeliling. Sekedar mengenang masa-masa saat Lila pernah
menghabiskan waktu libur sekolah disini. Bersama Ray. Oma juga menunjukkan
kamar yang sama yang selalu Ray gunakan saat berada disini.
"Ray
selalu tidur disini setiap kemari. Ada beberapa barangnya juga yang sengaja ia
tinggalkan."
Oma
membuka pintu kamar dan meninggalkan Lila sendiri dikamar tersebut.
Kamarnya
tidak terlalu luas. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur disamping kiri
jendela dengan daun pintu yang tinggi sedangkan disamping kanannya terdapat
sepasang kursi dan meja kaca. Sebuah lemari berada disudut kamar yang dekat
dengan pintu. Di dinding atas tempat tidur terdapat sebuah foto Ray kecil
sedang memegang bola basket. Semuanya masih sama seperti saat mereka masih
kecil.
Lila
membuka lemari. Di dalamnya ada beberapa baju Ray yang terlipat rapi. Ia meraba
tumpukan tipis tersebut lalu mengambilnya satu. Sebuah kaos hitam polos. Dia
memandangnya lalu bayangan Ray tengah duduk sendirian dikamar melintas. Lila
sering melihat Ray duduk di teras belakang sambil melihat replika dinding
bebatuan.
Sedang
apa ya dia sekarang?
Masing
memegang kaos Ray, Lila lalu duduk di tepi ranjang sambil mengeluarkan ponsel
dari dalam tasnya. Dia menggeser layar sentuh dan membuka salah satu aplikasi percakapan
namun tidak ada pesan dari Ray disana.
Kemudian
jarinya menggeser-geser lagi menuju kontak dan berhenti saat melihat nama Ray
disana. Ia hanya memandangnya tanpa berani menyentuh tombol berwarna hijau yang
bisa menghubungkannya dengan Ray segera. Kemudian Lila berbaring sambil memeluk
kaos Ray. Saat matanya terpejam sebuah bulir bening menetes dipipinya.
I
miss you, Mas.
Oma
berjalan mendekati kamar Ray setelah Bi sumi mempersilahkan makan siang. Oma
berhenti diambang pintu yang terbuka sedikit dan melihat Lila tertidur sambil
memeluk kaos Ray. Oma tersenyum melihatnya. Ia senang cucu menantunya itu mulai
kembali memiliki perasaan seperti saat mereka masih kecil.
***
Dari
awal Oma tahu bahwa pernikahan mereka tidak akan berjalan lancar. Berpisah
lebih dari 10 tahun dan memiliki kehidupan masing-masing. Ditambah Ray yang
tinggal dilingkungan yang jauh berbeda dengan masa kecilnya. Tentu saja cinta
masa kecil mereka pasti memudar
Hanya
saja perpisahan itu membuat hidup Lila terguncang. Sehingga harus melewati
serangkaian terapi untuk membuatnya kembali normal. Meski tidak pernah ada yang
kembali seperti semula. Namun hal itu cukup untuk Lila melanjutkan hidupnya
seperti remaja pada umumnya.
Tapi
Oma terlalu menyayangi Lila. Biarpun hanya cinta monyet tapi Oma yakin melalui
pernikahan ini akan ada yang kembali ke tempat masing-masing meski tak sama
seperti sebelunya.
"Lila
bangun, kita makan dulu yuk?" Oma menepuk bahu Lila.
Lila
mengerjap dan segera duduk.
"Oma
tunggu dimeja makan ya,"
Oma
lalu pergi meninggalkan Lila menuju meja makan yang menjadi pemisah kamar
dirumah ini.
Aroma
masakan khas sunda sudah menari-nari dipenciuman Lila. Perutnya sudah tidak
sabar untuk segera merasakan kenikmatannya.
Diatas
meja sudah tersaji nasi putih hangat dengan lauk ikan bakar, sambal hejo
berserta lalapannya dan tak lupa ada tumis oncom dan leunca.
"Makanannya
enak banget Oma. Lila pernah buat tapi rasanya ga seenak ini," Ujar Lila setelah
menyelesaikan suapan pertama, "Sambel hejonya pedes. Tapi nendang"
Lanjut Lila sambil meringis menahan pedasanya sambal.
"Bi
Sumi asli Sunda. Jadi masakan sundanya juga masih asli" balas Oma
"Pasti
Lila bakal kangen kalau sudah balik ke Jakarta" Ucap Lila setelah
menyelesaikan makannya.
"Kamu
harus sering kesini. Ajak Ray. Dia bisa betah banget kalau sudah nginep
disini".
"Pasti
Oma" Kata Lila bersemangat. Meski ia tidak terlalu yakin akan terwujud
atau tidak.
Setelah
selesai makan, Lila duduk diteras ditemani Oma sambil menunggu Pak Rahmat yang
menyiapkan mobil yang akan membawa Lila kembali ke Jakarta.
Mobil
sudah siap. Lila berpamitan dengan Oma, bersalaman dan mencium pipi. Saat
hendak masuk mobil tiba-tiba terdengar teriakan Bi Sumi yang datang sambil
membawa bungkusan. Saat memberikan bungkusan tersebut bi Sumi mengatakan bahwa
isinya adalah makanan buat dimakan kalau sampai Jakarta.
****
Sedan
hitam yang dikendarai Pak Rahmat telah memasuki jalanan kota Bandung yang mulai
dipadati kendaraan orang-orang yang pulang bekerja. Tak lama kemudian mobil
tersebut memasuki gerbang tol yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta.
Jalanan tidak terlalu ramai sehingga mobil berjalan dengan lancar.
Ditengah
perjalanan, Lila mengeluarkan sebuah amplop yang diberikan Oma sesaat sebelum
ia berpamitan. Amplop itu berisi paket liburan sebagai hadiah pernikahannya
dengan Ray. Setelah menikah mereka belum pergi bulan madu. Alasan yang
ditunjukkan pada keluarga adalah kesibukan masing-masing padahal Ray yang memang
tidak menginginkan acara tersebut sedangkan Lila pasrah saja.
Tidak
ada yang salah kalau wanita yang memulai duluan. Terkadang laki-laki lebih
bodoh untuk menyadari perasaannya.
Kalimat
Oma terngiang-ngiang ditelinganya. Mungkin benar sudah saatnya Lila berhenti
menunggu Ray kembali seperti dulu. Semua itu hanya masa kecil mereka. Masa lalu
yang tidak mungkin bisa terulang. Dia harus memulai dari awal. Maka detik itu
pula Lila berteguh hati berjuang untuk pernikahannya, untuk cintanya pada Ray.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar