Jumat, 12 April 2019

# cinta # Fiction

Remind Me_Tujuh

Setiap pagi Lila bangun lebih awal untuk mencuci pakaian. Sambil menunggu pakaian selesai di cuci dia akan menyapu ala kadarnya. Baru kemudian menyiapkan diri untuk bekerja. Dua hari di awal pekan saat Lila libur tidak bekerja ia mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Menyetrika baju dan membersihkan rumah secara menyeluruh. Kadang Lila bisa lebih santai bila Ray sudah membersihkan rumah dilibur akhir pekannya.

Pekerjaan mencuci selesai lebih awal bahkan hari masih gelap. Lila pun pergi ke supermarket terdekat yang buka selama 24 jam. Kebetulan pagi ini dia  sedang kangen nasi pecel yang biasa dia buat saat mendiang kakek masih hidup.

Memasak bukan hal sulit bagi Lila meski dia jarang melakukannya. Kakek pernah mendatangkan guru memasak ke rumah hanya agar Lila terbiasa dengan dapur. Dan itu baru dirasakan manfaatnya saat ini. Tahu penggorengan mana yang harus digunakan saat membuat tumis kangkung atau menggoreng ikan. Atau pisau yang akan digunakan untuk membuat fillet dada ayam dan mengupas kulit buah. Dan bisa dibilang perlatan memasak Lila nyaris lengkap. Mungkin bisa dikurangi peralatan untuk membuat kue.

Menu nasi pecel cukup mudah dikerjakan dan cepat. Lila bahkan membuat sendiri sambal kacangnya dengan cobek dan ulekan yang dibelinya sendiri di toko yang khusus menjual gerabah. Setelah semua matang dan tinggal menyajikan di meja Lila lupa ada satu pelengkap wajib yang dia tidak punya. Peyek.

Dia pun pergi untuk mencari. Lagipula hari masih terlalu pagi untuk berangkat bekerja jadi ia masih memiliki cukup waktu sampai Ray selesai bersiap-siap.

Akhirnya Lila menemukan peyek di warung nasi yang berada di ujung jalan. Lila pun berjalan pulang dengan senang. Akhirnya ada hari yang bisa dia awali dengan bahagia.

Sayangnya keberuntungan tidak bertahan lama. Lila melihat mobil Ray keluar dari rumah dan melewatinya. Dia memang tidak tahu pasti ritme pekerjaan Ray. Tapi seingatnya Ray tidak pernah berangkat sepagi ini.

Kecewa? Pasti. Lila memang tidak membayangkan akan melewati sarapan manis dengan pujian dari Ray tentang masakannya. Lila hanya ingin membagi menu sarapan dengan satu-satunya orang yang tinggal satu atap dengannya. Suaminya.

Sebuah rantang piknik menggantung di tangan kanan Lila. Dia berjalan santai memasuki gedung galeri yang masih sepi. Hanya ada dua petugas kebersihan yang sedang bekerja. Lila pun menyunggingkan senyum untuk menyapa.

Ruangan mbak Ika yang Lila datangi pertama kali. Keadaannya tidak jauh berbeda. Kosong. Sepertinya dia menjadi orang ketiga yang datang hari ini. Ia pun kembali ke lobby dan memanggil Pak Amang dan Bu Siti, petuga kebersihan.

“Teh Lila pinter pisan masakna." Puji Pak Amang.
"Iya. Mbak Lila, bener. Tapi tumben masaknya banyak sampe kita-kita diajak sarapan."
Lila tersenyum mendapat pujian beruntun seperti itu.
"Iya. Suami Lila nggak suka pecel."

Lila menggunakan Ray sebagai alasan. Meski dia tidak tahu mengapa Ray tidak memakan masakannya.

"Mbak lain kali kalau masak suaminya ditanya dulu. Kepercayaan orang jawa itu pantangan membiarkan suami keluar rumah dengan perut kosong."

"Ah mana mungkin atuh teh Lila biarin suamina kelaparan. Pasti Neng Lila udah bikini lauk lain. Bu Siti ini aya aya wae."
"Ih Ibu nggak bilang gitu Amang."

Bu Siti memukul kepala Pak Amang dengan sendok. Meski kelihatan sebaya tapi dua orang pegawai kebersihan itu sebenarnya berbeda usia cukup jauh. Bu siti lebih tua sehingga sesekali memanggil pak amang dengan nama saja. terutama saat sedang bercanda.

Sebuah panggilan dari Oma memecah keseruan Lila bercengkerama dengan dua pegawai kebersihan itu.

"Iya, Oma."


****

"Besok aku ke Singapura."
Ray membuka percakapan menjelang waktu tidur mereka. Bisa dikatakan ini pillow talk pertama yang Ray awali.

"Tugas kantor lagi? Berapa lama?" Lila tidak merasa terkejut dengan percakapan seperti ini. karena Ray sering melakukan perjalanan dinas. Tapi biasanya hanya di luar kota. Paling jauh ke luar pulau jawa.

"Tiga hari urusan kantor. Tapi aku stay lagi satu hari disana. Ada urusan lain yang harus diselesaikan."

"Besok aku juga ada janji mau ketemu sekalian antar Oma pulang ke Bandung."
Lampu utama dimatikan diganti dengan lampu tidur yang memiliki cahaya lebih lembut. Pertanda pillow talk itu telah berakhir. Meskipun keduanya masih terjaga dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tetapi tidak ada interaksi apapun.
Langit yang mereka lihat setiap malam juga lantai yang mereka pijak pun sama. Hanya frekuensi kepala mereka yang berbeda. Ray masih tidak tahu bagaimana menyikapi kehidupan pernikahan mereka. Bagaimana menjadi seorang suami dari seseorang yang belum sepenuhnya ia terima sebagai istri. Sementara Lila selangkah lebih didepan yang sudah memutuskan untuk menjalankan perannya sebagai seorang istri. Sebagai seseorang yang ada dibalik layar dari kesuksesan laki-laki.
Pelan-pelan memperbaiki sikapnya dengan melakukan semua yang seharusnya dilakukan seorang istri. Memasak, mencuci juga melayani suami.
Pagi ini pun saat Ray belum bangun, Lila sudah bekerja. Menyiapkan pakaian yang  akan Ray bawa selama perjalanan dinas. Juga membuat sarapan. Petuah jawa yang Lila dengar dari Bu Siti membuatnya semakin yakin untuk segera memulai hal baik ini.Tidak peduli apa yang akan ia dapatkan nanti. Yang paling penting adalah segera memulainya.
Dengan memakai rok selutut berwarna cream dengan blouse berkerah bundar warna hitam dipadukan dengan sepatu convers putih kesayangan Lila sudah siap di depan meja makan. Menunggu Ray untuk bergabung dengannya.
"Sarapan dulu, Mas."
Ajakan Lila itu membuat gerakan Ray menarik koper terhenti. Belum pernah sekalipun ia melihat ada banyak makanan terhidang di atas meja sepagi ini. Roti dengan cangkir masing-masing saja jarang Ray temukan diawal pernikahannya. Belum lagi sapaan ‘mas’ yang sudah lama sekali tidak didengarnya.
"Aku buatkan nasi goreng. Mama bilang Mas suka."
Telur mata sapi dan ayam goreng menjadi lauk tambahannya. Juga acar dan beberapa sayuran mentah untuk lalapan yang menghiasi piring berisi satu porsi nasi goreng.
Mau tidak mau Ray membiarkan kopernya berdiri dan duduk dihadapan Lila untuk sarapan. Makan pagi pertama itu berlangsung cepat. Tanpa ada percakapan yang menjadi pemanis di meja makan.
"Langsung berangkat?" Ucap Lila begitu melihat Ray sudah menghabiskan makanannya.
"Hhm," Jawab Ray
"Aku juga mau langsung ke rumah papa. Pagi ini Oma berangkat ke Bandung." Tanpa menanggapi perkataan Lila, Ray melangkahkan kakinya mendekati pintu. Lila pun mengikutinya.
Setelah mengantar Ray yang tidak diakhiri dengan ritual pamitan pada umunya, cium tangan dan kening.  Lila kembali kedalam rumah. Membereskan sisa sarapan lalu memesan taksi yang akan mengantarnya bertemu Oma.

***

"Bagaimana Ray?" Oma bertanya ditengah laju mobil yang membawa mereka menuju Bandung.
Pertanyaan Oma sedikit ambigu. Setelah menarik nafas dan menghembuskannya Lila mencoba memilih jawaban yang bijaksana, "Baik Oma".
Oma tersenyum mendengar jawaban Oma. Sebuah jawaban yang sangat umum namun bukan itu yang ingin Oma dengar.
"Ray mungkin sudah sampai di Singapura sekarang. Dia sudah mengubungi kamu?" Oma bertanya lagi kali sambil melihat Lila yang duduk disampingnya dibangku penumpang.
Ya, Lila yakin Ray sudah sampai di Singapore. Tapi dia tidak yakin kalau Ray akan menghubungi hanya untuk sekedar memberitahunya bahwa dia sudah sampai dengan selamat. Sebenarnya ingin sekali Lila mencoba menghubungi Ray terlebih dahulu tapi dia ragu.
Ini bukan perjalanan dinas Ray yang pertama setelah menikah. Dan Lila biasa saja saat itu. hanya saja setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan seorang istri membuatnya kembali menginginkan sesuatu. Dan tentu saja Lila hanya bisa berharap
"Belum Oma. Mungkin Mas Ray masih sibuk dengan pekerjaannya" jawab Lila diikuti senyum tipis dibibirnya.
"Lila, sesibuk apapun kalau suami sedang dinas sendiri begini tetap harus memberi kabar. Biasanya juga seperti ini?"
Lila hanya tersenyum menanggapinya.
"Ya sepuluh tahun memang bukan waktu yang singkat. Anggap saja awal-awal pernikahan ini jadi waktu untuk saling mengingat." Oma lalu meraih tangan Lila, "Coba nanti pas udah sampe Bandung kamu telpon Ray. Bisa jadi dia juga ingin menghubungi kamu duluan tapi gengsi. Laki-laki kan gengsinya selangit.”
Perjalanan mereka menuju Bandung pun akan segera berakhir. Mobil sedan hitam mulai menurunkan lajunya saat memasuki jalanan yang lebih kecil. Udara yang mulai sejuk dengan pepohonan yang berdiri disamping kanan kiri jalan. Akhirnya mobil pun berbelok memasuki sebuah rumah dengan halaman yang luas.
Lila dan Oma keluar mobil hampir bersamaan. Mereka melewati jalanan setapak yang membelah halaman untuk memasuki sebuah rumah berdesain klasik jaman kolonial dengan jendela-jendela besar. Rumah yang jauh dari kesan modern tapi sangat mewah dijamannya itu menyiratkan kesan hangat didalamnya. Bangunan yang luasnya hampir 50m2 itu dikelilingi halaman dengan pohon yang menghiasi disetiap sudut juga rumput hijau menutupi permukaannya.
"Wah belum banyak yang berubah ya?pohonnya masih sama kaya dulu, adem deh rasanya. Pantes Oma lebih memilih tinggal disini dari pada di Jakarta" Lila duduk dikursi teras sambil melihat-lihat sekeliling.
"Yah ... untuk orang seusia Oma tinggal ditempat seperti jauh lebih baik. Paling tidak bisa membuat umur Oma lebih panjang jadi bisa menunggu untuk gendong cicit" Oma Rita tersenyum menggoda.
"Ahh Oma..." ucap Lila malu, "Oma tinggal sendirian?"
Lila berjalan masuk kedalam rumah mengikuti Oma.
"Sebenarnya iya. Tapi ada Bi Sumi dan suaminya yang bantu-bantu. Kadang-kadang juga nginep disini. Nah itu dia orangnya datang" secara kebetulan bi Sumi dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah.
"Maaf bu, tadi nggak dengar klo ibu sudah sampai" ucap bi sumi sambil bersalaman dengan Oma, bergantian dengan suaminya, Mang Ujang.
"Ini teh neng Lila istrinya Den Ray?" Bi Sumi sempat terdiam menatap Lila saat hendak bersalaman, "Dulu mah masih segede ini" Tangan Bi Sumi menyejajarkan pinggangnya. “Sekarang mah geulis, cantik.”Lanjut Bi sumi diikuti tawa Oma Rita sementara Lila tersipu dengan pipinya yang memerah.
Bi Sumi orangnya sangat ramah dengan logat sunda yang sangat kental. Usianya kira-kira sepantaran dengan Oma. Mungkin ini juga jadi salah satu alasan Oma betah tinggal di Bandung selain karena tempatnya yang nyaman juga karena merasa memiliki "teman".
"Sudah waktunya makan siang. Neng Lila sama ibu pasti lapar. Bi Sumi siapin makan dulu ya. Eneng harus cobain masakan bibi dulu sebelum pulang ke Jakarta." Ucap Bi Sumi.
Saat hendak berbalik menuju kebelakang tiba-tiba Lila menahan dengan perkataannnya.
"Lila bantuin ya, Bi?"
"Aduh, neng Lila pasti capek seharian dijalan. Istirahat aja nanti bibi bawain teh hangat" Jawab bi Sumi lalu berbalik.

***

Oma mengajak Lila berkeliling. Sekedar mengenang masa-masa saat Lila pernah menghabiskan waktu libur sekolah disini. Bersama Ray. Oma juga menunjukkan kamar yang sama yang selalu Ray gunakan saat berada disini.
"Ray selalu tidur disini setiap kemari. Ada beberapa barangnya juga yang sengaja ia tinggalkan."
Oma membuka pintu kamar dan meninggalkan Lila sendiri dikamar tersebut.
Kamarnya tidak terlalu luas. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur disamping kiri jendela dengan daun pintu yang tinggi sedangkan disamping kanannya terdapat sepasang kursi dan meja kaca. Sebuah lemari berada disudut kamar yang dekat dengan pintu. Di dinding atas tempat tidur terdapat sebuah foto Ray kecil sedang memegang bola basket. Semuanya masih sama seperti saat mereka masih kecil.
Lila membuka lemari. Di dalamnya ada beberapa baju Ray yang terlipat rapi. Ia meraba tumpukan tipis tersebut lalu mengambilnya satu. Sebuah kaos hitam polos. Dia memandangnya lalu bayangan Ray tengah duduk sendirian dikamar melintas. Lila sering melihat Ray duduk di teras belakang sambil melihat replika dinding bebatuan.
Sedang apa ya dia sekarang?
Masing memegang kaos Ray, Lila lalu duduk di tepi ranjang sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Dia menggeser layar sentuh dan membuka salah satu aplikasi percakapan namun tidak ada pesan dari Ray disana.
Kemudian jarinya menggeser-geser lagi menuju kontak dan berhenti saat melihat nama Ray disana. Ia hanya memandangnya tanpa berani menyentuh tombol berwarna hijau yang bisa menghubungkannya dengan Ray segera. Kemudian Lila berbaring sambil memeluk kaos Ray. Saat matanya terpejam sebuah bulir bening menetes dipipinya.
I miss you, Mas.
Oma berjalan mendekati kamar Ray setelah Bi sumi mempersilahkan makan siang. Oma berhenti diambang pintu yang terbuka sedikit dan melihat Lila tertidur sambil memeluk kaos Ray. Oma tersenyum melihatnya. Ia senang cucu menantunya itu mulai kembali memiliki perasaan seperti saat mereka masih kecil.

***

Dari awal Oma tahu bahwa pernikahan mereka tidak akan berjalan lancar. Berpisah lebih dari 10 tahun dan memiliki kehidupan masing-masing. Ditambah Ray yang tinggal dilingkungan yang jauh berbeda dengan masa kecilnya. Tentu saja cinta masa kecil mereka pasti memudar
Hanya saja perpisahan itu membuat hidup Lila terguncang. Sehingga harus melewati serangkaian terapi untuk membuatnya kembali normal. Meski tidak pernah ada yang kembali seperti semula. Namun hal itu cukup untuk Lila melanjutkan hidupnya seperti remaja pada umumnya.
Tapi Oma terlalu menyayangi Lila. Biarpun hanya cinta monyet tapi Oma yakin melalui pernikahan ini akan ada yang kembali ke tempat masing-masing meski tak sama seperti sebelunya.
"Lila bangun, kita makan dulu yuk?" Oma menepuk bahu Lila.
Lila mengerjap dan segera duduk.
"Oma tunggu dimeja makan ya,"
Oma lalu pergi meninggalkan Lila menuju meja makan yang menjadi pemisah kamar dirumah ini.
Aroma masakan khas sunda sudah menari-nari dipenciuman Lila. Perutnya sudah tidak sabar untuk segera merasakan kenikmatannya.
Diatas meja sudah tersaji nasi putih hangat dengan lauk ikan bakar, sambal hejo berserta lalapannya dan tak lupa ada tumis oncom dan leunca.
"Makanannya enak banget Oma. Lila pernah buat tapi rasanya ga seenak ini," Ujar Lila setelah menyelesaikan suapan pertama, "Sambel hejonya pedes. Tapi nendang" Lanjut Lila sambil meringis menahan pedasanya sambal.
"Bi Sumi asli Sunda. Jadi masakan sundanya juga masih asli" balas Oma
"Pasti Lila bakal kangen kalau sudah balik ke Jakarta" Ucap Lila setelah menyelesaikan makannya.
"Kamu harus sering kesini. Ajak Ray. Dia bisa betah banget kalau sudah nginep disini".
"Pasti Oma" Kata Lila bersemangat. Meski ia tidak terlalu yakin akan terwujud atau tidak.
Setelah selesai makan, Lila duduk diteras ditemani Oma sambil menunggu Pak Rahmat yang menyiapkan mobil yang akan membawa Lila kembali ke Jakarta.
Mobil sudah siap. Lila berpamitan dengan Oma, bersalaman dan mencium pipi. Saat hendak masuk mobil tiba-tiba terdengar teriakan Bi Sumi yang datang sambil membawa bungkusan. Saat memberikan bungkusan tersebut bi Sumi mengatakan bahwa isinya adalah makanan buat dimakan kalau sampai Jakarta.

****

Sedan hitam yang dikendarai Pak Rahmat telah memasuki jalanan kota Bandung yang mulai dipadati kendaraan orang-orang yang pulang bekerja. Tak lama kemudian mobil tersebut memasuki gerbang tol yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta. Jalanan tidak terlalu ramai sehingga mobil berjalan dengan lancar.
Ditengah perjalanan, Lila mengeluarkan sebuah amplop yang diberikan Oma sesaat sebelum ia berpamitan. Amplop itu berisi paket liburan sebagai hadiah pernikahannya dengan Ray. Setelah menikah mereka belum pergi bulan madu. Alasan yang ditunjukkan pada keluarga adalah kesibukan masing-masing padahal Ray yang memang tidak menginginkan acara tersebut sedangkan Lila pasrah saja.
Tidak ada yang salah kalau wanita yang memulai duluan. Terkadang laki-laki lebih bodoh untuk menyadari perasaannya.
Kalimat Oma terngiang-ngiang ditelinganya. Mungkin benar sudah saatnya Lila berhenti menunggu Ray kembali seperti dulu. Semua itu hanya masa kecil mereka. Masa lalu yang tidak mungkin bisa terulang. Dia harus memulai dari awal. Maka detik itu pula Lila berteguh hati berjuang untuk pernikahannya, untuk cintanya pada Ray.

"Pak mampir ke pasar dulu ya?" 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates