Seperti hari-hari sebelumnya, Lila kembali
berjibaku dengan peralatan dapur. Satu kompor menyala dengan panci berisi air
kaldu dan satunya lagi sebuah wajan sedang menunggu panas merata. Meja
dibelakangnya pun tak kalah ramai. Beberapa mangkuk berisi sayuran berbeda jenis
yang sudah dipotong, satu mangkuk lain berisi udang yang sedang di marinasi
ditambah sebuah piring kecil berisi potongan bumbu-bumbu lainnya. Rasanya tak
ada lagi tempat tersisa dari permukaan meja.
Lila tidak sedang
menyiapkan jamuan makan besar. Dia hanya sedang merasa bahagia. Meski
perhelatan digaleri menyisakan letih ditubuhnya. Tapi semangat untuk menyajikan
sesuatu yang special untuk suami terkasih mengalahkan segalanya.
Tepat pukul 06.00
semangkuk sup sayur, sambal kecap dan udang goreng telur asin tersaji. Lila
tinggal mengambil nasi dan menyelesaikan satu menu tambahan untuk bekal.
Ray berjalan menuruni
tangga saat Lila sedang menggoreng masakan terakhirnya. Aroma seafood yang pertama kali hinggap di penciumananya.
Membuatnya bergegas mendekat pada sumbernya.
Tentu saja Ray
terkesima dengan pemandangan meja makan yang menggugah seleranya. Biasanya dia
hanya melirik acuh kini tanpa diminta sudah duduk dengan piring ditangannya.
Lila berbalik dengan
sebelah tangannya memegang samosa yang baru saja diangkat pun terkejut.
“Maaf, aku makan
duluan.” Ucap Ray dengan mulut penuh makanan.
Lila tersenyum dan
meletakkan makanan di piring. Setelah mematikan kompor, ia menyusul duduk
dihadapan Ray.
“Nggak pa-pa. udah
siang juga.” Lila meletakkan piring yang masih mengeluarkan asap dari makanan
diatasnya.
“Itu apa?”
“Samosa daging. Mau
coba?”
Ray mengambil sepotong
dan mencuil sedikit untuk menghilangkan uap panas.
“Hhmm…enak. Kamu bikin
banyak nggak?”
“Nggak banyak.
Ya…lumayan lah.”
“Aku boleh bawa nggak?
Mau aku makan dikantor nanti.”
Lila
tersenyum ditahan. “Aku bikin ini memang untuk kamu, Mas.”
Ray
jadi salah tingkah. Ia tidak tahu harus melakukan apa atau menanggapi seperti
apa. Mencomot satu udang yang ada dipiringnya lalu menelannya dengan cepat.
“Hari
ini rencana kamu apa?”
“Entahlah.”
Lila memasukkan satu per satu samosa ke dalam kotak bekal berwarna biru. “Hari
ini aku off dari galeri. Mungkin aku mau ke rumah Kakek.”
Ya,
rumah kakek. Rumah kedua orangtua Lila. Saksi bahwa Lila kebahagiaan pernah
menjadi bagian hidupnya yang pernah menguap dari derasnya duka yang terjadi.
Kematian dan kehilangan.
Kini
rumah itu hanya bangunan kosong tak berpenghuni yang secara teratur di datangi
oleh Bi Ani untuk dibersihkan. Yang menyimpan setiap detik rekam kehidupan Lila
dari lahir hingga menjelang pernikahan.
Sebelum berangkat, Lila
sudah menghubungi Bi Ani untuk datang mengunjungi rumah kakek. Karena memang
semenjak menikah Lila hampir tidak pernah kesana. Kunci rumah sengaja di
titipkan pada Bi Ani yang sudah bekerja pada keluarga semenjak kedua orang tua
Lila belum menikah.
Rumah dengan cat
berwarna biru yang mulai memudar masih berdiri kokoh. Taman kecil di halamannya
juga tetap tumbuh dengan baik meski tak lagi ada warna-warni bunga yang
bermekaran.
Mama
Taman itu mengingatkan
Lila pada mama. wanita terbaik dalam hidupnya yang mengajaknya berkebun.
Membeli bibit dan memindahkannya kedalam pot-pot berwarna-warni. Dari mama Lila
mencoba keahlian tangannya untuk membuat pot bunga biasa menjadi pot yang
cantik.
Lila mengetuk pintu.
Pada ketukan ketiga seorang perempuan yang sudah memasuki usia senja menyapa.
“Neng Lila..”
Alih-alih membalas
sapaan Lila malah menghambur memeluk Bi Ani. Meski hanya seorang asisten rumah
tangga tapi Bi Ani sangat berarti bagi Lila. Terutama saat Lila sedang terpuruk
atas kehilangan orang tua juga Ray diwaktu yang relative berdekatan. Bi Ani
yang menjaga Lila saat dirumah. Menyiapkan pakaiannya, mengingatkannya makan
juga obat yang harus rutin di minum
“Bi Ani sehat?” Lila
melepas pelukan dan menyeka sisa haru yang menetes di pelupuk matanya.
“Sehat, Neng. Neng Lila
sehat-sehat juga. Baik-baik sama Nak Ray.”
Begitulah Bi Ani.
Mulutnya selalu mengeluarkan doa-doa terbaik untuk orang-orang yang
disayanginya.
“Neng Lila sudah makan?
Bibi bawain bubur kacang hijau dan ketan hitam kesukaan Neng.”
“Yang kacang hijaunya
besar-besar?”
“Iya. Yang kacang
hijaunya besar-besar.”
“Lila ke kamar sebentar
habis itu makan bubur.” Lila berlalu tapi kembali lagi. “Kita makan sama-sama
ya Bi?”
Lila bergegas memasuki
kamarnya. Duduk di depan meja yang pernah menjadi tempatnya bermain-main dengan
perkakas kewanitaan. Dulu Lila bahkan memiliki lemari kecil khusus menyimpan
aksesoris. Dari berbagai macam karet warna warni, jepit rambut, bando bahkan roll rambut.
Dihadapannya ada sebuah
laci yang sengaja tidak pernah ia buka. Di dalamnya terdapat sebuah benda yang
sempat menjadi satu-satunya harapan hidupnya. Namun saat semuanya sudah berada
digenggaman, Lila mengabaikannya.
Menariknya pelan, Lila
mengambil sebuah kotak hitam yang cat nya sama sekali belum berubah dari
pertama kali ia membawanya ke rumah ini. kotak persegi yang sama sekali tidak
pernah ia buka. Meski saat ini ia sudah memiliki kunci yang membuat benda tersebut
tertutup rapat.
Lila memegang dan
menyentuh beberapa kali di setiap sisinya sebelum menyimpannya kedalam tas
selempangnya. Kunci kecil yang bisa membuka kotak tersebut selalu Lila bawa.
Setiap saat selalu dipastikan berada di tempat yang sama, menyatu dengan
gantungan kunci yang diberikan Ray untuk kunci rumah mereka. Hanya sebatas itu
saja.
Kehilangan semangat dan
antusias mungkin saja terjadi. Tapi pasrah lebih tepat mewakili naluri Lila
saat ini terhadap benda keramat tersebut. Keinginannya tak lagi menggebu-gebu
untuk membuka atau mengetahui isi yang ada di dalamnya. Sepuluh tahun berlalu
membuatnya terbiasa dengan kotak yang tertutup rapat.
“Neng, buburnya sudah
siap.”
Panggilan Bi Ani
menarik Lila keluar kamar. Membiarkan kenangan itu tetap tertutup rapat. Fase
pasrah dalam hidupnya membuatnya menghapus harapan-harapan semu. Dan itu
membuat Lila menjadi lebih tenang.
“Neng?”
Lila sudah menghabiskan
sendokan kedua dalam mulutnya.
“Iya, Bi.”
“Neng Lila masih minum
obat?”
Lila menghentikan
gerakan mulutnya mencacah butir-butir kacang hijau yang terasa empuk.
“Kenapa Bi?” Lila
menatap Bi Ani dengan tersenyum. “Memangnya aku kelihatan masih sakit?”
Bi Ani menggelengkan
kepala. “Neng Lila sehat. Sehat sekali. Bibi Cuma memastikan kalau Neng Lila
tidak lagi hidup dengan bergantung pada obat.”
“Bibi masih khawatir
ya?”
“Selalu Neng. Pesan
Bapak yang tidak akan pernah bibi lupa.”
Kakek selalu menjadi
yang terbaik. Sikap keras yang selalu di tunjukan pada Lila tak kan mampu
menutup kelembutan hatinya.
Lila meraih tangan Bi
Ani. Dari tangannya lah Lila masih bisa merasakan kasih ibu yang lebih dulu
pergi dari hidupnya. Keriput ditangannya sangat terasa.
“Aku sehat Bi, sehat
banget. Nggak akan lagi minum obat buat hidup. Bibi bisa percaya itu.”
“Tentu. Sekarang sudah
ada Mas Ray yang gantiin Bapak, yang akan bertanggung jawab segala hal tentang
Neng.” Bi Ani tersenyum sambil menepuk-nepuk tangan Lila yang mengenggamnya.
Ray memang sudah
menggantikan posisi ayah juga kakek atas dirinya. Tapi hati tetaplah Lila
sendiri yang harus bertanggung jawab.
***
“Lil, kamu tahu jam
tanganku yang mati nggak? Perasaan aku taruh di meja kerja.” Teriak Ray masih
dibalik meja kerjanya yang berada di lantai atas. Memindahkan tumpukan buku dan
map yang menutupi permukaan. Menduga barangkali benda yang dicarinya itu
tertutup sesuatu.
Sementara Lila sedang
berada di depan TV yang berada di lantai bawah, sedang membersihkan karpet
menggunakan vacuum cleaner. Suara
bising yang dihasilkan mesin penyedot debu tersebut membuat Lila tidak bisa
mendengar ucapan suaminya.
“Lil,”
Akhirnya Ray turun
setelah seruannya tidak mendapat jawaban. Dan mengulangi pertanyaan yang sama
setelah bertatap muka dengan Lila.
“Ohh yang kalepnya udah
mau lepas itu” jawab Lila sambil mengingat. “Kayanya aku simpan di laci meja
kamar. Tunggu, aku cari dulu.”
“Nggak usah,” Ray
menahan lengan Lila. “Biar aku aja. Dilaci kamar kan?” Ray menegaskan dan di
setujui Lila dengan sebuah anggukan.
Sesungguhnya melakukan
pencarian benda dirumah sama sulitnya dengan menyelesaikan teka-teki silang di
Koran. Pasalnya perempuan memiliki keunikan dalam menyimpan sesuatu yang
biasanya hanya mereka dan tuhan yang tahu. tapi petunjuk Lila cukup jelas yaitu
laci meja. Dikamar mereka hanya ada 1 meja yang sebagian besar dipenuhi dengan
produk perawatan tubuh Lila dan sebuah nakas disamping tempat tidur.
Ray memulai
pencariannya pada meja dengan kaca besar yang menampilkan wajahnya yang belum
tersentuh air. Setelah membuka laci bagian atas yang sebagian besar isinya
adalah karet, jepit dan rol rambut. Melihat itu Ray tersenyum geli.
Ahh
kebiasaanmu nggak banyak berubah, Lil.
Kemudian dia
melanjutkan pada laci terakhir yang ada pada meja tersebut. sepertinya Ray
harus segera beralih pada tempat lain saat menjumpai didalamnya yang berisi
buku buku kecil yang biasa Lila gunakan untuk mencatat keuangan juga kebutuhan
bulanan rumah tangga mereka. Tapi sudut mata Ray menangkap secarik kertas yang
tersembul dari buku catatan yang berada ditumpukan paling bawah. Melupakan
sejenak tujuan pencariannya.
Mengambil buku kecil
degan sampul berwarna biru pastel Ray membuka tepat pada kertas yang menjadi
pembatasnya. Sebuah amplop putih dengan kop sebuah nama hotel. Tanpa tending
apa-apa Ray mengambil dan membukanya.
Sebuah kertas berbentuk
persegi panjang dengan gambar pemandangan sebuah pegunungan. Diatas nya
tertulis : voucher paket honeymoon. Dengan stempel tanggal masa berlaku yang
berada di sudutnya.
“Lil,”
Berjalan bergegas
menuruni tangga mencari keberadann Lila yang sudah menghilang dari ruang
keluarga.
“Lil,”
Ray pun beralih ke
belakang dan mendapati Lila berada di dekan mesin cuci yang sedang menyala.
Sedang memasukkan pakaian yang sudah kering kedalam keranjang agar tempat
menjemur itu kosong.
“Ini apa?”
Ray menunjukkan hasil
penemuannya yang dengan cepat langsung berpindah kedalam genggaman Lila. Saat
itu juga Ray mendapati wajah panic Lila bercampur khawatir juga bingung.
“Lil?” sekali lagi
memanggilnya setelah menunggu beberapa saat tapi tak kunjung mendengar penjelasan
dari perempuan yang berdiri menciut dihadapannya.
“I..itu. sebenarnya…”
Menghadapi istrinya
yang seperti seorang anak kecil yang ketahuan makan permen tanpa izin itu, Ray
membawanya duduk di teras belakang. Dengan keranjang baju yang masih dipeluk
erat.
“Jujur padaku, Lil.”
Lila menghela nafas
dalam. Tak ada gunanya lagi menyembunyikannya. Lagi pula apa yang bisa
diperbuat kertas berukuran tak lebih dari 10 cm tersebut pada hubungan
pernikahannya.
“Itu hadiah pernikahan
kita dari Oma.” Ray menyimak dengan seksama. “Aku pikir Mas akan merasa
terbebani dengan hadiah itu jadi aku mencari waktu yang tepat untuk ngasih
tahu.”
Tentu saja waktu yang
tepat itu tidak pernah Lila dapatkan hingga voucher tersebut tak memiliki nilai
lagi setelah masa berlakunya terlewat lebih dari dua bulan lamanya.
“Seharusnya kamu
memberitahuku tanpa perlu mencari waktu khusus.” Ucap Ray dengan sedikit
penyesalan.
Sesal karena Lila
begitu memperhitungkan perasaannya hanya untuk memberitahukan hadiah paket
bulan madu. Sedingin itukah sikapnya selama ini sampai Lila harus berpikir berulang
kali, pikir Ray.
“Kalau voucher ini
masih berlaku enak kali dipakai pas libur kaya gini.” Kenang Ray, “Tapi mau
gimana lagi udah expired.”
Mendengar itu Lila
semakin mengeratkan pelukannya pada keranjang baju. Menunjukkan penyesalan yang
cukup besar.
Andai saja saat itu
Lila memiliki cukup keberanian. Andai saja Lila sudah mengabaikan sikap acuh
dari suaminya itu. mungkin sesal tak akan memberatkan hatinya seperti saat ini.
Rona penyesalan itu tampak
jelas untuk diabaikan. Bahkan cicak yang membelakangi mereka pun tahu sebesar
apa penyesalan Lila.
“Sebenarnya tanpa
voucher pun masih bisa pergi. nggak harus ke Bandung. Bisa ke Bali, Lombok atau
raja ampat.”
Ray sempat melihat
kilatan cahaya di mata Lila tapi sedetik kemudian menghilang.
“Kenapa?”
“Nggak pa-pa.”
Mendengar itu Lila
sangat antusias. Tapi melakukan perjalanan bersama Ray sepertinya bukan hal
yang bisa diharapkan saat ini. dia sangat ingin, tapi Ray pasti tidak
sependapat dengannya.
Ray mengeluarkan ponsel
dan membuka aplikasi pemesanan hotel.
“Kalo ke Lombok atau
raja ampat perlu ngajuin cuti dulu,“ Ray bergumam sembari jarinya menyapu aktif
membuka halaman demi halaman di layar ponsel pintarnya. “Sayang aja kalo Cuma
sehari dua hari disana. Kalo Bali masih memungkinkan. Hotel-hotel yang bagus
dan dekat pantai juga nggak terlalu mahal.”
Lila semakin jengah
dengan ketidakpedulian Ray terhadapnya. Kalau dia memang sedang merencanakan
sebuah perjalanan liburan, seharusnya tidak perlu menahan keberadaan Lila. Dia
bisa melakukannya dibalik laptop seperti biasanya. Sehingga Lila tidak perlu
tahu juga merasa diabaikan seperti ini.
Ray menghentikan
aktivitasnya berselancar di dunia maya. Dan menatap Lila dengan mata yang
bersemangat.
“Kamu mau ke Bali atau
Bandung?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar