Minggu, 28 April 2019

# cinta # Fiction

Remind Me_sebelas


 Seperti hari-hari sebelumnya, Lila kembali berjibaku dengan peralatan dapur. Satu kompor menyala dengan panci berisi air kaldu dan satunya lagi sebuah wajan sedang menunggu panas merata. Meja dibelakangnya pun tak kalah ramai. Beberapa mangkuk berisi sayuran berbeda jenis yang sudah dipotong, satu mangkuk lain berisi udang yang sedang di marinasi ditambah sebuah piring kecil berisi potongan bumbu-bumbu lainnya. Rasanya tak ada lagi tempat tersisa dari permukaan meja.
Lila tidak sedang menyiapkan jamuan makan besar. Dia hanya sedang merasa bahagia. Meski perhelatan digaleri menyisakan letih ditubuhnya. Tapi semangat untuk menyajikan sesuatu yang special untuk suami terkasih mengalahkan segalanya.
Tepat pukul 06.00 semangkuk sup sayur, sambal kecap dan udang goreng telur asin tersaji. Lila tinggal mengambil nasi dan menyelesaikan satu menu tambahan untuk bekal.
Ray berjalan menuruni tangga saat Lila sedang menggoreng masakan terakhirnya. Aroma seafood yang pertama kali hinggap di penciumananya. Membuatnya bergegas mendekat pada sumbernya.
Tentu saja Ray terkesima dengan pemandangan meja makan yang menggugah seleranya. Biasanya dia hanya melirik acuh kini tanpa diminta sudah duduk dengan piring ditangannya.
Lila berbalik dengan sebelah tangannya memegang samosa yang baru saja diangkat pun terkejut.
“Maaf, aku makan duluan.” Ucap Ray dengan mulut penuh makanan.
Lila tersenyum dan meletakkan makanan di piring. Setelah mematikan kompor, ia menyusul duduk dihadapan Ray.
“Nggak pa-pa. udah siang juga.” Lila meletakkan piring yang masih mengeluarkan asap dari makanan diatasnya.
“Itu apa?”
“Samosa daging. Mau coba?”
Ray mengambil sepotong dan mencuil sedikit untuk menghilangkan uap panas.
“Hhmm…enak. Kamu bikin banyak nggak?”
“Nggak banyak. Ya…lumayan lah.”
“Aku boleh bawa nggak? Mau aku makan dikantor nanti.”
Lila tersenyum ditahan. “Aku bikin ini memang untuk kamu, Mas.”
Ray jadi salah tingkah. Ia tidak tahu harus melakukan apa atau menanggapi seperti apa. Mencomot satu udang yang ada dipiringnya lalu menelannya dengan cepat.
“Hari ini rencana kamu apa?”
“Entahlah.” Lila memasukkan satu per satu samosa ke dalam kotak bekal berwarna biru. “Hari ini aku off dari galeri. Mungkin aku mau ke rumah Kakek.”
Ya, rumah kakek. Rumah kedua orangtua Lila. Saksi bahwa Lila kebahagiaan pernah menjadi bagian hidupnya yang pernah menguap dari derasnya duka yang terjadi. Kematian dan kehilangan.
Kini rumah itu hanya bangunan kosong tak berpenghuni yang secara teratur di datangi oleh Bi Ani untuk dibersihkan. Yang menyimpan setiap detik rekam kehidupan Lila dari lahir hingga menjelang pernikahan.

Sebelum berangkat, Lila sudah menghubungi Bi Ani untuk datang mengunjungi rumah kakek. Karena memang semenjak menikah Lila hampir tidak pernah kesana. Kunci rumah sengaja di titipkan pada Bi Ani yang sudah bekerja pada keluarga semenjak kedua orang tua Lila belum menikah.
Rumah dengan cat berwarna biru yang mulai memudar masih berdiri kokoh. Taman kecil di halamannya juga tetap tumbuh dengan baik meski tak lagi ada warna-warni bunga yang bermekaran.
Mama
Taman itu mengingatkan Lila pada mama. wanita terbaik dalam hidupnya yang mengajaknya berkebun. Membeli bibit dan memindahkannya kedalam pot-pot berwarna-warni. Dari mama Lila mencoba keahlian tangannya untuk membuat pot bunga biasa menjadi pot yang cantik.
Lila mengetuk pintu. Pada ketukan ketiga seorang perempuan yang sudah memasuki usia senja menyapa.
“Neng Lila..”
Alih-alih membalas sapaan Lila malah menghambur memeluk Bi Ani. Meski hanya seorang asisten rumah tangga tapi Bi Ani sangat berarti bagi Lila. Terutama saat Lila sedang terpuruk atas kehilangan orang tua juga Ray diwaktu yang relative berdekatan. Bi Ani yang menjaga Lila saat dirumah. Menyiapkan pakaiannya, mengingatkannya makan juga obat yang harus rutin di minum
“Bi Ani sehat?” Lila melepas pelukan dan menyeka sisa haru yang menetes di pelupuk matanya.
“Sehat, Neng. Neng Lila sehat-sehat juga. Baik-baik sama Nak Ray.”
Begitulah Bi Ani. Mulutnya selalu mengeluarkan doa-doa terbaik untuk orang-orang yang disayanginya.
“Neng Lila sudah makan? Bibi bawain bubur kacang hijau dan ketan hitam kesukaan Neng.”
“Yang kacang hijaunya besar-besar?”
“Iya. Yang kacang hijaunya besar-besar.”
“Lila ke kamar sebentar habis itu makan bubur.” Lila berlalu tapi kembali lagi. “Kita makan sama-sama ya Bi?”
Lila bergegas memasuki kamarnya. Duduk di depan meja yang pernah menjadi tempatnya bermain-main dengan perkakas kewanitaan. Dulu Lila bahkan memiliki lemari kecil khusus menyimpan aksesoris. Dari berbagai macam karet warna warni, jepit rambut, bando bahkan roll rambut.
Dihadapannya ada sebuah laci yang sengaja tidak pernah ia buka. Di dalamnya terdapat sebuah benda yang sempat menjadi satu-satunya harapan hidupnya. Namun saat semuanya sudah berada digenggaman, Lila mengabaikannya.
Menariknya pelan, Lila mengambil sebuah kotak hitam yang cat nya sama sekali belum berubah dari pertama kali ia membawanya ke rumah ini. kotak persegi yang sama sekali tidak pernah ia buka. Meski saat ini ia sudah memiliki kunci yang membuat benda tersebut tertutup rapat.
Lila memegang dan menyentuh beberapa kali di setiap sisinya sebelum menyimpannya kedalam tas selempangnya. Kunci kecil yang bisa membuka kotak tersebut selalu Lila bawa. Setiap saat selalu dipastikan berada di tempat yang sama, menyatu dengan gantungan kunci yang diberikan Ray untuk kunci rumah mereka. Hanya sebatas itu saja.
Kehilangan semangat dan antusias mungkin saja terjadi. Tapi pasrah lebih tepat mewakili naluri Lila saat ini terhadap benda keramat tersebut. Keinginannya tak lagi menggebu-gebu untuk membuka atau mengetahui isi yang ada di dalamnya. Sepuluh tahun berlalu membuatnya terbiasa dengan kotak yang tertutup rapat.
“Neng, buburnya sudah siap.”
Panggilan Bi Ani menarik Lila keluar kamar. Membiarkan kenangan itu tetap tertutup rapat. Fase pasrah dalam hidupnya membuatnya menghapus harapan-harapan semu. Dan itu membuat Lila menjadi lebih tenang.
“Neng?”
Lila sudah menghabiskan sendokan kedua dalam mulutnya.
“Iya, Bi.”
“Neng Lila masih minum obat?”
Lila menghentikan gerakan mulutnya mencacah butir-butir kacang hijau yang terasa empuk.
“Kenapa Bi?” Lila menatap Bi Ani dengan tersenyum. “Memangnya aku kelihatan masih sakit?”
Bi Ani menggelengkan kepala. “Neng Lila sehat. Sehat sekali. Bibi Cuma memastikan kalau Neng Lila tidak lagi hidup dengan bergantung pada obat.”
“Bibi masih khawatir ya?”
“Selalu Neng. Pesan Bapak yang tidak akan pernah bibi lupa.”
Kakek selalu menjadi yang terbaik. Sikap keras yang selalu di tunjukan pada Lila tak kan mampu menutup kelembutan hatinya.
Lila meraih tangan Bi Ani. Dari tangannya lah Lila masih bisa merasakan kasih ibu yang lebih dulu pergi dari hidupnya. Keriput ditangannya sangat terasa.
“Aku sehat Bi, sehat banget. Nggak akan lagi minum obat buat hidup. Bibi bisa percaya itu.”
“Tentu. Sekarang sudah ada Mas Ray yang gantiin Bapak, yang akan bertanggung jawab segala hal tentang Neng.” Bi Ani tersenyum sambil menepuk-nepuk tangan Lila yang mengenggamnya.
Ray memang sudah menggantikan posisi ayah juga kakek atas dirinya. Tapi hati tetaplah Lila sendiri yang harus bertanggung jawab.

***

“Lil, kamu tahu jam tanganku yang mati nggak? Perasaan aku taruh di meja kerja.” Teriak Ray masih dibalik meja kerjanya yang berada di lantai atas. Memindahkan tumpukan buku dan map yang menutupi permukaan. Menduga barangkali benda yang dicarinya itu tertutup sesuatu.
Sementara Lila sedang berada di depan TV yang berada di lantai bawah, sedang membersihkan karpet menggunakan vacuum cleaner. Suara bising yang dihasilkan mesin penyedot debu tersebut membuat Lila tidak bisa mendengar ucapan suaminya.
“Lil,”
Akhirnya Ray turun setelah seruannya tidak mendapat jawaban. Dan mengulangi pertanyaan yang sama setelah bertatap muka dengan Lila.
“Ohh yang kalepnya udah mau lepas itu” jawab Lila sambil mengingat. “Kayanya aku simpan di laci meja kamar. Tunggu, aku cari dulu.”
“Nggak usah,” Ray menahan lengan Lila. “Biar aku aja. Dilaci kamar kan?” Ray menegaskan dan di setujui Lila dengan sebuah anggukan.
Sesungguhnya melakukan pencarian benda dirumah sama sulitnya dengan menyelesaikan teka-teki silang di Koran. Pasalnya perempuan memiliki keunikan dalam menyimpan sesuatu yang biasanya hanya mereka dan tuhan yang tahu. tapi petunjuk Lila cukup jelas yaitu laci meja. Dikamar mereka hanya ada 1 meja yang sebagian besar dipenuhi dengan produk perawatan tubuh Lila dan sebuah nakas disamping tempat tidur.
Ray memulai pencariannya pada meja dengan kaca besar yang menampilkan wajahnya yang belum tersentuh air. Setelah membuka laci bagian atas yang sebagian besar isinya adalah karet, jepit dan rol rambut. Melihat itu Ray tersenyum geli.
Ahh kebiasaanmu nggak banyak berubah, Lil.
Kemudian dia melanjutkan pada laci terakhir yang ada pada meja tersebut. sepertinya Ray harus segera beralih pada tempat lain saat menjumpai didalamnya yang berisi buku buku kecil yang biasa Lila gunakan untuk mencatat keuangan juga kebutuhan bulanan rumah tangga mereka. Tapi sudut mata Ray menangkap secarik kertas yang tersembul dari buku catatan yang berada ditumpukan paling bawah. Melupakan sejenak tujuan pencariannya.
Mengambil buku kecil degan sampul berwarna biru pastel Ray membuka tepat pada kertas yang menjadi pembatasnya. Sebuah amplop putih dengan kop sebuah nama hotel. Tanpa tending apa-apa Ray mengambil dan membukanya.
Sebuah kertas berbentuk persegi panjang dengan gambar pemandangan sebuah pegunungan. Diatas nya tertulis : voucher paket honeymoon. Dengan stempel tanggal masa berlaku yang berada di sudutnya.
“Lil,”
Berjalan bergegas menuruni tangga mencari keberadann Lila yang sudah menghilang dari ruang keluarga.
“Lil,”
Ray pun beralih ke belakang dan mendapati Lila berada di dekan mesin cuci yang sedang menyala. Sedang memasukkan pakaian yang sudah kering kedalam keranjang agar tempat menjemur itu kosong.
“Ini apa?”
Ray menunjukkan hasil penemuannya yang dengan cepat langsung berpindah kedalam genggaman Lila. Saat itu juga Ray mendapati wajah panic Lila bercampur khawatir juga bingung.
“Lil?” sekali lagi memanggilnya setelah menunggu beberapa saat tapi tak kunjung mendengar penjelasan dari perempuan yang berdiri menciut dihadapannya.
“I..itu. sebenarnya…”
Menghadapi istrinya yang seperti seorang anak kecil yang ketahuan makan permen tanpa izin itu, Ray membawanya duduk di teras belakang. Dengan keranjang baju yang masih dipeluk erat.
“Jujur padaku, Lil.”
Lila menghela nafas dalam. Tak ada gunanya lagi menyembunyikannya. Lagi pula apa yang bisa diperbuat kertas berukuran tak lebih dari 10 cm tersebut pada hubungan pernikahannya.
“Itu hadiah pernikahan kita dari Oma.” Ray menyimak dengan seksama. “Aku pikir Mas akan merasa terbebani dengan hadiah itu jadi aku mencari waktu yang tepat untuk ngasih tahu.”
Tentu saja waktu yang tepat itu tidak pernah Lila dapatkan hingga voucher tersebut tak memiliki nilai lagi setelah masa berlakunya terlewat lebih dari dua bulan lamanya.
“Seharusnya kamu memberitahuku tanpa perlu mencari waktu khusus.” Ucap Ray dengan sedikit penyesalan.
Sesal karena Lila begitu memperhitungkan perasaannya hanya untuk memberitahukan hadiah paket bulan madu. Sedingin itukah sikapnya selama ini sampai Lila harus berpikir berulang kali, pikir Ray.
“Kalau voucher ini masih berlaku enak kali dipakai pas libur kaya gini.” Kenang Ray, “Tapi mau gimana lagi udah expired.”
Mendengar itu Lila semakin mengeratkan pelukannya pada keranjang baju. Menunjukkan penyesalan yang cukup besar.
Andai saja saat itu Lila memiliki cukup keberanian. Andai saja Lila sudah mengabaikan sikap acuh dari suaminya itu. mungkin sesal tak akan memberatkan hatinya seperti saat ini.
Rona penyesalan itu tampak jelas untuk diabaikan. Bahkan cicak yang membelakangi mereka pun tahu sebesar apa penyesalan Lila.
“Sebenarnya tanpa voucher pun masih bisa pergi. nggak harus ke Bandung. Bisa ke Bali, Lombok atau raja ampat.”
Ray sempat melihat kilatan cahaya di mata Lila tapi sedetik kemudian menghilang.
“Kenapa?”
“Nggak pa-pa.”
Mendengar itu Lila sangat antusias. Tapi melakukan perjalanan bersama Ray sepertinya bukan hal yang bisa diharapkan saat ini. dia sangat ingin, tapi Ray pasti tidak sependapat dengannya.
Ray mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi pemesanan hotel.
“Kalo ke Lombok atau raja ampat perlu ngajuin cuti dulu,“ Ray bergumam sembari jarinya menyapu aktif membuka halaman demi halaman di layar ponsel pintarnya. “Sayang aja kalo Cuma sehari dua hari disana. Kalo Bali masih memungkinkan. Hotel-hotel yang bagus dan dekat pantai juga nggak terlalu mahal.”
Lila semakin jengah dengan ketidakpedulian Ray terhadapnya. Kalau dia memang sedang merencanakan sebuah perjalanan liburan, seharusnya tidak perlu menahan keberadaan Lila. Dia bisa melakukannya dibalik laptop seperti biasanya. Sehingga Lila tidak perlu tahu juga merasa diabaikan seperti ini.
Ray menghentikan aktivitasnya berselancar di dunia maya. Dan menatap Lila dengan mata yang bersemangat.
“Kamu mau ke Bali atau Bandung?”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates