Lebih dari dua jam Lila
menghabiskan waktu dikamar mandi. Sudah puluhan kali dia memakai sabun,
menggosok-gosok badan, membilasnya. Mengulanginya lagi sampai sabun yang ada di
dalam botol habis. Pun dilakukan dengan rambut panjangnya. Nasib yang sama pun
menerpa botol sampo yang kini telah kosong.
Lila merasa udara
dingin menusuk-nusuk kulitnya. Bahkan dibeberapa tempat terasa perih. Mungkin
karena terlalu keras saat menggosok sehingga ada kulit yang terkelupas.
“Kamu habis mandi?
Keramas?”
Ray yang duduk
menyandar diatas tempat tidur menatap Lila dengan sorot mata tajam juga heran.
“Mas Ray belum tidur?”
Lila menyunggingkan
senyum. Senyum tulus seperti saat dia sedang bahagia.
Ray masih memandang
Lila. Menunggu penjelsan.
“Sudah malam, Mas. Hampir
jam sebelas malam. Sebaiknya kita tidur.”
Lila menyusul masuk
kedalam selimut. Masih dengan jubah mandi yang dipakainya. Ia terlalu lelah
hanya untuk menukarnya dengan piaya tidur yang nyaman. Kepalanya juga mulai
berdenyut.
Lampu utama sudah
dipadamkan. Berganti dengan lampu tidur yang lebih temaram. Menarik mata yang
terbuka untuk segera tertutup. Rapat.
Tidak butuh waktu lama
bagi Ray untuk terlelap. Mungkin karena pengaruh obat yang diminumnya tadi.
Sementara Lila harus berjuang lebih lagi. Selain udara dingin menusuk yang
dihasilkan pendingin ruangan juga kepalanya terasa seperti mau pecah.
Lila bangun. Sepertinya
dia harus tidur di tempat lain. Ia tidak mungkin mematikan AC. Mungkin akan
menyebabkan Ray menjadi tidak nyaman karena tidak biasa.
Kamar tamu dipilih Lila
untuk menghabiskan sisa malam. Sudah mendekati dini hari. Tapi disana, ia juga
tidak menemukan sebuah kenyamanan yang mampu membuatnya terlelap. Lila hanya
setengah berbaring dengan kepalanya menyandar pada headboard.
Kedua matanya terus
menatap sebuah kanvas yang tertutup kain. Lalu ke sebuah tabung berisi berbagai
macam kuas dengan berbagai macam ukuran.
Suatu ketika Kakek
memberinya sebuah kuas setelah kematian orang tuanya.
“Kalau tangis dan kata
tidak cukup mengungkapkan perasaanmu, gunakan kuas ini untuk melukiskannya.”
Semenjak saat itu Lila
belajar melukis. Menggoreskan tiap rasa dalam hatinya. Dengan begitu
perasaannya sedikit lebih ringan.
Sayangnya semua itu
tidak berguna lagi. Jemarinya tak lagi mampu menggerakkan kuas. Otak kananya
seperti sedang dalam masa hibernasi panjang sehingga kemampuannya saat ini
hanya satu, menangis.
Derai air mata yang
mengalir deras. Sederas air terjun Niagara yang tak pernah surut. Hanya musim
dingin yang membekukan yang mampu membuatnya berhenti mengalir. Sementara tak
ada musim yang berbeda dalam hidup Lila. Musim kesedihan yang berlangsung
sepanjang hidupnya. Hanya kadarnya saja yang berubah tapi tak pernah
tergantikan dengan musim yang lain. Ia bahkan lupa pernah bahagia.
***
Hari ini adalah hari terakhir
persiapan pementasan yang akan dilakukan besok malam. Ada banyak orang yang
berdatangan terutama mereka yang akan menjadi pengisi acara. Gladi resik di
lakukan di studio pementasan.
Saat-saat seperti ini
yang sangat ditunggu Lila. Merasakan debar-bebar menegangkan. Menanti sebuah
pertunjukan besar yang menghadirkan kepuasan saat penonton pulang.
Setiap detail persiapan
tidak luput dari perhatian Lila. Mulai dari property, tamu undangan, Lighting, pengatur music, bahkan vendor
yang bertangggung jawab terhadap konsumsi panitia dan pengisi acara pun Lila
sendiri yang memastikan semuanya tersusun rapi. Sekarang Lila sedang duduk
dikursi penonton untuk melihat proses gladi bersih.
“Hari ini semangat
sekali, La?” Mbak Ika duduk disamping Kaylila.
“Semua orang juga
semangat, Mbak. Hari ini kan persiapan terakhir.” Kaylila membuat kerutan
didahinya.
“Mbak tahu. Tapi tidak
biasanya kamu mengecek setiap pos untuk pertunjukan besok. Anak-anak tadi
banyak yang protes karena kena teguran sama kamu”
“Lalu?”
“Ya, mbak harap ini
memang bentuk tanggungjawab kamu sebagai owner
di galeri ini. Bukan sebagai pelarian atas masalah yang sedang kamu hadapi.”
Mbak Ika benar. Lila
memang sedang membutuhan hal lain untuk mengalihkan pikirannya. Kejadian
semalam seperti sedang membuka kotak Pandora. Segala perasaan negative
menghampiri dirinya satu persatu. Dan menyisakan satu hal yang membuatnya tetap
bertahan. Harapan.
“Mbak Lila” Suara pak
yadi, satpam yang bertugas menjaga keamanan .
“Iya pak?”
“Ada Mas Ray di lobi.”
“Hah?”Lila membuka
mulutnya cukup lama. “Hhmm…tolong bilang tunggu sebentar ya”
Pak Yadi pun pergi
terlebih dahulu.
“Ngapain Ray kesini?
Tumben banget. Kalian lagi berantem?” Mbak Ika mencecar Lila atas
ketidakwajaran menurut versinya
Bukan hanya mbak Ika
yang merasa heran atas kehadiran Ray di galeri. Tapi juga Lila. Selama menikah
belum sekalipun Ray menginjakkan kaki di bangunan kesenian tersebut.
“Mana Lila tahu mbak?
Lila aja masih disini sama mbak belum ketemu Ray. “
Menghentikan perdebatan
mengenai alasan Ray datang, Lila berjalan diikuti mbak Ika. Didalam hati Lila
terus mencari sesuatu yang memungkinkan Ray untuk datang. Dan tidak satu pun
cukup alasan.
Lila menemukan Ray
berada di lobi sedang melihat-lihat beberapa lukisan yang dipajang disana. Yang
sebagian besar adalah miliknya. Dan beberapa adalah milik kedua orang tuanya.
Dan semuanya hanya untuk di lihat. Tidak untuk kepentingan lain.
“Mas?”
Rupanya Ray benar-benar
menunggu Lila. Hanya sekali panggil saja langsung menoleh. Dengan kemeja
dikeluarkan dan dasi yang sudah dilepas Ray datang. Juga dengan wajah lelah
usai bekerja.
“Hey.”
“Tumben?”
Ray hanya mengedikkan
bahu.
“Kenalin ini mbak Ika.”
“Hallo, senang akhirnya
bisa ketemu langsung sama kamu. Terakhir kali kita ketemu pas resepsi kalian”
Mbak Ika menjabat tangan Ray. “Take your
time. Mbak, tinggal dulu ya.” Mbak menepuk bahu Lila sebelum meninggalkan
mereka berdua.
“Ada perlu apa ya mas
datang ke sini?” tanya Lila setelah mbak Ika pergi.
“Nggak ada. Kerjaanku udah
beres dan bisa pulang lebih awal. Sekalian jemput kamu juga.”
“Jemput?” Lila spontan
mengucapkannya dengan cukup keras hanya untuk mempercayai pendengarannya tidak
sedang bermasalah. “Maaf, kelepasan.”
“Nggak pa-pa. Mungkin
kamu juga kaget aku tiba-tiba datang kesini.”
“Banget.”
Keduanya pun terdiam.
Kehilangan bahan pembicaraan.
Lila berdeham. “Sepertinya
aku belum bisa pulang sekarang. Aku masih …”
“Aku tunggu.” Ray
memotong ucapan Lila. “Disana. Boleh?” Lalu menunjuk sebuah sofa yang ada di
salah satu sudut lobby.
Percakapannya dengan
Lila semalam setidaknya membuatnya kembali menapak pada bumi. Tak lagi
melambungkan harapan yang tidak pasti. Tetapi mencoba melihat lebih dekat apa
yang nampak di hadapannya. Saat yang dekat saja tak bisa dimiliki bagaimana dia
bisa mengejar yang jauh?
Ray hanya mencoba
realistis. Menjalani pernikahan sewajarnya. Mencoba semampunya. Andai semua itu
tetap mengantarnya pada perpisahan. Maka dia tak lagi merasa bersalah pada
Lila.
****
Seorang laki-laki
berjalan memutar dengan punggungnya yang dibongkokkan dan sebelah tangannya
memegang pinggang. Bejalan berlawanan arah dari laki-laki lain dengan tubuh
yang kurus dan tinggi tak lupa kedua tangannya diikat kebelakang dan dengan
muka yang diangkat seperti sedang berpikir. Keduanya berjalan berjalan
membentuk lingkaran. Terus memutar hingga lingkaran tersebut mengecil dan
keduanya bertemu dengan sebuah tabrakan lucu yang mengundang decak tawa.
Meski hanya sebuah
geladi resik masing-masing pemain melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Pementasan drama musical yang mengangkat kisah punakawan itu di kemas dalam
bentuk komedi tanpa meninggalkan unsure utama pembangun cerita.
Suara tawa masih
terdengar dari bangku penoton meski adegan telah berganti. Ray menjadi salah
yang menyumbangkan tawanya. Dia benar-benar sedang menikmati pertunjukkan.
Lila bisa merasakan
kegembiraan yang sama. Bukan dari atas panggung melainkan dari tribun penonton.
Tawa itu masih menggema di telingannya. Barisan gigi yang terlihat, sudut mata
yang mengecil dan guratan-guratan kecil diwajahnya. Lila melihat semuanya. Mata
hitamnya yang mengecil saat tertawa. Dan akan menyorot tajam saat amarah
menguasai.
Sekejap itu pula Lila
melupakan tahta yang tidak bisa ia miliki. Meski secara hukum pria itu adalah
suaminya. Tapi singgasana ratu di hati Ray bukan miliknya. Ada orang lain yang
sudah merebutnya. Menghapus setiap jejak dirinya.
“La, balik yuk?
Anak-anak juga udah banyak yang pulang. Tinggal bagian property aja yang lagi
beres-beres.” Mbak Ika membuat Lila berkedip. Mengalihkan pandangannya dari
bangku penonton.
“Okeh. Ayo!”
Setelah mbak Ika
berjalan mendahuluinya, Lila kembali mengarahkan pandangannya kearah tribun.
Pandangnya beradu dengan penguasa seluruh ruang dihatinya. Yang bertahta hampir
seumur hidup Lila.
Ray membalas
tatapannya.
Blouse cantik itu telah
berubah menjadi kemeja kebesaran yang dibiarkan tidak terkancing. Menutupi kaos
putih polos. Celana jins dengan aksen robek dibeberapa tempat telah
mengeliminasi rok megar bermotif cerah. Transformasi penampilan yang
menyilaukan mata Ray. Bahkan jepit rambut warna-warni itu telah digantikan
sebuah karet pengikat rambut yang hampir lepas.
Lila kecilnya
benar-benar berubah. Bukan lagi seorang gadis kecil manja yang harus dituruti
setiap kemauannya. Melainkan seorang wanita dewasa dengan segala keterampilan
yang tidak pernah dikuasai sebelumnya. Memasak, mengurus rumah, bahkan menjadi
penanggung jawab pertunjukan teater. Juga membuat dirinya terlihat baik-baik
saja.
Sebulan menjelang
pernikahannya, Oma pernah memintanya untuk menjaga Lila. Dengan atau tanpa
perasaan yang tulus, Ray harus bersama Lila. Hanya ini kesempatannya untuk
melihat Lila tetap hidup.
Tentu saja hal itu
menyisakan tanya dibenakknya. Tapi kecewa mendominasi hatinya sehingga
mengabaikan hal itu hingga sekarang.
Gadis itu hidup sangat
baik. Kemampuannya pulih dari kejadian buruk yang menimpanya sangat cepat. Ray
harus mengakui kehebatan itu. sehingga keinginanya untuk mengetahui keadaan
Lila saat mereka berpisah pun tenggelam.
Lila menghampiri Ray.
“Yuk, pulang.” Ajak
Lila.
“Tunggu!”
Ray bangkit lalu
berjalan mendekati Lila. Setelah berdiri dihadapannya, dia memandang lekat
kedalam wajah Lila. Lalu tangan kanan Ray bergerak kebelakang punggung Lila
seperti hendak memeluk. Namun kedua tangan itu hanya menarik lepas karet rambut
hampir terjatuh.
“Ahh biar aku sendiri,
mas.”
Suara Lila tenggelam
kedalam suara detak jantungnya yang bertalu-talu. Merasakan kedekatan yang
datang tiba-tiba. Lila bahkan bisa mencium aroma tubuh Ray yang telah bercampur
dengan keringat juga parfum.
Meski ingin menolak
tapi Lila membiarkan Ray menyentuh rambutnya. Mengikatnya kembali. Lalu
merapikan anak rambut yang jatuh dipelipisnya.
“Udah. Yuk, pulang.”
Lila bahagia. Sungguh.
Apapun maksud Ray bersikap manis padanya akan ia abaikan. Dia tidak ingin
merusak bahagianya yang sederhana. Meskipun ia tidak mampu meraih telapak
tangan Ray terayun bebas dan menyelipkan jemarinya disana.
Tidak apa. Semua ini
sangat cukup untuknya. Sangat cukup.
***
Lila masih berpesta
pora. Kembang api yang meletup-letup terus menggelitik perutnya. Bahagianya
memang sederhana. Sama sederhananya dengan wajahnya yang berseri-seri menutup
seluruh kelelehan tubuhnya.
Wajah cerah berseri itu
mulai berubah menjadi sebuah kernyitan heran saat mobil yang ditumpanginya
berbelok berlawanan dengan arah pulang. Tapi itu tidak membuatnya untuk
bertanya.
Keluar dari jalan
utama. Ray membelokkan mobil memasuki jalan arteri. Dikanan kirinya banyak
tumbuh pohon-pohon besar. Tidak hanya itu, kawasan ini juga dipenuhi dengan
kafe dan restoran. Yang menjual berbagai macam makanan khas mulai dari western,
chinness, japannes juga makanan tradisional. Ray mengarahkan mobilnya memasuki
pelataran kafe yang cukup ramai.
“Keberatan nggak kalau
kita makan malam disini?”
Ray sudah memarkir
mobil tapi masih membiarkan mesinnya menyala.
Lila masih menggerakkan
kepalanya ke segala arah. Mengamati tempat yang dimaksud Ray. Dinding kaca
besar yang sengaja dibangun untuk menunjukkan desain interior yang ada
didalamnya. Cahayanya dibuat temaram dengan lampu kuning yang mendominasi. Ada
kursi-kursi tinggi yang menghadap langsung bagaimana barista-barista
menghasilkan sebuah minuman kopi yang enak juga artistik. Lalu dindingnya
banyak diisi dengan hiasan dinding berbahan kayu.
“Tempatnya bagus.” Lila
mengucapkannya jujur. “Memangnya tempat kaya gini jual makanan berat? Perutku
nggak cukup klo cuma diisi kentang goreng.”
“Tenang saja. Bimo baru
saja bikin menu baru khusus untuk dinnernya orang Indonesia.” Ray tersenyum lalu
mematikan mesin mobilnya.
“Bimo?” Ucap Lila pelan
yang tidak didengar Ray karena dia sudah membuka pintu mobil.
“Tunggu!”Lila menahan
tangan Ray yang akan keluar. “Ehhmm…bajuku…”
Ray mengamati
penampilan Lila. Tapi dia tidak melihat ada yang salah. “Kenapa?”
“Aku nggak mau salah
kostum lagi kaya makan malam kita dulu.” Lila mengucapkannya dengan menunduk
dan terbata-bata. Jemarinya bahkan saling meremas-satu sama lain.
“Nggak salah kostum
kok. Ayo!”
Lila menepuk-nepuk
pakaiannya. Seperti sedang menghilangkan debu yang menumpuk setelah
berbulan-bulan tidak dipakai. Tak lupa dia juga merapikan ikatan rambutnya.
Dari kaca spion mobil Lila memastikan penampilannya baik-baik saja.
Acara makan malam
memang membuatnya cukup trauma. Kejadian salah kostum itu benar-benar memalukan
dirinya. Belum lagi saat memperhatikan pengunjung yang lebih dulu datang
rata-rata adalah orang-orang yang cukup rapi, meski tidak formal. Dan
orang-orang yang masih mengenakan pakaian kantor. Lila memang baru saja selesai
bekerja. Tapi jenis pakaian kerjanya bukan blouse yang ditutup blazer dengan
rok atau celana. Melainkan kemeja kebesaran dengan celana jins belel. Bukan
tipe orang kantoran.
Setelah dirasa cukup
Lila mengejar Ray yang sudah berjalan lebih dulu. Saat sudah berdampingan, Lila
melihat seseorang melambai kearahnya. Lebih tepatnya kearah Ray.
Rupanya mereka sudah
kenal. Mungkin juga dekat. Melihat cara mereka menyapa yang tidak hanya sekedar
bersalaman tapi juga saling merangkul.
“Halo Lila. Senang
akhirnya bisa ketemu kamu secara langsung.”
Pria ini juga
mengenalnya. Yang membuat Lila semakin heran.
“Halo juga.” Lila
tersenyum kikuk saat membalas uluran tangannya.
“Gue Bimo yang punya
kafe ini. Ray pasti sering cerita soal
gue.” Bimo tertawa lebar dengan kadar kepercayaan diri maksimal.
“Tentu. Ray baru saja
menyebutnya. Sekali.” Lila hanya mengucapkan itu dalam hati. Lila ikut tertawa.
Entah apa yang sedang ia tertawakan.
“Kita kesini karena
penasaran sama menu baru di kafe Lo.”
“Oh harus itu. kalian
harus coba. Dan gue udah siapin tempat special buat kalian.” Bimo berjalan
untuk menunjukkan tempat khusus yang dia maksud. “Meja disamping kaca yang
menghadap jalanan. Gue udah hapal selera Lo, Mir.”
Suara jangkrik
tiba-tiba terdengar saat ketiganya merasakan suasanan yang tiba-tiba senyap
karena Bimo salah menyebut nama. Lalu dia tertawa keras untuk mencairkan
suasana aneh itu.
“Kalian bisa lihat
menu-menu lain. Gue siapin menu utamanya dulu.”
Saat Ray sibuk dengan
buku menu hanya agar terlihat sibuk atas awkward moment yang baru saja terjadi
Lila malah sebaliknya. Dia sedang menjelajah setiap detail dari ruangan yang
ada di kafe tersebut. Lila bahkan membaca setiap tulisan-tulisan yang
menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Ada yang sekedar ditulis ada juga yang
memang diukir.
Kepalanya bahkan
bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang sedang diputar. Posisi meja yang
mereka tempati saat ini memang sangat strategis. Pemandangan jalanan saat ini
yang basah terkena hujan dan bias air yang terkena cahaya lampu jalanan.
Benar-benar menyenangkan. Pantas saja meja yang berdampingan dengan kaca lebih
dulu penuh.
“Asik banget ya
tempatnya. Aku suka.” Lila tersenyum. Membuat cekungan di pipinya terlihat.
Manis dan juga tulus.
Kejadian malam ini
terlalu berharga bila ditukar dengan secercah gelap yang menyelinap kedalam
hatinya. Bukan tidak menyadari saat Bimo salah menyebut namanya. Yang sangat
jelas menunjukkan siapa Almira sebenarnya.
Tapi nanti, akan datang
waktu saat Lila harus mengurus kegelapan yang diam-diam menyelinap masuk dan
berkumpul semakan pekat didalam hatinya. Dan membuatnya kehilangan arah. Saat
ini dia hanya akan menikmati sisi terang yang masih menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar