Kamis, 18 April 2019

# cinta # Fiction

Remind Me_sepuluh


Lebih dari dua jam Lila menghabiskan waktu dikamar mandi. Sudah puluhan kali dia memakai sabun, menggosok-gosok badan, membilasnya. Mengulanginya lagi sampai sabun yang ada di dalam botol habis. Pun dilakukan dengan rambut panjangnya. Nasib yang sama pun menerpa botol sampo yang kini telah kosong.
Lila merasa udara dingin menusuk-nusuk kulitnya. Bahkan dibeberapa tempat terasa perih. Mungkin karena terlalu keras saat menggosok sehingga ada kulit yang terkelupas.
“Kamu habis mandi? Keramas?”
Ray yang duduk menyandar diatas tempat tidur menatap Lila dengan sorot mata tajam juga heran.
“Mas Ray belum tidur?”
Lila menyunggingkan senyum. Senyum tulus seperti saat dia sedang bahagia.
Ray masih memandang Lila. Menunggu penjelsan.
“Sudah malam, Mas. Hampir jam sebelas malam. Sebaiknya kita tidur.”
Lila menyusul masuk kedalam selimut. Masih dengan jubah mandi yang dipakainya. Ia terlalu lelah hanya untuk menukarnya dengan piaya tidur yang nyaman. Kepalanya juga mulai berdenyut.
Lampu utama sudah dipadamkan. Berganti dengan lampu tidur yang lebih temaram. Menarik mata yang terbuka untuk segera tertutup. Rapat.
Tidak butuh waktu lama bagi Ray untuk terlelap. Mungkin karena pengaruh obat yang diminumnya tadi. Sementara Lila harus berjuang lebih lagi. Selain udara dingin menusuk yang dihasilkan pendingin ruangan juga kepalanya terasa seperti mau pecah.
Lila bangun. Sepertinya dia harus tidur di tempat lain. Ia tidak mungkin mematikan AC. Mungkin akan menyebabkan Ray menjadi tidak nyaman karena tidak biasa.
Kamar tamu dipilih Lila untuk menghabiskan sisa malam. Sudah mendekati dini hari. Tapi disana, ia juga tidak menemukan sebuah kenyamanan yang mampu membuatnya terlelap. Lila hanya setengah berbaring dengan kepalanya menyandar pada headboard.
Kedua matanya terus menatap sebuah kanvas yang tertutup kain. Lalu ke sebuah tabung berisi berbagai macam kuas dengan berbagai macam ukuran.
Suatu ketika Kakek memberinya sebuah kuas setelah kematian orang tuanya.
“Kalau tangis dan kata tidak cukup mengungkapkan perasaanmu, gunakan kuas ini untuk melukiskannya.”
Semenjak saat itu Lila belajar melukis. Menggoreskan tiap rasa dalam hatinya. Dengan begitu perasaannya sedikit lebih ringan.
Sayangnya semua itu tidak berguna lagi. Jemarinya tak lagi mampu menggerakkan kuas. Otak kananya seperti sedang dalam masa hibernasi panjang sehingga kemampuannya saat ini hanya satu, menangis.
Derai air mata yang mengalir deras. Sederas air terjun Niagara yang tak pernah surut. Hanya musim dingin yang membekukan yang mampu membuatnya berhenti mengalir. Sementara tak ada musim yang berbeda dalam hidup Lila. Musim kesedihan yang berlangsung sepanjang hidupnya. Hanya kadarnya saja yang berubah tapi tak pernah tergantikan dengan musim yang lain. Ia bahkan lupa pernah bahagia.

***

Hari ini adalah hari terakhir persiapan pementasan yang akan dilakukan besok malam. Ada banyak orang yang berdatangan terutama mereka yang akan menjadi pengisi acara. Gladi resik di lakukan di studio pementasan.
Saat-saat seperti ini yang sangat ditunggu Lila. Merasakan debar-bebar menegangkan. Menanti sebuah pertunjukan besar yang menghadirkan kepuasan saat penonton pulang.  
Setiap detail persiapan tidak luput dari perhatian Lila. Mulai dari property, tamu undangan, Lighting, pengatur music, bahkan vendor yang bertangggung jawab terhadap konsumsi panitia dan pengisi acara pun Lila sendiri yang memastikan semuanya tersusun rapi. Sekarang Lila sedang duduk dikursi penonton untuk melihat proses gladi bersih.
“Hari ini semangat sekali, La?” Mbak Ika duduk disamping Kaylila.
“Semua orang juga semangat, Mbak. Hari ini kan persiapan terakhir.” Kaylila membuat kerutan didahinya.
“Mbak tahu. Tapi tidak biasanya kamu mengecek setiap pos untuk pertunjukan besok. Anak-anak tadi banyak yang protes karena kena teguran sama kamu”
“Lalu?”
“Ya, mbak harap ini memang bentuk tanggungjawab kamu sebagai owner di galeri ini. Bukan sebagai pelarian atas masalah yang sedang kamu hadapi.”
Mbak Ika benar. Lila memang sedang membutuhan hal lain untuk mengalihkan pikirannya. Kejadian semalam seperti sedang membuka kotak Pandora. Segala perasaan negative menghampiri dirinya satu persatu. Dan menyisakan satu hal yang membuatnya tetap bertahan. Harapan.
“Mbak Lila” Suara pak yadi, satpam yang bertugas menjaga keamanan .
“Iya pak?”
“Ada Mas Ray di lobi.”
“Hah?”Lila membuka mulutnya cukup lama. “Hhmm…tolong bilang tunggu sebentar ya”
Pak Yadi pun pergi terlebih dahulu.
“Ngapain Ray kesini? Tumben banget. Kalian lagi berantem?” Mbak Ika mencecar Lila atas ketidakwajaran menurut versinya
Bukan hanya mbak Ika yang merasa heran atas kehadiran Ray di galeri. Tapi juga Lila. Selama menikah belum sekalipun Ray menginjakkan kaki di bangunan kesenian tersebut.
“Mana Lila tahu mbak? Lila aja masih disini sama mbak belum ketemu Ray. “
Menghentikan perdebatan mengenai alasan Ray datang, Lila berjalan diikuti mbak Ika. Didalam hati Lila terus mencari sesuatu yang memungkinkan Ray untuk datang. Dan tidak satu pun cukup alasan.
Lila menemukan Ray berada di lobi sedang melihat-lihat beberapa lukisan yang dipajang disana. Yang sebagian besar adalah miliknya. Dan beberapa adalah milik kedua orang tuanya. Dan semuanya hanya untuk di lihat. Tidak untuk kepentingan lain.
“Mas?”
Rupanya Ray benar-benar menunggu Lila. Hanya sekali panggil saja langsung menoleh. Dengan kemeja dikeluarkan dan dasi yang sudah dilepas Ray datang. Juga dengan wajah lelah usai bekerja.
“Hey.”
“Tumben?”
Ray hanya mengedikkan bahu.
“Kenalin ini mbak Ika.”
“Hallo, senang akhirnya bisa ketemu langsung sama kamu. Terakhir kali kita ketemu pas resepsi kalian” Mbak Ika menjabat tangan Ray. “Take your time. Mbak, tinggal dulu ya.” Mbak menepuk bahu Lila sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Ada perlu apa ya mas datang ke sini?” tanya Lila setelah mbak Ika pergi.
“Nggak ada. Kerjaanku udah beres dan bisa pulang lebih awal. Sekalian jemput kamu juga.”
“Jemput?” Lila spontan mengucapkannya dengan cukup keras hanya untuk mempercayai pendengarannya tidak sedang bermasalah. “Maaf, kelepasan.”
“Nggak pa-pa. Mungkin kamu juga kaget aku tiba-tiba datang kesini.”
“Banget.”
Keduanya pun terdiam. Kehilangan bahan pembicaraan.
Lila berdeham. “Sepertinya aku belum bisa pulang sekarang. Aku masih …”
“Aku tunggu.” Ray memotong ucapan Lila. “Disana. Boleh?” Lalu menunjuk sebuah sofa yang ada di salah satu sudut lobby.
Percakapannya dengan Lila semalam setidaknya membuatnya kembali menapak pada bumi. Tak lagi melambungkan harapan yang tidak pasti. Tetapi mencoba melihat lebih dekat apa yang nampak di hadapannya. Saat yang dekat saja tak bisa dimiliki bagaimana dia bisa mengejar yang jauh?
Ray hanya mencoba realistis. Menjalani pernikahan sewajarnya. Mencoba semampunya. Andai semua itu tetap mengantarnya pada perpisahan. Maka dia tak lagi merasa bersalah pada Lila.

****

Seorang laki-laki berjalan memutar dengan punggungnya yang dibongkokkan dan sebelah tangannya memegang pinggang. Bejalan berlawanan arah dari laki-laki lain dengan tubuh yang kurus dan tinggi tak lupa kedua tangannya diikat kebelakang dan dengan muka yang diangkat seperti sedang berpikir. Keduanya berjalan berjalan membentuk lingkaran. Terus memutar hingga lingkaran tersebut mengecil dan keduanya bertemu dengan sebuah tabrakan lucu yang mengundang decak tawa.
Meski hanya sebuah geladi resik masing-masing pemain melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pementasan drama musical yang mengangkat kisah punakawan itu di kemas dalam bentuk komedi tanpa meninggalkan unsure utama pembangun cerita.
Suara tawa masih terdengar dari bangku penoton meski adegan telah berganti. Ray menjadi salah yang menyumbangkan tawanya. Dia benar-benar sedang menikmati pertunjukkan.
Lila bisa merasakan kegembiraan yang sama. Bukan dari atas panggung melainkan dari tribun penonton. Tawa itu masih menggema di telingannya. Barisan gigi yang terlihat, sudut mata yang mengecil dan guratan-guratan kecil  diwajahnya. Lila melihat semuanya. Mata hitamnya yang mengecil saat tertawa. Dan akan menyorot tajam saat amarah menguasai.
Sekejap itu pula Lila melupakan tahta yang tidak bisa ia miliki. Meski secara hukum pria itu adalah suaminya. Tapi singgasana ratu di hati Ray bukan miliknya. Ada orang lain yang sudah merebutnya. Menghapus setiap jejak dirinya.
“La, balik yuk? Anak-anak juga udah banyak yang pulang. Tinggal bagian property aja yang lagi beres-beres.” Mbak Ika membuat Lila berkedip. Mengalihkan pandangannya dari bangku penonton.
“Okeh. Ayo!”
Setelah mbak Ika berjalan mendahuluinya, Lila kembali mengarahkan pandangannya kearah tribun. Pandangnya beradu dengan penguasa seluruh ruang dihatinya. Yang bertahta hampir seumur hidup Lila.
Ray membalas tatapannya.
Blouse cantik itu telah berubah menjadi kemeja kebesaran yang dibiarkan tidak terkancing. Menutupi kaos putih polos. Celana jins dengan aksen robek dibeberapa tempat telah mengeliminasi rok megar bermotif cerah. Transformasi penampilan yang menyilaukan mata Ray. Bahkan jepit rambut warna-warni itu telah digantikan sebuah karet pengikat rambut yang hampir lepas.
Lila kecilnya benar-benar berubah. Bukan lagi seorang gadis kecil manja yang harus dituruti setiap kemauannya. Melainkan seorang wanita dewasa dengan segala keterampilan yang tidak pernah dikuasai sebelumnya. Memasak, mengurus rumah, bahkan menjadi penanggung jawab pertunjukan teater. Juga membuat dirinya terlihat baik-baik saja.
Sebulan menjelang pernikahannya, Oma pernah memintanya untuk menjaga Lila. Dengan atau tanpa perasaan yang tulus, Ray harus bersama Lila. Hanya ini kesempatannya untuk melihat Lila tetap hidup.
Tentu saja hal itu menyisakan tanya dibenakknya. Tapi kecewa mendominasi hatinya sehingga mengabaikan hal itu hingga sekarang.
Gadis itu hidup sangat baik. Kemampuannya pulih dari kejadian buruk yang menimpanya sangat cepat. Ray harus mengakui kehebatan itu. sehingga keinginanya untuk mengetahui keadaan Lila saat mereka berpisah pun tenggelam.
Lila menghampiri Ray.
“Yuk, pulang.” Ajak Lila.
“Tunggu!”
Ray bangkit lalu berjalan mendekati Lila. Setelah berdiri dihadapannya, dia memandang lekat kedalam wajah Lila. Lalu tangan kanan Ray bergerak kebelakang punggung Lila seperti hendak memeluk. Namun kedua tangan itu hanya menarik lepas karet rambut hampir terjatuh.
“Ahh biar aku sendiri, mas.”
Suara Lila tenggelam kedalam suara detak jantungnya yang bertalu-talu. Merasakan kedekatan yang datang tiba-tiba. Lila bahkan bisa mencium aroma tubuh Ray yang telah bercampur dengan keringat juga parfum.
Meski ingin menolak tapi Lila membiarkan Ray menyentuh rambutnya. Mengikatnya kembali. Lalu merapikan anak rambut yang jatuh dipelipisnya.
“Udah. Yuk, pulang.”
Lila bahagia. Sungguh. Apapun maksud Ray bersikap manis padanya akan ia abaikan. Dia tidak ingin merusak bahagianya yang sederhana. Meskipun ia tidak mampu meraih telapak tangan Ray terayun bebas dan menyelipkan jemarinya disana.
Tidak apa. Semua ini sangat cukup untuknya. Sangat cukup.

***

Lila masih berpesta pora. Kembang api yang meletup-letup terus menggelitik perutnya. Bahagianya memang sederhana. Sama sederhananya dengan wajahnya yang berseri-seri menutup seluruh kelelehan tubuhnya.
Wajah cerah berseri itu mulai berubah menjadi sebuah kernyitan heran saat mobil yang ditumpanginya berbelok berlawanan dengan arah pulang. Tapi itu tidak membuatnya untuk bertanya.
Keluar dari jalan utama. Ray membelokkan mobil memasuki jalan arteri. Dikanan kirinya banyak tumbuh pohon-pohon besar. Tidak hanya itu, kawasan ini juga dipenuhi dengan kafe dan restoran. Yang menjual berbagai macam makanan khas mulai dari western, chinness, japannes juga makanan tradisional. Ray mengarahkan mobilnya memasuki pelataran kafe yang cukup ramai.
“Keberatan nggak kalau kita makan malam disini?”
Ray sudah memarkir mobil tapi masih membiarkan mesinnya menyala.
Lila masih menggerakkan kepalanya ke segala arah. Mengamati tempat yang dimaksud Ray. Dinding kaca besar yang sengaja dibangun untuk menunjukkan desain interior yang ada didalamnya. Cahayanya dibuat temaram dengan lampu kuning yang mendominasi. Ada kursi-kursi tinggi yang menghadap langsung bagaimana barista-barista menghasilkan sebuah minuman kopi yang enak juga artistik. Lalu dindingnya banyak diisi dengan hiasan dinding berbahan kayu.
“Tempatnya bagus.” Lila mengucapkannya jujur. “Memangnya tempat kaya gini jual makanan berat? Perutku nggak cukup klo cuma diisi kentang goreng.”
“Tenang saja. Bimo baru saja bikin menu baru khusus untuk dinnernya orang Indonesia.” Ray tersenyum lalu mematikan mesin mobilnya.
“Bimo?” Ucap Lila pelan yang tidak didengar Ray karena dia sudah membuka pintu mobil.
“Tunggu!”Lila menahan tangan Ray yang akan keluar. “Ehhmm…bajuku…”
Ray mengamati penampilan Lila. Tapi dia tidak melihat ada yang salah. “Kenapa?”
“Aku nggak mau salah kostum lagi kaya makan malam kita dulu.” Lila mengucapkannya dengan menunduk dan terbata-bata. Jemarinya bahkan saling meremas-satu sama lain.
“Nggak salah kostum kok. Ayo!”
Lila menepuk-nepuk pakaiannya. Seperti sedang menghilangkan debu yang menumpuk setelah berbulan-bulan tidak dipakai. Tak lupa dia juga merapikan ikatan rambutnya. Dari kaca spion mobil Lila memastikan penampilannya baik-baik saja.
Acara makan malam memang membuatnya cukup trauma. Kejadian salah kostum itu benar-benar memalukan dirinya. Belum lagi saat memperhatikan pengunjung yang lebih dulu datang rata-rata adalah orang-orang yang cukup rapi, meski tidak formal. Dan orang-orang yang masih mengenakan pakaian kantor. Lila memang baru saja selesai bekerja. Tapi jenis pakaian kerjanya bukan blouse yang ditutup blazer dengan rok atau celana. Melainkan kemeja kebesaran dengan celana jins belel. Bukan tipe orang kantoran.
Setelah dirasa cukup Lila mengejar Ray yang sudah berjalan lebih dulu. Saat sudah berdampingan, Lila melihat seseorang melambai kearahnya. Lebih tepatnya kearah Ray.
Rupanya mereka sudah kenal. Mungkin juga dekat. Melihat cara mereka menyapa yang tidak hanya sekedar bersalaman tapi juga saling merangkul.
“Halo Lila. Senang akhirnya bisa ketemu kamu secara langsung.”
Pria ini juga mengenalnya. Yang membuat Lila semakin heran.
“Halo juga.” Lila tersenyum kikuk saat membalas uluran tangannya.
“Gue Bimo yang punya kafe ini.  Ray pasti sering cerita soal gue.” Bimo tertawa lebar dengan kadar kepercayaan diri maksimal.
“Tentu. Ray baru saja menyebutnya. Sekali.” Lila hanya mengucapkan itu dalam hati. Lila ikut tertawa. Entah apa yang sedang ia tertawakan.
“Kita kesini karena penasaran sama menu baru di kafe Lo.”
“Oh harus itu. kalian harus coba. Dan gue udah siapin tempat special buat kalian.” Bimo berjalan untuk menunjukkan tempat khusus yang dia maksud. “Meja disamping kaca yang menghadap jalanan. Gue udah hapal selera Lo, Mir.”
Suara jangkrik tiba-tiba terdengar saat ketiganya merasakan suasanan yang tiba-tiba senyap karena Bimo salah menyebut nama. Lalu dia tertawa keras untuk mencairkan suasana aneh itu.
“Kalian bisa lihat menu-menu lain. Gue siapin menu utamanya dulu.”
Saat Ray sibuk dengan buku menu hanya agar terlihat sibuk atas awkward moment yang baru saja terjadi Lila malah sebaliknya. Dia sedang menjelajah setiap detail dari ruangan yang ada di kafe tersebut. Lila bahkan membaca setiap tulisan-tulisan yang menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Ada yang sekedar ditulis ada juga yang memang diukir.
Kepalanya bahkan bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang sedang diputar. Posisi meja yang mereka tempati saat ini memang sangat strategis. Pemandangan jalanan saat ini yang basah terkena hujan dan bias air yang terkena cahaya lampu jalanan. Benar-benar menyenangkan. Pantas saja meja yang berdampingan dengan kaca lebih dulu penuh.
“Asik banget ya tempatnya. Aku suka.” Lila tersenyum. Membuat cekungan di pipinya terlihat. Manis dan juga tulus.
Kejadian malam ini terlalu berharga bila ditukar dengan secercah gelap yang menyelinap kedalam hatinya. Bukan tidak menyadari saat Bimo salah menyebut namanya. Yang sangat jelas menunjukkan siapa Almira sebenarnya.
Tapi nanti, akan datang waktu saat Lila harus mengurus kegelapan yang diam-diam menyelinap masuk dan berkumpul semakan pekat didalam hatinya. Dan membuatnya kehilangan arah. Saat ini dia hanya akan menikmati sisi terang yang masih  menyenangkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates