Senin
siang saya mendapat kiriman gambar dari suami. Sebuah jalan raya dengan langit
berkabut. Dan hari ini melihat video unggahan kawan di facebook. Langit Pekanbaru
benar-benar tertutup kabut.
Mungkin
saya akan mengira gambar itu diambil dipagi hari di sebuah wilayah pegunungan.
Mungkin abang, panggilan untuk suami, sedang bertugas disana. Sayangnya tidak.
Kabut yang menyelimuti langit itu bukan uap air melainkan asap. Sebuah
aktivitas yang mengawinkan bahan bakar (kayu, daun, serasah, kertas dll) dengan
panas dan menghasilkan api dan asap.
Benar,
saat ini sedang terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut kalau di tempat kerja
abang. Beliau saat ini bertugas di Riau, salah satu provinsi dengan jumlah area
terbakar paling luas di seluruh provinsi di Indonesia, mencapai 30 ribu hektar.
Seminggu
ini abang akan melakukan pendampingan kepada masyarakat, terutama yang berada
di wilayah kerjanya. Tak terbayangkan bagaimana rasanya bekerja sambil
mengenakan masker, beraktifitas sehari-hari dikelilingi kabut bahkan bernafas
menghirup udara bercampur asap.
Memang
bukan hal baru bila datang musim kemarau maka datang pula musibah kebakaran.
Hanya saja tahun ini menjadi tahun yang paling banyak mendapat kiriman kabar
karhutla dari abang. sedih rasanya. Antara kuatir kondisi suami juga khawatir
sampai kapan kebakaran itu berlangsung. Bencana apalagi yang akan terjadi setelahnya. Jujur saya
itu selalu khawatir tiap mendengar kabar bencana. Miris, apalagi kalau ada
campur tangan manusia.
Kabar
terbaru dari BMKG menyebutkan bahwa tahun ini musim hujan datang terlambat.
Artinya cuaca panas dan kering masih bertahan untuk beberapa waktu kedepan. Itu
juga mendukung bertahannya api di areal terbakar, terutama gambut.
Gambut
itu berbeda. Orang mengira gambut itu adalah yang nampak diatas permukaan.
Sebenarnya fokus utama gambut itu justru berada dibawah permukaan. Makanya
orang lebih banyak menyebutnya dengan lahan gambut.
Gambut
sendiri merupakan hasil dari sampah organik seperti daun, ranting yang
mengalami proses pelapukan selama ratusan tahun. Disebut lahan gambut bila
memiliki ketebalan lebih dari 50 cm. Kurang dari itu disebut sebagai tanah
bergambut. Uniknya lagi lahan gambut ini selalu tergenang air. Semakin tinggi
permukaan air maka tingkat rawan terbakar semakin kecil.
Kalau
teori ini sesuai dengan kondisi dilapangan maka kebakaran lahan gambut adalah
keniscayaan. Namun kenyataannya, lahan gambut di Indonesia banyak yang sengaja
dikeringkan untuk dimanfaatkan sumberdaya diatasnya atau diubah menjadi lahan
pertanian. Praktik-praktik seperti ini tidak hanya dilakukan oleh oknum
perorangan saja melainkan kelompok-kelompok yang terorganisir.
Saya
pernah menginjakkan kaki diatas lahan gambut yang terbuka. Benar-benar tidak
terlihat seperti lahan gambut karena kering dan tidak ada vegetasi apapun diatasnya. Memang
lahan itu sedang dalam proses perbaikan atau reklamasi. Mulai dengan mengembalikan
kondisi agar tergenang dan juga revegetasi, menanam kembali pohon-pohon
endemiknya.
Dua
tahun lalu saya sudah meminta abang untuk berpikir ulang ketika ditempatkan di
Riau. Bukan maksud melawan takdir hanya mengamati secara berulang, kalau orang
jawa menyebutnya ilmu titen. Bahwa kebakaran akan terjadi lagi disana. Artinya beban
kerja disana akan lebih berat dibandingkan tempat sebelumnya. Yang bermakna
kesempatan pulang berkumpul bersama keluarga pun akan semakin kecil. Tahun
kedua di Riau jawabannya. Jumlah kawasan yang menjadi fokus kerja tahun ini
meningkat dua kali lipat. Ditambah musibah ini.
Berdasarkan penelitian bahwa lebih dari 40%
lahan gambut di Indonesia terletak di pulau Sumatera. Provinsi Riau salah satu dari 3
provinsi yang memiliki lahan gembut selain Jambi dan Sumatera Selatan. Pun
menjadi lokasi terbesar terjadinya karhutla beberapa tahun silam hingga menarik
perhatian dunia.
Mungkin
inilah yang di sebut bahwa nurani manusia itu suci. Tahun ini menjadi
pengalaman berharga untuk kami terkhusus abang yang berada langsung di lokasi
kejadian. Bertahun-tahun lalu kami duduk bersama mempelajari salah satu
ekosistem unik, gambut, yang menjadi kekayaan bangsa. Yang terus meminta banyak
pihak untuk tak hanya memanfaatkan tapi juga mengkaji sekaligus melindungi
ciptaan Tuhan ini.
Abang,
mungkin keberadaanmu menjadi perantara kepedulian kami menanggapi musibah ini.
Tiap terjadi musibah serupa kami mungkin hanya bisa bersimpati dan berempati.
Berbeda dengan tahun ini, karena abang disana
Abang,
tugasmu sungguh berat. Bersama kawan-kawan menjadi garda terdepan penjaga ekosistem
gambut. Semoga abang dan kawan-kawan lain pejuang gambut tetap semangat, diberi
kekuatan untuk menyelesaikan persoalan lingkungan yang seolah tak pernah usai.
Kami disini hanya bisa berdoa, semoga Allah segera turunkan hujan untuk
memadamkan api yang membara jauh dibawah sana. Sampaikan salam untuk
saudara-saudara yang tak pernah kami kenal. Semoga selalu dalam lindungan
Allah.
Mungkin
kesulitan kakak menjawab pertayaan tentang pekerjaan ayahnya terjawab sudah,
penjaga hutan.
Referensi
www.forestdigest.com
Wetlands.or.id
Pantaugambut.id
Iya ya mbak terimakasih banget mengingat kan kembali saya
BalasHapusMasya Allah. Semoga selalu berada dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa ya, Mbak. Pun di Kalimantan saat ini, Mbak. Musim kemarau ini, kebakaran hutan banyak terjadi dan asap mulai menyebar luas.
BalasHapusDulu aku pernah mengurus ijinnya orang-orang asing yang mau dikirim ke Riau dalam rangka memadamkan titik-titik api di Riau. Saat itu mereka didatangkan oleh BNPB. Aku yang tinggal di sana aja sedih banget karena kebakaran terus berulang. Apakah nggak ada program jangka panjang ya untuk mencegah terjadinya lagi kebakaran hutan ke depan?
BalasHapusHutan rusak, belum lagi penduduk setempat yang pasti sangat terganggu kesehatan pernapasannya, ya. Teman-temanku malah anak-anaknya diliburkan dari sekolah. Nah, kan pendidikan terganggu juga. Merembet kemana-mana jadinya.
Semoga pak suami senantiasa dilindungi dan tetap sehat di sana ya, Mbak.
Semoga selalu diberi kekuatan dan kesehatan suaminya, ya mbak. Aamiin.
BalasHapusTiap lihat update kondisi di Riau itu bener-bener bikin sesak napas, nggak kebayang bagaimana kondisi yang tinggal di sana. Sejauh ini teman-temanku juga selalu mengeluhkan penanganan yang sepertinya nggak ada kemajuan. Tapi untuk pindah juga bukan solusi menurut mereka. Jadi lebih pada aware saja kalau sudah masuk kemarau seperti sekarang. Miris juga kalau sudah jadi semacam bencana tahunan gini.
BalasHapusAku tadinya gak tahu kalo ternyata sekarang Riau berkabut lagi. Tapi beberapa hari lalu baru baca beritanya. Masya Allah, sedih rasanya. Apa kesadaran masyarakat kita memang minim sekali yaa untuk masalah penjagaan hutan ini... Kenapa bisa terjadi berulang kali?? sedih akutu mbak. Semoga dapat segera tersel;esaikan yaaa. Semoga suaminya juga sehat senantiasa
BalasHapusSemoga suaminya sehat selalu dan dalam perlindungan-Nya. Menjaga hutan tugas mulia yang tentu perlu keikhlasan termasuk dari keluarga yang ditinggal di rumah. Selalu semangat ya Mbak
BalasHapusSemoga bencana ini segera teratasi.
Sedih ya mba rasanya kalau liat kebakaran hutan dan lahan yang nggak pernah selesai. Semoga suaminya selalu dalam perlindungan Tuhan ya mbaa....
BalasHapusYa Allah Mba, semoga semuanya baik-baik saja ya di sana, dan suaminya selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan yaa
BalasHapusKebakaran hutan seperti sudah jadi sahabat" untuk Riau, hiks. Saya yg awam ini tidak bisa berbuat banyak kecuali mendoakan agar masalah itu cepat selesai: dimulai dari akar masalahnya.
BalasHapusBarakallah untuk suami Mbak yg berjuang di sana. Semoga segala urusan beliau dimudahkan oleh Allah SWT. Aamiin.
Semoga Suaminya selalu dalam lindungan Allah ya, Mbak. Kemarau kali ini memang agak terasa lama banget mbak. Di Lamongan aja puanas banget. Apalagi Di Riau ya. Sabar ya mbak
BalasHapusMiris, sedih banget begitu tahu keadaan di Riau. Salah seorang teman yang tinggal di sana mengabarkan buruknya keadaan di sana. Asap sudah mengganggu aktivitas warganya hiks
BalasHapusSemoga kebakaran hutan itu segera bisa diatasi dan suaminya selalu sehat, ya, Mbak ...
Smg semua baik2 ya mba...jaga kesehatan ...
BalasHapusAduh, saya sedih bacanya... semoga suami mbak dilindungi sama Allah ya... dan jerih payah orang-orang yang mengedukasi hidup sehat, pekerja reklamasi lahan gambut akan menghasilkan Indonesia yang lebih hijau dan udara yang lebih bersih
BalasHapusMembaca dan mendengar rekan-rekan saya di sana akan kondisi di Riau juga membuat saya sedih. Sebagai seorang sarjana kehutanan yang belum dapat memberikan kontribusi lebih, rasanya tetap tertohok.
BalasHapusSemoga keadaan segera membaik, dan sehat semua. Aamiin.
Semoga suaminya selalu dalam lindungan Allah Swt ya, Mbak. Kami di Palembang juga terjadi kebakaran hutan. Suamiku beberapa kali membantu sanak family memadamkan api di lahan mereka. Kalo lahan gambut itu, walau di permukaan apinya udah dipadamkan, tapi di bagian bawah masih ada bara api yang menyala.
BalasHapus