Senin, 02 September 2019

# cinta # Fiksi

Rebound : Di Waktu Yang Tepat



Kemeja putih kasual itu sudah terkancing rapi. Menutup dada bidang yang selalu menarik perhatian wanita saat menatap Satya. Setiap perempuan akan menghidupkan imaginasi liarnya untuk bersandar disana.
Putih adalah dresscode yang Diar pilih untuk dikenakan saat lamaran. Dia menolak saat ibu memberi saran untuk mengenakan batik saja. Satya hanya bisa mengikuti meski dia sendiri bosan mengenakan warna tersebut. terlalu banyak warna putih dalam hari-harinya, seragam putih dan awan putih.
Satya berjalan ke halaman belakang untuk bersiap. Disaat itulah ia melihat ibunya sedang berbincang akrab sekali dengan seorang wanita sebaya ibunya.
“Siapa, Bu?” Satya menghampiri saat wanita yang akrab itu pergi.
“Bu Ayu, yang masak semua hidangan untuk hari ini. Rendang buatannya enak banget. Pasti keluarga Rasyid suka. Kamu tumben ganteng.” Ibu menatap Satya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Astaga. Ibu itu satu-satunya wanita yang tidak mengakui ketampanan Satya.”
“Kalau benaran ganteng harusnya kamu udah punya calon untuk dikenalkan ke ibu.” Jawab ibu sambil meninggalkan Satya.
Barangkali pribadi ekstrovert ini genetic bawaan dari ibunya. Karena Ayahnya sendiri cenderung pendiam. Saat berbicara akan langsung pada tujuan. Tanpa prolog apalagi basa basi tak tentu arah.
“Memangnya ibu sudah siap punya menantu?”
“Kamu lupa kalau hari ini adikmu mau dilamar?”
“Beda dong, Bu. Rasyid kan menantu laki-laki.” Satya berjalan berdampingan dengan ibunya. Tetapi lagkahnya tiba-tiba terhenti karena ibunya menghentikan langkah.
“Jadi kapan ibu sama ayah bersiap melamar?”
 “Ehh itu keluarga Rasyid kayanya udah datang deh.” Satya berjalan mendahui ibunya.
Suara mobil memasuki halaman rumah menyelamatkan Satya dari kejaran ibunya.  Orang tua Satya terutama ibunya tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk segera menikah. Bahkan menyinggung tentang calon pasangan pun hampir tidak pernah. Meski usia mereka sudah cukup untuk berumah tangga. Tapi tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu pun membuat Satya kehilangan kata. Menghindar menjadi salah cara paling ampuh untuk lari dari pertanyaan ibunya.
Satya berdiri berjajar dengan keluarga besar untuk menyambut rombongan calon adik iparnya. Menyalami satu persatu serta mengantarnya menuju halaman belakang yang akan menjadi tempat pertemuan kedua keluarga.
Hari ini Diar terlihat sangat cantik dengan kebaya berwarna putih. Sentuhan riasan tipis semakin mempertegas wajah jawanya yang anggun. Senyum yang sedari tadi tersunggung menjelaskan betapa bahagianya Diar hari ini.
Dalam hati Satya bersyukur adik kesayangannya itu telah menemukan calon pendamping hidup. Dan Satya juga yakin laki-laki tersebut akan menyayangi dan membahagiakan Diar seperti ia dan ayahnya lakukan selama ini.
Ibu menggenggam tangan Satya saat ibu Rasyid menyematkan sebuah cincin di jari manis Diar. Bahkan ribuan kata yang selalu keluar dari mulut ibunya tak terdengar sama sekali. Hanya setitik air mata bahagia yang langsung diseka oleh ibunya.
Mungkin ibunya pun memimpikan hal serupa. Berada diposisi calon besannya saat ini. Tapi Satya hanya bisa meminta maaf dalam hati karena belum bisa mengabulkan hal itu dalam waktu dekat.
“Insyaallah disegerakan ya, Nang.”
Seperti mendengar kata hati Satya, ibu hanya menenangkan dengan menepuk lembut tangan anak lelakinya itu. Satya hanya bisa meng-aminkan didalam hati.
Hari bahagianya itu akan segera tiba. Di waktu yang sudah ditentukan. Di Waktu yang tepat.






Usai semua rangkaian acara. semua keluarga besarnya kembali ke rumah masing-masing. Tebar bahagia yang Diar dan Rasyid pancarkan tersimpan dalam hati masing-masing. Memberikan satu warna indah pada setiap orang yang hadir.
Disinilah Satya. Didalam ruang pribadinya. Dihadapan sahabat yang beberapa waktu terakhir menemaninya menghabiskan waktu kembali ke bumi. Meski bukan ia tapi Satya tetap melakukan celebration sendiri.
Mengunggah sebuah foto ke akun instagramnya. Sebuah foto saat Diar duduk menghadap calon ibu mertuanya. Tatanan rambut sederhana dengan sentuhan sebuah jepit rambut warna senada dengan kebaya putihnya. Dalam kesederhanaan itu aura perempuan jawa yang mengalir dalam darah Diar memancar sempurna.
Anggun rasanya lebih tepat untuk mewakili penampilan Diar hari ini. Satya harus mengakui bahwa adik layak untuk mendapatkan pujian.
Namun euphoria yang sedang Satya rasakan hanya berlansung sesaat. 60 detik setelah foto Diar terunggah, kolom komentar pun ramai dengan celetukan teman sejawatnya yang terlalu liar. Tanggapan paling banyak ada rasa penasaran tentang objek foto itu sendiri.

Satya.Danang : To all makasih ya perhatiannya. Kebaikan yang sama untuk kalian semua. Oh iya nona manis itu namanya Diandara, adikku. 

Netizen kecewa. Ungkapan perasaan itu pun kembali memenuhi kolom komentar. Benar mereka kecewa tentang hubungannya dengan Diar tapi kenapa harus Killa lagi yang diperdebatkan. Membuat geleng-geleng kepala, benarkah mereka itu manusia pemilik hormone testosterone? Jumlah kata yang mereka produksi seperti tak memiliki batas.
“Emang jadi selebgram semenyenangkan itu ya?”
Diandra tiba-tiba sudah berbaring diatas tempat tidur. Satya tidak menyadari kedatangan adiknya.
“Udah mau jadi istri orang itu harus tahu sopan santun. Bukan nyelonong masuk kamar orang.”
“Mas Satya aja yang terlalu asik main instagram sampe nggak tahu aku ketuk pintu.”
“Oh ya?” Satya masih membaca komentar-komentar teman-temannya. Sudah tidak terlalu ramai tapi masih bisa membuatnya tersenyum sendiri.
“Sekarang apa lagi?” Satya memutar kursi dan duduk menghadap Diar.
“Aku tadi ngobrol sama ibu waktu beres-beres.” Diar menata bantal kemudian duduk menyandar. “sebenarnya ibu masih belum rela aku nikah lebih dulu dari Mas Satya. Ibu bilang harusnya yang ada dua orang perempuan yang bantuin ibu beres-beres, aku dan istri Mas Satya.”
“Itu wajar Diar, semua orangtua pasti ingin anaknya nikah semua.”
“Beda, Mas. Mas nggak dekat dengan satu perempuan pun apalagi berniat mengenalkan pada ibu. Itu lebih bikin khawatir.”
Satya tidak bisa menanggapi itu. Akhir tahun ini usianya genap 35 tahun. Memang laki-laki tidak perlu dikejar waktu untuk menikah. Selama hidupnya sudah mapan, menjadi menantu idaman bukan sebuah keniscayaan. Namun berbeda bila berada pada posisi orangtua, justru rasa khawatir terbesar yang mereka rasakan.
“Kalau memang Shakilla wanita yang patut untuk Mas perjuangkan, lakukan Mas. Kalau nggak, jangan terlalu merelakan.”

Shakilla, pemilik wajah tanpa sinar. Selalu terlihat bingung saat bersamanya. Namun diwaktu bersamaan ia juga terlihat cahaya memancar diwajahnya. Sebuah kebahagian. Dan Satya senang melihatnya. Meski dalam pengamatannya beberapa waktu terakhir, Satya tidak lagi melihatnya.
Kebimbangan yang menyatu dengan kebahagiaan sebuah daya tarik unik yang memikatnya. Cukupkah membuat Satya untuk memperjuangkannya? Shakilla seorang wanita mandiri dan memiliki karir cemerlang. Bertolak belakang dengan harapan ibunya yang menginginkan menantu yang lebih banyak berada di rumah.
“Hanya mengoleksi dan memandanginya setiap malam membuat mas mendapat gelar baru, The desperate pilot.”
Satya tertawa. “Terlihat begitu kah?”
Diar hanya menjawab dengan gumaman lemah.
Mungkin ini waktu yang tepat bagi Satya untuk melepaskan.
Selamat tinggal Killa. Berbahagialah. Kamu terlihat sangat cantik dengin bibirmu yang tersenyum.
“Balik kamar sana. Mas mau tidur.” Satya mematikan layar laptop sementara Diar sudah terbang tinggi kea lam mimpi.

“Jadi malam ini tidur di sofa lagi?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates