Killa berjalan bersisian. Disamping
kanannya ada Satya yang tingginya cukup membuatnya mendongak saat berbicara.
Lebar langkah mereka sama. Meski bukan disengaja tapi terlihat keduanya saling
menyamakan langkah agar tetap sejajar.
“Aku
naik mobilku sendiri.” Ucap Killa saat sudah berada di tempat parkir. “Aku
tidak bisa selalu meninggalkan mobil setiap kita bersama.” Killa mengatakan
terlebih dahulu ketika melihat Satya akan berbicara. Ya, Killa tahu Satya akan
memintanya untuk meninggalkan mobil dan semobil dengannya. Ia juga tidak bisa
mengatakan alasan yang sama saat Keenan menanyakan mobilnya. Terlihat seperti
dibuat-buat, meski tidak selalu demikian.
Seperti
tidak berpengaruh apa-apa, Satya justru meraih pergelangan tangannya dan
menariknya mendekati mobil merahnya yang selalu meraih perhatian gadis belasan
tahun.
“Kita akan makan disini.” Satya
membuka pintu bagasi. Dan membiarkannya tetap terbuka sehingga bisa dijadikan
tempat makan. Kemudian menarik sebuah tas dan menarik rantang piknik berwarna
pink.
Wajar
saja kalau Killa harus bengong melihatnya. Dia sendiri bahkan tidak bernah
berpikir untuk memabawa bekal. Sementara peluangnya menyiapkan makanan dari
rumah sangat besar. Ingat! Mama Killa memiliki usaha catering.
Satya
tahu Killa terkejut. Mungkin tidak percaya lebih tepatnya. Tapi ya, memang
seunik itulah rencana yang Satya rancang semalaman. Meski ini hanya sebagian
kecil karena rencana besarnya tidak bisa terlaksana karena kelancangan ide yang
terlampau tidak lazim, olahraga.
“Aku
sengaja dan tidak sengaja menyiapkan ini.” Satya tersenyum. “Sengaja untuk
membawa bekal ituu benar. Tidak sengajanya karena kebetulan ibuku yang
memasaknya jadi aku tidak perlu beli diluar. Kebetulan kedua adalah menunya
yang sangat cocok untuk dimakan setelah lari. Gado-gado.”
Satya
membuka rantang berwarna merah jambu tersebut. Disambut dengan berbagai jenis
sayuran rebus seperti wortel, toge dan kentang. Dilapis kedua ada bumbu kacang,
telur rebus dan tempe goreng. Sudah bisa ditebak isi lapis ketiga, potongan
lontong.
“Gimana?
Terlalu berat untuk menu sarapan?”
Killa
tertawa mendengarnya. Andai Satya tahu bahwa semua makanan tidak perlu melewati
proses seleksi untuk bisa dinikmati Killa.
Killa
tidak pernah menyadari bahwa tawa renyah itu sangat Satya nikmati. Bagaimana mulut
itu terbuka, menampakkan sebagian gigi Killa. Kemudian kelopak matanya akan
menyipit. Sungguh Satya merasa tersanjung bisa melihatnya lagi.
“Terlalu
sayang untuk dilewatkan.” balas Killa.
Keduanya
pun langsung menyiapkan gado-gado masing-masing kedalam piring melamin. Satya
mengambil lontong terlebih dahulu disusul sayur rebus, telur rebus, potongan
tempe. Kemudian menyiramnya dengan saus kacang. Tidak lupa menambahkan dua
sendok sambal.
“Ah
iya.” Satya batal menambahkan sambel. “Sepertinya aku meninggalkan krupuk
diatas meja.” Kalimat ini lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Karena
Killa lebih tertarik dengan potongan sayur rebus sehingga mengambil dalam
jumlah banyak. Kemudian mengambil beberapa potong lontong, telur rebus dan
tempe goreng baru menyiramnya dengan saus kacang.
Diawal
makan seperti ini keduanya memilih diam. Menikmati setiap suapan. Percampuran
antara saus kacang yang sengaja dibuat tidak terlalu halus dengan sayur rebus
yang tidak terlalu matang sehingga masih crunchy.
Keduanya
sangat menikmati menu tradisional tersebut. Dalam hati Killa memuji bahwa
gado-gado ini enak sekali. Mamanya memang punya usaha catering tapi menu-menu
tradisional jawa bukan spesialisasinya. Bisa tapi bukan yang outstanding. Jadilah menu seperti ini
jarang diminta pelanggan. Tapi kalau masakan Minang, jangan ditanya lagi.
disanalah letak keistimewaan masakan Ayu sehingga pelanggannya tidak pernah
hanya sekali pesan.
“Kamu
suka lari juga?” Killa meletakkan piring kosong disampingnya.
“Aku
suka semua olahraga.”
“Bukan
karena latah mengikuti trend lifestyle?”
“Ehm
… lebih tepatnya trend yang
mengikutiku?” Satya tertawa bercanda. “Memang suka. Ditambah dengan tuntutan
profesi juga. Umum sekali bukan bahwa profesi sepertiku dituntut untuk memiliki
stamina yang baik. Olahraga salah satu caranya.”
“Termasuk
makan gado-gado?” Satya tertawa lagi.
“Bukan,
bukan. ini benar-benar kebetulan. Pas ibu bikin gado-gado untuk sarapan.
Makanya aku datang terlambat karena harus nunggu semuanya siap.”
Killa
hanya senyum-senyum. Entah apa yang membuatnya merasa sebuah kehangatan
menjalar ditubuhnya. Membawa partikel hemoglobin memenuhi pembuluh diwajahnya. Memasak
menu sarapan untuk keluarga. Entah seperti apa rasanya yang jelas terasa menyenangkan.
“Sebenarnya
bukan lari. Aku lebih suka renang. Cuma karena kurang fleksibel jadi jarang
kulakukan.”
Killa
mengangguk-angguk paham. Dia tidak bisa renang lebih tepatnya tidak suka
olahraga. Tapi seperti Satya bilang, ini kebutuhan. Kebutuhannya untuk tetap
memiliki emosi yang stabil.
“Bukan
aku tidak percaya takdir.” Ucap Killa setelah keheningan diantara mereka. “Aku
hanya menyesal tidak bersungguh-sungguh mengejar takdir. Apa yang lebih manusia
sesali selain membiarkan takdir terjadi tanpa sebuah usaha?”
Killa
mengayun-ayunkan kakinya yang menggantung. Dia tahu Papa juga Mama tidak
menyesal atas kehidupannya dulu hingga saat ini. sekecil apapun bagi mereka
Killa sangat membanggakan. Dan hal itu mendatangkan sesal yang luar biasa besar
bagi Killa karena dia pernah membuat mereka kecewa.
“Boleh
aku mengusahakan kamu untuk menjadi takdirku, Killa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar