Minggu, 22 September 2019

# Fiksi # gado-gado

KATA HATI 3

Killa berjalan bersisian. Disamping kanannya ada Satya yang tingginya cukup membuatnya mendongak saat berbicara. Lebar langkah mereka sama. Meski bukan disengaja tapi terlihat keduanya saling menyamakan langkah agar tetap sejajar.
“Aku naik mobilku sendiri.” Ucap Killa saat sudah berada di tempat parkir. “Aku tidak bisa selalu meninggalkan mobil setiap kita bersama.” Killa mengatakan terlebih dahulu ketika melihat Satya akan berbicara. Ya, Killa tahu Satya akan memintanya untuk meninggalkan mobil dan semobil dengannya. Ia juga tidak bisa mengatakan alasan yang sama saat Keenan menanyakan mobilnya. Terlihat seperti dibuat-buat, meski tidak selalu demikian.
Seperti tidak berpengaruh apa-apa, Satya justru meraih pergelangan tangannya dan menariknya mendekati mobil merahnya yang selalu meraih perhatian gadis belasan tahun.
“Kita akan makan disini.” Satya membuka pintu bagasi. Dan membiarkannya tetap terbuka sehingga bisa dijadikan tempat makan. Kemudian menarik sebuah tas dan menarik rantang piknik berwarna pink.
Wajar saja kalau Killa harus bengong melihatnya. Dia sendiri bahkan tidak bernah berpikir untuk memabawa bekal. Sementara peluangnya menyiapkan makanan dari rumah sangat besar. Ingat! Mama Killa memiliki usaha catering.
Satya tahu Killa terkejut. Mungkin tidak percaya lebih tepatnya. Tapi ya, memang seunik itulah rencana yang Satya rancang semalaman. Meski ini hanya sebagian kecil karena rencana besarnya tidak bisa terlaksana karena kelancangan ide yang terlampau tidak lazim, olahraga.
“Aku sengaja dan tidak sengaja menyiapkan ini.” Satya tersenyum. “Sengaja untuk membawa bekal ituu benar. Tidak sengajanya karena kebetulan ibuku yang memasaknya jadi aku tidak perlu beli diluar. Kebetulan kedua adalah menunya yang sangat cocok untuk dimakan setelah lari. Gado-gado.”
Satya membuka rantang berwarna merah jambu tersebut. Disambut dengan berbagai jenis sayuran rebus seperti wortel, toge dan kentang. Dilapis kedua ada bumbu kacang, telur rebus dan tempe goreng. Sudah bisa ditebak isi lapis ketiga, potongan lontong.
“Gimana? Terlalu berat untuk menu sarapan?”
Killa tertawa mendengarnya. Andai Satya tahu bahwa semua makanan tidak perlu melewati proses seleksi untuk bisa dinikmati Killa.
Killa tidak pernah menyadari bahwa tawa renyah itu sangat Satya nikmati. Bagaimana mulut itu terbuka, menampakkan sebagian gigi Killa. Kemudian kelopak matanya akan menyipit. Sungguh Satya merasa tersanjung bisa melihatnya lagi.
“Terlalu sayang untuk dilewatkan.” balas Killa.
Keduanya pun langsung menyiapkan gado-gado masing-masing kedalam piring melamin. Satya mengambil lontong terlebih dahulu disusul sayur rebus, telur rebus, potongan tempe. Kemudian menyiramnya dengan saus kacang. Tidak lupa menambahkan dua sendok sambal.
“Ah iya.” Satya batal menambahkan sambel. “Sepertinya aku meninggalkan krupuk diatas meja.” Kalimat ini lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Karena Killa lebih tertarik dengan potongan sayur rebus sehingga mengambil dalam jumlah banyak. Kemudian mengambil beberapa potong lontong, telur rebus dan tempe goreng baru menyiramnya dengan saus kacang.
Diawal makan seperti ini keduanya memilih diam. Menikmati setiap suapan. Percampuran antara saus kacang yang sengaja dibuat tidak terlalu halus dengan sayur rebus yang tidak terlalu matang sehingga masih crunchy.
Keduanya sangat menikmati menu tradisional tersebut. Dalam hati Killa memuji bahwa gado-gado ini enak sekali. Mamanya memang punya usaha catering tapi menu-menu tradisional jawa bukan spesialisasinya. Bisa tapi bukan yang outstanding. Jadilah menu seperti ini jarang diminta pelanggan. Tapi kalau masakan Minang, jangan ditanya lagi. disanalah letak keistimewaan masakan Ayu sehingga pelanggannya tidak pernah hanya sekali pesan.
“Kamu suka lari juga?” Killa meletakkan piring kosong disampingnya.
“Aku suka semua olahraga.”
“Bukan karena latah mengikuti trend lifestyle?
“Ehm … lebih tepatnya trend yang mengikutiku?” Satya tertawa bercanda. “Memang suka. Ditambah dengan tuntutan profesi juga. Umum sekali bukan bahwa profesi sepertiku dituntut untuk memiliki stamina yang baik. Olahraga salah satu caranya.”
“Termasuk makan gado-gado?” Satya tertawa lagi.
“Bukan, bukan. ini benar-benar kebetulan. Pas ibu bikin gado-gado untuk sarapan. Makanya aku datang terlambat karena harus nunggu semuanya siap.”
Killa hanya senyum-senyum. Entah apa yang membuatnya merasa sebuah kehangatan menjalar ditubuhnya. Membawa partikel hemoglobin memenuhi pembuluh diwajahnya. Memasak menu sarapan untuk keluarga. Entah seperti apa rasanya yang jelas terasa menyenangkan.
“Sebenarnya bukan lari. Aku lebih suka renang. Cuma karena kurang fleksibel jadi jarang kulakukan.”
Killa mengangguk-angguk paham. Dia tidak bisa renang lebih tepatnya tidak suka olahraga. Tapi seperti Satya bilang, ini kebutuhan. Kebutuhannya untuk tetap memiliki emosi yang stabil.
“Bukan aku tidak percaya takdir.” Ucap Killa setelah keheningan diantara mereka. “Aku hanya menyesal tidak bersungguh-sungguh mengejar takdir. Apa yang lebih manusia sesali selain membiarkan takdir terjadi tanpa sebuah usaha?”
Killa mengayun-ayunkan kakinya yang menggantung. Dia tahu Papa juga Mama tidak menyesal atas kehidupannya dulu hingga saat ini. sekecil apapun bagi mereka Killa sangat membanggakan. Dan hal itu mendatangkan sesal yang luar biasa besar bagi Killa karena dia pernah membuat mereka kecewa.

“Boleh aku mengusahakan kamu untuk menjadi takdirku, Killa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates