Satya melangkah ringan memasuki
rumah. Mungkin kalau dilihat menggunakan kacamata remaja geraknya seperti
sedang mengikuti sebuah jingle atau mungkin American pop yang ceria. Ada
sedikit lompatan dalam langkahnya. Dengan lambaian tangan untuk menyeimbangkan
tubuhnya.
Andaikan
hari ini terjadi saat Satya masih remaja maka itulah yang sedang kita saksikan.
Sayangnya hari ini Satya sudah dipenghujung usia 34 tahun sehingga tidak ada
yang berbeda dengan langkahnya. Hanya ada sedikit tambahan dari wajahnya yang sumringah dan goresan senyum yang enggan
pergi dari bibirnya.
“Sudah
selesai acara santunan anak yatimnya?”
Ibu
menghentikan langkah Satya tiba-tiba. Membuat keceriaan di wajah anaknya
berubah menjadi raut mendung terbelalak karena terkejut.
“Ibu!
Bikin kaget aja.” Satya mengelus dadanya untuk lebih tenang. “Iya, sudah
selesai. Anaknya suka sekali dengan gado-gado ibu. Enak katanya.”
Ibu
menerima rantang pink yang sudah kosong. hanya matanya tak lepas menyelidik
kedalam diri anaknya.
“Dari
tadi ibu disini. Memangnya kamu nggak lihat?”
“Ohh
ya? kok aku bisa nggak lihat ya?” Satya menggaruk kepala untuk membuatnya
terlihat sedang berpikir. Meski semua actingnya itu tidak cukup berhasil. Membuatnya
terlihat seperti remaja salah tingkah.
Mungkin
benar. Karena sebuah suara yang merdu itu masih terngiang-ngiang ditelinganya.
Aku tidak punya hak untuk melarang
Kalimat
itu memiliki banyak arti. Apakah Satya boleh mendekatinya lagi? atau justru itu
sebuah awal hubungan baru mereka yang bisa disederhanakan dengan pacaran?
Pacaran?
Tidakkah
Satya terlalu tua untuk menggunakan kosakata tersebut?
“Satya
masuk ya, Bu. Mau mandi, gerah.”
Ibu
membiarkan anak lelakinya itu pergi. meski dikepalanya menyimpan curiga atas
ekspresi seseorang yang terlampau janggal setelah melakukan kegiatan amal.
“Pulangnya siang amat, Ki? Kami nunggu
kamu dari tadi. Mama siapan sarapan buat kamu ya?” Ayu sedang merapikan kabinet
yang di dapur. Mumpung hari ini sedang tidak ada pesanan jadi semua
perlengkapan memasak yang tidak terpakai bisa disimpan kembali.
“Kila
udah sarapan. Laper banget soalnya. Maaf ya, Ma?”
“Oh
iya. Nggak apa-apa. Yaudah kamu langsung bersih-bersih aja.”
Kejutan
apa lagi ini? atau pendengaran Ayu sudah mengalami penurunan fungsi sehingga
sudah tidak terlalu jelas mendengar.
“Barusan
suara kakak?” Keenan berdiri menyandar pada kitchen set setelah Killa masuk
kedalam kamar.
“Kamu
juga dengar kan? Jadi bukan telinga Mama yang bermasalah kan?”
Keenan
menggeleng untuk meyakinkan meski semakin tidak terlihat yakin tanggapannya itu
untuk pertanyaan ayu yang mana.
D.
Aryasatya : Udah sampai rumah?
Sebuah pesan masuk ketika Killa sudah
berada di dalam kamar
Shakilla
A. : Sudah. Sekitar 10 menit yang
lalu.
D.
Aryasatya : Rencana kamu apa setelah ini
Killa tersenyum membaca pesan kedua
Satya dan langsung menuliskan jawabannya.
Shakilla
A : Belum tahu. mungkin mau baca
modul untuk persiapan workshop
D.
Aryasatya : Workshop? Ohh … untuk
promosi kamu ya?
Surya
tersenyum menerangi bumi. Membiarkan kupu-kupu terbang berkejaran. Menghinggapi
setiap kuncup yang bermekaran. Mengambil sari bunga yang terlalu manis
dibiarkan hingga layu. Lalu membiarkan anak-anak kecil berlari mengejarnya. Membuat
senyum bahagia orang yang melihatnya.
Keindahan
dan kecerian taman bunga itu masih kalah dengan kecerian di wajah killa. Seperti
langit selepas hujan, sangat bersih dan cerah. Seperti itu lah Killa yang
hari-harinya lebih banyak dilewati dengan bermuram sendu.
Semesta
sedang berbahagia. Benih cinta yang ditebarkannya bersemi indah di tengah
padang. Tidak selamanya kegersangan yang miskin tidak mampu memberikan energi
tumbuh. Keindahan cinta akhirnya kembali bersmayam dalam jiwa Killa.
Kalau
cinta begitu indah, mengapa tak kau hadirkan sejak dulu?
Percakapan
yang terjadi antara Killa dan Satya berlanjut. Dan lebih banyak mengisi waktu
luang keduanya. Meski sama-sama sebuk dan memiliki ritme kerja yang berbeda,
tak memberi peluang bagi keributan untuk menyelinap.
Topik
pembicaraan seperti tidak pernah habis. Saling menceritakan keseharian, Killa
dengan persiapan promosi jabatan dan Satya dengan perjalanannya diatas langit. Bahkan
pernah membicarakan hal remeh seperti warna kesukaan lalu mengaitkannya dengan
kepribadian masing-masing.
Satya
senang, kali ini tidak perlu usaha cukup keras untuk membuat Killa menjadi
dirinya sendiri. Killa yang banyak bercerita, Killa yang semangat dengan beban
kerja yang semakin berat, Killa yang tidak lagi kebingungan harus bersikap.
Memang
hanya komunikasi melalui udara yang bisa mereka lakukan. Saat Satya sedang
libur, Killa bekerja. Begitu sebaliknya. Foto dan rekaman video menjadi salah
satu yang menjembatani mereka untuk bertatap muka. Video call? Ini pun jarang
sekali, lagi-lagi kesibukan yang menjadi penyebabnya.
Tidak
perlu ada ikrar untuk menyatakan kedektaan mereka. Seperti sungai, mengalir
melewati apa saja. Tidak perlu memikirkan akan menemui apa atau berakhir
dimana, tidak sekarang. Karena cinta mereka terlalu indah untuk dibesarkan
dalam rencana dan lupa cara menikmati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar