Menyamakan
langkah agar tetap sejajar meski dalam posisi berlari. Tidak terlalu cepat
karena bukan perlombaan. Juga tidak lambat seperti sepasang manula yang memilih
olahraga sebagai quality time bersama
pasangan.
Tentu
saja semua itu tidak pernah Satya lakukan walaupun sangat ingin. Killa berlari
jauh di depannya. Satya hanya melihat punggung yang semakin menjauh itu. Dengan
lambaian rambut yang diikat ekor kuda.
Rambut
Killa panjangnya sebahu. Selama ini Satya hanya melihat Killa dalam balutan seragam
manager dengan rambut yang digulung rapi. Tidak pernah tahu apakah itu panjang
atau pendek. Pernah beberapa kali melihat Killa tidak seperti biasa yaitu
selepas kerja terutama setelah shift
malam. masih dengan seragam meski tampak berantakan. Sama halnya dengan
rambutnya. Juntaian rambut hampir menutupi wajahnya. Seperti yang terakhir kali
Satya lihat.
Dan
pagi ini tentu saja sebuah hal baru yang baru saja Satya tahu. Killa terlihat
lebih segar, santai dan muda. Make up
meski tipis itu berganti dengan bulir keringat yang membuat anak-anak rambutnya
menempel pada pipi dan lehernya yang kuning langsat. Sepatu biru yang warnanya
mulai memudar yang selama ini menopang setiap langkah kakinya saat berlari.
Rambut ekor kuda yang bergerak ke kanan kiri.
Rambut
ekor kuda? Kaki yang kelelahan? Satya menepis kilasan ingatannya. Yang
membatnya teringat pada seorang perempuan yang memaksa tubuhnya berlari.
Satya
menggelengkan kepala. Tidak mungkin gadis yang kelelahan itu Killa. Bahkan
rasanya sangat jauh dengan kepribadian Killa yang selalu mengukur kemampuan
dalam setiap tindakan. Sifat yang akhirnya membuatnya menjauhi Satya.
Lima
putaran Satya rasa sudah cukup. dia berhenti terlebih dahulu. Mengambil sebuah
handuk dari dalam tasnya untuk mengeringkan keringatnya yang banyak. Udara
sejuk sisa hujan semalam hilang entah kemana. Berganti dengan suhu yang naik
meski jam masih menunjuk jam 8 pagi. Killa menyusul saat Satya sudah mendapakan
kembali nafasnya yang teratur.
“Sering
lari?” Satya membuka percakapan saat dirinya sedang memutar sendi dipergelangan
kakinya.
“Lumayan.”
jawab Killa setelah menghabiskan sisa air di botolnya. Dan langsung kecewa
karena sejumlah air itu masih belum cukup membasahi kerongkongannya.
Satya
mengulurkan botol miliknya.
“Makasih.”
Killa menghabiskan sisa air dalam botol tersebut. “Yah…habis. Maaf ya?” Killa
merasa tidak enak sudah menghabiskan sisa air milik Satya.
“Enggak
apa-apa.” Satya tersenyum. “Kamu kelihatan jago kalau lari. Pengaturan nafas
kamu bagus sekali. Dapat berapa putaran tadi?”
Killa
mengikuti gerakan Satya. “Barusan 5 sama 2 putaran sebelum kamu datang. Jadi
berapa tuh? 7 putaran.” Killa membuat sebuah cengiran sehingga kelopak matanya
menyipit. “Sebenarnya aku enggak terlalu suka lari. Cuma beberapa tahun ini
sering melakukan jadi kebiasaan deh.”
“Kenapa
lari?”
Kenapa?
Killa tidak terlalu suka pertanyaan yang membuatnya harus mengungkap sebuah
alasan. Tapi dengan Satya menjadi berbeda. Killa tidak perlu merasa kecil hati.
Dengan Satya Killa bisa bebas bercerita. Meski ada gemuruh didalam dada saat
harus menyinggung masa lalu.
“Saat
Papa sakit, aku merasa menjadi salah satu penyebabnya. Hingga Papa meninggal
aku tidak sempat meminta maaf. Aku enggak sempat mengatakan betapa aku sangat
menyesal.” Killa tersenyum, tidak ingin suasana berubah sendu. “Makanya aku
lari.”
“Lari
dari masalah?”
“Ya
seperti itu.” Killa tertawa. Satya mengikuti meski tidak sekeras Killa.
“Hidup,
mati dan jodoh semua itu terjadi diluar batas kemampuan manusia.” Satya bicara
saat tawa Killa reda. “Seperti saat sedang bertugas, aku menyerahkan semuanya
pada Tuhan. Bahkan jika aku justru mengantarkan ratusan penumpang itu tujuan
akhir manusia, aku tidak akan menyesal.
Karena aku sudah mengerahkan seluruh kemampuan terbaikku. Aku harap kamu juga
bisa seperti itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar