Selasa, 17 September 2019

# Fiksi # jodoh

KATA HATI 2

Menyamakan langkah agar tetap sejajar meski dalam posisi berlari. Tidak terlalu cepat karena bukan perlombaan. Juga tidak lambat seperti sepasang manula yang memilih olahraga sebagai quality time bersama pasangan.
Tentu saja semua itu tidak pernah Satya lakukan walaupun sangat ingin. Killa berlari jauh di depannya. Satya hanya melihat punggung yang semakin menjauh itu. Dengan lambaian rambut yang diikat ekor kuda.
Rambut Killa panjangnya sebahu. Selama ini Satya hanya melihat Killa dalam balutan seragam manager dengan rambut yang digulung rapi. Tidak pernah tahu apakah itu panjang atau pendek. Pernah beberapa kali melihat Killa tidak seperti biasa yaitu selepas kerja terutama setelah shift malam. masih dengan seragam meski tampak berantakan. Sama halnya dengan rambutnya. Juntaian rambut hampir menutupi wajahnya. Seperti yang terakhir kali Satya lihat.
Dan pagi ini tentu saja sebuah hal baru yang baru saja Satya tahu. Killa terlihat lebih segar, santai dan muda. Make up meski tipis itu berganti dengan bulir keringat yang membuat anak-anak rambutnya menempel pada pipi dan lehernya yang kuning langsat. Sepatu biru yang warnanya mulai memudar yang selama ini menopang setiap langkah kakinya saat berlari. Rambut ekor kuda yang bergerak ke kanan kiri. 


Rambut ekor kuda? Kaki yang kelelahan? Satya menepis kilasan ingatannya. Yang membatnya teringat pada seorang perempuan yang memaksa tubuhnya berlari.
Satya menggelengkan kepala. Tidak mungkin gadis yang kelelahan itu Killa. Bahkan rasanya sangat jauh dengan kepribadian Killa yang selalu mengukur kemampuan dalam setiap tindakan. Sifat yang akhirnya membuatnya menjauhi Satya.
Lima putaran Satya rasa sudah cukup. dia berhenti terlebih dahulu. Mengambil sebuah handuk dari dalam tasnya untuk mengeringkan keringatnya yang banyak. Udara sejuk sisa hujan semalam hilang entah kemana. Berganti dengan suhu yang naik meski jam masih menunjuk jam 8 pagi. Killa menyusul saat Satya sudah mendapakan kembali nafasnya yang teratur.
“Sering lari?” Satya membuka percakapan saat dirinya sedang memutar sendi dipergelangan kakinya.
“Lumayan.” jawab Killa setelah menghabiskan sisa air di botolnya. Dan langsung kecewa karena sejumlah air itu masih belum cukup membasahi kerongkongannya.
Satya mengulurkan botol miliknya.
“Makasih.” Killa menghabiskan sisa air dalam botol tersebut. “Yah…habis. Maaf ya?” Killa merasa tidak enak sudah menghabiskan sisa air milik Satya.
“Enggak apa-apa.” Satya tersenyum. “Kamu kelihatan jago kalau lari. Pengaturan nafas kamu bagus sekali. Dapat berapa putaran tadi?”
Killa mengikuti gerakan Satya. “Barusan 5 sama 2 putaran sebelum kamu datang. Jadi berapa tuh? 7 putaran.” Killa membuat sebuah cengiran sehingga kelopak matanya menyipit. “Sebenarnya aku enggak terlalu suka lari. Cuma beberapa tahun ini sering melakukan jadi kebiasaan deh.”

“Kenapa lari?” 

Kenapa? Killa tidak terlalu suka pertanyaan yang membuatnya harus mengungkap sebuah alasan. Tapi dengan Satya menjadi berbeda. Killa tidak perlu merasa kecil hati. Dengan Satya Killa bisa bebas bercerita. Meski ada gemuruh didalam dada saat harus menyinggung masa lalu.
“Saat Papa sakit, aku merasa menjadi salah satu penyebabnya. Hingga Papa meninggal aku tidak sempat meminta maaf. Aku enggak sempat mengatakan betapa aku sangat menyesal.” Killa tersenyum, tidak ingin suasana berubah sendu. “Makanya aku lari.”
“Lari dari masalah?”
“Ya seperti itu.” Killa tertawa. Satya mengikuti meski tidak sekeras Killa.

“Hidup, mati dan jodoh semua itu terjadi diluar batas kemampuan manusia.” Satya bicara saat tawa Killa reda. “Seperti saat sedang bertugas, aku menyerahkan semuanya pada Tuhan. Bahkan jika aku justru mengantarkan ratusan penumpang itu tujuan akhir manusia,  aku tidak akan menyesal. Karena aku sudah mengerahkan seluruh kemampuan terbaikku. Aku harap kamu juga bisa seperti itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates