Senin, 16 September 2019

# Fiksi # perspektif

Rebound : Kata Hati

Segarnya!
Killa menyukai matahari selepas hujan semalam. Hangat sekaligus menyegarkan. Ditambah bau tanah basah setelah ratusan hari tak terjamah hujan. Musim kemarau sedang bersiap berucap sayonara.
Pagi ini, stadion cukup lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang sudah memacu otot kakinya. Disisi lain, dibagian yang dekat dengan pintu masuk terlihat cukup ramai. Karena banyak pedagang yang menggelar dagangannya disana. Di area yang dekat dengan gedung utama memang lebih banyak pengunjung yang datang secara khusus untuk berolahraga sepertinya.
Killa datang pagi sekali. Semalam, Satya tidak memberitahukan waktu pasti untuk bertemu. Dan Killa memilih datang lebih awal untuk mendapat udara segar lebih banyak.
Olahraga bukan hal yang secara khusus Killa sukai apalagi lari. Dia termasuk perempan yang biasa saja memandangnya. Hanya sesekali melakukannya dan tidak memiliki jadwal khusus. Boleh dikatakan bahwa olahraga ini merupakan kebiasaan baru. Entah sejak kapan tepatnya. Mungkin beberapa tahun lalu saat ia tidak bisa mengatasi gejolak dalam hati yang membuatnya menjadi seorang pesakitan.
Berlari tidak membuat sakit itu sembuh dan benar-benar hilang. Aktivitas fisik hanya membuat rasa itu  tertekan dan tersisih hingga Killa lupa bahwa sakit itu tercipta.
Baiknya adalah Killa bisa menjadi dirinya sendiri meski tak sempurna. Sebaliknya, ada titik dimana semua rasa itu menyerang kembali hingga membuatnya bertanya kepada Tuhan, “Tidak bisakah menyerah?”
Tidak terasa dua putaran mengeliling gedung stadion sudah Killa lewati. Orang-orang datang terus bertambah. Killa yang mengenakan legging hitam yang panjangnya sampai menutupi betis, mengambil botol minum yang disimpannya didekat pembatas jalan. Meneguknya sedikit untuk membasahai kerongkongan.
Sembari menutup botol, matanya bergerak mengelilingi seluruh area. Mencoba mencari sesosok wajah yang dikenalnya. Beberapa waktu mengamati tapi belum ketemu.
Killa memang tidak menganggap serius ajakan Satya semalam. Apalagi menganggap sebagai sesuatu yang spesial, tidak. Killa hanya mencoba untuk memberikan ruang lebih banyak pada kata hatinya. Belajar untuk sedikit lebih luwes terhadap dirinya sendiri. Berkompromi pada logika yang selama ini memimpin. Siapa tahu akan membuatnya sedikit lebih manusiawi. Bukan lagi seorang perempuan dengan pemikiran yang dipenuhi kecurigaan. Dengan begitu Tuhan tidak lagi marah dengannya dan memberinya kesempatan untuk menikmati sebuah rasa yang bernama bahagia.


cerita sebelumnya : Sembunyi Dibalik Kumolo Nimbus


Mengikat ulang tali sepatunya dan bersiap untuk berlari. Hingga sepasang sepatu Adidas berwarna putih berhenti didepannya. Killa mendongak untuk mengetahui pemiliknya.
Benar. Dialah Satya. Satu-satunya laki-laki paling sabar yang Killa kenal. Yang terang-terangan menunjukkan ketertarikkan pada Killa sejak bertemu pertama kali.
“Hai…”
Killa menjawabnya dengan sebuah senyuman. Mungkin sedikit kelegaan muncul disana. Meski tidak benar-benar berharap tapi Killa memang menantikan kehadiran Satya.
Belum lagi Satya kali ini terlihat sangat berbeda dari yang selama ini dikenalnya. Berpenampilan rapi dengan kemeja dan celana panjang sudah menjadi citra yang sangat melekat dikepala Killa. Kaos berkerah adalah satu-satunya penampilan Satya yang paling santai.
Sementara pagi ini semua hal ini mendadak hilang dari diri Satya. Celana panjang berganti dengan celana pendek selutut. Kemeja berubah menjadi kaos oblong dipadu dengan sebuah jaket berwarna putih. Rambut yang tersisir rapi kali ini ditutup dengan sebuah topi.
Benar-benar membuat Killa tidak berkedip melihat perubahan itu. Memangnya apa yang Killa harapkan atas penampilan Satya saat berolahraga? Kemeja dan celana jins? Bahkan seorang don juan sekalipun enggan mengenakannya.
Mendengarkan kata hati sepertinya keputusan yang tepat. Karena memberinya lebih banyak kesempatan untuk melihat dunia dari perspektif baru. Termasuk Satya.
“Hai juga.” Killa menerima uluran tangan Satya yang membantunya berdiri.
“Maaf ya, aku baru datang.”
Killa tersenyum lagi. “Enggak apa-apa.”
Kata hati itu membuat senyum lebih banyak menghiasi bibir Killa. Bukan karena terkesan dengan penampilan Satya tapi lebih pada dirinya sendiri. Dan semesta pun sepakat bahwa senyum itu membuat Killa terlihat lebih menarik.

Satya menyetujuinya dalam hati. Meski ia tidak tahu pasti penyebab perubahan sikap Killa tapi dia menjadi salah satu pihak yang bersyukur atas perubahan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates