Selasa, 10 September 2019

# Fiksi # Rebound

Mimpi Yang Terlalu Tinggi


Rumput hijau menjadi alas sebuah pohon mangga yang tajuknya mulai melebar. Daunnya tumbuh lebat dan hijau. Diantaranya titik-titik menguning mulai bermunculan. Pertanda musim mangga akan segera tiba dengan berkembangnya bunga mangga.
Deretan sansavera tumbuh dengan baik berdampingan dengan tembok pembatas. Menambah kesan asri dan sejuk. Satya sangat menyukainya. Halaman rumah yang ditanami segala macam tumbuhan. Tidak banyak sehingga masih menyisakan ruang kosong. Tidak juga kurang sehingga meniadakan warna hijau alam.
Andai dia mendapat kesempatan memiliki keluarga sendiri, rumah seperti itulah yang akan ia pilih. Sebuah ruang terbuka untuk tempat anak-anaknya kelak bermain. Yang bisa dimanfaatkan istrinya untuk menanam sayuran atau tanaman hias.
Istri?
Anak?
Terlalu tinggikah mimpinya? Bukankah sangat manusiawi sebagai laki-laki dewasa untuk mengharapkan hal yang demikian?
“Hoi … Supir besi terbang! Ngelamun aja?”
Namanya Tantri, sahabat sekaligus ipar kesayangannya. Pertama kali bertemu saat menempuh pendidikan di kampus yang sama. Fakultas dan program studi yang sama. Sering menghabiskan waktu bersama karena selalu satu kelompok.
Dimana ada Tantri disitulah Satya. Siapa yang mengira bahwa Tantri menikah dengan Rian, sepupu Satya? Teman keduanya terkejut melihat undangan pernikahan Tantri tanpa pernah ada nama Satya.
Bertemu tapi tak berjodoh. Perumpamaan itu tepat untuk Satya dan Tantri. Tuhan tidak menganugerahkan cinta di hati mereka. Sedekat apapun, hubungan mereka hanya sebatas sahabat.
Meski banyak yang mengira kesendirian Satya sampai detik ini karena patah hati melihat Tantri menikah dengan orang lain. Tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan tak selalu benar. Lihatlah Satya dan Tantri, mereka masih menjalin hubungan sebagai sahabat. Kini sebagai keluarga.
“Kapten, Tan, Kapten!” Satya menebuh bahunya, sombong.
“Mau kapten, pilot dan apapun kalian menyebutnya, Elu itu Supir.”
Keduanya pun tertawa senang. Sejak dulu Tantri tidak pernah menyebut Satya seorang pilot. Dimatanya pilot, nahkoda, masinis dan supir angkutan umum itu tidak ada bedanya. Sama-sama mengendarai kendaraan untuk mengantarkan penumpang sampai tujuan dengan selamat. Satu perbedaan besar hanya terletak pada lintasan. Darat, laut atau udara.
Satya tahu itu hanya candaan Tantri sebagai protes terhadap dirinya. Selain ibu, Tantri adalah satu-satunya orang yang menolak keputusan Satya untuk berkarir di dunia penerbangan. Meski untuk memenuhi keinginan ayahnya tapi tidak harus menghentikan mimpi Satya menjadi seorang arsitek.
“Apa kabar?”
Tantri mengajak Satya masuk kedalam rumahnya.
“Seperti biasa. Ngurus suami dan anak-anak yang udah pada sekolah. Sama lagi rajin bikin infused water biar nggak mual.”
“Biar kekinian maksudnya?”
“Gue kan mommy millennial, Sat.” Jawab Tantri sambil mengelus perutnya yang masih rata.
“Hamil? Elo? Lagi?”
Tantri hanya senyum-senyum menjawabnya.
Kehamilan yang ketiga ini, Ia mengalami mual yang cukup hebat dibandingkan dua kehamilan sebelumnya. Tiap minum air putih dan mencium bau-bau yang menyengat akan memicu rasa bergejolak dalam perutnya. Sehingga ia lebih memilih membuat infused water sebagai pengganti air putih.
“Mumpung masih muda, tenaga masih kuat jadi produksi terus.”
“Emangnya aku pabrik anak.”
Tantri memukul lembut lengan Rian, suaminya. Membuat Satya jengah melihat tingkah mereka. Awalnya hanya untuk menggodanya tapi kalau setiap kali berkunjung kerumah selalu disuguhi adegan tidak senonoh membuat siapapun risih.
“Gue balik!” Seru Satya. “Jauh-jauh gue kesini cuma lihat kalian mesum.” Mulai beranjak dan berjalan menuju pintu.
“Eh … Sat, jangan pulang dong. Kamu sih!” Tantri memukul Rian kembali. Kali ini cukup keras sehingga membuatnya mengadu. Meski mata jenaka setelah membuat kesal sepupunya tidak hilang.
“Kan udah lama banget nggak ketemu. Jangan pulang, dong, Sat?” Tantri menarik lengan Satya. Mengajaknya duduk kembali. “Aku mau denger cerita kamu.”


Satya yang sudah kembali duduk meliriknya heran. Tantri dan Rian adalah dua orang yang paling tidak ingin mendengar pengalaman Satya. Bosan katanya. Apalagi semenjak banyak pilot yang mengunggah aktivitas keprofesiannya di media sosial. Basi, kalau Tantri menyebutnya.
“Diar bilang Lo lagi deket sama manager restoran.” Celetuk Rian
“Yang!!!”
“Sorry, sorry.” Rian hanya meringis menanggapi protes Tantri
“Aku udah janji sama Diar buat nggak cerita-cerita.”
“Lo bilang gini aja udah ngelanggar janji, Tan.” Satya menyahut.
“Ceritanya kan ke Elo, Sat. Beda. Namanya siapa? Kaya gimana orangnya? Kenal dimana?” Cecar Tantri.
“Katanya Diar udah cerita.”
“Dia cuma bilang lo deket sama cewek. Udah gitu aja. Cerita dong, Sat.” Tantri menggoyang-goyang lengan Satya seperti anak kecil sedang merenget minta dibelikan balon.
“Nggak ada yang bisa diceritain.”
Tantri dan Rian saling bertukar pandang. Bingung.
Satya pun menghembuskan nafas. Jengah. Dia malas membahas hubungannya dengan Killa. Mesti ada titik terang, tapi titik itu terlalu samar untuk diharapkan.
“Dia nolak gue.”
Satya merasa bisa mendengar deru nafasnya sendiri. Padahal dia tidak dalam keadaan panik atau emosi berlebihan yang menaikkan adrenalin. Bahkan kedipan matanya pun terdengar jelas saat mengamati Tantri dan Rian diam mematung.
Satu detik kemudian gelak tawa terdengar menyebar keseluruh ruangan. Tawa Tantri paling keras. Dia harus menahan perutnya agar tidak tertawa berlebihan. Sementara Rian sudah berguling-guling dan meredam suaranya kedalam sofa.
“Jadi maksudnya gue disuruh cerita itu buat diketawain? Apes banget gue hari ini. Udah jadi supir taksi sekarang jadi bahan lelucon.”
Tantri menarik tangan Satya agar duduk kembali. “Sorry. Khilaf.” Tantri melempar bantal kearah Rian dan memintanya untuk diam. Meski sudah mendapat tambahan tatapan galak istrinya, Rian hanya berpura-pura diam. Tapi sesungguhnya dia sedang menahan tawa.
“Kok bisa ditolak.” Tantri memulai bertanya.
“Ya mana gue tahu.”
“Udah punya cowok kali?”
“…”
“Atau udah tunangan?”
“ … “
“Sat, kok lo diem aja sih?” Tantri mendesak kesal.
“Gue nggak tahu. Feeling gue sih dia jomblo juga.”
“Terus kenapa ditolak.”
“Gue nggak tahu alasannya Tantri.” Satya mencubit kedua pipi Tantri yang mulai berisi. Gemas didesak alasan yang Satya sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu. Dia bahkan tidak berusaha mencari tahu.
Saat Killa menolak perasaannya, Satya hanya menganggap bahwa Killa tidak bersedia menjalin hubungan lebih dari seorang teman. Kalau menurut versi Killa hubungannya hanya sebatas manager dengan loyal customer. Mungkin ada alasan lain, itu pasti. Tapi semua itu tidak merubah keadaan Satya yang ditolak.
“Kenapa nggak dicari tahu? Emang dia nggak suka lo deketin?”
Satya kembali berpikir. Killa tidak pernah menolak ketika ia melakukan pendekatan. Bahkan alibinya saat menemuinya di restoran alih-alih menjadi seorang pelanggan. Belum lagi sikap malu-malu saat Satya memaksa menemaninya menunggu jemputan Keenan, adiknya. Tak satupun sikap Killa menunjukkan penolakan. Atas dasar itu pula lah Satya nekat mengutarakan keseriusannya meski berakhir dengan penolakan.
“Kalau cewek lempeng aja dideketin tapi masih nolak, berarti masalahnya bukan di elo tapi di cewek itu sendiri.”
“Gitu ya?”
“Ya ampun Satya. Umur udah tua gini masih nggak ngerti bahasa cewek. Pantes sampe sekarang jomblo.” Giliran Tantri gemas sendiri melihat sahabatnya.
“Anaknya susah, Tan.”
“Maksudnya?”
“Dia itu kaya orang kebingungan. Suka tiba-tiba salah tingkah sendiri padahal gue nggak lagi godain atau gombalin dia. Kaya dia mau maju tapi ragu-ragu tapi nggak mundur juga.”
“Lo kecepetan kali PDKT-nya.”
“Ya ampun, kita tuh kenal udah setahun lebih hampir dua tahun malah. Ketemuan juga jarang. Lo paham lah kerjaan gue gimana. Telponan, chatingan juga hampir nggak pernah. Dia aja nggak nyimpen nomer gue. Kecuali beberapa hari terakhir.”
“Maksudnya beberapa hari terakhir?” Tantri mengernyit heran.
“Ya … dia akhirnya nyimpen nomer gue.”
Tantri masih mengerutkan kening. Tanda bahwa ia belum mengerti maksud Satya.
“Statusnya tuh cewek muncul di WA story-nya Satya, Yang.” Sahut Rian setelah sedari tadi hanya menyimak
“Jadi Lo stalking-in dia?”
“Namanya jatuh cinta, stalking itu wajib.” Rian berdiri. “Gue mau ambil minum. Ada yang mau?”
“Apa aja.” Balas Satya.
“Minum aku ya, Yang?”
“Okay.”
“Mau lihat dong Sat, wajahnya kaya apa. Penasaran gue sama cewek yang nolak pesona lo” Ujar Tantri
“Lo punya ig kan?”
“Ada. Tapi jarang aktif. Emang kenapa?”
“Gue nyimpen beberapa fotonya disana ”
“Serius?”
Percakapan selanjutnya adalah kebiasaan yang hanya Satya dan Tantri pahami. Bersyukur Rian sudah menyingkir terlebih dahulu. Dia bisa jengkel karena tidak bisa masuk kedalam dunia dua mantan arsitek itu.
Namun dibelakang sana diam-diam Rian juga ikut membuka akun IG Satya. Mencari tahu sosok gadis yang kebal dengan segala kelebihan sepupunya itu.
Sesal selalu mengekor dibelakang. Itulah yang terjadi pada Rian. seharusnya dia mengambil minum sesuai tujuan awal atau menjadi regu penggembira atas keseruan yang diciptakan Tantri dan Satya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates