Rumput hijau menjadi alas sebuah
pohon mangga yang tajuknya mulai melebar. Daunnya tumbuh lebat dan hijau. Diantaranya
titik-titik menguning mulai bermunculan. Pertanda musim mangga akan segera tiba
dengan berkembangnya bunga mangga.
Deretan
sansavera tumbuh dengan baik
berdampingan dengan tembok pembatas. Menambah kesan asri dan sejuk. Satya
sangat menyukainya. Halaman rumah yang ditanami segala macam tumbuhan. Tidak
banyak sehingga masih menyisakan ruang kosong. Tidak juga kurang sehingga
meniadakan warna hijau alam.
Andai
dia mendapat kesempatan memiliki keluarga sendiri, rumah seperti itulah yang
akan ia pilih. Sebuah ruang terbuka untuk tempat anak-anaknya kelak bermain.
Yang bisa dimanfaatkan istrinya untuk menanam sayuran atau tanaman hias.
Istri?
Anak?
Terlalu
tinggikah mimpinya? Bukankah sangat manusiawi sebagai laki-laki dewasa untuk
mengharapkan hal yang demikian?
“Hoi
… Supir besi terbang! Ngelamun aja?”
Namanya
Tantri, sahabat sekaligus ipar kesayangannya. Pertama kali bertemu saat
menempuh pendidikan di kampus yang sama. Fakultas dan program studi yang sama.
Sering menghabiskan waktu bersama karena selalu satu kelompok.
Dimana
ada Tantri disitulah Satya. Siapa yang mengira bahwa Tantri menikah dengan
Rian, sepupu Satya? Teman keduanya terkejut melihat undangan pernikahan Tantri
tanpa pernah ada nama Satya.
Bertemu
tapi tak berjodoh. Perumpamaan itu tepat untuk Satya dan Tantri. Tuhan tidak
menganugerahkan cinta di hati mereka. Sedekat apapun, hubungan mereka hanya
sebatas sahabat.
Meski
banyak yang mengira kesendirian Satya sampai detik ini karena patah hati
melihat Tantri menikah dengan orang lain. Tidak ada persahabatan antara
laki-laki dan perempuan tak selalu benar. Lihatlah Satya dan Tantri, mereka
masih menjalin hubungan sebagai sahabat. Kini sebagai keluarga.
“Kapten,
Tan, Kapten!” Satya menebuh bahunya, sombong.
“Mau
kapten, pilot dan apapun kalian menyebutnya, Elu itu Supir.”
Keduanya
pun tertawa senang. Sejak dulu Tantri tidak pernah menyebut Satya seorang
pilot. Dimatanya pilot, nahkoda, masinis dan supir angkutan umum itu tidak ada
bedanya. Sama-sama mengendarai kendaraan untuk mengantarkan penumpang sampai
tujuan dengan selamat. Satu perbedaan besar hanya terletak pada lintasan.
Darat, laut atau udara.
Satya
tahu itu hanya candaan Tantri sebagai protes terhadap dirinya. Selain ibu,
Tantri adalah satu-satunya orang yang menolak keputusan Satya untuk berkarir di
dunia penerbangan. Meski untuk memenuhi keinginan ayahnya tapi tidak harus
menghentikan mimpi Satya menjadi seorang arsitek.
“Apa
kabar?”
Tantri
mengajak Satya masuk kedalam rumahnya.
“Seperti
biasa. Ngurus suami dan anak-anak yang udah pada sekolah. Sama lagi rajin bikin
infused water biar nggak mual.”
“Biar
kekinian maksudnya?”
“Gue
kan mommy millennial, Sat.” Jawab
Tantri sambil mengelus perutnya yang masih rata.
“Hamil?
Elo? Lagi?”
Tantri
hanya senyum-senyum menjawabnya.
Kehamilan
yang ketiga ini, Ia mengalami mual yang cukup hebat dibandingkan dua kehamilan
sebelumnya. Tiap minum air putih dan mencium bau-bau yang menyengat akan memicu
rasa bergejolak dalam perutnya. Sehingga ia lebih memilih membuat infused water sebagai pengganti air
putih.
“Mumpung
masih muda, tenaga masih kuat jadi produksi terus.”
“Emangnya
aku pabrik anak.”
Tantri
memukul lembut lengan Rian, suaminya. Membuat Satya jengah melihat tingkah
mereka. Awalnya hanya untuk menggodanya tapi kalau setiap kali berkunjung kerumah
selalu disuguhi adegan tidak senonoh membuat siapapun risih.
“Gue
balik!” Seru Satya. “Jauh-jauh gue kesini cuma lihat kalian mesum.” Mulai
beranjak dan berjalan menuju pintu.
“Eh
… Sat, jangan pulang dong. Kamu sih!” Tantri memukul Rian kembali. Kali ini
cukup keras sehingga membuatnya mengadu. Meski mata jenaka setelah membuat
kesal sepupunya tidak hilang.
“Kan
udah lama banget nggak ketemu. Jangan pulang, dong, Sat?” Tantri menarik lengan
Satya. Mengajaknya duduk kembali. “Aku mau denger cerita kamu.”
Satya yang sudah kembali duduk
meliriknya heran. Tantri dan Rian adalah dua orang yang paling tidak ingin
mendengar pengalaman Satya. Bosan katanya. Apalagi semenjak banyak pilot yang
mengunggah aktivitas keprofesiannya di media sosial. Basi, kalau Tantri
menyebutnya.
“Diar
bilang Lo lagi deket sama manager restoran.” Celetuk Rian
“Yang!!!”
“Sorry,
sorry.” Rian hanya meringis menanggapi protes Tantri
“Aku
udah janji sama Diar buat nggak cerita-cerita.”
“Lo
bilang gini aja udah ngelanggar janji, Tan.” Satya menyahut.
“Ceritanya
kan ke Elo, Sat. Beda. Namanya siapa? Kaya gimana orangnya? Kenal dimana?”
Cecar Tantri.
“Katanya
Diar udah cerita.”
“Dia
cuma bilang lo deket sama cewek. Udah gitu aja. Cerita dong, Sat.” Tantri
menggoyang-goyang lengan Satya seperti anak kecil sedang merenget minta
dibelikan balon.
“Nggak
ada yang bisa diceritain.”
Tantri
dan Rian saling bertukar pandang. Bingung.
Satya
pun menghembuskan nafas. Jengah. Dia malas membahas hubungannya dengan Killa.
Mesti ada titik terang, tapi titik itu terlalu samar untuk diharapkan.
“Dia
nolak gue.”
Satya
merasa bisa mendengar deru nafasnya sendiri. Padahal dia tidak dalam keadaan
panik atau emosi berlebihan yang menaikkan adrenalin. Bahkan kedipan matanya
pun terdengar jelas saat mengamati Tantri dan Rian diam mematung.
Satu
detik kemudian gelak tawa terdengar menyebar keseluruh ruangan. Tawa Tantri
paling keras. Dia harus menahan perutnya agar tidak tertawa berlebihan.
Sementara Rian sudah berguling-guling dan meredam suaranya kedalam sofa.
“Jadi
maksudnya gue disuruh cerita itu buat diketawain? Apes banget gue hari ini.
Udah jadi supir taksi sekarang jadi bahan lelucon.”
Tantri
menarik tangan Satya agar duduk kembali. “Sorry. Khilaf.” Tantri melempar
bantal kearah Rian dan memintanya untuk diam. Meski sudah mendapat tambahan
tatapan galak istrinya, Rian hanya berpura-pura diam. Tapi sesungguhnya dia
sedang menahan tawa.
“Kok
bisa ditolak.” Tantri memulai bertanya.
“Ya
mana gue tahu.”
“Udah
punya cowok kali?”
“…”
“Atau
udah tunangan?”
“
… “
“Sat,
kok lo diem aja sih?” Tantri mendesak kesal.
“Gue
nggak tahu. Feeling gue sih dia
jomblo juga.”
“Terus
kenapa ditolak.”
“Gue
nggak tahu alasannya Tantri.” Satya mencubit kedua pipi Tantri yang mulai
berisi. Gemas didesak alasan yang Satya sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu.
Dia bahkan tidak berusaha mencari tahu.
Saat
Killa menolak perasaannya, Satya hanya menganggap bahwa Killa tidak bersedia
menjalin hubungan lebih dari seorang teman. Kalau menurut versi Killa
hubungannya hanya sebatas manager dengan loyal
customer. Mungkin ada alasan lain, itu pasti. Tapi semua itu tidak merubah
keadaan Satya yang ditolak.
“Kenapa
nggak dicari tahu? Emang dia nggak suka lo deketin?”
Satya
kembali berpikir. Killa tidak pernah menolak ketika ia melakukan pendekatan.
Bahkan alibinya saat menemuinya di restoran alih-alih menjadi seorang
pelanggan. Belum lagi sikap malu-malu saat Satya memaksa menemaninya menunggu
jemputan Keenan, adiknya. Tak satupun sikap Killa menunjukkan penolakan. Atas
dasar itu pula lah Satya nekat mengutarakan keseriusannya meski berakhir dengan
penolakan.
“Kalau
cewek lempeng aja dideketin tapi masih nolak, berarti masalahnya bukan di elo
tapi di cewek itu sendiri.”
“Gitu
ya?”
“Ya
ampun Satya. Umur udah tua gini masih nggak ngerti bahasa cewek. Pantes sampe
sekarang jomblo.” Giliran Tantri gemas sendiri melihat sahabatnya.
“Anaknya
susah, Tan.”
“Maksudnya?”
“Dia
itu kaya orang kebingungan. Suka tiba-tiba salah tingkah sendiri padahal gue
nggak lagi godain atau gombalin dia. Kaya dia mau maju tapi ragu-ragu tapi nggak
mundur juga.”
“Lo
kecepetan kali PDKT-nya.”
“Ya
ampun, kita tuh kenal udah setahun lebih hampir dua tahun malah. Ketemuan juga
jarang. Lo paham lah kerjaan gue gimana. Telponan, chatingan juga hampir nggak pernah. Dia aja nggak nyimpen nomer
gue. Kecuali beberapa hari terakhir.”
“Maksudnya
beberapa hari terakhir?” Tantri mengernyit heran.
“Ya
… dia akhirnya nyimpen nomer gue.”
Tantri
masih mengerutkan kening. Tanda bahwa ia belum mengerti maksud Satya.
“Statusnya
tuh cewek muncul di WA story-nya
Satya, Yang.” Sahut Rian setelah sedari tadi hanya menyimak
“Jadi
Lo stalking-in dia?”
“Namanya
jatuh cinta, stalking itu wajib.”
Rian berdiri. “Gue mau ambil minum. Ada yang mau?”
“Apa
aja.” Balas Satya.
“Minum
aku ya, Yang?”
“Okay.”
“Mau
lihat dong Sat, wajahnya kaya apa. Penasaran gue sama cewek yang nolak pesona
lo” Ujar Tantri
“Lo
punya ig kan?”
“Ada.
Tapi jarang aktif. Emang kenapa?”
“Gue
nyimpen beberapa fotonya disana ”
“Serius?”
Percakapan
selanjutnya adalah kebiasaan yang hanya Satya dan Tantri pahami. Bersyukur Rian
sudah menyingkir terlebih dahulu. Dia bisa jengkel karena tidak bisa masuk
kedalam dunia dua mantan arsitek itu.
Namun
dibelakang sana diam-diam Rian juga ikut membuka akun IG Satya. Mencari tahu
sosok gadis yang kebal dengan segala kelebihan sepupunya itu.
Sesal selalu mengekor
dibelakang. Itulah yang terjadi pada Rian. seharusnya dia mengambil minum
sesuai tujuan awal atau menjadi regu penggembira atas keseruan yang diciptakan
Tantri dan Satya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar