Selasa, 24 September 2019

# aksi mahasiswa # climate strike

Yang Unik Dari Aksi Mahasiswa

Dua hari ini panasnya luar biasa. Ditambah kecepatan angin yang terus bertambah saat matahari bergerak naik. Kadang bikin oleng saat sedang berkendara dengan motor.
Rupanya saya tidak sendiri menikmati terik matahari yang menyengat dan hembusan angin yang kuat. ada ribuan orang yang melupakan aktivitas alam tersebut. Merelakan matahari membakar kulit mereka dan membiarkan keringat bercucuran. Aksi Mahasiswa.
Demi apa?
Demi sebuah keadilan yang telah  menjadi permainan baru bagi beberapa oknum tidak bermoral.
Demi rakyat yang terjajah di negeri yang merdeka.
Demi negara yang adil dan makmur
Demi tanah air tercinta, Indonesia
Menggerakkan masa sebesar itu bukan perkara mudah. Apalagi dilakukan serentak diseluruh negeri. Meski semangat generasi muda mereka sama tapi tanpa tujuan yang jelas, aksi seperti ini tidak akan pernah terjadi.


Tentu saja hal ini mengingatkan saya pada 12 tahun yang lalu. Benar 12 tahun lalu. Tepatnya tahun 2007 saat saya baru pertama kali menyandang gelar mahasiswa. Memang tidak se-fenomenal saat mahasiswa berhasil meruntuhkan orde baru pada tahun 1998. Tapi saat itu adalah kali terakhir  saya mendengar sebuah gerakan masal dan serentak di Indonesia selain musim mudik lebaran.
Tahun ini pun tak ada bedanya dengan 12 tahun lalu. Tujuan utama bukanlah menggulingkan rezim penguasa saat ini. Tetapi mengajukan protes dan peninjauan kembali atas kebijakan yang sudah dibuat pemerintah.
Dibalik aksi heroik tersebut, rupanya menyimpan beberapa hal unik yang sayang sekali untuk dilewatkan.
Sebelum itu, saya akan berbagi kisah unik saya 12 tahun lalu.
Seorang anak desa yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi bergensi disebuah kota penyangga ibukota. Adalah saya yang diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan.
Boleh jadi saya sedang beruntung. Karena beberapa bulan setelah diterima, kejadian hari ini pun terjadi saat itu. Ditambah lagi, sebelum berangkat ke perantauan mendeklarkan diri dihadapan orang tua untuk menjadi demonstran, minimal satu kali seumur hidup. Sampai saat ini saya masih terharu mengingatnya. Jenis haru yang menggelitik lebih tepatnya.
Datanglah hari itu.
Waktu itu kuliah pagi. Dan satu per satu kawan sekelas keluar. Bahkan Ketua BEM Mahasiswa Tingkat Bersama (TPB) mengajak dengan lantang untuk terlibat dalam aksi tersebut. Sebelum perkuliahan dimulai dan dosen belum datang tentu saja. Dulu seluruh mahasiswa tingkat satu IPB digabung. Kuliah bahkan organisasi kemahasiswaan pun ada sendiri.
Lantas beberapa teman segeng pada berbisik untuk ikutan. Galau tingkat tinggilah saat itu. Antara berangkat tapi belum pamit orang tua atau tetap tinggal dan kuliah seperti biasa.
Karena kadar grusak grusuk saya yang masih level amatir. Kegalauan itu pun memuncak, Sampai gemetar saat ingin angkat tangan untuk ikut bergabung.
Tapi Tuhan mengabulkan doa bapak ibu.
Ponsel polyponic saya bergetar.
Muncul nama bapak disana.
Belum selesai mengucap kata ‘halo’ sebuah nasehat panjang bergema. Intinya adalah cukup lakukan kewajiban sebagai mahasiswa. Tugasnya apa? Belajar tentu saja. Ya … meski ada kewajiban lain yang menurut bapak saya hanya sebatas fardhu kifayah. Yang gugur saat orang lain sudah melakukannya.

Dan kegalauan itu berakhir sudah. Saya duduk manis mendengarkan dosen menjelaskan tentang struktur kalimat. Benar, itu bagian dari mata kuliah bahasa Indonesia. Mungkin aneh didengar, bahwa mahasiswa kehutanan mendapat kuliah bahasa Indonesia. IPB waktu itu memang seperti itu. tentu saja saat ini sudah berbeda.

Kembali pada aksi mahasiswaInilah beberapa potret unik yang berhasil diabadikan.

Demo sekaligus curhat
Deritanya mahasiswa itu panjang. Setiap bulan harus sedia mi instan dan promag biar nggak sakit. Atau setiap malam harus ketakutan karena dihantui mantan. 

Sumber gambar dari ig @agusbryant

Sumber gambar dari ig @tribunjambi
Sumber gambar dari ig @febiuinsuka

Foto yang Instagramable
Memangnya cuma nongkrong di kafe aja yang bisa foto-foto. Momen langka seperti ini pun harus didokumentasikan dengan epic.
Sumber gambar dari ig @fahmi_muhlis




Sumber gambar dari ig @fahmi_muhlis

Seragaman seperti ibu-ibu arisan

Umum diketahui kostum wajib saat aksi adalah almamater kampus. Selain sebagai identitas juga biar gampang nyarinya pas hilang. Nah kalau mahasiswa di Malang ini menunjukan persatuan. Dari mana asal kampusmu, apapun warna kulitmu, kita menyatu dalam kehitaman. Maksudnya baju berwarna hitam. 
"Maaf ku Tak pakai baju hitam. tapi aku pakai payung hitam kok. Sama aja kan?"

Sumber gambar dari ig @fahmi_muhlis














Apresiasi yang sebesar-besarnya untuk mahasiswa sebagai perwakilan dari generasi muda. Yang dengan lantang dan berani menyuarakan hati rakyat kecil yang tidak lagi tahu identitasnya.
Yang bingung meminta perlindungan saat diri merasa terancam
Yang bingung mencari pertolongan saat sawah-sawah mereka dialih fungsikan
Yang bingung mencari pengobatan saat ujian sakit datang
Bahkan kebingungan-kebingungan lain yang menambah berat beban hidup. Ya … nasib dadi wong cilik

Sumber gambar dari ig @cakrawalapemuda
Mahasiswa itu tidak sendiri. Dunia pun melakukan aksi yang sama. Aksi untuk mendorong para penguasa diseluruh penjuru dunia untuk segera bertindak. Melakukan aksi nyata terhadap perubahan alam yang semakin hari kian memburuk.
Semoga peluh mereka berbuah hasil. Amin


Sumber gambar dari ig @bbcindonesia

Sumber gambar dari ig @focusbabyhippo

Sumber gambar dari ig @zoebarnard

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates