Dua hari ini panasnya
luar biasa. Ditambah kecepatan angin yang terus bertambah saat matahari
bergerak naik. Kadang bikin oleng saat sedang berkendara dengan motor.
Rupanya saya tidak
sendiri menikmati terik matahari yang menyengat dan hembusan angin yang kuat.
ada ribuan orang yang melupakan aktivitas alam tersebut. Merelakan matahari
membakar kulit mereka dan membiarkan keringat bercucuran. Aksi Mahasiswa.
Demi apa?
Demi sebuah keadilan
yang telah menjadi permainan baru bagi
beberapa oknum tidak bermoral.
Demi rakyat yang
terjajah di negeri yang merdeka.
Demi negara yang adil
dan makmur
Demi tanah air
tercinta, Indonesia
Menggerakkan masa
sebesar itu bukan perkara mudah. Apalagi dilakukan serentak diseluruh negeri. Meski
semangat generasi muda mereka sama tapi tanpa tujuan yang jelas, aksi seperti
ini tidak akan pernah terjadi.
Tentu saja hal ini
mengingatkan saya pada 12 tahun yang lalu. Benar 12 tahun lalu. Tepatnya tahun
2007 saat saya baru pertama kali menyandang gelar mahasiswa. Memang tidak se-fenomenal
saat mahasiswa berhasil meruntuhkan orde baru pada tahun 1998. Tapi saat itu
adalah kali terakhir saya mendengar
sebuah gerakan masal dan serentak di Indonesia selain musim mudik lebaran.
Tahun ini pun tak ada
bedanya dengan 12 tahun lalu. Tujuan utama bukanlah menggulingkan rezim penguasa
saat ini. Tetapi mengajukan protes dan peninjauan kembali atas kebijakan yang
sudah dibuat pemerintah.
Dibalik aksi heroik tersebut,
rupanya menyimpan beberapa hal unik yang sayang sekali untuk dilewatkan.
Sebelum itu, saya akan
berbagi kisah unik saya 12 tahun lalu.
Seorang anak desa yang
beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi bergensi disebuah kota penyangga
ibukota. Adalah saya yang diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur undangan.
Boleh jadi saya sedang
beruntung. Karena beberapa bulan setelah diterima, kejadian hari ini pun
terjadi saat itu. Ditambah lagi, sebelum berangkat ke perantauan mendeklarkan
diri dihadapan orang tua untuk menjadi demonstran, minimal satu kali seumur
hidup. Sampai saat ini saya masih terharu mengingatnya. Jenis haru yang
menggelitik lebih tepatnya.
Datanglah hari itu.
Waktu itu kuliah pagi.
Dan satu per satu kawan sekelas keluar. Bahkan Ketua BEM Mahasiswa Tingkat
Bersama (TPB) mengajak dengan lantang untuk terlibat dalam aksi tersebut. Sebelum
perkuliahan dimulai dan dosen belum datang tentu saja. Dulu seluruh mahasiswa
tingkat satu IPB digabung. Kuliah bahkan organisasi kemahasiswaan pun ada
sendiri.
Lantas beberapa teman
segeng pada berbisik untuk ikutan. Galau tingkat tinggilah saat itu. Antara
berangkat tapi belum pamit orang tua atau tetap tinggal dan kuliah seperti
biasa.
Karena kadar grusak
grusuk saya yang masih level amatir. Kegalauan itu pun memuncak, Sampai gemetar
saat ingin angkat tangan untuk ikut bergabung.
Tapi Tuhan mengabulkan
doa bapak ibu.
Ponsel polyponic saya
bergetar.
Muncul nama bapak
disana.
Belum selesai mengucap
kata ‘halo’ sebuah nasehat panjang bergema. Intinya adalah cukup lakukan
kewajiban sebagai mahasiswa. Tugasnya apa? Belajar tentu saja. Ya … meski ada
kewajiban lain yang menurut bapak saya hanya sebatas fardhu kifayah. Yang gugur
saat orang lain sudah melakukannya.
Dan kegalauan itu
berakhir sudah. Saya duduk manis mendengarkan dosen menjelaskan tentang
struktur kalimat. Benar, itu bagian dari mata kuliah bahasa Indonesia. Mungkin aneh
didengar, bahwa mahasiswa kehutanan mendapat kuliah bahasa Indonesia. IPB waktu
itu memang seperti itu. tentu saja saat ini sudah berbeda.
Kembali pada aksi
mahasiswa. Inilah beberapa potret
unik yang berhasil diabadikan.
Demo
sekaligus curhat
Deritanya mahasiswa
itu panjang. Setiap bulan harus sedia mi instan dan promag biar nggak sakit. Atau
setiap malam harus ketakutan karena dihantui mantan.
Sumber gambar dari ig
@agusbryant
|
Sumber gambar dari ig
@tribunjambi
|
Sumber gambar dari ig
@febiuinsuka
|
Foto
yang Instagramable
Memangnya cuma nongkrong
di kafe aja yang bisa foto-foto. Momen langka seperti ini pun harus
didokumentasikan dengan epic.
Sumber gambar dari ig
@fahmi_muhlis
|
Sumber gambar dari ig
@fahmi_muhlis
|
Seragaman
seperti ibu-ibu arisan
Umum diketahui kostum
wajib saat aksi adalah almamater kampus. Selain sebagai identitas juga biar
gampang nyarinya pas hilang. Nah kalau mahasiswa di Malang ini menunjukan persatuan.
Dari mana asal kampusmu, apapun warna kulitmu, kita menyatu dalam kehitaman. Maksudnya
baju berwarna hitam.
"Maaf ku Tak pakai baju hitam. tapi aku pakai payung hitam kok. Sama aja kan?"
Sumber gambar dari ig
@fahmi_muhlis
|
Apresiasi yang
sebesar-besarnya untuk mahasiswa sebagai perwakilan dari generasi muda. Yang dengan
lantang dan berani menyuarakan hati rakyat kecil yang tidak lagi tahu
identitasnya.
Yang bingung meminta
perlindungan saat diri merasa terancam
Yang bingung mencari
pertolongan saat sawah-sawah mereka dialih fungsikan
Yang bingung mencari
pengobatan saat ujian sakit datang
Bahkan kebingungan-kebingungan
lain yang menambah berat beban hidup. Ya … nasib
dadi wong cilik
Sumber gambar dari ig
@cakrawalapemuda
|
Mahasiswa itu tidak
sendiri. Dunia pun melakukan aksi yang sama. Aksi untuk mendorong para penguasa
diseluruh penjuru dunia untuk segera bertindak. Melakukan aksi nyata terhadap
perubahan alam yang semakin hari kian memburuk.
Semoga peluh mereka
berbuah hasil. Amin
Sumber gambar dari ig
@bbcindonesia
|
Sumber gambar dari ig
@focusbabyhippo
|
Sumber gambar dari ig
@zoebarnard
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar