Senin, 30 September 2019

# Fiksi # mojito

FIRST DATE

“Kita beneran masuk kedalam?”
Satya hanya tersenyum dan menginjak pedal gas melewati pintu masuk setelah.
Rabu kesebelas akhirnya membawa Killa dan Satya pergi bersama. Bisa dikatakan ini adalah first date mereka. Dan Satya memilih sebuah taman buah dan bunga sebagai lokasi mereka menghabiskan waktu bersama.
“Kurasa tempat in yang paling sesai dengan kita” kata Satya.
Mereka sudah berada di dalam lokasi.
Angin gunung yang sejuk menyapa. Menyeimbangkan mentar yang bersinar cukup terik. Karena bukan peak season maka tak banyak pengunjung. Selain mobil pribadi yang mendominasi ada sedikit kendaraan besar yang menonjol.  Dua buah bis baru saja lebih dulu datang membawa rombongan sekolah.
“Naik kereta api tut … tut … tut …”
Suara seorang wanita memandu anak-anak yang berjalan berbaris kebelakang menyerupai barisan gerbong kereta. Dengan suaranya yang lembut mengajak anak-anak keci yang memakai seragam olahraga untuk bernyanyi bersama.
Sebagian besar anak-anak memegang bahu teman yang ada didepannya saat berjalan. Hanya ada satu anak yang memegang pinggang temannya. Dan anak yang pinggangnya dipegang itu merasa geli sehingga mempercepat langkahnya dan membuat kereta anak-anak itu terputus.
“Keretanya jangan sampai terputus ya … “ Seru si Ibu Guru tersebut.
Barisan kereta itu pun berlalu. Meninggalkan Satya dan Killa  yang sedang terpana. Keduanya kembali melangkah dalam diam. Keduanya sedang asik dengan isi kepala masng-masing.
Gerbong kereta itu meninggalkan tawa anak-anak yang menggema dikepala Killa dan Satya. Bagaimana pun juga mereka adalah manusia dewasa normal. Yang memiliki naluri untuk hidup berkeluarga. Namun, meski mereka sedang melakukan pendekatan, tidak ada yang berani untuk membawa kejadian barusan kedalam percakapan mereka meski sebagai candaan.
“Kamu tadi bilang, bahwa tempat ini sangat cocok dengan kita.” Killa membuka pertanyaan ketika mereka sedang menyiapkan bekal yang sudah dibawa.
“Entahlah.” Satya membuka lipatan tikar yang didesain khusus untuk dibawa bepergian sehingga muat dimasukkan kedalam tas ransel. “Kita terlalu sering bersinggungan dengan nuansa manusia.”
Killa berhenti mengeluarkan kotak-kotak berisi makanan. “Nuansa manusia?”

“Kamu bekerja di restoran/ setiap saat bertemu manusia, dikelilingi benda-benda buatan manusia. Satu-satunya yang tidak dibuat manusia mungkin hanya daging ayam yang kalian masak.”
“Manusia tidak bisa buat daun selada dan daun bawang.”
“Bisa jadi.”
Keduanya pun tertawa.
“Terus kalau kamu?”
Satu peningkatan yang Nampak jelas dari Killa adalah dia sudah berinsiatif. Seperti sekarang. Memulai percakapan untuk menghilangkan kekosongan. Hal yang mulai biasa satya rasakan. Hal yang membuat Satya tambah yakin akan keberhasilan hubungan mereka. Bahwa Killa berperan aktif didalamnya. Tidak pasif seperti sebelum-sebelumnya.
“Aku?  apa ya?” Satya merapatkan bibir dan menggerakkannya sedikit miring. “Rasanya sopir sepertiku hanya dikelilingi buatan manusia. Kecuali penumpang yang hanya kutahu namanya.”
“Dan pramugari cantik.” Killa menambahkan.
Sayangnya Satya seperti mendapat kesempatan emas untuk menggoda Killa. Dan sedikit tes.
“Waktu kamu bilang pramugari cantik, aku mendengar sedikit rasa cemburu. Sepertinya.”
“Hah? Cemburu? Mana mungkin.”
Killa merasa terpojok dan salah tingkah sendiri. Dia memang tidak merasa cemburu saat mengucapkannya. Dia hanya menambahkan karena Satya tidak menyebutkannya.
Satya tidak bisa untuk tidak terbahak melihat tingkah Killa. Pipinya yang bulat itu memerah. Gadis introvert yang cemburu itu benar-benar menggemaskan.
“Kru kabin kami memang sebagian besar perempuan. Tapi ada juga yang laki-laki.”
Alas sudah dibentangkan. Kotak-kotak makanan sudah dikeluarkan. Minuman ringan berpindah kedalam gelas. Killa membuat mojito tanpa alkohol. Rasanya benar-benar menyegarkan. Campuran daun mint, lemon, dan soda benar-benar pas diminum di tengah padang rumput hijau seperti ini.
“Kamu benar. Tempat ini sangat cocok dengan kita.” Killa sudah menghabiskan minumannya dan sekarang sedang mengisinya kembali.
“Padang rumput, pohon-pohon, kupu-kupu, suara burung. Kita terlalu sibuk bekerja. Sampai lupa bahwa ada hal lain yang bisa kita nikmati.”
Killa memandang lepas kedapan. Melewati barisan perdu yang berdiri di sela-sela rumput hijau. Di salah satu sudut tanah lapang tersebut dipenuhi sekumpulan anak-anak sedang bermain dipandu gurunya. Tawa riang mereka benar-benar lepas. Meski hanya memandang dari kejauhan spectrum bahagia itu meluas hingga menghampiri Killa.
“Buka hanya kita. Tapi anak-anak kecil itu juga merasa ini tempat yang cocok untuk mereka.”
Killa mengangguk setuju dengan ucapan Killa.
“Tempat seperti ini memang sangat cocok untuk keluarga mengahabiskan waktu. Mungkin lain kali aku bisa mengajak Mama dan Keenan kemari. biar anak itu bisa melihat hal lain selain gedung-gedung pencakar langit.”
Berlibur bersama keluarga
Batin Satya bergemuruh mendengar Killa menyebut kata keluarga. Selain orang tuanya, Satya selalu iri melihat keluarga kecil, Rian, sepupunya. Bukan iri dalam hal negative. Lebih pada motivasi, bahwa suatu saat dia juga bisa memilikinya sendiri.
Killa duduk dengan kedua kaki diluruskan saling menyilang. Rambutnya di biarkan digerai bebas tanpa ikatan seperti yang sering kali Satya lihat. Tajuk pohon yang besar itu melindungi dari sengatan matahari yang semakin panas. Tapi Satya merasakan kenyamanan saat melihatnya. Seperti kenyamanan saat ia sedang ditengah ayah ibu atau saat bersama keluarga kecil Rian.
“Ki … “
Killa menoleh.

“Mau ketemu ibuku, nggak?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates