“Kita
beneran masuk kedalam?”
Satya
hanya tersenyum dan menginjak pedal gas melewati pintu masuk setelah.
Rabu
kesebelas akhirnya membawa Killa dan Satya pergi bersama. Bisa dikatakan ini
adalah first date mereka. Dan Satya
memilih sebuah taman buah dan bunga sebagai lokasi mereka menghabiskan waktu
bersama.
“Kurasa
tempat in yang paling sesai dengan kita” kata Satya.
Mereka
sudah berada di dalam lokasi.
Angin
gunung yang sejuk menyapa. Menyeimbangkan mentar yang bersinar cukup terik. Karena
bukan peak season maka tak banyak pengunjung. Selain mobil pribadi yang
mendominasi ada sedikit kendaraan besar yang menonjol. Dua buah bis baru saja lebih dulu datang
membawa rombongan sekolah.
“Naik
kereta api tut … tut … tut …”
Suara
seorang wanita memandu anak-anak yang berjalan berbaris kebelakang menyerupai
barisan gerbong kereta. Dengan suaranya yang lembut mengajak anak-anak keci
yang memakai seragam olahraga untuk bernyanyi bersama.
Sebagian
besar anak-anak memegang bahu teman yang ada didepannya saat berjalan. Hanya ada
satu anak yang memegang pinggang temannya. Dan anak yang pinggangnya dipegang
itu merasa geli sehingga mempercepat langkahnya dan membuat kereta anak-anak
itu terputus.
“Keretanya
jangan sampai terputus ya … “ Seru si Ibu Guru tersebut.
Barisan
kereta itu pun berlalu. Meninggalkan Satya dan Killa yang sedang terpana. Keduanya kembali
melangkah dalam diam. Keduanya sedang asik dengan isi kepala masng-masing.
Gerbong
kereta itu meninggalkan tawa anak-anak yang menggema dikepala Killa dan Satya. Bagaimana
pun juga mereka adalah manusia dewasa normal. Yang memiliki naluri untuk hidup
berkeluarga. Namun, meski mereka sedang melakukan pendekatan, tidak ada yang
berani untuk membawa kejadian barusan kedalam percakapan mereka meski sebagai
candaan.
“Kamu
tadi bilang, bahwa tempat ini sangat cocok dengan kita.” Killa membuka
pertanyaan ketika mereka sedang menyiapkan bekal yang sudah dibawa.
“Entahlah.”
Satya membuka lipatan tikar yang didesain khusus untuk dibawa bepergian
sehingga muat dimasukkan kedalam tas ransel. “Kita terlalu sering bersinggungan
dengan nuansa manusia.”
Killa berhenti
mengeluarkan kotak-kotak berisi makanan. “Nuansa manusia?”
“Kamu
bekerja di restoran/ setiap saat bertemu manusia, dikelilingi benda-benda
buatan manusia. Satu-satunya yang tidak dibuat manusia mungkin hanya daging
ayam yang kalian masak.”
“Manusia
tidak bisa buat daun selada dan daun bawang.”
“Bisa
jadi.”
Keduanya
pun tertawa.
“Terus
kalau kamu?”
Satu
peningkatan yang Nampak jelas dari Killa adalah dia sudah berinsiatif. Seperti sekarang.
Memulai percakapan untuk menghilangkan kekosongan. Hal yang mulai biasa satya
rasakan. Hal yang membuat Satya tambah yakin akan keberhasilan hubungan mereka.
Bahwa Killa berperan aktif didalamnya. Tidak pasif seperti sebelum-sebelumnya.
“Aku?
apa ya?” Satya merapatkan bibir dan
menggerakkannya sedikit miring. “Rasanya sopir sepertiku hanya dikelilingi
buatan manusia. Kecuali penumpang yang hanya kutahu namanya.”
“Dan
pramugari cantik.” Killa menambahkan.
Sayangnya
Satya seperti mendapat kesempatan emas untuk menggoda Killa. Dan sedikit tes.
“Waktu
kamu bilang pramugari cantik, aku mendengar sedikit rasa cemburu. Sepertinya.”
“Hah?
Cemburu? Mana mungkin.”
Killa
merasa terpojok dan salah tingkah sendiri. Dia memang tidak merasa cemburu saat
mengucapkannya. Dia hanya menambahkan karena Satya tidak menyebutkannya.
Satya
tidak bisa untuk tidak terbahak melihat tingkah Killa. Pipinya yang bulat itu
memerah. Gadis introvert yang cemburu itu benar-benar menggemaskan.
“Kru
kabin kami memang sebagian besar perempuan. Tapi ada juga yang laki-laki.”
Alas
sudah dibentangkan. Kotak-kotak makanan sudah dikeluarkan. Minuman ringan
berpindah kedalam gelas. Killa membuat mojito tanpa alkohol. Rasanya benar-benar
menyegarkan. Campuran daun mint, lemon, dan soda benar-benar pas diminum di
tengah padang rumput hijau seperti ini.
“Kamu
benar. Tempat ini sangat cocok dengan kita.” Killa sudah menghabiskan
minumannya dan sekarang sedang mengisinya kembali.
“Padang
rumput, pohon-pohon, kupu-kupu, suara burung. Kita terlalu sibuk bekerja. Sampai
lupa bahwa ada hal lain yang bisa kita nikmati.”
Killa
memandang lepas kedapan. Melewati barisan perdu yang berdiri di sela-sela
rumput hijau. Di salah satu sudut tanah lapang tersebut dipenuhi sekumpulan
anak-anak sedang bermain dipandu gurunya. Tawa riang mereka benar-benar lepas. Meski
hanya memandang dari kejauhan spectrum bahagia itu meluas hingga menghampiri
Killa.
“Buka
hanya kita. Tapi anak-anak kecil itu juga merasa ini tempat yang cocok untuk
mereka.”
Killa
mengangguk setuju dengan ucapan Killa.
“Tempat
seperti ini memang sangat cocok untuk keluarga mengahabiskan waktu. Mungkin lain
kali aku bisa mengajak Mama dan Keenan kemari. biar anak itu bisa melihat hal
lain selain gedung-gedung pencakar langit.”
Berlibur bersama keluarga
Batin
Satya bergemuruh mendengar Killa menyebut kata keluarga. Selain orang tuanya,
Satya selalu iri melihat keluarga kecil, Rian, sepupunya. Bukan iri dalam hal negative.
Lebih pada motivasi, bahwa suatu saat dia juga bisa memilikinya sendiri.
Killa
duduk dengan kedua kaki diluruskan saling menyilang. Rambutnya di biarkan
digerai bebas tanpa ikatan seperti yang sering kali Satya lihat. Tajuk pohon yang
besar itu melindungi dari sengatan matahari yang semakin panas. Tapi Satya
merasakan kenyamanan saat melihatnya. Seperti kenyamanan saat ia sedang
ditengah ayah ibu atau saat bersama keluarga kecil Rian.
“Ki
… “
Killa
menoleh.
“Mau
ketemu ibuku, nggak?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar