Minggu, 06 Oktober 2019

# cerpen # Fiksi

Is It Over ?

Butir salju jatuh satu per satu. Tetesan air tadi sudah berganti, bersamaan dengan turunnya suhu udara yang mencapai dibawah angka nol. Butiran berwarna putih itu mulai menutupi jalanan. Atap-atap mobil yang diparkir mulai diselimuti salju. Gelap malam menambah kelap suasana.

Sayangnya itu hanya sebuah narasi. Kejadian yang sebenarnya tidak lah demikian.
Meski musim gugur hampir berakhir dan matahari masih bersinar terang. Mantel-mantel tebal belum menjadi kostum favorite. Rok mini, hot pant, tanktop dan jenis pakaian terbuka lain masih dipakai sebagian orang. mungkin outer-outer panjang dipakai untuk menghalau suhu yang berangsur-angsur turun.
Seperti sebuah summer dress berwarna putih. Melekat pada tubuh seorang wanita muda yang terbujur pada sebuah brangkar.
Dua orang laki-laki berseragam itu baru saja mendorongnya untuk memasuki mobil ambulanc. Seorang lagi yang lainnya sedang bertanya pada petugas. Sepetinya salah satu dari pegawai gedung.
Laki-laki lain, masih muda sedang mengenakan sebuah T-shirt yang ditutup dengan jas berwarna hitam. Formal tapi tetap terlihat santai. Meski tidak ada yang berbeda dengan penampilannya, dia terlihat sangat berbeda diantara banyak orang disana. Dia pun menerobos kerumunan orang-orang. hanya itu menghilangkan rasa penasaran.
What happen?”
There’s a body in the hall.”
What a pity woman.”
Laki-laki tersebut kembali memusatkan perhatian pada mobil ambulan yang bergerak menjauh. Bisik-bisik orang yang berkumpul dibelakangnya pun mulai memudar. Diikuti jumlah orang yang semakin berkurang.
Dia bahkan hampir melupakan tujuan awalnya datang ke Victoria Hall. Gedung rancangan John Camoletti tersebut mengingatkannya akan janjinya terhadap seorang kawan.
Seseorang yang baru dikenalnya. Yang membuatnya sedikit lebih mudah beradaptasi dilingkungan baru. Membuatnya tidak mengalami culture shock. Bahkan yang membuatnya semakin mencintai  tanah airnya.
Dia pun merogoh kantong jas yang ada dibagian dalam. Mengambil ponsel dan menghubungi gadis tersebut.
Tak lama menunggu, panggilan pun terjawab. Lega rasanya meski hanya pada detik pertama. Detik selanjutnya panic dan kaget yang bercampur jadi satu. Disusul khawatir dan takut yang akhirnya menguasai.
Laki-laki yang menjawab panggilannya mengaku sebagai seorang polisi. Dalam sambungan udara itu ia menjelaskan bahwa wanita pemilik ponsel tersebut ditemukan tidak sadarkan di diri didalam gedung pertunjukan. Saat ini sedang dibawa ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut.
Sebuah tiket pertunjukan music itu masih berada di dalam salah satu kantong jaket. Dan tidak akan pernah lagi dikeluarkan untuk ditukarkan dengan sebuah kursi empuk dalam gedung besar dan mewah. Sebuah posisi untuk menikmati harmonisasi instrument yang dimainkan oleh sekelompok orang.
Are you Indonesian?” Polisi itu menghampirinya.
Yes, I am
My Wife is Indonesian. Apha khabar?”
Jadi polisi ini bisa berbahasa Indonesia. Meski aksen bulenya masih sangat kental. Dengan logat yang unik itu akan mengundang tawa bila di dengar pada kondisi normal.
“Not really.”
“You’re student, right? Tentu saja hal ini bukan kejadian yang kamu harapkan saat tinggal di negeri orang. Silahkan ikut dengan kami. Ada beberapa keterangan yang ingin kami perlukan.”
Benar, bukan ini  yang ia harapkan. Menjadi seorang mahasiswa, hanya itu yang ia harapkan. Sejenak keluar dari zona nyaman yang sudah memuakkan, mengantarkan Wana sampai di negeri paling damai di dunia, Swiss.

=============
Putih menjadi satu-satunya warna yang dipilih untuk merepresantikan suci, murni dan bersih. Selain koki, dokter pun memutuskan untuk mengenakan warna putih untuk menunjukkan niat mulianya. Mungin juga seorang pilot, karena seragam mereka didominasi dengan warna putih.
Sejujurnya gedung ini sedikit unik. Bukan unik dari desain arsitekturnya melainkan warnanya yang berbeda dari kebanyakan rumah sakit yang pernah dilihatnya. Warna biru yang menghiasi sebagian besar bangunannya.
Wana sudah menapakkan kaki setalah beberapa saat berada di dalam mobil sedan. Bukan taksi yang disewanya melainkan sebuah mobil dinas kepolisian setempat. Pengalaman pertama yang menakjubkan. Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah terjadi ketika dia berada ribuan mil dari tanah kelahiran.
Bersama polisi, Wana akhirnya melangkah masuk kedalam ruang IGD.
Lagi-lagi biru. Sebagian besar orang mengenakan pakaian warna biru. Tidak ada jas berwarna putih yang berkibar-kibar. Hanya ada masker yang menutupi sebagian wajah dan sarung tangan. Semua orang sedang sibuk dengan tugas masing-masing.
Kemudian Wana berjalan mendekati satu bilik. Polisi yang bersamanya sedang berbincang dengan salah satu petugas medis.
Tirai berwarna biru itu membatasi satu ruang dengan ruang lainnya. Memberi privasi saat para tenaga medis sedang melakukan tindakan pertolongan pertama pada semua pasien yang dibawa kesana.
Tidak terkecuali dengan seorang wanita yang sedang terbujur lemas. Karenanyalah Wana mengakhirkan salah satu malam musim gugur.  Berdiri menyaksikan orang-orang berseragam menyelamatkan nyawanya.
Sebuah selang oksigen sudah terpasang di organ pernapasannya. Begitu pun dengan selang infuse yang menggantung. Juga monitor yang merekam kerja jantung sudah terpasang dengan baik.
Semua peralatan medis itu terpasang dengan baik. Seharusnya Wana sudah bisa bernafas lega. Seharusnya para dokter dan perawat itu segera pergi. Tapi mengapa mereka masih saja mengerumuninya? Itu hanya akan membuat ruangan sempit semakin sesak. Dan pasien akan kehilangan kenyamanannya.
“Mereka sedang berusaha menyelamatkan nyawanya.”
Polisi itu menggumamkan sesuatu. Sepertinya dia paham dengan isi kepala Wana. Kepalan tangan yang kuat tidak menghilangkan ketegangan di wajahnya.
“Menangani pasien over dosis tidak semudah yang orang bayangkan. Harus dilakukan dengan cepat sebelum bahan kimia itu bereaksi dan melemahkan semua jaringan yang hidup.”
Ketegangan Wana semakin menjadi manakala seorang dokter memberikan perintah dengan terikan. Seperti sedang berpacu dengan waktu. Benar, mereka sedang berpacu dengan waktu. Sedikit tindakan yang dilakukan dengan lambat maka nyawa akan melayang.
Seorang suster sedang menyiapkan alat kejut jantung. Selama menunggu daya terisi, dokter tadi memompa jantung dengan memberi tekanan pada dada kiri atas. Wajah wanita tu bergerak-gerak karena tekanan yang kuat.
Alat kejut jantung tadi sudah mengganti kerja dokter. Namun masih belum membuahkan hasil. Dokter tadi kembali memompa jantung menggunakan kedua telapak tangannya.
Wana hanya bisa melihat layar mesin jantung yang belum menampakkan hasil. Jantungnya berpacu sama cepatnya dengan dokter yang sedang mengerahkan seluruh kemampuannya. Apakah akan membuat resep pengobatan ataukah membuat surat kematian?
Rasa cemas itu semakin memuncak ketika dokter memberikan instruksi untuk meningkatkan daya pada defibrillator.
Tidak, bukan ini yang harus terjadi. harusnya saat ini ia duduk disalah satu kursi penonton. Menyaksikan pertunjukan music orchestra untuk pertama kalinya. Mendengarkan berbagai jenis instrument, bukan harmonisasi music yang berasal dari alat medis.  
Seharusnya Wana merasakan suasana yang syahdu. Bukan suasana mencekam. Yang mengantarkan pada jurang perpisahan antara kehidupan dan kematian.

Wana bahkan belum memulai babak baru dalam hidupnya. Mengapa Tuhan sudah memintanya berucap selamat tinggal?


#RWC2019
#2tahunromancethewwg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates