Butir
salju jatuh satu per satu. Tetesan air tadi sudah berganti, bersamaan dengan
turunnya suhu udara yang mencapai dibawah angka nol. Butiran berwarna putih itu
mulai menutupi jalanan. Atap-atap mobil yang diparkir mulai diselimuti salju. Gelap
malam menambah kelap suasana.
Sayangnya
itu hanya sebuah narasi. Kejadian yang sebenarnya tidak lah demikian.
Meski
musim gugur hampir berakhir dan matahari masih bersinar terang. Mantel-mantel
tebal belum menjadi kostum favorite. Rok mini, hot pant, tanktop dan jenis pakaian terbuka lain masih dipakai sebagian
orang. mungkin outer-outer panjang dipakai untuk menghalau suhu yang
berangsur-angsur turun.
Seperti
sebuah summer dress berwarna putih. Melekat
pada tubuh seorang wanita muda yang terbujur pada sebuah brangkar.
Dua
orang laki-laki berseragam itu baru saja mendorongnya untuk memasuki mobil
ambulanc. Seorang lagi yang lainnya sedang bertanya pada petugas. Sepetinya salah
satu dari pegawai gedung.
Laki-laki
lain, masih muda sedang mengenakan sebuah T-shirt
yang ditutup dengan jas berwarna hitam. Formal tapi tetap terlihat santai. Meski
tidak ada yang berbeda dengan penampilannya, dia terlihat sangat berbeda
diantara banyak orang disana. Dia pun menerobos kerumunan orang-orang. hanya
itu menghilangkan rasa penasaran.
“What happen?”
“There’s a body in the hall.”
“What a pity woman.”
Laki-laki
tersebut kembali memusatkan perhatian pada mobil ambulan yang bergerak menjauh.
Bisik-bisik orang yang berkumpul dibelakangnya pun mulai memudar. Diikuti jumlah
orang yang semakin berkurang.
Dia
bahkan hampir melupakan tujuan awalnya datang ke Victoria Hall. Gedung rancangan
John Camoletti tersebut mengingatkannya akan janjinya terhadap seorang kawan.
Seseorang
yang baru dikenalnya. Yang membuatnya sedikit lebih mudah beradaptasi
dilingkungan baru. Membuatnya tidak mengalami culture shock. Bahkan yang membuatnya semakin mencintai tanah airnya.
Dia
pun merogoh kantong jas yang ada dibagian dalam. Mengambil ponsel dan
menghubungi gadis tersebut.
Tak
lama menunggu, panggilan pun terjawab. Lega rasanya meski hanya pada detik
pertama. Detik selanjutnya panic dan kaget yang bercampur jadi satu. Disusul khawatir
dan takut yang akhirnya menguasai.
Laki-laki
yang menjawab panggilannya mengaku sebagai seorang polisi. Dalam sambungan
udara itu ia menjelaskan bahwa wanita pemilik ponsel tersebut ditemukan tidak
sadarkan di diri didalam gedung pertunjukan. Saat ini sedang dibawa ke rumah
sakit untuk ditangani lebih lanjut.
Sebuah
tiket pertunjukan music itu masih berada di dalam salah satu kantong jaket. Dan
tidak akan pernah lagi dikeluarkan untuk ditukarkan dengan sebuah kursi empuk
dalam gedung besar dan mewah. Sebuah posisi untuk menikmati harmonisasi instrument
yang dimainkan oleh sekelompok orang.
“Are you Indonesian?” Polisi itu
menghampirinya.
“Yes, I am”
“My Wife is Indonesian. Apha khabar?”
Jadi
polisi ini bisa berbahasa Indonesia. Meski aksen bulenya masih sangat kental. Dengan
logat yang unik itu akan mengundang tawa bila di dengar pada kondisi normal.
“Not really.”
“You’re student, right?
Tentu saja hal ini bukan kejadian yang kamu harapkan saat tinggal di negeri
orang. Silahkan ikut dengan kami. Ada beberapa keterangan yang ingin kami
perlukan.”
Benar,
bukan ini yang ia harapkan. Menjadi
seorang mahasiswa, hanya itu yang ia harapkan. Sejenak keluar dari zona nyaman
yang sudah memuakkan, mengantarkan Wana sampai di negeri paling damai di dunia,
Swiss.
=============
Putih
menjadi satu-satunya warna yang dipilih untuk merepresantikan suci, murni dan
bersih. Selain koki, dokter pun memutuskan untuk mengenakan warna putih untuk
menunjukkan niat mulianya. Mungin juga seorang pilot, karena seragam mereka didominasi
dengan warna putih.
Sejujurnya
gedung ini sedikit unik. Bukan unik dari desain arsitekturnya melainkan
warnanya yang berbeda dari kebanyakan rumah sakit yang pernah dilihatnya. Warna
biru yang menghiasi sebagian besar bangunannya.
Wana
sudah menapakkan kaki setalah beberapa saat berada di dalam mobil sedan. Bukan taksi
yang disewanya melainkan sebuah mobil dinas kepolisian setempat. Pengalaman pertama
yang menakjubkan. Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah terjadi ketika dia
berada ribuan mil dari tanah kelahiran.
Bersama
polisi, Wana akhirnya melangkah masuk kedalam ruang IGD.
Lagi-lagi
biru. Sebagian besar orang mengenakan pakaian warna biru. Tidak ada jas
berwarna putih yang berkibar-kibar. Hanya ada masker yang menutupi sebagian
wajah dan sarung tangan. Semua orang sedang sibuk dengan tugas masing-masing.
Kemudian
Wana berjalan mendekati satu bilik. Polisi yang bersamanya sedang berbincang
dengan salah satu petugas medis.
Tirai
berwarna biru itu membatasi satu ruang dengan ruang lainnya. Memberi privasi
saat para tenaga medis sedang melakukan tindakan pertolongan pertama pada semua
pasien yang dibawa kesana.
Tidak
terkecuali dengan seorang wanita yang sedang terbujur lemas. Karenanyalah Wana
mengakhirkan salah satu malam musim gugur. Berdiri menyaksikan orang-orang berseragam
menyelamatkan nyawanya.
Sebuah
selang oksigen sudah terpasang di organ pernapasannya. Begitu pun dengan selang
infuse yang menggantung. Juga monitor yang merekam kerja jantung sudah
terpasang dengan baik.
Semua
peralatan medis itu terpasang dengan baik. Seharusnya Wana sudah bisa bernafas lega.
Seharusnya para dokter dan perawat itu segera pergi. Tapi mengapa mereka masih
saja mengerumuninya? Itu hanya akan membuat ruangan sempit semakin sesak. Dan pasien
akan kehilangan kenyamanannya.
“Mereka
sedang berusaha menyelamatkan nyawanya.”
Polisi
itu menggumamkan sesuatu. Sepertinya dia paham dengan isi kepala Wana. Kepalan tangan
yang kuat tidak menghilangkan ketegangan di wajahnya.
“Menangani
pasien over dosis tidak semudah yang orang bayangkan. Harus dilakukan dengan
cepat sebelum bahan kimia itu bereaksi dan melemahkan semua jaringan yang
hidup.”
Ketegangan
Wana semakin menjadi manakala seorang dokter memberikan perintah dengan
terikan. Seperti sedang berpacu dengan waktu. Benar, mereka sedang berpacu
dengan waktu. Sedikit tindakan yang dilakukan dengan lambat maka nyawa akan
melayang.
Seorang
suster sedang menyiapkan alat kejut jantung. Selama menunggu daya terisi,
dokter tadi memompa jantung dengan memberi tekanan pada dada kiri atas. Wajah
wanita tu bergerak-gerak karena tekanan yang kuat.
Alat
kejut jantung tadi sudah mengganti kerja dokter. Namun masih belum membuahkan
hasil. Dokter tadi kembali memompa jantung menggunakan kedua telapak tangannya.
Wana
hanya bisa melihat layar mesin jantung yang belum menampakkan hasil. Jantungnya
berpacu sama cepatnya dengan dokter yang sedang mengerahkan seluruh
kemampuannya. Apakah akan membuat resep pengobatan ataukah membuat surat
kematian?
Rasa
cemas itu semakin memuncak ketika dokter memberikan instruksi untuk
meningkatkan daya pada defibrillator.
Tidak,
bukan ini yang harus terjadi. harusnya saat ini ia duduk disalah satu kursi
penonton. Menyaksikan pertunjukan music orchestra untuk pertama kalinya. Mendengarkan
berbagai jenis instrument, bukan harmonisasi music yang berasal dari alat
medis.
Seharusnya
Wana merasakan suasana yang syahdu. Bukan suasana mencekam. Yang mengantarkan
pada jurang perpisahan antara kehidupan dan kematian.
Wana
bahkan belum memulai babak baru dalam hidupnya. Mengapa Tuhan sudah memintanya
berucap selamat tinggal?
#RWC2019
#2tahunromancethewwg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar