Disclaimer
Tidak
memasukkan unsur agama juga kadar keimanan seseorang. Semua tulisan hanya
dilihat dari sisi kemanusian dan psikologi kejiwaan
First
Suck
“Halo.”
“Hai,
sorry aku lagi rapat sekarang. Nanti kutelpon, ya.”
Percakapan
yang umum sekali tapi tidak pernah ada yang menyadari bahwa hal itu memberikan
dampak yang sangat besar.
Untuk
beberapa orang, dialog itu dapat diterjemahkan sebagai sebuah penolakan.
Satu
kata yang memiliki magnet besar untuk menarik hal-hal buruk. Merasa tidak
dibutuhkan, merasa bukan sesuatu yang penting, tidak menjadi prioritas bahkan
tidak memiliki arti apa-apa.
Dan
itu tidak disadari terjadi setiap saat oleh orang-orang terdekat.
Sakit
kepala, pusing, lelah, meriang bisa jadi adalah gejala flu. Istirahat yang
cukup dan makan yang bergizi bisa menjadi obat. Itu adalah fisik yang sakit.
Bagaimana
jika mental yang sakit?
Mereka
yang setiap hari tersenyum, yang setiap hari bercanda, melontarkan kalimat lucu
bisa jadi tengah menyimpan kesedihan yang dalam akibat dari sepenggal
percakapan tadi.
Seorang
ibu yang setiap hari marah dan berteriak pada anaknya bisa jadi disebabkan bukan
karena kesalahan si anak.
Orang
lain mungkin akan menilai bahwa dia adalah seorang ibu yang galak. Ibu yang
jahat, terlalu keras pada anak-anak. Sehingga cemoohan, caci maki pun
dilontarkan semudah membalik telapak tangan.
Satu
lagi luka digoreskan.
Belum
lagi kehadiran seorang suami seperti ada dan tiada. Dengan kesibukan pekerjaan
yang tiada batas, merasa kewajiban sudah terwakili dengan pemenuhan materi.
Jika
sumber masalah terletak pada pelampiasan emosi maka kehadiran pendengar yang
baik itu cukup. Dan jutaan keluh kesah akan tersalurkan dengan baik.
Namun,
jika penolakan yang dirasa, kehadiran pendengar saja tidak cukup.
Apa
yang mau didengar jika mereka tidak berbicara?
Second
Suck
“Tuuuttt”
Dering
pertama
“Tuuuttt”
Dering
kedua
“Tuuttt”
Dering
ketiga.
Kemudian
sebuah pesan masuk.
“Maaf, lagi ketemu klien. Nanti kutelepon. Ada apa?”
Tambahan
pertanyaan diakhir itu tidak memberikan pengaruh apa-apa. Bahkan jika
diletakkan diawal kalimat.
Bahkan
kehadiran pesan itu saja tidak akan memperbaiki keadaan.
Gelas
yang pecah tidak bisa disatukan kembali. Begitulah wanita. Sekali hatinya
terluka, selamanya luka itu akan menganga.
Kondisi
ini tak lebih baik dari penolakan. Karena rasa-rasa yang dulu hanya melayang di
awan tiba-tiba datang menyergap.
IG : anxiety_depression___ |
Finally
Ini
adalah titik paling berbahaya.
Ketika
seseorang merasa dirinya hanya seorang diri di dunia ini. ketika dia merasa
bahwa hanya ada dirinya sendiri. Ketika dalam gegap gempita tapi kekosongan
menyelimuti diri.
Hal
ini berbeda dengan kesepian.
IG : selfcareispriority |
Kesepian
hanya merindukan kehadiran orang lain disampingnya. Ketika seseorang datang
maka segalanya akan berubah menjadi lebih baik.
Namun
keadaan ini tidak lah demikian. Ada atau tidakadaan orang lain tidak memberi
perbedaan.
Dia
tetap merasa sendiri. Dalam dunianya yang gelap dan pekat. Setitik cahaya tak
mampu memberikan penerangan.
Sehingga
keputusasaan akan lebih mudah menghampiri hingga kalimat terakhir pun terucap.
“Aku
berhenti.”
Bukan
mata, bukan pula telinga. Tapi rengkuhan hangat yang menunjukkan bahwa aku ada
untuk kamu.
Wah suamiku banget itu huhuhu
BalasHapusTipsnya ya kita mesti cari kesibukan biar enggak punya pikiran yang aneh-aneh. Dan afirmasi positif jika memang berbicara secara tidak langsung itu mengakibatkan diri menebak-nebak ekspresi,situasi dan kondisi. Beda dengan jika langsung face to face berbicara.
Pokonya positive thinking lah yang jadi bentengnya.
sepertinya yang mbak tulis ini jadi tren rumah tangga modern. Tahun-tahun ini, saya dan teman-teman cukup banyak mendampingi ibu2 depresi. suaminya? entahlah.
BalasHapusJadi teringat salah satu tetanggaku, setiap hari srlalu memarahi anaknya. Aku nggak yakin anaknya nakal, melainkan ia hanya butuh kebebasan untuk lampiaskan kreatifitasnya. Semoga ia dan ibu2 yang lain segera bisa menemukan solusi ini. Berpelukaaaan dan saling merasakan kehangatan kasih sayang anggota keluarga.
BalasHapusBener banget, dicuekin itu rasanya ngga enak. Berasa sendiri, ngga ada yang peduli, kalah sama gadget. Kalo aku sih harus berusaha untuk selalu positive thinking, cari kesibukan & cerewet biar dapat perhatian & sejenak melupakan gadgetnya.
BalasHapusSedih baca artikel ini. Mudah²an engga ada lagi orang terutama Ibu yang merasa sendirian dan diabaikan, karena suaminya cuek.
BalasHapusHuhu...sedih...
Apalagi yuni yang baperan. Duh, kalau telpon temen dan dia nggak ngerespon juga tu rasanya terabaikan. Mesti berusaha keras memikirkan kemungkinan yang baik, misal dianya sedang sibuk dan lain sebagainya.
BalasHapusSuamiku juga gitu. Kalau ditelepon dia balas WA, "Sik, ayah sik ketemu klien. Nanti ditelepon ya." Emang sih, langsung ditelepon begitu udahan ketemu kliennya. Ya, mau bagaimana lagi, gak bisa protes. Makanya aku usahain kalau ketemu ngomong sebanyak-banyaknya. Karena pada dasarnya aku ini nggak bisa sendiri. Extrovert yang baru mulai belajar jadi ambivert. Selain itu selalu berusaha positive thinking. Kalau udah beneran capeknya, biasanya tidur atau enggak jajan micin, hahaha.
BalasHapusHmm..bapak bapak kadang gitu ya, apa tidak sadar ya kalo istrinya ini butuh segera dibalas perhatian nya. Dengan segera dijawab telponnya, dng segera dibalas chatting an wa nya, bukannya nanti nanti trus terlupa.
BalasHapusDia bilang sih yg seperti itu tidak penting bgt, toh yg penting dia tanggung jawab, dia setia. Sudah cukup. Ehehe..itu kalo pikiran suamiku mbak. Maunya sih cuek, tapi kok rasanya tetep ada yg kurang gitu ya. Jangan jangan saya mulai ada gejala depresi nih, saya orangnya introvert sih. Mungkin suami saya begitu karena saya nya yg introvert yak wkwk..kok malah jadi kayak sesi curcol ke psikiater inih
Kalo kebanyakan baper mah rugi sendiri ya mba. Makanya penting banget sebisa mgk kita possitif thinking heheh... #selfreminder sih kalo ini
BalasHapusRasa diperlulan, rasa diijnginkan, rasa dibutuhkan, serta rasa disayang, sesuatu yang tak terlihat, tspi nyata
BalasHapusOh... betapa kesehatan jiwa lebih penting ya mbak? Karena nantinya jiwa yang akan menggiring fisik melakukan hal-hal sesuai pilihan "jiwa".semoga kita selalu diberi kesehatan jiwa dan raga, ya mbak? Aamiin
BalasHapusHiks... sedih bacanya. Bersyukur, suami saya tidak seperti itu.
BalasHapusBaca kisahnya kok jadi ikutan baper ya, meski alhamdulillah tidak pernah merasakan seperti itu. Kalau kondisi seperti itu dalam sebuah rumah tangga memang sebaiknya dibicarakan baik-baik ya...harus ada komunikasi sih, intinya.
BalasHapusKebetulan saya sedang tertarik dg hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan mental perempuan. Betul, Mbak. Mental yg sehat akan membuat perempuan dan kaum ibu lebih tegar menghadapi hidup. Kadang kita memang hanya perlu didengarkan kok. Juga terbebas dari stigma negatif khalayak ramai yg tidak paham bahwa sehat mental itu sama pentingnya dengan sehat fisik
BalasHapusSentuhan ... pelukan dari pasangan halal memamg memberi arti lebih dari berpuluh2 ribu kata.
BalasHapusTapi masalahnya ada beberapa pria dengan kriteria intrivert yang juga mudah stres, hehe.
Saling memahami dan mencoba terus berkomunikasi menurut saya adalah cara yang tepat daripada merasa diri ini sendiri.