Pernahkah
kamu merasa bahwa dengan menangis maka semua masalah akan selesai? Dengan
mengeluarkan semua emosi melalui tetesan air yang mengalir deras dari sepasang
mata maka hidup akan baik-baik saja, semua akan kembali normal?
Itulah
yang Megan butuhkan.
Sebuah
public restroom yang tidak sedang
digunakan orang beberapa waktu kedepan. Memasuki sebuah bilik dan menguncinya
dari dalam. Maka tumpah ruahlah semua emosi yang bersarang dalam jiwa. Jeritan
dan pekikan ia lepaskan begitu saja. Dengan bantuan telapak tangan untuk
meredam kuatnya suara yang dihasilkan.
Mengeluarkan
sebuah handuk kecil dari dalam tas, Megan mengganti telapak tangannya yang
basah. Menyerap tiap mili cairan yang keluar dari setiap lubang diwajahnya.
Lima
menit adalah waktu yang Megan perlukan untuk menyelesaikan persoalan emosi.
Pada detik terakhir sepasang matanya akan menutup dan berhenti mengeluarkan air.
Seperti keran yang tiba-tiba ditutup. Semua arus itu pun berhenti.
Pintu
bilik pun dibuka.
Megan
mengeluarkan sebuah facial wash dan
membasuh wajahnya. Sekilas bekas-bekas air mata itu pun menghilang. Kelopak
mata yang membengkak mulai terlihat normal. Wajah putihnya kembali segar.
Mengambil satu lagi handuk kecil lalu menyeka bulir-bulir air yang membasahi
wajahnya.
Dengan
keterampilannya memainkan peralatan make
up maka musnah sudah segala jenis emosi
yang beberapa saat lalu menempel diwajahnya. Menyisakan sebuah bahagia
yang menyelubungi emosi sebelumnya.
Pewarna
bibir berwarna pink itu menambah
kesegaran wajahnya. Tak seorang pun bisa melihat bahwa pernah sebuah murka
menghiasi wajah cantiknya. Perpaduan antara Asia dan Eropa, seperti bintang di
musim dingin. Bersinar paling terang. Merangsang senyum berkembang pada bibir
setiap orang yang melihatnya.
Langkah
kakinya yang ringan dengan ayunan tangan yang lembut. Merepresentatifkan betapa
indahnya hidup. Seolah tidak pernah ada kesulitan yang menghampiri. Dengan
sedikit lompatan kecil Megan berjalan. Seperti tidak pernah merasa terganggu
dengan sengatan matahari di musim panas.
Bunga-bunga
dihatinya sedang bermekaran. Warna warni memenuhi taman dengan gemericik air
mancur yang tidak pernah berhenti mengalir.
Siapapun
akan mengatakan bahwa Megan adalah seorang wanita yang penuh kehangatan. Dengan
bahasa tubuhnya mampu menularkan virus kebahagiaan, hanya dengan melihat saja.
Manusia
memiliki satu hal yang selalu menunjukkan kejujuran. Sebagian menyebutnya hati
tapi mereka keliru. Justru hati adalah bagian tubuh yang paling pandai
bersandiwara. Dengan keperkasaan logika, mode hati bisa diatur untuk menampakan
yang ingin ditampakkan. Tapi mata, dia tidak pernah bisa melakukannya. Sekuat
apapun hati dan pikiran memaksa, mata tetap menunjukkan yang seharusnya
ditunjukkan.
“I’m home.”
Bunyi
gemerincing mengikuti sapaan. Jemari lentik itu sedikit lebih lambat menyentuh
sebuah wind chime yang tergantung di
teras rumah. Sehingga harus mundur beberapa langkah untuk membuatnya berbunyi.
Matahari
tersenyum terukir pada bagian yang berbentuk lingkaran sebagai tempat
menggantungnya sumber suara. Ada 4 buah bilah bambu dengan ukuran panjang yang
sama yang saling berbenturan menimbulkan bunyi ketika digerakkan.
Bambu
di benua eropa? Tidak. Ini adalah satu dari banyaknya benda yang Chris bawa
pulang untuk menghiasi rumahnya. Ada puluhan pernak pernik yang memenuhi
dinding rumah yang berasal dari tempat-tempat yang pernah Chris kunjungi.
Lonceng angin Ia bawa ketika berkunjung ke China.
“You’re late.”
“Oh I’m sorry, Mama.”
Megan mengecup kedua pipi Jane. “I had to
close the shop before going home.”
Meski
sudah menjadi warga Negara Swiss, mereka masih menggunakan bahasa inggris.
Hanya didalam rumah tentu saja atau sedang bertemu turis asing. Ketika
berinteraksi dengan masyarakat local maka bahasa Jerman diaktifkan. Susah
mengubah kebiasaan dalam waktu singkat meski berada di lingkungan yang sangat
mendukung.
“Kamu
sendirian?”
Jane
melongok kebelakang Megan. Memastikan menantunya itu tidak datang seorang diri.
Megan
mendesah. “Mama tahu bagaimana Chris. Dia sangat mencintai pekerjaannya
dibanding kita. Dia mengirim pesan bahwa dia harus menunda kepulangannya.”
Megan berjalan melewati Jane menuju dapur. “Dia memintaku membeli coklat
kesukaanmu.” Megan mengeluarkan sebuah kotak persegi dengan plastik transparan
sebagai penutupnya. Tidak lupa sebuah pita berwarna putih ditambahkan untuk
mempermanis penampilan dari sebuah kotak kemasan.
Jane
melengos kecewa. Kemudian menekan tombol pada kursi roda dan meninggalkan
Megan.
Sepuluh
tahun sudah, satu-satunya wanita yang Megan sayangi itu beraktivitas diatas
alat bantu. Strok bukan menjadi satu-satunya alasan. Usia turut memberikan
sumbangan atas lumpuhnya kaki Jane.
Dengan
langkah lebar, Megan berhasil menahan kursi roda. Dia berjalan memutar kemudian
duduk berlutut dihadapan Jane.
Meletakkan
kotak coklat dipankuan Jane. “Chris sangat menyesal tidak bisa berkumpul dengan
kita malam ini.”
Coklat
dan ketulusan, siapa yang bisa menolaknya? bahkan Jane pun tidak memiliki
banyak kekuatan melakukannya. Diusianya yang tinggal menghitung waktu saat
malaikat pencabut nyawa datang menjemput, ia hanya bisa menerima.
“Ingatkan
Chris kalau dokter melarangku mengonsumsi terlalu banyak gula.” Bersama Megan,
Jane pun tersenyum dan memberikan pelukan hangat.
Tak
ada lagi yang Jane harapkan di waktu senjanya. Putra semata wayangnya telah
menemukan pendamping hidup yang sangat sempurna. Sempurna untuk Chris juga
untuknya. Bila detik berikutnya Tuhan meminta nyawanya, Jane akan dengan senang
hati menyerahkan. Karena kebahagiannya selama hidup sudah lengkap.
“Baiklah,
Mama.” Megan bangkit. “Aku antar ke kamar. Sudah waktunya tidur.”
Setelah
memastikan Jean mendapatkan posisi paling nyaman untuk tidur, Megan mematikan
lampu. Membiarkan lampu tidur tetap menyala.
Ia
pun melanjutkan dengan lampu-lampu yang masih memberikan terang pada rumah yang
ditinggali hampir 5 tahun belakang.
Kini
hanya ada satu ruangan yang masih dipenuhi cahaya lampu, kamarnya. Ruang
pribadinya bersama Chris yang berada dilantai 2.
Megan
menyalakan sebuah laptop. Sementara menunggu, Megan berganti baju. Menukarnya
dengan piyama tidur bebahan satin yang lembut. Yang membuat nyaman siapapun
yang mengenakannya saat tidur.
Setelah
memastikan make up diwajahnya
benar-benar bersih, Megan duduk diatas ranjang. Menyandarkan punggungnya pada
tumpukan bantal. Dengan laptop diatas pangkuan, Ia membuka sebuah aplikasi
media sosial, facebook. Megan pun menuliskan beberapa kalimat pada beranda
miliknya dengan menandai akun suaminya. Chris Gordon.
I
told you. She’d be disappointed. She couldn’t resist her favorite chocolate. She
also asked me to remind you that her doctor asked her to cut down on the sweet
food. I miss you so much. Go home quickly.
Megan
kemudian menekan tombol kirim. Setelah unggahannya berhasil, dia menggeser
halaman berandanya ke bawah. Melihat postingannya beberapa hari kebelakang.
Tidak ada yang meninggalkan komentar. Hanya ada seorang yang menanggapi
postingannya pada 10 hari terakhir. Sebuah gambar jempol berwarna biru tercetak
jelas pada bagian kiri bawah postingannya. Yang berasal dari akun bernama Chris
Gordon.
“Kamu
hanya memberikan jempolmu. Tidak pernah sekalipun memberikan komentar. Atau mungkin
sesekali mengganti jempol dengan yang lain. Bahkan ekspresi sedih pun tidak
mengapa. Aku bosan melihat jempol birumu.” Tentu saja Megan sedang berbicara sendiri.
Suaminya tidak ada disana.
idn times |
Chris
bekerja di lembaga sosial dunia yang berpusat di Jenewa, Swiss. International
Committee of the Red Cross menugaskannya pergi ke Indonesia yang sedang dalam
keadaan darurat bencana untuk memberikan bantuan. Sebuah mega tsunami telah
menghacurkan beberapa wilayah di pesisir samdera pasifik. Indonesia menjadi
salah satu negara dengan dampak paling parah.
Kerusakan
yang terjadi membuat semua infrastruktur rusak berat. Termasuk jaringan
komunikasi. Sebelum berangkat, Chris sudah berpesan bahwa komunikasi akan sulit
dilakukan. Tapi akan segera memberi kabar bila kondisi sudah memungkinkan.
Hampir
seminggu Megan tidak mendapat kabar apa-apa. Hanya mengandalkan informasi yang
ada di media saja. Itu pun tidak terlalu spesifik. Ia hanya berpegangan pada
prinsip “no news is a good news”. Jika tidak ada yang menghubunginya maka Chris
baik-baik saja.
Hal
itu juga yang membuatnya tetap berpikiran positif. Memenangkan logika
dibandingkan hatinya. Sehingga hari-hari saat Chris sedang bertugas akan
terlewati dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar