Minggu, 20 Oktober 2019

# ICRC # lets count

Lets Count : Two


Pernahkah kamu merasa bahwa dengan menangis maka semua masalah akan selesai? Dengan mengeluarkan semua emosi melalui tetesan air yang mengalir deras dari sepasang mata maka hidup akan baik-baik saja, semua akan kembali normal?
Itulah yang Megan butuhkan.
Sebuah public restroom yang tidak sedang digunakan orang beberapa waktu kedepan. Memasuki sebuah bilik dan menguncinya dari dalam. Maka tumpah ruahlah semua emosi yang bersarang dalam jiwa. Jeritan dan pekikan ia lepaskan begitu saja. Dengan bantuan telapak tangan untuk meredam kuatnya suara yang dihasilkan.
Mengeluarkan sebuah handuk kecil dari dalam tas, Megan mengganti telapak tangannya yang basah. Menyerap tiap mili cairan yang keluar dari setiap lubang diwajahnya.
Lima menit adalah waktu yang Megan perlukan untuk menyelesaikan persoalan emosi. Pada detik terakhir sepasang matanya akan menutup dan berhenti mengeluarkan air. Seperti keran yang tiba-tiba ditutup. Semua arus itu pun berhenti.
Pintu bilik pun dibuka.
Megan mengeluarkan sebuah facial wash dan membasuh wajahnya. Sekilas bekas-bekas air mata itu pun menghilang. Kelopak mata yang membengkak mulai terlihat normal. Wajah putihnya kembali segar. Mengambil satu lagi handuk kecil lalu menyeka bulir-bulir air yang membasahi wajahnya.
Dengan keterampilannya memainkan peralatan make up maka musnah sudah segala jenis emosi  yang beberapa saat lalu menempel diwajahnya. Menyisakan sebuah bahagia yang menyelubungi emosi sebelumnya.
Pewarna bibir berwarna pink itu menambah kesegaran wajahnya. Tak seorang pun bisa melihat bahwa pernah sebuah murka menghiasi wajah cantiknya. Perpaduan antara Asia dan Eropa, seperti bintang di musim dingin. Bersinar paling terang. Merangsang senyum berkembang pada bibir setiap orang yang melihatnya.
Langkah kakinya yang ringan dengan ayunan tangan yang lembut. Merepresentatifkan betapa indahnya hidup. Seolah tidak pernah ada kesulitan yang menghampiri. Dengan sedikit lompatan kecil Megan berjalan. Seperti tidak pernah merasa terganggu dengan sengatan matahari di musim panas.
Bunga-bunga dihatinya sedang bermekaran. Warna warni memenuhi taman dengan gemericik air mancur yang tidak pernah berhenti mengalir.
Siapapun akan mengatakan bahwa Megan adalah seorang wanita yang penuh kehangatan. Dengan bahasa tubuhnya mampu menularkan virus kebahagiaan, hanya dengan melihat saja.
Manusia memiliki satu hal yang selalu menunjukkan kejujuran. Sebagian menyebutnya hati tapi mereka keliru. Justru hati adalah bagian tubuh yang paling pandai bersandiwara. Dengan keperkasaan logika, mode hati bisa diatur untuk menampakan yang ingin ditampakkan. Tapi mata, dia tidak pernah bisa melakukannya. Sekuat apapun hati dan pikiran memaksa, mata tetap menunjukkan yang seharusnya ditunjukkan.
I’m home.”
Bunyi gemerincing mengikuti sapaan. Jemari lentik itu sedikit lebih lambat menyentuh sebuah wind chime yang tergantung di teras rumah. Sehingga harus mundur beberapa langkah untuk membuatnya berbunyi.
Matahari tersenyum terukir pada bagian yang berbentuk lingkaran sebagai tempat menggantungnya sumber suara. Ada 4 buah bilah bambu dengan ukuran panjang yang sama yang saling berbenturan menimbulkan bunyi ketika digerakkan.
Bambu di benua eropa? Tidak. Ini adalah satu dari banyaknya benda yang Chris bawa pulang untuk menghiasi rumahnya. Ada puluhan pernak pernik yang memenuhi dinding rumah yang berasal dari tempat-tempat yang pernah Chris kunjungi. Lonceng angin Ia bawa ketika berkunjung ke China.
“You’re late.”
“Oh I’m sorry, Mama.” Megan mengecup kedua pipi Jane. “I had to close the shop before going home.”
Meski sudah menjadi warga Negara Swiss, mereka masih menggunakan bahasa inggris. Hanya didalam rumah tentu saja atau sedang bertemu turis asing. Ketika berinteraksi dengan masyarakat local maka bahasa Jerman diaktifkan. Susah mengubah kebiasaan dalam waktu singkat meski berada di lingkungan yang sangat mendukung.
“Kamu sendirian?”
Jane melongok kebelakang Megan. Memastikan menantunya itu tidak datang seorang diri.
Megan mendesah. “Mama tahu bagaimana Chris. Dia sangat mencintai pekerjaannya dibanding kita. Dia mengirim pesan bahwa dia harus menunda kepulangannya.” Megan berjalan melewati Jane menuju dapur. “Dia memintaku membeli coklat kesukaanmu.” Megan mengeluarkan sebuah kotak persegi dengan plastik transparan sebagai penutupnya. Tidak lupa sebuah pita berwarna putih ditambahkan untuk mempermanis penampilan dari sebuah kotak kemasan.
Jane melengos kecewa. Kemudian menekan tombol pada kursi roda dan meninggalkan Megan.
Sepuluh tahun sudah, satu-satunya wanita yang Megan sayangi itu beraktivitas diatas alat bantu. Strok bukan menjadi satu-satunya alasan. Usia turut memberikan sumbangan atas lumpuhnya kaki Jane.
Dengan langkah lebar, Megan berhasil menahan kursi roda. Dia berjalan memutar kemudian duduk berlutut dihadapan Jane.
Meletakkan kotak coklat dipankuan Jane. “Chris sangat menyesal tidak bisa berkumpul dengan kita malam ini.”
Coklat dan ketulusan, siapa yang bisa menolaknya? bahkan Jane pun tidak memiliki banyak kekuatan melakukannya. Diusianya yang tinggal menghitung waktu saat malaikat pencabut nyawa datang menjemput, ia hanya bisa menerima.
“Ingatkan Chris kalau dokter melarangku mengonsumsi terlalu banyak gula.” Bersama Megan, Jane pun tersenyum dan memberikan pelukan hangat.
Tak ada lagi yang Jane harapkan di waktu senjanya. Putra semata wayangnya telah menemukan pendamping hidup yang sangat sempurna. Sempurna untuk Chris juga untuknya. Bila detik berikutnya Tuhan meminta nyawanya, Jane akan dengan senang hati menyerahkan. Karena kebahagiannya selama hidup sudah lengkap.
“Baiklah, Mama.” Megan bangkit. “Aku antar ke kamar. Sudah waktunya tidur.”
Setelah memastikan Jean mendapatkan posisi paling nyaman untuk tidur, Megan mematikan lampu. Membiarkan lampu tidur tetap menyala.
Ia pun melanjutkan dengan lampu-lampu yang masih memberikan terang pada rumah yang ditinggali hampir 5 tahun belakang.
Kini hanya ada satu ruangan yang masih dipenuhi cahaya lampu, kamarnya. Ruang pribadinya bersama Chris yang berada dilantai 2.
Megan menyalakan sebuah laptop. Sementara menunggu, Megan berganti baju. Menukarnya dengan piyama tidur bebahan satin yang lembut. Yang membuat nyaman siapapun yang mengenakannya saat tidur.
Setelah memastikan make up diwajahnya benar-benar bersih, Megan duduk diatas ranjang. Menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal. Dengan laptop diatas pangkuan, Ia membuka sebuah aplikasi media sosial, facebook. Megan pun menuliskan beberapa kalimat pada beranda miliknya dengan menandai akun suaminya. Chris Gordon.
I told you. She’d be disappointed. She couldn’t resist her favorite chocolate. She also asked me to remind you that her doctor asked her to cut down on the sweet food. I miss you so much. Go home quickly.
Megan kemudian menekan tombol kirim. Setelah unggahannya berhasil, dia menggeser halaman berandanya ke bawah. Melihat postingannya beberapa hari kebelakang. Tidak ada yang meninggalkan komentar. Hanya ada seorang yang menanggapi postingannya pada 10 hari terakhir. Sebuah gambar jempol berwarna biru tercetak jelas pada bagian kiri bawah postingannya. Yang berasal dari akun bernama Chris Gordon.
“Kamu hanya memberikan jempolmu. Tidak pernah sekalipun memberikan komentar. Atau mungkin sesekali mengganti jempol dengan yang lain. Bahkan ekspresi sedih pun tidak mengapa. Aku bosan melihat jempol birumu.” Tentu saja Megan sedang berbicara sendiri. Suaminya tidak ada disana.
idn times

Chris bekerja di lembaga sosial dunia yang berpusat di Jenewa, Swiss. International Committee of the Red Cross menugaskannya pergi ke Indonesia yang sedang dalam keadaan darurat bencana untuk memberikan bantuan. Sebuah mega tsunami telah menghacurkan beberapa wilayah di pesisir samdera pasifik. Indonesia menjadi salah satu negara dengan dampak paling parah.
Kerusakan yang terjadi membuat semua infrastruktur rusak berat. Termasuk jaringan komunikasi. Sebelum berangkat, Chris sudah berpesan bahwa komunikasi akan sulit dilakukan. Tapi akan segera memberi kabar bila kondisi sudah memungkinkan.
Hampir seminggu Megan tidak mendapat kabar apa-apa. Hanya mengandalkan informasi yang ada di media saja. Itu pun tidak terlalu spesifik. Ia hanya berpegangan pada prinsip “no news is a good news”. Jika tidak ada yang menghubunginya maka Chris baik-baik saja.
Hal itu juga yang membuatnya tetap berpikiran positif. Memenangkan logika dibandingkan hatinya. Sehingga hari-hari saat Chris sedang bertugas akan terlewati dengan baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates