“Geneva.”
Berdiri
ditengah-tengah ruangan super besar tidak hanya merasa kecil tapi juga sepi.
Orang-orang hilir mudik. Sebagian berjalan dengan tergesa-gesa seolah-olah
waktu yang mereka miliki sangat sedikit dan tidak ingin menyia-nyiakan walau sedetik
saja. Sebagian lagi berjalan cukup tenang dengan kepala setengah mendongak
mengagumi salah satu bandar udara internasional di Swiss.
Gedung
bernuansa terang ini memiliki atap tinggi dengan sedikit lengkungan. Ya, hanya
sedikit. Tidak seperti desain bangunan eropa jaman dulu dengan atap melengkung
yang hampir menyerupai setengah tabung silinder. Yang sama hanya bagian
jendela. Yang terbuat dari kaca besar berbentuk kotak-kotak yang berderet dari
ujung satu ke ujung yang lain. Rangka-rangka atap yang dibuat terlihat sehingga
menambah kesan luas.
Bersih
dan teratur.
Dua
kata itu cukup untuk mendeskripsikan apa yang laki-laki indo lihat saat ini. Banyak
orang yang memenuhi ruang besar ini tidak lantas menghilangkan image tersebut.
Inilah salah satu alasan Edgar nyaman tinggal di benua terkecil di dunia.
Tubuh
jangkung memudahkannya meluaskan pandangan.
Seperti
kebanyakan imigran, datang seorang diri kemudian menunggu seseorang menyambut.
Kemungkinan besar adalah keluarga, teman atau mungkin tour guide.
Lihat
saja, dihadapannya saat ini berjejer orang-orang dengan membawa tulisan berisi
nama seseorang. Louissa, Andrew, Claire, Kim Je Ha? Hampir saja Edgar tertawa
lepas membaca nama orang yang ia yakini berasal dari negeri gingseng. Untung
saja dia masih bisa menahan diri sehingga tidak perlu menjadi pusat perhatian
karena tidak bisa mengendalikan diri.
Tentu
saja Edgar tahu. bahkan mengingat dengan sangat jelas.
Beberapa
hari lalu Elma meminta untuk ditemani menyelesaikan serial drama korea yang
terlambat ditonton. Meski hanya sekilas, karena lebih dari 10 jam itu Edgar
lewatkan dengan tidur. Adiknya itu hanya memerlukan kehadiran seseorang. Tidak
perlu memiliki selera yang sama. Yang pasti harus memiliki cadangan kesabaran
tanpa batas dan pendengaran yang kebal dengan ocehan-ocehan seputar fansgirl.
Kembali
lagi dengan nama-nama yang sedang berderet. Wajah-wajah putih pucat, rambut
coklat atau blonde, hidung mancung juga
mata sipit keragaman bentuk fisik ras yang ada di dunia bercampur jadi satu.
Jangan heran kalau ada orang korea disini. Nama yang tertulis dikertas yang
diacungkannya cukup menjelaskan. Untungnya dia memiliki postur tubuh tinggi
sehingga bisa bersaing dengan pemilik ras kaukasia.
Edgar?
Tentu saja mencari wajah pribumi. Tidak cukup sulit karena pasti terlihat
berbeda. Seperti orang korea tadi. Hanya saja ia tidak menemukan. Hingga kakinya
sudah melewati pagar pembatas penumpang pesawat dan penjemput. Bahkan, hingga kerumunan
orang-orang itu berangsur pergi dia masih menunggu.
“She lated.”
Tapi
sebentar. Ketika orang-orang sudah membubarkan diri Edgar menangkap sosok
pribumi yang dicarinya. Rambut hitamnya sudah berganti warna menjadi kecoklatan.
Dan matanya, tampak berbeda dengan miliknya atau milik pribumi lainnya. Sekilas
nampak berwarna hijau kebiruan. Ahh … dia memakai softlens lagi. pernah
mengalami iritasi masih juga menggunakan lensa buatan manusia. Ketika Edgar
melangkah hendak melangkah, wanita itu mengenakan kacamata hitam. Berpaling dan
berjalan menjauh tanpa menyadari keberadaannya disana.
Edgar
membuka mulut, siap memanggil. Namun terkatup lagi setelah terdengar deru nafas
disampingnya.
“Sorry, sorry.”
Gadis
itu membungkuk dengan tangan bertumpu pada lututnya. Rambutnya yang panjang
menutupi wajah. Masih berwarna hitam hanya bergelombang dibagian ujungnya. Saat
mengangkat wajahnya untuk berdiri tegak, menampakkan wajah yang sangat Edgar
kenal. Bola matanya selegam miliknya. Parasnya masih ayu khas keturunan sunda.
Semuanya masih sama. Rupanya Edgar salah mengenali orang.
“Thank you for making me wait.”
“Cuma
10 menit.” Balasnya dengan menyeringai yang menampakkan deretan giginya.
“Tenang, 10 menitmu akan sebanding. Karena aku akan mengantarmu menggunakan
mobil. Perjalanan kita tidak akan terganggu dengan naik turun kereta.”
Tentu
saja semua ocehannya tidak ditanggapi serius oleh Edgar.
Sophie
namanya. Akhirnya dia menjadi salah satu staff kedutaan besar Indonesia untuk
negara Swiss. Karena sebelumnya dia hanya di rekrut untuk menjadi tenaga
pengajar. Seperti kebanyakan KBRI di Negara lain, disini juga dibuka kursus
bahasa Indonesia.
“Pasti
sebanding!” Sophie bersikeras. “Kamu tidak tahu betapa keras usahaku bisa
memakai mobil beserta supirnya. Biasanya aku hanya diizinkan memakai mobil
saja. Dan tentu saja tidak akan kuterima karena aku tidak punya SIM disini.”
Edger
terkekeh mendengar Sophie mengucapkan kata SIM. Entahlah, terdengar lucu saja.
“Apa?”
selidik Sophie.
“Nothing.” Edgar menaikkan kedua bahunya.
“Mumpung
ketemu gue, puas-puasin ngomong bahasa Indonesia. Setelah ini mulut lo bakal
kram kebanyakan nginggris dan njerman.”
Kali
ini Edgar tak bisa lagi menahan. tawanya dan langsung terbahak-bahak mendengar
pengucapan Sophie menyederhanakan bahasa Inggis dan Jerman. Bahkan Sophie pun
ikut tertawa karena memang terdengar sangat konyol.
Tawa
mereka berhenti setelah masuk kedalam mobil dan barang-barang Edgar sudah
tersimpan dalam bagasi. Penduduk lokal yang duduk dibalik kemudi membawa mereka
membelah kota Geneva.
=====
Sepi
dan teratur.
Ini
salah satu alasan Edgar kembali ke daratan eropa. Ia menyukai kekosongan yang
ada di sepanjang jalan. Cukup dengan jari-jari tangannya digunakan untuk
menghitung berapa kendaraan yang ia temui.
Suara
mobil, bunyi klakson yang bersahut-sahutan, asap kendaraan yang entah kapan
terakhir kali masuk bengkel itu benar-benar membuatnya pengap. Langit biru yang
cerah sulit ditemui karena sudah terhalang oleh tebalnya polusi udara. Jangan
tanya berapa suhunya. Rasanya kulitnya sudah kebal dengan paparan panas
matahari yang kian hari suhunya selalu meningkat.
“Lo
ngapain sih balik ke Eropa? Jangan bilang gosip klo lo naksir gue itu bener?”
Sophie tidak bisa menahan rasa penasaran yang sudah di pendamnya berhari-hari.
Permintaan
khusus untuk menjemput salah satu anak pejabat bukan pertama kali diterima.
Tapi Edgar, tentu saja membuatnya sangat penasaran. Pasalnya baru setahun
berlalu setelah mereka bertemu pada acara wisuda kelulusan sekolah pasca
sarjana kini Edgar sudah menampakkan hidung lagi.
“Gue
mau sekolah.”
Sophie tersenyum sinis. “Diantara sekian ratus
mahasiswa Indonesia di Eropa, cuma lo satu-satunya yang muak dengan pendidikan
ala kolonial ini. Keajaiban dunia kalo sekarang lo pengen sekolah lagi.”
Edgar
hanya bisa memberikan senyum paling indah yang dimilikinya. Sophie, kawan
seperjuangannya meraih gelar P.hd bukan orang yang mudah menerima alasan. Meski
seorang ahli sejarah tapi kemampuan menyelidiknya cukup mumpuni untuk menjadi
rekan kerja Conan. Tahu kan? Tokoh anime yang terjebak dalam fisik anak kecil.
“Terserah
lo lah. Tapi jangan harap gue bakal bantu lo untuk adaptasi di Swiss.”
Sophie
memalingkan wajah sebagai salah satu aksi protesnya. Dan hal itu mengundang
gelak tawa Edgar. Riuh rendah suara Edgar sampai membuat supir yang sedari tadi
hanya memerhatikan jalan harus melirik melalui kaca spion.
Namun
Edgar harus menghentikan tawanya sebelum Sophie benar-benar menelantarkannya
seorang diri di negeri paling toleran ini.
“Oke
Oke.” Edgar mengatupkan mulutnya cepat. “tapi lo enggak boleh ketawa.”
Beradaptasi
di Swiss bukan hal sulit. Pengalamannya tinggal di Belanda selama hampir 3 tahun
sangat cukup membantu. Apalagi budaya orang Eropa tidak jauh berbeda tiap
negara. Tapi meninggalkan jejak buruk pada sebuah hubungan sangat Edgar
hindari.
“Stok
ketawa gue udah lo habisin.”
“Lo
tahu, Negara kita lagi ada pilkada serentak?”
Sophie
mengangguk.
“Nah
tahun depan adalah akhir dari masa jabatan bokap. Jadi tahun ini gue kudu
bersiap buat ngisi posisi itu.”
Sophie
benar-benar terlihat sedang menyimak tiap kata yang Edgar ucapkan. Dan memang
benar. Hanya saja, bagi Edgar, itu bukan ekspresi serius yang dimiliki seorang
Sophie. Dimata Edgar Sophie terlihat seperti orang yang sedang mengalami mabuk
kendaraan. Dan menahan diri untuk tidak muntah didalam mobil.
“Gue
tahu endingnya bakal gini.”
“Gue
mau tanya?”
“Apa?”
“Gue
mau minta ijin buat ketawa.” Bibir Sophie tertutup sangat rapat sebagai usaha
untuk menepati janjinya agar tidak tertawa. Janji yang sekedar janji karena
wajahnya sangat tidak menunjukkan usahanya untuk tidak melanggar.
Edgar
hanya melengos, acuh tak acuh. Tidak peduli lagi dengan tanggapan Sophie.
Jangankan Sophie, dia sendiri sebenarnya ingin tertawa mendengar alasannya. Konyol,
pikirnya. Sangat diluar jangkauan pemikirannya bahwa ia diminta untuk bermain
politik ketika dia baru saja menyelesaikan pendidikan. Membangun karir dengan
mendompleng nama besar orang tua adalah hal terburuk yang akan dia lakukan.
Dunianya
benar-benar seperti panggung stand up
komedi
======
“Harus
ke kedutaan dulu?”
“Iya
harus. Udah diem deh. Gue telat banget nih.”
Edgar
mengerutkan kening. Merasa heran dengan sikap Sophie yang tidak tenang beberapa
waktu terakhir. Dia bahkan meminta supir untuk mengendarai lebih cepat. Gawai
ditangannya pun digenggamnya erat. Seolah menjdi benda yang sangat berharga.
“Sop.”
Sophie
tidak mengindahkan panggilan Edgar. Ia hanya menatap jalanan dengan wajah cemas
penuh harap.
“Sop
Ayam!”
Mau
tidak mau Sophie harus mengalah. Itu adalah panggilan keramat yang akan Edgar
ucapkan saat Sophie dalam keadaan tak terkendali. Dia kembali duduk setenang
mungkin. Menyandarkan punggungnya kebelakang.
“Just tell me what’s going on?”
“Bokap
nyariin gue”
Edgar
diam mendengarkan.
“Sorry. Gue enggak bilang kalau pakai
mobil. Asisten bokap barusan kasih kabar, kalau acara bokap dimajuin.”
Edgar
memejamkan mata. Sophie dan kecerobohannya sama sekali tidak bisa dipisahkan.
Inilah alasan kenapa dia harus bekerja di KBRI. Sophie harus berada dalam
pengawasan orang tua jika tidak ingin hal buruk terjadi padanya.
Benar.
Sophie adalah putra tunggal dari kedubes Indonesia untuk negara Swiss. Pak
Helmi namanya. Dan Edgar sangat mengenalnya.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan Sophie menjadi salah satu staf kedutaan adalah
sebuah nepotisme. Namun, pada akhirnya semua akan memaklumi mengingat Sophie
yang tak jauh beda dengan remaja, yang belum sepenuhnya bertanggungjawab bahkan
terhadap dirinya sendiri.
“Bokap
tahu kalau lo jemput gue?”
Anggukan
yang Edgar terima.
“Lo
ngutang banyak sama gue Sop.”
“Sorry
... “ Sophie menangkupkan kedua telapak tangannya. “Carte journaliere gue ditahan nyokap. Sebenarnya seminggu ini gue
enggak boleh kemana-mana.”
“Lo
dihukum lagi? Gara-gara mabok? serius?” Edgar menghentakkan punggungnya. Dia
benar-benar tidak bisa memahami kelakuan sahabatnya itu. Sampai kapan dia akan
bermain tanpa memikirkan masa depannya.
“Ini
yang terakhir kali” Edgar mengusap wajahnya kesal. “Lo udah gede, Sop. Tahun
ini lo udah 28 tahun. Mau sampe kapan main-main sama hidup lo?”
Sophie
tersenyum. “Lo ingat ulang tahun gue?”
Edgar
hanya meliriknya.
“Okay.
Mulai hari ini, gue nggak bakal main-main lagi. Gue bakal serius sama hidup
gue. janji.” Sophi mengacungkan dua jari tangannya. “Tapi lo bantu gue,
pliiissss.”
“No
Way!!!”
Sophie
memberenggut. Meski dia tahu penolakan Edgar hanya sampai di bibir saja. Saat
terjebak dalam situasi, dia akan memberikan banyak argument untuk meringankan
kesalahan Sophie. Namun sema itu tidak cukup menghapus rasa kesal dihatinya.
“Yaudah.
Yuk turun.”
Perdebatan
kusir tersebut rupanya membuat perjalanan tidak terasa. Mobil yang mereka
tumpangi sudah berhenti di halaman gedung berlantai 2. Gedung kedutaan
Indonesia yang ada di ibukota Swiss, Berd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar