Rabu, 16 Oktober 2019

# cerpen # Fiksi

Lets Count : One


Geneva.”
Berdiri ditengah-tengah ruangan super besar tidak hanya merasa kecil tapi juga sepi. Orang-orang hilir mudik. Sebagian berjalan dengan tergesa-gesa seolah-olah waktu yang mereka miliki sangat sedikit dan tidak ingin menyia-nyiakan walau sedetik saja. Sebagian lagi berjalan cukup tenang dengan kepala setengah mendongak mengagumi salah satu bandar udara internasional di Swiss.
Gedung bernuansa terang ini memiliki atap tinggi dengan sedikit lengkungan. Ya, hanya sedikit. Tidak seperti desain bangunan eropa jaman dulu dengan atap melengkung yang hampir menyerupai setengah tabung silinder. Yang sama hanya bagian jendela. Yang terbuat dari kaca besar berbentuk kotak-kotak yang berderet dari ujung satu ke ujung yang lain. Rangka-rangka atap yang dibuat terlihat sehingga menambah kesan luas.
Bersih dan teratur.
Dua kata itu cukup untuk mendeskripsikan apa yang laki-laki indo lihat saat ini. Banyak orang yang memenuhi ruang besar ini tidak lantas menghilangkan image tersebut. Inilah salah satu alasan Edgar nyaman tinggal di benua terkecil di dunia.
pinterest

Tubuh jangkung memudahkannya meluaskan pandangan.
Seperti kebanyakan imigran, datang seorang diri kemudian menunggu seseorang menyambut. Kemungkinan besar adalah keluarga, teman atau mungkin tour guide.
Lihat saja, dihadapannya saat ini berjejer orang-orang dengan membawa tulisan berisi nama seseorang. Louissa, Andrew, Claire, Kim Je Ha? Hampir saja Edgar tertawa lepas membaca nama orang yang ia yakini berasal dari negeri gingseng. Untung saja dia masih bisa menahan diri sehingga tidak perlu menjadi pusat perhatian karena tidak bisa mengendalikan diri.
Tentu saja Edgar tahu. bahkan mengingat dengan sangat jelas.
Beberapa hari lalu Elma meminta untuk ditemani menyelesaikan serial drama korea yang terlambat ditonton. Meski hanya sekilas, karena lebih dari 10 jam itu Edgar lewatkan dengan tidur. Adiknya itu hanya memerlukan kehadiran seseorang. Tidak perlu memiliki selera yang sama. Yang pasti harus memiliki cadangan kesabaran tanpa batas dan pendengaran yang kebal dengan ocehan-ocehan seputar fansgirl.
Kembali lagi dengan nama-nama yang sedang berderet. Wajah-wajah putih pucat, rambut coklat atau blonde, hidung mancung juga mata sipit keragaman bentuk fisik ras yang ada di dunia bercampur jadi satu. Jangan heran kalau ada orang korea disini. Nama yang tertulis dikertas yang diacungkannya cukup menjelaskan. Untungnya dia memiliki postur tubuh tinggi sehingga bisa bersaing dengan pemilik ras kaukasia.
Edgar? Tentu saja mencari wajah pribumi. Tidak cukup sulit karena pasti terlihat berbeda. Seperti orang korea tadi. Hanya saja ia tidak menemukan. Hingga kakinya sudah melewati pagar pembatas penumpang pesawat dan penjemput. Bahkan, hingga kerumunan orang-orang itu berangsur pergi dia masih menunggu.
She lated.”
Tapi sebentar. Ketika orang-orang sudah membubarkan diri Edgar menangkap sosok pribumi yang dicarinya. Rambut hitamnya sudah berganti warna menjadi kecoklatan. Dan matanya, tampak berbeda dengan miliknya atau milik pribumi lainnya. Sekilas nampak berwarna hijau kebiruan. Ahh … dia memakai softlens lagi. pernah mengalami iritasi masih juga menggunakan lensa buatan manusia. Ketika Edgar melangkah hendak melangkah, wanita itu mengenakan kacamata hitam. Berpaling dan berjalan menjauh tanpa menyadari keberadaannya disana.
Edgar membuka mulut, siap memanggil. Namun terkatup lagi setelah terdengar deru nafas disampingnya.
Sorry, sorry.”
Gadis itu membungkuk dengan tangan bertumpu pada lututnya. Rambutnya yang panjang menutupi wajah. Masih berwarna hitam hanya bergelombang dibagian ujungnya. Saat mengangkat wajahnya untuk berdiri tegak, menampakkan wajah yang sangat Edgar kenal. Bola matanya selegam miliknya. Parasnya masih ayu khas keturunan sunda. Semuanya masih sama. Rupanya Edgar salah mengenali orang.
Thank you for making me wait.”
“Cuma 10 menit.” Balasnya dengan menyeringai yang menampakkan deretan giginya. “Tenang, 10 menitmu akan sebanding. Karena aku akan mengantarmu menggunakan mobil. Perjalanan kita tidak akan terganggu dengan naik turun kereta.”
Tentu saja semua ocehannya tidak ditanggapi serius oleh Edgar.
Sophie namanya. Akhirnya dia menjadi salah satu staff kedutaan besar Indonesia untuk negara Swiss. Karena sebelumnya dia hanya di rekrut untuk menjadi tenaga pengajar. Seperti kebanyakan KBRI di Negara lain, disini juga dibuka kursus bahasa Indonesia.
“Pasti sebanding!” Sophie bersikeras. “Kamu tidak tahu betapa keras usahaku bisa memakai mobil beserta supirnya. Biasanya aku hanya diizinkan memakai mobil saja. Dan tentu saja tidak akan kuterima karena aku tidak punya SIM disini.”
Edger terkekeh mendengar Sophie mengucapkan kata SIM. Entahlah, terdengar lucu saja.
“Apa?” selidik Sophie.
Nothing.” Edgar menaikkan kedua bahunya.
“Mumpung ketemu gue, puas-puasin ngomong bahasa Indonesia. Setelah ini mulut lo bakal kram kebanyakan nginggris dan njerman.”
Kali ini Edgar tak bisa lagi menahan. tawanya dan langsung terbahak-bahak mendengar pengucapan Sophie menyederhanakan bahasa Inggis dan Jerman. Bahkan Sophie pun ikut tertawa karena memang terdengar sangat konyol.
Tawa mereka berhenti setelah masuk kedalam mobil dan barang-barang Edgar sudah tersimpan dalam bagasi. Penduduk lokal yang duduk dibalik kemudi membawa mereka membelah kota Geneva.

=====

Sepi dan teratur.
Ini salah satu alasan Edgar kembali ke daratan eropa. Ia menyukai kekosongan yang ada di sepanjang jalan. Cukup dengan jari-jari tangannya digunakan untuk menghitung berapa kendaraan yang ia temui.
Suara mobil, bunyi klakson yang bersahut-sahutan, asap kendaraan yang entah kapan terakhir kali masuk bengkel itu benar-benar membuatnya pengap. Langit biru yang cerah sulit ditemui karena sudah terhalang oleh tebalnya polusi udara. Jangan tanya berapa suhunya. Rasanya kulitnya sudah kebal dengan paparan panas matahari yang kian hari suhunya selalu meningkat.
“Lo ngapain sih balik ke Eropa? Jangan bilang gosip klo lo naksir gue itu bener?” Sophie tidak bisa menahan rasa penasaran yang sudah di pendamnya berhari-hari.
Permintaan khusus untuk menjemput salah satu anak pejabat bukan pertama kali diterima. Tapi Edgar, tentu saja membuatnya sangat penasaran. Pasalnya baru setahun berlalu setelah mereka bertemu pada acara wisuda kelulusan sekolah pasca sarjana kini Edgar sudah menampakkan hidung lagi.
“Gue mau sekolah.”
 Sophie tersenyum sinis. “Diantara sekian ratus mahasiswa Indonesia di Eropa, cuma lo satu-satunya yang muak dengan pendidikan ala kolonial ini. Keajaiban dunia kalo sekarang lo pengen sekolah lagi.”
Edgar hanya bisa memberikan senyum paling indah yang dimilikinya. Sophie, kawan seperjuangannya meraih gelar P.hd bukan orang yang mudah menerima alasan. Meski seorang ahli sejarah tapi kemampuan menyelidiknya cukup mumpuni untuk menjadi rekan kerja Conan. Tahu kan? Tokoh anime yang terjebak dalam fisik anak kecil.
“Terserah lo lah. Tapi jangan harap gue bakal bantu lo untuk adaptasi di Swiss.”
Sophie memalingkan wajah sebagai salah satu aksi protesnya. Dan hal itu mengundang gelak tawa Edgar. Riuh rendah suara Edgar sampai membuat supir yang sedari tadi hanya memerhatikan jalan harus melirik melalui kaca spion.
Namun Edgar harus menghentikan tawanya sebelum Sophie benar-benar menelantarkannya seorang diri di negeri paling toleran ini.
“Oke Oke.” Edgar mengatupkan mulutnya cepat. “tapi lo enggak boleh ketawa.”
Beradaptasi di Swiss bukan hal sulit. Pengalamannya tinggal di Belanda selama hampir 3 tahun sangat cukup membantu. Apalagi budaya orang Eropa tidak jauh berbeda tiap negara. Tapi meninggalkan jejak buruk pada sebuah hubungan sangat Edgar hindari.
“Stok ketawa gue udah lo habisin.”
“Lo tahu, Negara kita lagi ada pilkada serentak?”
Sophie mengangguk.
“Nah tahun depan adalah akhir dari masa jabatan bokap. Jadi tahun ini gue kudu bersiap buat ngisi posisi itu.”
Sophie benar-benar terlihat sedang menyimak tiap kata yang Edgar ucapkan. Dan memang benar. Hanya saja, bagi Edgar, itu bukan ekspresi serius yang dimiliki seorang Sophie. Dimata Edgar Sophie terlihat seperti orang yang sedang mengalami mabuk kendaraan. Dan menahan diri untuk tidak muntah didalam mobil.
“Gue tahu endingnya bakal gini.”
“Gue mau tanya?”
“Apa?”
“Gue mau minta ijin buat ketawa.” Bibir Sophie tertutup sangat rapat sebagai usaha untuk menepati janjinya agar tidak tertawa. Janji yang sekedar janji karena wajahnya sangat tidak menunjukkan usahanya untuk tidak melanggar.
Edgar hanya melengos, acuh tak acuh. Tidak peduli lagi dengan tanggapan Sophie. Jangankan Sophie, dia sendiri sebenarnya ingin tertawa mendengar alasannya. Konyol, pikirnya. Sangat diluar jangkauan pemikirannya bahwa ia diminta untuk bermain politik ketika dia baru saja menyelesaikan pendidikan. Membangun karir dengan mendompleng nama besar orang tua adalah hal terburuk yang akan dia lakukan.
Dunianya benar-benar seperti panggung stand up komedi

======

Harus ke kedutaan dulu?”
“Iya harus. Udah diem deh. Gue telat banget nih.”
Edgar mengerutkan kening. Merasa heran dengan sikap Sophie yang tidak tenang beberapa waktu terakhir. Dia bahkan meminta supir untuk mengendarai lebih cepat. Gawai ditangannya pun digenggamnya erat. Seolah menjdi benda yang sangat berharga.
“Sop.”
Sophie tidak mengindahkan panggilan Edgar. Ia hanya menatap jalanan dengan wajah cemas penuh harap.
“Sop Ayam!”
Mau tidak mau Sophie harus mengalah. Itu adalah panggilan keramat yang akan Edgar ucapkan saat Sophie dalam keadaan tak terkendali. Dia kembali duduk setenang mungkin. Menyandarkan punggungnya kebelakang.
Just tell me what’s going on?”
“Bokap nyariin gue”
Edgar diam mendengarkan.
Sorry. Gue enggak bilang kalau pakai mobil. Asisten bokap barusan kasih kabar, kalau acara bokap dimajuin.”
Edgar memejamkan mata. Sophie dan kecerobohannya sama sekali tidak bisa dipisahkan. Inilah alasan kenapa dia harus bekerja di KBRI. Sophie harus berada dalam pengawasan orang tua jika tidak ingin hal buruk terjadi padanya.
Benar. Sophie adalah putra tunggal dari kedubes Indonesia untuk negara Swiss. Pak Helmi namanya. Dan Edgar sangat mengenalnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Sophie menjadi salah satu staf kedutaan adalah sebuah nepotisme. Namun, pada akhirnya semua akan memaklumi mengingat Sophie yang tak jauh beda dengan remaja, yang belum sepenuhnya bertanggungjawab bahkan terhadap dirinya sendiri.
“Bokap tahu kalau lo jemput gue?”
Anggukan yang Edgar terima.
“Lo ngutang banyak sama gue Sop.”
“Sorry ... “ Sophie menangkupkan kedua telapak tangannya. “Carte journaliere gue ditahan nyokap. Sebenarnya seminggu ini gue enggak boleh kemana-mana.”
“Lo dihukum lagi? Gara-gara mabok? serius?” Edgar menghentakkan punggungnya. Dia benar-benar tidak bisa memahami kelakuan sahabatnya itu. Sampai kapan dia akan bermain tanpa memikirkan masa depannya.
“Ini yang terakhir kali” Edgar mengusap wajahnya kesal. “Lo udah gede, Sop. Tahun ini lo udah 28 tahun. Mau sampe kapan main-main sama hidup lo?”
Sophie tersenyum. “Lo ingat ulang tahun gue?”
Edgar hanya meliriknya.
“Okay. Mulai hari ini, gue nggak bakal main-main lagi. Gue bakal serius sama hidup gue. janji.” Sophi mengacungkan dua jari tangannya. “Tapi lo bantu gue, pliiissss.”
“No Way!!!”
Sophie memberenggut. Meski dia tahu penolakan Edgar hanya sampai di bibir saja. Saat terjebak dalam situasi, dia akan memberikan banyak argument untuk meringankan kesalahan Sophie. Namun sema itu tidak cukup menghapus rasa kesal dihatinya.
“Yaudah. Yuk turun.”
Perdebatan kusir tersebut rupanya membuat perjalanan tidak terasa. Mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di halaman gedung berlantai 2. Gedung kedutaan Indonesia yang ada di ibukota Swiss, Berd.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates