Semesta
berkonspirasi. Sejujurnya ungkapan itu kadang terdengar sangat menggelikan.
Sebuah ungkapan yang dipakai untuk menyederhanakan frasa takdir Tuhan. Tapi
baiklah, apa salahnya menggunakannya sesekali.
Coba
kita lihat sejauh mana konspirasi itu.
Matahari
bersinar cukup terik. Namun hujan semalam mampu menahan sengatan sinarnya.
Ditambah embusan angin pagi ini yang sedikit lebih kencang dari biasanya. Tentu
hal ini menambah kesempatan untuk menangkal matahari yang tersenyum diatas
langit.
Pukul
enam pagi, Surabaya sudah benar-benar menyingkirkan malam. Cahaya bintang kecil
benar-benar dikalahkan oleh bintang utama.
Kehidupan
manusia pun benar-benar sudah aktif. Lihat saja, jalan-jalan protocol sudah
seperti lahan parkir. Semua kendaraan tumpah ruah. Saling berebut untuk lebih
dulu lewat. Bunyi klakson sahut bersahutan tak berirama, hanya menulikan
telinga saja.
Sekali
lagi konspirasi itu ada.
Menggelar
tabir untuk menghalau pengaruh buruk jalanan pada seseorang yang sedang
menunggu.
“Mbak
Ki, ada customer pake credit card.” Lisa melongokkan kepalanya
melalui pintu manager.
“Aku
udah hand over-an. Emang Pak Wahyu
kemana?”
“Udah
dicariin tapi nggak ketemu. Minta tolong deh mbak, kasian customernya udah nunggu dari tadi.”
Untuk
transaksi non tunai memang mengharuskan setiap manager turun tangan. Karena
harus menggunakan swiep card yang
hanya dipegang oleh manager.
“Yaudah.
Tapi habis ini kamu cari Pak Wahyu, ya.”
Dengan
terpaksa Killa mengikuti Lisa. Menunda sebentar waktunya untuk membereskan
barang-barangnya sebelum pulang. Masih ada cukup banyak waktu sampai Satya
datang menjemputnya.
Killa
sudah menukar seragamnya dengan sebuah dress berwarna hitam. Tinggal memoles
sedikit make up untuk menutupi wajah
lelahnya. Begadang memang sudah biasa dilakukannya. Meski terbiasa wajahnya
tidak berbohong setelah semalaman tidak tidur.
“Ciee
seragaman.” Lisa kembali melongokkan kepalanya ketika Killa sedang memoles kan
lipstick di bibir.
Killa
merapatkan bibir atas dan bawahnya. “Bagus nggak?”
“Cantik
banget.” Lisa tersenyum mengagumi salah satu atasannya itu. “Mau kondangan
mbak?”
“Mana
ada kondangan jam segini.” Killa memasukkan lipstick kedalam pouch berikut
cermin bergambar bola basket.
“Ketemu
camer, ya?”
“Hus!
Jangan ngarang deh.”
“Habis
rapi banget.” Lisa menarik lagi kepalanya, pegel. Menegakkan dirinya dan
berbalik pergi.
Killa
mencangklong sling bag putihnya.
Melangkah keluar tapi hanya berdiri diam. Kepalanya teringat ucapan Lisa
tentang calon mertua.
Mungkinkah?
Satya
tidak memberitahunya akan pergi kemana. Ia hanya bilang ingin menghabiskan
waktu libur bersama Killa.
Mungkinkah?
“Lupa
bilang. Mas Satya udah nunggu dari tadi.”
“Ohh
… makasih ya.”
Jantung
berdetak sedikit lebih cepat. Apa yang special? Karena sepanjang hidupnya Killa
tetap merasakan. Bahkan saat dia memutuskan untuk menjauh dari cinta,
jantungnya justru lebih mudah berdetak ketika ada lawan jenis mencoba
mendekatinya. Hanya berdetak saja tidak ada rasa lain yang mengikuti.
Dengan
Satya sedikit berbeda. Tidak , ada banyak sekali yang berbeda.
Sebelum
jantung itu bisa berdetak idak beraturan ada rasa lain yang lebih dulu sampai.
Yang mampu melilit perutnya tapi bukan karena dia lapar atau sakit. kemudian
dia akan menjadi orang paling dungu, yang tidak tahu harus melakukan apa. Tidak
ada hal benar yang bisa dia lakukan.
Pun
sekarang.
Killa
kembali mengeluarkan kaca, memastikan bahwa riasan wajahnya sudah rapi. Ahh …
Killa melupakan rambutnya. Saat bekerja hanya ada satu model rambut jadi tidak
membuatnya kesulitan. Saat ini dia tidak tahu akan membiarkan rambutnya di
gerai atau digelung rapi.
Ini bukan kencan apalagi
mengunjungi calon mertua seperti kata Lisa
Killa
terus merapalkan banyak mantra untuk membuatnya lebih rileks.
Tempo
hari saat pergi piknik, Killa tidak perlu melakukan hal aneh seperti ini. dia
hanya berpenampilan seperti yang dia inginkan. Hanya saja kesungguhan yang
Satya ucapan merubah keadaan.
Killa
tidak menjawab kejadian itu terjadi lebih cepat dari dugaannya. Dan Ia sama
sekali tidak memiliki persiapan. Tapi gesture tubuh yang ditunjukkan cukup
membuat Satya yakin bahwa penglihatannya menangkap sebuah persetujuan.
Mata
memang memiliki kemampuan luar biasa. Bisa menangkap jawaban yang tidak bisa
indera lain terima. Juga bisa menyampaikan apa yang tidak mampu bibir ucapkan.
Pintu
terbuka.
Nampaklah
sosok yang membuat Killa salah tingkah. Slim
pants warna khaki dengan kemeja hitam yang lengannya dilipat rapi sampai ke
siku dan sepatu sneakers warna senada. Memangnya pilot harus selalu terlihat
menarik di setiap kesempatan? Kenapa tidak jadi model saja. Untung Killa hanya
meneriakkan ocehan tresebut dalam kepala.
Damn! He looks hot
Andai
putri mendapat kesempatan ini mulutnya akan lebih liar dalam berucap. Melupakan
lembaga sensor apalagi undang-undang ITE. Semua kata akan keluar tanpa melalui
proses seleksi. Orang akan jengah mendengarnya. Itu sebabnya Killa bersyukur
putrid tidak ada. Tapi Lisa ada dan melihatnya. Mulut paling berbahaya kedua
setelah putri.
“Hey,
Sorry lama.”
“Women take a longer time.”
Satya
membukakan pintu. Killa gelagapan karena tidak terbiasa. Biasanya dia yang
memberikan pelayanan pada banyak orang. Dan Satya tahu, sangat tahu. membaca
Killa tak lagi susah baginya. Kamus Killa sudah terekam jelas hingga di luar
kepala.
Hanya
saja Satya kesulitan mengendalikan nalurinya seagai seorang laki-laki.
Penampilan Killa membuatnya sedikit gemetar. Killa mengika rambutnya sedemikian
rupa hingga leher jenjangnya itu terekspose sempurna. Dress hitam dengan bentuk
kerah rendah memberikan sudut pandang terbaik untuk mengagumi ciptaan Tuhan.
Dibalik
kesempurnaannya, Satya tetap laki-laki biasa. Yang merasa setiap wanita terkaku
menarik untuk dilihat saja. kali ini Satya harus mengeluarkan semua benteng
pertahanannya agar hari ini tertap berjalan seperti biasa. Dia harus banyak
bergerak agar tidak terpengaruh.
Meski
dalam hati Satya juga mengutuk pada semesta yang memberi dukungan. Mungkin
lebih baik hari ini hujan deras, badai kalau bisa sehingga Killa akan memilih
mengenakan celana panjang dan sweeter dibanding blouse yang panjangnya hanya sampai lutut. Meski ini pakaian yang
paling terbuka yang pernah Killa kenakan, tetap saja alarm peringatan Satya
menyala.
pinterest |
Baca sebelumnya : First date
Rumah-rumah
dengan halaman yang luas. Pagar tinggi yang pasti didalamnya terdapat pos
satpam atau mungkin anjing galak. Khas orang kaya. Jalannya pun lebar meski di
dalam komplek perumahan.
Pertanyaannya
adalah mengapa harus melewatinya? Ahh … sekarang kan lagi banyak café-café
keren yang berada di dalam komplek. Satya kan anak sosmed pasti tahu
tempat-tempat yang happening untuk
sedekar duduk dan menikmati secangkir kopi
Tapi
tunggu, rumah besar, halaman luas. Killa seperti pernah melewati area ini.
cukup lama sehingga ia harus mengorek ingatannya yang muncul tenggelam. Mungkin
juga salah, jadi Killa menajamkan kembali.
“Sat,
tujuan kita ada disekitar sini?”
“Kamu
pernah kesini?”
“Sepertinya.”
jawab Killa ragu-ragu.
“Aku
tidak ingat pernah mengajakmu kemari.”
Satya
mengarahkan mobilnya memasuki halaman salah satu rumah. Dengan halaman luas,
pagar tinggi tapi tanpa pos satpam dan anjing galak seperti yang Killa
pikirkan.
“Ini
rumah kamu?”
“Sekarang
aku heran kalau kamu pernah kemari.”
“Catering!
Iya, aku pernah antar mama kesini. Gazebo yang dihias dengan serba putih, acara
lamaran.” Killa menuding Satya dengan mata yang membuka lebar.
“Benar.
Acara lamaran adikku, Diar. Tapi aku tidak ingat pernah melihatmu datang. Cuma
ada Tante Ayu yang ngobrol sama ibu.”
“Tante?”
“Kamu
berharap aku memanggil Tante Ayu dengan panggilan mama?” Satya tersenyum
menggoda.
“Bukan,
maksudku. Semua pelanggan mama memanggilnya Bu Ayu bahkan anak SMP pun sama.
Kamu?”
“Sekarang
aku paham maksud Tante Ayu.” Satya mendengkus. “Kamu tidak lihat bahwa
hubunganku dengan tante ayu cukup akrab?”
Killa
menggeleng.
“Lain
kali kamu bisa memperhatikan. Sekarang kita masuk, sepertinya ibu sudah
menunggu kita untuk sarapan.”
“Sarapan?
Ibu kamu?”
“Ya
… aku sudah bilang akan mengenalkanmu pada keluargaku kan?”
Killa
menggeleng.
“Sekarang
kamu tahu. Yuk!”
Satya
sudah mengucapkan salam tapi tidak ada jawaban. Bagaimana mungkin sepagi ini
rumahnya kosong. Bahkan mobil Diar ada di rumah. Mobil ayahnya juga masih
ditempat yang sama ketika dia pergi pagi tadi.
“Kamu
duduk dulu. Aku panggil ibu dulu.”
Killa
menunggu di ruang tamu. Melihat halaman rumah berikut garasi mobil, ruang
tamunya termasuk kecil. Hanya berisi dua sofa berwarna coklat, sebuah meja
kecil dan sebuah vas bunga. Killa baru sadar tidak ada foto keluarga disana.
Karena hampir semua dindingnya terbuat dari kaca yang ditutup gorden dua lapis.
Tapi ada sebuah partisi yag terbuat dari kayu, mungkin awalnya ruang tamu ini
luas kemudian diberi sekat untuk pembatas. Secara keseluran ruang tamu ini
sangat nyaman dan hangat. Seperti mencerminkan kehidupan penghuninya.
Pintu
depan terbuka.
Seorang
wanita masuk. Masih mengenakan piyama dengan karakter Winnie the pooh.
Ditangannya ada sebuah tas jinjing yang penuh barang. Berbagai jenis makanan
dan minuman.
“Eh
ada tamu. Cari …” Hendak mengajak bersalaman tapi Diar menggantungkan hanya
tangan diudara. “Killa? Shakilla Andriana?”
Killa
lebih dulu menjabat tangan Diar.
“Betul.”
Killa menjawab dengan bingung sekaligus heran. Wanita yang ada dihadapannya
saat ini baru pertama kali ditemui tapi sudah mengetahui nama lengkapnya.
“Kerja
di restoran kan?”
Killa
hanya mengangguk semakin tidak mengerti.
“Ya
ampun akhirnya.” Dia tersenyum lega. “Aku Diar, adiknya Mas Satya. Udah ketemu
Ibu? Tunggu bentar ya aku panggil dulu.”
Tercengang?
Pasti. Setengah linglung malah.
Menghadapi
orang dengan berbagai macam karakter sudah biasa bagi Killa. Sikap
profesionalnya membuatnya selalu siap dalam berbagai situasi. Hanya hari ini
saja keadaan berjalan diluar kendalinya.
“Bu
!!! Ada pacarnya Mas Satya.”
Seruan
Diar itu mustahil tidak ditangkap oleh Killa. Meski sudah berada di dalam
rumah, suaranya terdengar seperti lolongan serigala. Keras dan panjang. Membuat
Killa semakin bersemu.
“Ya
ampun! Lagi pada disini toh? Terus
tamunya dianggurin gitu?”
“Kamu
itu. anak gadis kok suaranya kaya kebo minta kawin. Nggak ada sopan santunnya.”
“Aku
emang minta dikawinin, Bu.”
“Hus diem kamu! Rapiin ini mejanya. Ibu
mau nemuin temannya masmu.”
“Pacar,
Bu.”
“Kok
kamu ngatur? Mas mu aja Cuma bilang teman.”
“Iya,
mas?”
Satya
hanya bisa tertawa melihat interaksi dua wanita pertama dalam hidupnya, Ibu dan
Diar.
“Ahh
Mas Satya. Nggak gentle. Sama ibu aja
nggak berani, gimana mau ketemu orang tuanya.”
Satya
kembali tertawa. Kemudian duduk dan mengambil emping melinjo.
“Mas
Satya ngapain masih disini?” Diar mengambil mlinjo yang sudah separuh dimakan
Satya. “Ibu itu galak lho kalau sama calon mantunya. Ingat nggak waktu Rasyid
pertama kali kesini? Yang paling banyak nanya itu ibu lho.”
Diar
menarik paksa Satya. Menyeretnya agar menyusul ibu yang sedang menemui Killa.
Sementara Satya malas mengikuti adiknya.
Aksi
tarik menarik itu berhenti ketika Ibu masuk bersama Killa.
“Diar!!!”
Tegur ibu dengan suara tertahan. Sementara anak gadisnya hanya tertawa seperti
tidak merasa bersalah.
pixabay |
Acara
sarapan yang cukup siang pun berlangsung. Menu yang disajikan pun sesuai dengan
permintaan Satya.
“Gimana
rasanya, Killa? Tante tidak terlalu pintar masak tapi Satya maksa minta dibuatkan
gado-gado.”
Pertanyaan
itu datang ketika mulut Killa baru saja dipenuhi sepotong lontong dan daun
selada. Tidak enak hati, Killa buru-buru menelannya.
“Enak
kok Tante. Rasanya masih sama enaknya dengan yang Satya bawa dulu.”
Sendok
berisi potongan tempe goreng pun tertahan beberapa detik sebelum akhirnya masuk
kedalam mulut ibu.
“Sudah
berapa lama kerja di restoran?”
Satya
hendak menjawab tetapi disaat bersamaan ponselnya bordering. Kelihatannya
penting sehingga dia meminta izin untuk menerima panggilan.
“Tahun
ini genap delapan tahun.”
Begadang
membuat Killa sangat kelaparan. Namun, ia urung menambah porsi karena ibu
sepertunya sedang tertarik untuk berbicara dengannya. Ketiadaan Satya
membuatnya harus menjawab setiap pertanyaan. Mungkin ketika nanti pulang dia
bisa melanjutkan untuk mengisi perutnya.
“Sudah
pernah pacaran berapa kali?”
“Ibu…”
Diar menegur dengan merendahkan suaranya.
Killa
tersenyum sopan. “Belum pernah.”
“Tuh
dengar, Diar. Nggak usah pacaran dulu kalau mau nikah.”
Diar
menatap heran pada ibunya. Wanita panutannya itu benar-benar bersikap diluar
kebiasaan. Dia justri khawatir Killa akan mundur pelan-pelan mendapati calon
mertuanya semenyeramkan ini.
“Di,
bukannya kamu tadi mau buat mojito ya? mana? Keluarin dong.”
“Ohh
iya. Tunggu aku ambil dulu.”
Diar
pun menyusul kakaknya ke belakang. Tidak untuk menerima telpon melainkan
menyiapkan minuman yang akan dia buat sendiri.
Pixabay |
“Jadi
selama ini kamu belum pacaran ya. kalau laki-laki yang pernah dekat, ada?”
Killa
tidak tahu bahwa topik pribadi ini akan berlanjut. Untuk pertama kalinya
seseorang bertanya padanya. Bahkan Satya sendiri tidak pernah. Dan itu adalah
satu bagian kecil dari dirinya yang ingin sekali disembunyikan. Jika memang
bisa dihapus maka Killa akan merelakannya dengan senang hati
“Kamu tidak perlu menjawabnya kalau tidak
berkenan.” Ibu mendorong ke tengah meja piringnya yang sudah kosong. “Ayo
nambah lagi. Ini permintaan khusus dari Satya lho.”
“Sejujurnya
tante kaget kamu tidak pernah pacaran.” Ibu melanjutkan.
Killa
hanya bisa memandang dengan penuh tanya.
“Kita
pernah bertemu sebelumnya,” Ibu meletakkan sendok diatas piring dan menegakkan
duduknya. “Harusnya kamu ingat karena
kamu jauh lebih muda dari tante. Tentu kamu memiliki ingatan yang cukup tajam.”
Killa
semakin bingung dengan pembicaraan ini.
“10
tahun lalu keponakan tante melangsungkan acara lamaran. Rian, Adrian Pranata.”
Killa
tidak berani mengangkat kepalanya. Wajahnya tertunnduk menatap piring yang
tinggal berisi beberapa potong sayuran yang sudah berlumuran saus kacang. Ada medan
magnet besar disana. Sehingga apapun yang terjadi diluar sana tidak mampu
membuatnya berpaling.
Dalam
diam Killa mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya Satya. Mengulik
setiap kisah menjadi potongan-potongan adegan hanya untuk mengingatkannya. Bagian
paling kelam dalam hidupnya kini nampak jelas dimatanya. Berputar silih
berganti seperti sebuah rekaman yang diputar ulang.
Sakit.
perih.
Luka
itu kembali tersayat. Irisan yang pelan dan begitu dalam. Membiarkan darah
menetes-netes. Merembes menembus tiap lapis jaringan dalah hatinya. memenuhi
rongga dada hingga membuanya terhimpit. Sesak, tak mampu bernapas.
Tuhan,
tak cukupkah selama ini tersiksa dengan luka menganga? Tak cukupkah selama ini
membuatku menderita dengan bayang rasa bersalah?
Sekelebat
gambaran wajah Papa tertangkap ingatannya. Laki-laki yang sedang tidur dengan
tenang dengan sinar kehidupan yang baru saja pergi.
Papa
Killa
menulikan telinga. Pertahanan terakhir dalam diri membuatnya kebas dengan semua
rasa. Dia hanya sesosok raga yang kehilangan jiwa. Dia ingin memohon pada Tuhan
agar mempercepat waktunya.
Tapi
Tuhan mengabaikannya. Sekerasa apapun memohon tidak akan dikabulkan. Karena Tuhan
menyayanginya. Bukan itu yang Killa butuhkan. Maka Tuhan mengiriminya
pertolongan.
“Wah
lagi asik banget ngobrolnya. Tapi maaf harus kupotong.” Ibu dan Killa bersamaan
menatap Satya. “Tiba-tiba ada panggilan terbang sore ini. Mungkin sebaiknya aku
antar kamu pulang sekarang.”
“Benar,”
Ibu memandang lekat Killa yang mematung dihadapannya. “sebaiknya kamu antar
pulang sekarang. Kelihatannya Killa sedang enak badan.”
Satya
berjalan mendekat hingga berdiri disamping Killa. “Kamu sakit?”
Sebuah
dengungan menabrak pendengaannya. Tepukan lembut dilengannya menarik kembali
jiwanya yang melayang. Senyum terbaik yang bisa Killa berikan saat ini meski
dengan paksaan. “Sedikit pusing.”
Setelah
berpamitan, Satya segera mengantar Killa pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar