Jumat, 25 Oktober 2019

# kamus killa # Rebound

Rebound : Kamus Killa

Semesta berkonspirasi. Sejujurnya ungkapan itu kadang terdengar sangat menggelikan. Sebuah ungkapan yang dipakai untuk menyederhanakan frasa takdir Tuhan. Tapi baiklah, apa salahnya menggunakannya sesekali.
Coba kita lihat sejauh mana konspirasi itu.
Matahari bersinar cukup terik. Namun hujan semalam mampu menahan sengatan sinarnya. Ditambah embusan angin pagi ini yang sedikit lebih kencang dari biasanya. Tentu hal ini menambah kesempatan untuk menangkal matahari yang tersenyum diatas langit.
Pukul enam pagi, Surabaya sudah benar-benar menyingkirkan malam. Cahaya bintang kecil benar-benar dikalahkan oleh bintang utama.
Kehidupan manusia pun benar-benar sudah aktif. Lihat saja, jalan-jalan protocol sudah seperti lahan parkir. Semua kendaraan tumpah ruah. Saling berebut untuk lebih dulu lewat. Bunyi klakson sahut bersahutan tak berirama, hanya menulikan telinga saja.
Sekali lagi konspirasi itu ada.
Menggelar tabir untuk menghalau pengaruh buruk jalanan pada seseorang yang sedang menunggu.
“Mbak Ki, ada customer pake credit card.” Lisa melongokkan kepalanya melalui pintu manager.
“Aku udah hand over-an. Emang Pak Wahyu kemana?”
“Udah dicariin tapi nggak ketemu. Minta tolong deh mbak, kasian customernya udah nunggu dari tadi.”
Untuk transaksi non tunai memang mengharuskan setiap manager turun tangan. Karena harus menggunakan swiep card yang hanya dipegang oleh manager.
“Yaudah. Tapi habis ini kamu cari Pak Wahyu, ya.”
Dengan terpaksa Killa mengikuti Lisa. Menunda sebentar waktunya untuk membereskan barang-barangnya sebelum pulang. Masih ada cukup banyak waktu sampai Satya datang menjemputnya.
Killa sudah menukar seragamnya dengan sebuah dress berwarna hitam. Tinggal memoles sedikit make up untuk menutupi wajah lelahnya. Begadang memang sudah biasa dilakukannya. Meski terbiasa wajahnya tidak berbohong setelah semalaman tidak tidur.
“Ciee seragaman.” Lisa kembali melongokkan kepalanya ketika Killa sedang memoles kan lipstick di bibir.
Killa merapatkan bibir atas dan bawahnya. “Bagus nggak?”
“Cantik banget.” Lisa tersenyum mengagumi salah satu atasannya itu. “Mau kondangan mbak?”
“Mana ada kondangan jam segini.” Killa memasukkan lipstick kedalam pouch berikut cermin bergambar bola basket.
“Ketemu camer, ya?”
“Hus! Jangan ngarang deh.”
“Habis rapi banget.” Lisa menarik lagi kepalanya, pegel. Menegakkan dirinya dan berbalik pergi.
Killa mencangklong sling bag putihnya. Melangkah keluar tapi hanya berdiri diam. Kepalanya teringat ucapan Lisa tentang calon mertua.
Mungkinkah?
Satya tidak memberitahunya akan pergi kemana. Ia hanya bilang ingin menghabiskan waktu libur bersama Killa.
Mungkinkah?
“Lupa bilang. Mas Satya udah nunggu dari tadi.”
“Ohh … makasih ya.”
Jantung berdetak sedikit lebih cepat. Apa yang special? Karena sepanjang hidupnya Killa tetap merasakan. Bahkan saat dia memutuskan untuk menjauh dari cinta, jantungnya justru lebih mudah berdetak ketika ada lawan jenis mencoba mendekatinya. Hanya berdetak saja tidak ada rasa lain yang mengikuti.
Dengan Satya sedikit berbeda. Tidak , ada banyak sekali yang berbeda.
Sebelum jantung itu bisa berdetak idak beraturan ada rasa lain yang lebih dulu sampai. Yang mampu melilit perutnya tapi bukan karena dia lapar atau sakit. kemudian dia akan menjadi orang paling dungu, yang tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada hal benar yang bisa dia lakukan.
Pun sekarang.
Killa kembali mengeluarkan kaca, memastikan bahwa riasan wajahnya sudah rapi. Ahh … Killa melupakan rambutnya. Saat bekerja hanya ada satu model rambut jadi tidak membuatnya kesulitan. Saat ini dia tidak tahu akan membiarkan rambutnya di gerai atau digelung rapi.
Ini bukan kencan apalagi mengunjungi calon mertua seperti kata Lisa
Killa terus merapalkan banyak mantra untuk membuatnya lebih rileks.
Tempo hari saat pergi piknik, Killa tidak perlu melakukan hal aneh seperti ini. dia hanya berpenampilan seperti yang dia inginkan. Hanya saja kesungguhan yang Satya ucapan merubah keadaan.
Killa tidak menjawab kejadian itu terjadi lebih cepat dari dugaannya. Dan Ia sama sekali tidak memiliki persiapan. Tapi gesture tubuh yang ditunjukkan cukup membuat Satya yakin bahwa penglihatannya menangkap sebuah persetujuan.
Mata memang memiliki kemampuan luar biasa. Bisa menangkap jawaban yang tidak bisa indera lain terima. Juga bisa menyampaikan apa yang tidak mampu bibir ucapkan.
Pintu terbuka.

Nampaklah sosok yang membuat Killa salah tingkah. Slim pants warna khaki dengan kemeja hitam yang lengannya dilipat rapi sampai ke siku dan sepatu sneakers warna senada. Memangnya pilot harus selalu terlihat menarik di setiap kesempatan? Kenapa tidak jadi model saja. Untung Killa hanya meneriakkan ocehan tresebut dalam kepala.
Damn! He looks hot
Andai putri mendapat kesempatan ini mulutnya akan lebih liar dalam berucap. Melupakan lembaga sensor apalagi undang-undang ITE. Semua kata akan keluar tanpa melalui proses seleksi. Orang akan jengah mendengarnya. Itu sebabnya Killa bersyukur putrid tidak ada. Tapi Lisa ada dan melihatnya. Mulut paling berbahaya kedua setelah putri.
“Hey, Sorry lama.”
Women take a longer time.”
Satya membukakan pintu. Killa gelagapan karena tidak terbiasa. Biasanya dia yang memberikan pelayanan pada banyak orang. Dan Satya tahu, sangat tahu. membaca Killa tak lagi susah baginya. Kamus Killa sudah terekam jelas hingga di luar kepala.
Hanya saja Satya kesulitan mengendalikan nalurinya seagai seorang laki-laki. Penampilan Killa membuatnya sedikit gemetar. Killa mengika rambutnya sedemikian rupa hingga leher jenjangnya itu terekspose sempurna. Dress hitam dengan bentuk kerah rendah memberikan sudut pandang terbaik untuk mengagumi ciptaan Tuhan.
Dibalik kesempurnaannya, Satya tetap laki-laki biasa. Yang merasa setiap wanita terkaku menarik untuk dilihat saja. kali ini Satya harus mengeluarkan semua benteng pertahanannya agar hari ini tertap berjalan seperti biasa. Dia harus banyak bergerak agar tidak terpengaruh.
Meski dalam hati Satya juga mengutuk pada semesta yang memberi dukungan. Mungkin lebih baik hari ini hujan deras, badai kalau bisa sehingga Killa akan memilih mengenakan celana panjang dan sweeter dibanding blouse yang panjangnya hanya sampai lutut. Meski ini pakaian yang paling terbuka yang pernah Killa kenakan, tetap saja alarm peringatan Satya menyala.
pinterest
Baca sebelumnyaFirst date

Rumah-rumah dengan halaman yang luas. Pagar tinggi yang pasti didalamnya terdapat pos satpam atau mungkin anjing galak. Khas orang kaya. Jalannya pun lebar meski di dalam komplek perumahan.
Pertanyaannya adalah mengapa harus melewatinya? Ahh … sekarang kan lagi banyak café-café keren yang berada di dalam komplek. Satya kan anak sosmed pasti tahu tempat-tempat yang happening untuk sedekar duduk dan menikmati secangkir kopi
Tapi tunggu, rumah besar, halaman luas. Killa seperti pernah melewati area ini. cukup lama sehingga ia harus mengorek ingatannya yang muncul tenggelam. Mungkin juga salah, jadi Killa menajamkan kembali.
“Sat, tujuan kita ada disekitar sini?”
“Kamu pernah kesini?”
“Sepertinya.” jawab Killa ragu-ragu.
“Aku tidak ingat pernah mengajakmu kemari.”
Satya mengarahkan mobilnya memasuki halaman salah satu rumah. Dengan halaman luas, pagar tinggi tapi tanpa pos satpam dan anjing galak seperti yang Killa pikirkan.
“Ini rumah kamu?”
“Sekarang aku heran kalau kamu pernah kemari.”
“Catering! Iya, aku pernah antar mama kesini. Gazebo yang dihias dengan serba putih, acara lamaran.” Killa menuding Satya dengan mata yang membuka lebar.
“Benar. Acara lamaran adikku, Diar. Tapi aku tidak ingat pernah melihatmu datang. Cuma ada Tante Ayu yang ngobrol sama ibu.”
“Tante?”
“Kamu berharap aku memanggil Tante Ayu dengan panggilan mama?” Satya tersenyum menggoda.
“Bukan, maksudku. Semua pelanggan mama memanggilnya Bu Ayu bahkan anak SMP pun sama. Kamu?”
“Sekarang aku paham maksud Tante Ayu.” Satya mendengkus. “Kamu tidak lihat bahwa hubunganku dengan tante ayu cukup akrab?”
Killa menggeleng.
“Lain kali kamu bisa memperhatikan. Sekarang kita masuk, sepertinya ibu sudah menunggu kita untuk sarapan.”
“Sarapan? Ibu kamu?”
“Ya … aku sudah bilang akan mengenalkanmu pada keluargaku kan?”
Killa menggeleng.
“Sekarang kamu tahu. Yuk!”
Satya sudah mengucapkan salam tapi tidak ada jawaban. Bagaimana mungkin sepagi ini rumahnya kosong. Bahkan mobil Diar ada di rumah. Mobil ayahnya juga masih ditempat yang sama ketika dia pergi pagi tadi.
“Kamu duduk dulu. Aku panggil ibu dulu.”
Killa menunggu di ruang tamu. Melihat halaman rumah berikut garasi mobil, ruang tamunya termasuk kecil. Hanya berisi dua sofa berwarna coklat, sebuah meja kecil dan sebuah vas bunga. Killa baru sadar tidak ada foto keluarga disana. Karena hampir semua dindingnya terbuat dari kaca yang ditutup gorden dua lapis. Tapi ada sebuah partisi yag terbuat dari kayu, mungkin awalnya ruang tamu ini luas kemudian diberi sekat untuk pembatas. Secara keseluran ruang tamu ini sangat nyaman dan hangat. Seperti mencerminkan kehidupan penghuninya.
Pintu depan terbuka.
Seorang wanita masuk. Masih mengenakan piyama dengan karakter Winnie the pooh. Ditangannya ada sebuah tas jinjing yang penuh barang. Berbagai jenis makanan dan minuman.
“Eh ada tamu. Cari …” Hendak mengajak bersalaman tapi Diar menggantungkan hanya tangan diudara. “Killa? Shakilla Andriana?”

Killa lebih dulu menjabat tangan Diar.
“Betul.” Killa menjawab dengan bingung sekaligus heran. Wanita yang ada dihadapannya saat ini baru pertama kali ditemui tapi sudah mengetahui nama lengkapnya.
“Kerja di restoran kan?”
Killa hanya mengangguk semakin tidak mengerti.
“Ya ampun akhirnya.” Dia tersenyum lega. “Aku Diar, adiknya Mas Satya. Udah ketemu Ibu? Tunggu bentar ya aku panggil dulu.”
Tercengang? Pasti. Setengah linglung malah.
Menghadapi orang dengan berbagai macam karakter sudah biasa bagi Killa. Sikap profesionalnya membuatnya selalu siap dalam berbagai situasi. Hanya hari ini saja keadaan berjalan diluar kendalinya.
“Bu !!! Ada pacarnya Mas Satya.”
Seruan Diar itu mustahil tidak ditangkap oleh Killa. Meski sudah berada di dalam rumah, suaranya terdengar seperti lolongan serigala. Keras dan panjang. Membuat Killa semakin bersemu.
“Ya ampun! Lagi pada disini toh? Terus tamunya dianggurin gitu?”
“Kamu itu. anak gadis kok suaranya kaya kebo minta kawin. Nggak ada sopan santunnya.”
“Aku emang minta dikawinin, Bu.”
Hus diem kamu! Rapiin ini mejanya. Ibu mau nemuin temannya masmu.”
“Pacar, Bu.”
“Kok kamu ngatur? Mas mu aja Cuma bilang teman.”
“Iya, mas?”
Satya hanya bisa tertawa melihat interaksi dua wanita pertama dalam hidupnya, Ibu dan Diar.
“Ahh Mas Satya. Nggak gentle. Sama ibu aja nggak berani, gimana mau ketemu orang tuanya.”
Satya kembali tertawa. Kemudian duduk dan mengambil emping melinjo.
“Mas Satya ngapain masih disini?” Diar mengambil mlinjo yang sudah separuh dimakan Satya. “Ibu itu galak lho kalau sama calon mantunya. Ingat nggak waktu Rasyid pertama kali kesini? Yang paling banyak nanya itu ibu lho.”
Diar menarik paksa Satya. Menyeretnya agar menyusul ibu yang sedang menemui Killa. Sementara Satya malas mengikuti adiknya.
Aksi tarik menarik itu berhenti ketika Ibu masuk bersama Killa.
“Diar!!!” Tegur ibu dengan suara tertahan. Sementara anak gadisnya hanya tertawa seperti tidak merasa bersalah.
pixabay

Acara sarapan yang cukup siang pun berlangsung. Menu yang disajikan pun sesuai dengan permintaan Satya.
“Gimana rasanya, Killa? Tante tidak terlalu pintar masak tapi Satya maksa minta dibuatkan gado-gado.”
Pertanyaan itu datang ketika mulut Killa baru saja dipenuhi sepotong lontong dan daun selada. Tidak enak hati, Killa buru-buru menelannya.
“Enak kok Tante. Rasanya masih sama enaknya dengan yang Satya bawa dulu.”
Sendok berisi potongan tempe goreng pun tertahan beberapa detik sebelum akhirnya masuk kedalam mulut ibu.
“Sudah berapa lama kerja di restoran?”
Satya hendak menjawab tetapi disaat bersamaan ponselnya bordering. Kelihatannya penting sehingga dia meminta izin untuk menerima panggilan.
“Tahun ini genap delapan tahun.”
Begadang membuat Killa sangat kelaparan. Namun, ia urung menambah porsi karena ibu sepertunya sedang tertarik untuk berbicara dengannya. Ketiadaan Satya membuatnya harus menjawab setiap pertanyaan. Mungkin ketika nanti pulang dia bisa melanjutkan untuk mengisi perutnya.
“Sudah pernah pacaran berapa kali?”
“Ibu…” Diar menegur dengan merendahkan suaranya.
Killa tersenyum sopan. “Belum pernah.”
“Tuh dengar, Diar. Nggak usah pacaran dulu kalau mau nikah.”
Diar menatap heran pada ibunya. Wanita panutannya itu benar-benar bersikap diluar kebiasaan. Dia justri khawatir Killa akan mundur pelan-pelan mendapati calon mertuanya semenyeramkan ini.
“Di, bukannya kamu tadi mau buat mojito ya? mana? Keluarin dong.”
“Ohh iya. Tunggu aku ambil dulu.”
Diar pun menyusul kakaknya ke belakang. Tidak untuk menerima telpon melainkan menyiapkan minuman yang akan dia buat sendiri.
Pixabay

“Jadi selama ini kamu belum pacaran ya. kalau laki-laki yang pernah dekat, ada?”
Killa tidak tahu bahwa topik pribadi ini akan berlanjut. Untuk pertama kalinya seseorang bertanya padanya. Bahkan Satya sendiri tidak pernah. Dan itu adalah satu bagian kecil dari dirinya yang ingin sekali disembunyikan. Jika memang bisa dihapus maka Killa akan merelakannya dengan senang hati
 “Kamu tidak perlu menjawabnya kalau tidak berkenan.” Ibu mendorong ke tengah meja piringnya yang sudah kosong. “Ayo nambah lagi. Ini permintaan khusus dari Satya lho.”
“Sejujurnya tante kaget kamu tidak pernah pacaran.” Ibu melanjutkan.
Killa hanya bisa memandang dengan penuh tanya.
“Kita pernah bertemu sebelumnya,” Ibu meletakkan sendok diatas piring dan menegakkan duduknya.  “Harusnya kamu ingat karena kamu jauh lebih muda dari tante. Tentu kamu memiliki ingatan yang cukup tajam.”
Killa semakin bingung dengan pembicaraan ini.
“10 tahun lalu keponakan tante melangsungkan acara lamaran. Rian, Adrian Pranata.”
Killa tidak berani mengangkat kepalanya. Wajahnya tertunnduk menatap piring yang tinggal berisi beberapa potong sayuran yang sudah berlumuran saus kacang. Ada medan magnet besar disana. Sehingga apapun yang terjadi diluar sana tidak mampu membuatnya berpaling.
Dalam diam Killa mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya Satya. Mengulik setiap kisah menjadi potongan-potongan adegan hanya untuk mengingatkannya. Bagian paling kelam dalam hidupnya kini nampak jelas dimatanya. Berputar silih berganti seperti sebuah rekaman yang diputar ulang.
Sakit. perih.
Luka itu kembali tersayat. Irisan yang pelan dan begitu dalam. Membiarkan darah menetes-netes. Merembes menembus tiap lapis jaringan dalah hatinya. memenuhi rongga dada hingga membuanya terhimpit. Sesak, tak mampu bernapas.
Tuhan, tak cukupkah selama ini tersiksa dengan luka menganga? Tak cukupkah selama ini membuatku menderita dengan bayang rasa bersalah?
Sekelebat gambaran wajah Papa tertangkap ingatannya. Laki-laki yang sedang tidur dengan tenang dengan sinar kehidupan yang baru saja pergi.
Papa
Killa menulikan telinga. Pertahanan terakhir dalam diri membuatnya kebas dengan semua rasa. Dia hanya sesosok raga yang kehilangan jiwa. Dia ingin memohon pada Tuhan agar mempercepat waktunya.
Tapi Tuhan mengabaikannya. Sekerasa apapun memohon tidak akan dikabulkan. Karena Tuhan menyayanginya. Bukan itu yang Killa butuhkan. Maka Tuhan mengiriminya pertolongan.
“Wah lagi asik banget ngobrolnya. Tapi maaf harus kupotong.” Ibu dan Killa bersamaan menatap Satya. “Tiba-tiba ada panggilan terbang sore ini. Mungkin sebaiknya aku antar kamu pulang sekarang.”
“Benar,” Ibu memandang lekat Killa yang mematung dihadapannya. “sebaiknya kamu antar pulang sekarang. Kelihatannya Killa sedang enak badan.”
Satya berjalan mendekat hingga berdiri disamping Killa. “Kamu sakit?”
Sebuah dengungan menabrak pendengaannya. Tepukan lembut dilengannya menarik kembali jiwanya yang melayang. Senyum terbaik yang bisa Killa berikan saat ini meski dengan paksaan. “Sedikit pusing.”
Setelah berpamitan, Satya segera mengantar Killa pulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates