Selasa, 03 September 2019

# cinta # Fiksi

Rebound : Berlari Pergi

Siang-siang begini mau lari? Killa?”
Sepatu kets abu-abu itu sudah terpakai dengan pas pada sepasang kaki. Tinggal membuat ikatan simpul yang menjaga agar sepatu itu tetap nyaman saat digunakan.
Jam di dinding memang masih menunjuk pada angka 9. Matahari pun belum terlalu tinggi. Meski demikian bukanlah waktu yang sesuai untuk berolahraga. Mengingat sinar terang itu cukup menyengat yang akan membaut orang dibawahnya cepat dehidrasi.
Simpul rapi pada tali sepatu sudah Killa selesaikan. Kina Ia siap untuk berlari. Sejauh mungkin. Rasa lelah akan menghampiri. Kemudian tubuhnya akan dengan mudah tertidur sehingga semua emosi yang tidak mampu ia hadapi akan berlalu begitu saja.
“Killa!” Mama menarik tangan putrinya yang mengabaikannya yang berlalu tanpa mengindahkannya sedikitpun.
“Sampai kapan kamu mau seperti ini!!!”
Kedua kaki Killa berhenti melangkah. Terpaku dengan teriakan Mama yang sekalipun tidak pernah Ia dengar sepanjang hidupnya.
“Masa lalu tidak akan berubah meski kamu berlari ribuan kilo,.” Nada bicara Ayu mulai turun. “Kalau sakit itu tidak tertahan lagi, kamu bisa menangis, Killa. Menangis buka kesalahan.”
Himpitan keras membuat dada terasa sesak sekali. Membuat Killa merasakan nyeri yang teramat.
“Maaf, Mama sudah membuat kamu kecewa. Mama pikir sudah cukup waktu untuk kamu terus berkabung atas kebahagian orang lain makanya Mama ajak kamu kesana.”
Ayu melangkah mendekat pada putrinya yang diam mematung.
“Bukan kesalahan kamu Papa pergi.”
Ada yang bisa membantu? Killa tidak bisa mendengar lebih jauh lagi. Luka ini teramat perih jangan dihantam dengan rasa bersalah.
“Papa juga tidak pernah kecewa sama kamu. Semua yang kamu lakukan selalu membuat kami bangga.”
Killa mendesah. Beban ini terlalu berat untuk dibawa. “Killa, pamit.”




Deru mobil berhenti di pekarangan rumah. Ayu tidak mendengarnya. Gemericik air mengalir saat mencuci piring membuatnya tidak menyadari bahwa seseorang tengah berjalan memasuki rumah.
Kepergian Killa memang menyisakan sesak dihatinya. selalu seperti itu saat berbicara secara pribadi dengan anak sulungnya itu. Killa seperti mengerasakan hati dan tidak membiarkan seorang pun masuk. Bahkan sampai Papanya pergi, Killa memilih diam dan tidak ingin membagi perasaannya.
“Assalamualaikum!!!”
Ayu terlonjak, kaget. “Waalaikumsalam.” Piring-piring yang tinggal dibilas pun ia tinggal begitu saja. menepuk keras bahu Keenan yang duduk tenang memperhatikannya dari meja makan.
Keenan pun mengaduh.
“Sakit, Mama. Anak baru pulang udah dipukul aja.”
“Bisa lebih sopan nggak sama orang tua.”
Keenan mendesah. “Lama-lama Mama kaya Killa deh. Keenan udah salam tapi Mama diam aja.”
“Tapi nggak usah teriak juga, toh.”
“Darah minang Mama udah luntur sama darah jawa ya?.” Keenan terkekeh
Ayu berlalu meninggalkan anak lelakinya. Tumpukan peralatan masaknya sudah memanggilnya untuk segera dibersihkan.
“Ada pesenan lagi, Ma? Rendang lagi? Besok pasti aku langsung fasih ngomong bahasa minang, bukan begitu ambu?”
Ayu memang berasal dari bukit tinggi. Namun sejak menikah dia tidak pernah tinggal di tanah kelahirannya lagi. hanya sesekali berkunjung saat hari besar. sehingga anak-anaknya tidak ada yang bisa bahasa daerah selain jawa.
“Pulang kerja itu cuci kaki, ganti baju baru makan. Tambah besar bukannya tambah pinter.”
“Nah ini nih. Mama bener-benar ketularan Killa. Lihat nih, Keenan udah ganti baju, Mama. tadi nyampe kebelet pipis jadi langsung ke kamar baru ngagetin Mama.”
Ayu hanya melirik sekenanya saja. Kemudian membuka panci kecil yang baru saja dhangatkannya.
“Mama tahu kamu nggak suka rendang. Jadi Mama buat rawon kesukaan kamu.”
Sumringah sudah wajah Keenan. Perutnya yang sudah berbunyi semenjak dalam perjalanan terpuaskan sudah dengan menu kesukaannya.
“Selera makan kalian benar-benar warisan papa. Kalau makan harus dengan menu berkuah. Kakakmu aja yang akhir-akhir ini bisa makan tanpa kuah.”
Keenan menuang banyak kuah rawon kedalam piringnya. Sehingga bulir-bukir nasi itu tenggelam. Ditambah dengan satu sendok penuh sambal dan tak lupa kecambah pendek, condiment wajib untuk rawon Surabaya.
“Ohh iya, Kak Killa kemana? Bukannya hari ini libur?”
Keenan mendapati mamanya hanya mendesah.
“Kumat lagi?”
“Mama nggak tahu harus seperti apa buat ngadepin kakakmu.” Sinar redup pasrah memancar dari bola mata Ayu. Bukan pasrah tapi menyerah.
“Sebenarnya Killa kenapa sih, Ma? Keenan kira dia kalau kumat gitu lagi jenuh sama kerjaan. Belum lagi kalau sama lawan jenis, kaya anti. Tadinya Keenan pikir karena Kak Killa pemilih. Tapi sama Satya bubar juga. Padahal Keenan sempat yakin banget kalau Kak Killa bakal nikah sama Satya. Kelihatan cinta gitu.”
“Itulah. Mama kira Satya akan jadi laki-laki terakhir.”
“Jadi benar Killa pemilih?”
“Bukan pemilih. Kakakmu cuma takut kecewa, takut sakit hati. Dia pernah trauma saat berhubungan dengan laki-laki.”
“Memangnya ada yang nggak takut sakit hati.” Keenan mendorong kosongnya dan meraih segelas air putih disampingnya.

“Benar. Tidak ada orang yang mau terluka. Tapi kakakmu ditinggal nikah. Hanya itu yang Mama tahu. karena kakakmu sama sekali tidak mau membicarakannya. Sampai Papa meninggal dia terus diam dan semakin sulit diajak bicara.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates