“Siang-siang begini mau lari? Killa?”
Sepatu
kets abu-abu itu sudah terpakai dengan pas pada sepasang kaki. Tinggal membuat
ikatan simpul yang menjaga agar sepatu itu tetap nyaman saat digunakan.
Jam
di dinding memang masih menunjuk pada angka 9. Matahari pun belum terlalu
tinggi. Meski demikian bukanlah waktu yang sesuai untuk berolahraga. Mengingat
sinar terang itu cukup menyengat yang akan membaut orang dibawahnya cepat
dehidrasi.
Simpul
rapi pada tali sepatu sudah Killa selesaikan. Kina Ia siap untuk berlari.
Sejauh mungkin. Rasa lelah akan menghampiri. Kemudian tubuhnya akan dengan
mudah tertidur sehingga semua emosi yang tidak mampu ia hadapi akan berlalu
begitu saja.
“Killa!”
Mama menarik tangan putrinya yang mengabaikannya yang berlalu tanpa
mengindahkannya sedikitpun.
“Sampai
kapan kamu mau seperti ini!!!”
Kedua
kaki Killa berhenti melangkah. Terpaku dengan teriakan Mama yang sekalipun
tidak pernah Ia dengar sepanjang hidupnya.
“Masa
lalu tidak akan berubah meski kamu berlari ribuan kilo,.” Nada bicara Ayu mulai
turun. “Kalau sakit itu tidak tertahan lagi, kamu bisa menangis, Killa.
Menangis buka kesalahan.”
Himpitan
keras membuat dada terasa sesak sekali. Membuat Killa merasakan nyeri yang
teramat.
“Maaf,
Mama sudah membuat kamu kecewa. Mama pikir sudah cukup waktu untuk kamu terus
berkabung atas kebahagian orang lain makanya Mama ajak kamu kesana.”
Ayu
melangkah mendekat pada putrinya yang diam mematung.
“Bukan
kesalahan kamu Papa pergi.”
Ada
yang bisa membantu? Killa tidak bisa mendengar lebih jauh lagi. Luka ini
teramat perih jangan dihantam dengan rasa bersalah.
“Papa
juga tidak pernah kecewa sama kamu. Semua yang kamu lakukan selalu membuat kami
bangga.”
Killa
mendesah. Beban ini terlalu berat untuk dibawa. “Killa, pamit.”
Deru mobil berhenti di pekarangan
rumah. Ayu tidak mendengarnya. Gemericik air mengalir saat mencuci piring
membuatnya tidak menyadari bahwa seseorang tengah berjalan memasuki rumah.
Kepergian
Killa memang menyisakan sesak dihatinya. selalu seperti itu saat berbicara
secara pribadi dengan anak sulungnya itu. Killa seperti mengerasakan hati dan
tidak membiarkan seorang pun masuk. Bahkan sampai Papanya pergi, Killa memilih
diam dan tidak ingin membagi perasaannya.
“Assalamualaikum!!!”
Ayu
terlonjak, kaget. “Waalaikumsalam.” Piring-piring yang tinggal dibilas pun ia
tinggal begitu saja. menepuk keras bahu Keenan yang duduk tenang
memperhatikannya dari meja makan.
Keenan
pun mengaduh.
“Sakit,
Mama. Anak baru pulang udah dipukul aja.”
“Bisa
lebih sopan nggak sama orang tua.”
Keenan
mendesah. “Lama-lama Mama kaya Killa deh. Keenan udah salam tapi Mama diam
aja.”
“Tapi
nggak usah teriak juga, toh.”
“Darah minang Mama udah luntur sama darah jawa ya?.” Keenan terkekeh
Ayu
berlalu meninggalkan anak lelakinya. Tumpukan peralatan masaknya sudah memanggilnya
untuk segera dibersihkan.
“Ada
pesenan lagi, Ma? Rendang lagi? Besok pasti aku langsung fasih ngomong bahasa
minang, bukan begitu ambu?”
Ayu
memang berasal dari bukit tinggi. Namun sejak menikah dia tidak pernah tinggal
di tanah kelahirannya lagi. hanya sesekali berkunjung saat hari besar. sehingga
anak-anaknya tidak ada yang bisa bahasa daerah selain jawa.
“Pulang
kerja itu cuci kaki, ganti baju baru makan. Tambah besar bukannya tambah
pinter.”
“Nah
ini nih. Mama bener-benar ketularan Killa. Lihat nih, Keenan udah ganti baju,
Mama. tadi nyampe kebelet pipis jadi langsung ke kamar baru ngagetin Mama.”
Ayu
hanya melirik sekenanya saja. Kemudian membuka panci kecil yang baru saja
dhangatkannya.
“Mama
tahu kamu nggak suka rendang. Jadi Mama buat rawon kesukaan kamu.”
Sumringah
sudah wajah Keenan. Perutnya yang sudah berbunyi semenjak dalam perjalanan
terpuaskan sudah dengan menu kesukaannya.
“Selera
makan kalian benar-benar warisan papa. Kalau makan harus dengan menu berkuah.
Kakakmu aja yang akhir-akhir ini bisa makan tanpa kuah.”
Keenan
menuang banyak kuah rawon kedalam piringnya. Sehingga bulir-bukir nasi itu
tenggelam. Ditambah dengan satu sendok penuh sambal dan tak lupa kecambah
pendek, condiment wajib untuk rawon Surabaya.
“Ohh
iya, Kak Killa kemana? Bukannya hari ini libur?”
Keenan
mendapati mamanya hanya mendesah.
“Kumat
lagi?”
“Mama
nggak tahu harus seperti apa buat ngadepin kakakmu.” Sinar redup pasrah
memancar dari bola mata Ayu. Bukan pasrah tapi menyerah.
“Sebenarnya
Killa kenapa sih, Ma? Keenan kira dia kalau kumat gitu lagi jenuh sama kerjaan.
Belum lagi kalau sama lawan jenis, kaya anti. Tadinya Keenan pikir karena Kak
Killa pemilih. Tapi sama Satya bubar juga. Padahal Keenan sempat yakin banget
kalau Kak Killa bakal nikah sama Satya. Kelihatan cinta gitu.”
“Itulah.
Mama kira Satya akan jadi laki-laki terakhir.”
“Jadi
benar Killa pemilih?”
“Bukan
pemilih. Kakakmu cuma takut kecewa, takut sakit hati. Dia pernah trauma saat
berhubungan dengan laki-laki.”
“Memangnya
ada yang nggak takut sakit hati.” Keenan mendorong kosongnya dan meraih segelas
air putih disampingnya.
“Benar.
Tidak ada orang yang mau terluka. Tapi kakakmu ditinggal nikah. Hanya itu yang
Mama tahu. karena kakakmu sama sekali tidak mau membicarakannya. Sampai Papa
meninggal dia terus diam dan semakin sulit diajak bicara.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar