Hujan deras itu
tiba-tiba mengguyur. Mengusir langit cerah yang seharian tadi memayungi bumi.
Suasana malam semakin syahdu dan romantic bagi mereka yang sedang memadu kasih.
Tapi juga menambah gaduh sebuah hati yang sedang gundah.
Sebuah mobil sedan itu
sedang melaju menerobos rantai air yang jatuh dari langit. Mengabaikan cipratan
air saat roda mobil melewati genangan. Mengikuti permintaan seseorang yang
sedang termangu dibangku penumpang.
“Bentara Galerie ya, Pak.” Ucap perempuan pertengahan 20 tahun itu.
“Agak cepat ya?” tambahnya.
Laki-laki paruh baya
itu menyanggupi permintaan salah satu pelanggannya. Service exelent begitu yang
biasa dia dengar saat mendapatkan arahan dari atasan jika sebelum bertugas.
Ramah saja tidak cukup menjadi modal bersaing dalam industry transportasi umum.
Sehingga sebaik mungkin sopir taksi itu akan memenuhi permintaan pelanggan.
Bahkan saat hujan deras yang mengurangi jarak pandang seperti saat ini.
Lila sudah sampai
setengah jam yang lalu. ia masih berdiri menatap salah satu lukisan yang di
pajang di lobi galeri seni. Salah satu mahakaryanya yang ternoda. Representasi
rindu juga harapan yang ia kembalikan ditempat semula. Sementara derasnya hujan
belum berkurang meski sudah berlangsung dalam hitungan jam.
“Reservasi atas nama
Rayyan Subagja.”
Seorang pramusaji lalu mengantar
Lila menuju sebuah meja yang diatasnya sudah ditandai. Berada di bagian dalam
restoran yang dekat dengan sebuah taman dan dinding kaca besar yang menjadi
batas.
“Sudah siap memesan?”
“Sebentar, mbak.”
Lebih dari tiga kali
pramusaji mengucapkan pertanyaan yang sama selama hampir dua jam Lila duduk
seorang diri di restoran mewah itu. Tegang dan gugup karena bahagia yang ia
rasakan saat pertama kali datang sudah berganti menjadi cemas. Hingga berubah
kecewa.
Akhirnya hanya segelas
lemon tea yang Lila dapatkan dari restoran dengan reputasi terbaik itu. Bahkan
menu-menu yang dimasak oleh chef-chef papan atas negeri ini pun hanya Lila
nikmati dalam gambar yang ada di buku menu.
I’ts
another disaster dari sebuah acara makan malam yang Lila
hadiri.
Dan Lila menuju galeri
sebagai penutup dari kencannya yang memilih akhir tidak indah. Memandang objek
melingkar dalam bentuk dua dimensi yang tak lagi jelas karena bercapur dengan
bentuk abstrak dari cat minyak. Lila mengabadikan rindunya dalam sebuah lukisan
monokrom. Sebuah objek tunggal. Sepasang cincin.
“Mbak nggak tahu kalau
kamu akhirnya merombak lukisan kesayanganmu ini.”
Rupanya Lila tidak
sendiri di bangunan berlantai dua tersebut. Seseorang yang tadi siang ia temui
masih berada ditempat yang sama.
“Ada apa malam-malam ke
galeri?”
Siapa saja akan merasa
heran melihat seseorang dengan penampilan formal mendatangi sebuah galeri yang
sudah tutup dari tadi. Dan hanya berdiri mematung menyamai sebuah manekin yang
ada di pusat perbelanjaan.
“Mbak sendiri?”
“Nunggu hujan. Kamu?”
tanya mbak Ika menyelidik.
Ucapan mbak Ika tidak
terdengar seperti sebuah pertanyaan. Lebih pada sebuah pernyataan untuk
memastikan sesuatu. Dan itu memang benar. Lila datang seorang diri.
“Ray mana?”
“Ray…” Ucapan Lila
terjeda. “Dia disekitar sini lagi ketemu orang.” Lila membuat bibirnya
tersenyum. Dia pernah menjadi sutradari teater. Tak sulit untuk menerapkan salah
satu ilmu tersebut di dunia nyata.
“Dan ninggalin kamu
disini? Sendiri?”
“Aku yang minta. Lagian
aku pasti bosen kalau ikut Ray. Pembicaraan tentang TKI atau TKW Cuma bikin aku
nguap berulang kali.”
“Bener?”
Lila mengangguk.
Terlalu cepat sampai akhirnya Mbak Ika menyadari ada sesuatu yang sedang Lila
coba untuk tutupi.
“Lila?” Mbak Ika
merendahkan suaranya.
Lila menggigit bibir
bawahnya. Mengalihkan pandangannya ketempat lain. kesamping keatas kemana saja
asal tidak beradu pandang dengan orang dihadapannya. Sekali tatap saja mbak Ika
akan tahu apa yang sedang Lila rasakan. Dan saat ini Lila sedang tidak ingin
membaginya dengan siapa-siapa. Tapi bukan mbak Ika kalau mengabaikan hal
sekecil itu. Lila pun pasrah sekalipun mbak Ika akan tahu segalanya.
Tak lagi ingin berkata
panjang, Mbak Ika menarik Lila kedalam pelukannya. Bukan kalimat bijak yang
menenangkan yang sedang Lila butuhkan. Tapi sebuah tempat bersandar. Sebuah
shelter untuknya bisa beristirahat atau hanya sekedar menghela nafas saja.
“Terkadang menangis
diperlukan saat mulut tak mampu berucap.”
Selama beberapa saat
Mbak Ika mengokohkan dirinya untuk Lila. Memberi Lila tempatyang nyaman untuk
sekedar menangis. Hanya sebuah tepukan lembut dipunggung Lila yang bisa Mbak
Ika lakukan untuk membuatnya tenang.
Waktu pun berlalu.
Tangis Lila sudah berhenti. Tersisa isakkan yang membuat dadanya berguncang.
“Kita pulang?”
“Mbak Ika aja.”
“Lila?”
“Sebentar saja, Mbak. Please”
“Tapi…”
“I’m Okey. Just a second.”
“Promise?”
“Promise.” Lila menambahkan sebuah senyuman untuk menambah keyakinan
Mbak Ika bahwa dia baik-baik saja.
Lila memang perlu
sedikit tambahan waktu untuk benar-benar selesai dengan kecewa. Bagaimana pun
juga ketidakhadiran Ray malam ini sangat menggucangnya. Memporak porandakan
bahagia dalam hatinya.
“Yasudah. Tapi kamu
pakai ini.”
Mbak Ika memakaikan
jaket panjangnya agar menutupi lengan Lila yang terbuka. Sedih memberikan peran
besar dalam menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Belum lagi hawa dingin akibat
hujan. Yang akan dengan mudah membuat Lila sakit.
***
Langit malam ini begitu
cerah. Bintang bertaburan dimana-mana. Seperti tidak menyisakan sedikitpun
hujan deras yang baru saja reda. Hanya jalanan basah yang memberikan peringatan
pada pengemudi untuk lebih berhati-hati.
Sebuah taksi memasuki
kawasan komplek perumahan yang disambut seorang satpam yang membuka portal.
Hanya ada petugas keamanan saja yang masih beraktifitas pada jam-jam seperti ini. meskipun beberapa
saat setelah senja pun komplek ini sudah sepi. Penghuninya lebih banyak
menghabiskan waktu senggangnya didalam rumah.
Mobil sedan biru itu
berhenti disalah satu rumah. Kebetulan sang pemiliknya sedang berjalan mondar
mandir di teras rumah terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Dengan salah
satu tangannya sibuk dengan gawai. Aktivitasnya itu berhenti manakala seorang
perempuan keluar dari mobil.
Lila sudah bersiap
untuk kemungkinan akan langsung berhadapan dengan Ray. Meski sebelumnya ia
tidak yakin akan bertemu malam ini. Ia bahkan sudah bersiap dengan satu
kebohongan.
Sanggul rambutnya sudah
diurai. Rambut panjangnya digerai begitu saja. hanya menggunakan jari tangan
untuk membuatnya terlihat lebih natural. Make
up minimalis itu juga sudah dicuci saat masih di galeri. Dress sudah
tertutup rapat dengan jaket pinjaman mbak Ika. Outer milik Lila? Entahlah.
Mungkin tertinggal di restoran. Lila sudah tidak peduli lagi. Hanya heels saja yang harus tetap dikenakan
Tapi cukup satu atau dua kalimat alasan saja untuk membuatnya tidak terlihat
seperti orang pulang dari pesta.
“Dari mana saja kamu?”
Telinga Lila menangkap
sedikit kemarahan. Meski orang normal akan mendengarnya seperti kekhawatiran.
Tapi tidak, pertanyaan itu lebih seperti konfrontasi seorang suami yang yang
mendapati istrinya meninggalkan rumah tanpa pamit. Padahal sudah sangat jelas
kemana Lila sebenarnya pergi.
“Seperti biasa dari
galeri. Kemana lagi aku menghabiskan banyak waktu selain disana” Lila
menunjukkan tangan kirinya yang memegang sebuah kanvas.
“Selarut ini?” Ray
memang sudah meneliti begitu Lila turun dari taksi.
“Biasanya mas tidak
pernah bertanya berapa lama aku menghabiskan waktu seharian disana.”
Telak. Ray tidak bisa
berkutik dengan pembelaan Lila. Karena semua itu benar adanya.
“Bagaimana dengan sepatu?
Satahuku kamu tidak pernah menggunakannya untuk pergi ke galeri.”
“Sejak kapan mas peduli
dengan penampilanku” Jawab Lila ketus.
Lila lelah harus
berbasa-basi tidak penting. Ia hanya perlu segera masuk kedalam kamar. Dia
harus segera kesana. Mengistirahatkan segalanya. Termasuk nyeri kepala yang kembali
menyerangnya.
“Lila tunggu?” Ray
menyusul.
“Ada apa lagi?” Lila
berbalik. Kakinya sudah ingin mendaki tangga yang ada didepannya. Membuat
tubuhnya semakin rindu hangatnya selimut tebal dikamarnya.
“Aku cuma ingin
bertanya satu hal.” Ray tetap melanjutkan pembicaraan meski Lila sudah berbalik
lebih dulu. “Did you got my messages?”
Pesan? Kotak berisi
gaun dan ajakan makan malam yang terselit disana?
Yes,
and You never come!!!
Andai bisa Lila sudah
meneriakkan itu tepat ditelinga Ray. Agar dia bisa mendengar dengan sangat
jelas kemana sebenarnya Ia pergi sampai larut malam.
“Aku dari galeri, Mas.
Lihat!” Sekali lagi Lila menunjukkan sebuah kanvas yang dari tadi ia bawa. “Aku
tidak mungkin membawa barang semacam ini ke restoran mewah bukan?”
Lila tidak akan
merepotkan dirinya sendiri dengan menenteng kanvas sebesar itu kedalam restoran
itu benar. Tapi heels? Lila bukan seniman yang memiliki penampilan ala kadarnya
atau bergantung dengan suasana hati. Dan dia hanya menggunakan heels untuk
mengahadiri acara formal. Selain itu sepatu kets
dan flat shoes adalah sahabat
hari-harinya.
“Aku tidak bisa
menghubungimu dari tadi.”
“Oh ya? Hapeku mati
sepertinya. Tadi nggak sempat ngisi pas digaleri.”
Lebih tepatnya
mengabaikan. Ray sudah berkali-kali menghubungi Lila tapi tidak mendapat
respon. Ada puluhan panggilan juga chat yang tidak terhitung. Dan semuanya
terhubung hanya saja tidak mendapat tanggapan.
“Oh, lain kali jangan
lupa bawa power bank.”
Kali ini Ray berbalik
lebih dulu. dia harus menutup pintu rumah yang terbuka. juga untuk memikirkan
beberapa hal selain kebohongan Lila yang dengan jelas terlihat juga Almira. Si
pemilik hatinya. Benarkah pemilik itu masih bernama Almira?
***
Ray merasa baru saja
memejamkan mata. tapi pendengaranannya sudah menangkap suara berisik. Seperti ada
benda terjatuh disuatu tempat.
Saat bangun untuk
memeriksa, Ray menemukan sisi ranjang tempat Lila tidur kosong. Dan saat
melihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 3 pagi. Waktu yang sangat awal
untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Maka Ray pun mencari keberadaan istrinya.
Keluar kamar mata Ray
tidak menemukan satu pun lampu yang dinyalakan. Hanya cahaya langit yang masuk
melalui pintu kaca belakang sehingga dia bisa mengetahui keberadaan seseorang
didapur.
Ada pecahan beling
dimana-mana juga cipratan air. Lila sedang berjongkok memunguti pecahan-pecahan
tadi.
“Lil…?”
“Ohh Mas, kebangun ya?”
Lila mendongak. “Aku nggak sengaja jatuhin gelas pas mau ambil air.”
“Kamu nggak pa-pa?” Ray
ikut membantu membersihkan.
“Nggak pa-pa.”
Ray mengambil kain lap
basah untuk membersikan serpihan-serpihan yang tersisa. Juga sisa pecahan yang
dikumpulkan Lila untuk dibuang ketempat sampat.
Berdiri setelah jongkok
sepertinya membuat keseimbangan Lila berkurang. Sehingga membuatnya mencari
pegangan agar tetap berdiri tegak. Ray yang melihatnya merespon cepat. Memegang
kedua lengan Lila.
“Sepertinya tekanan
darahku turun.” Lila mencoba menjelaskan saat melihat tatapan tanya dari Ray.
“Badan kamu panas,
Lil.”
“Hah? Ohhh Cuma dehidrasi
aja kok.“
Ray mendorong Lila
untuk duduk dikursi. Lalu mengambilkan segelas air yang tadi gagal dilakukan
oleh Lila.
“Minum.”
Terkesan diperintah
tapi Lila menurut dan mengikutinya. Hal kecil itu membuatnya merasa
sentimentil. Kedua penglihatannya memanas dan diselimuti cairan. Hanya pengaruh
keadaannya yang kurang sehat saja atau memang ada hal lain. Lila merasa
terharu. Meski marah dan kecewanya masih meraja tapi melihat Ray duduk
berjongkok dibawahnya. Memastikan bahwa gelas yang berisi air putih itu kembali
kosong.
“Lil?”
“Ahhh sepertinya aku
benar-benar dehidrasi.” Lila mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Mencoba
menghalau agar airmatanya tidak keluar.
Melihat itu Ray
bangkit. Berdiri disamping kursi Lila. Memegang kepalanya lalu mendekapnya.
Dalam keadaan seperti
itu tak ada lagi yang bisa Lila lakukan untuk menghentikan rembesan yang keluar
dari matanya. Semakin dalam pelukan Ray semakin deras air mata itu mengalir.
“Lil, May I ask you something?”
Lila menggelengkan
kepala. Menolak menjawab apapun yang ingin Ray ketahui. Marahnya, kecewanya
biarlah dia simpan sendiri. Inilah hal terbaik yang bisa Lila lakukan untuk
menekan egonya. Cukuplah dengan menangis untuk membantunya sedikit bernafas.
Satu kata saja Lila ucapkan maka tuntutan besar yang akan ia minta. Sebuah hati
yang bukan menjadi miliknya. Meski Ray selalu berada didekatnya, senyum yang
Ray berikan untuknya, mata yang selalu memandangnya tapi hati Ray milik orang
lain.
Sudah saatnya Lila
harus menyerah. Bukan seperti ini jalan hidupnya. Seharusnya ia tidak
membiarkan hatinya menuntut lebih dari sikap baik yang Ray tujukan padanya. Ini
terlalu berlebihan. Melampaui batas.
Dengan menggunakan
telapak tangannya Lila membekap mulutnya. Menahan suara isakan lolos dari
mulutnya.
Meski berusaha ditutupi
Ray tahu tubuh Lila berguncang karena menangis.
“Katakan apa saja Lila.
Biarkan aku tahu.”
Mendengar itu isakan
yang sudah ditahannya pun lepas begitu saja. Dan Lila menekan kepalanya kedalam
perut Ray. Bahkan tangan Lila menarik kain yang menempel di tubuh Ray.
“Lil, kamu nggak bisa
nafas kalau kaya gini.”
Lila menguatkan tautan
tangannya saat Ray mencoba memberi jarak antara tubuhnya dengan kepala Lila.
Agar Lila memiliki sedikit ruang untuk bernafas. Tidak perlu usaha keras karena
memang Ray memiliki tenaga jauh diatas Lila.
Ray merendahkan posisi
tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Lila. Bertumpu pada lututnya, dia melihat pipi Lila membengkak, bahkan matanya
menebal karena sembab. Hidung Lila yang memerah terus mengeluarkan cairan
karena menangis.
“Nggak pa-pa kalau
sekarang kamu nggak mau cerita. Tapi Lila, sekarang aku adalah suami kamu.
Apapun yang terjadi sama kamu, yang kamu rasakan harus kamu ceritakan semua nya
padaku, Ya?”
Dengan sorot mata yang
tajam Ray memaksa Lila memenuhi permintaannya. Meski tidak mendapat jawaban
juga tanggapan tapi Ray tahu Lila menyanggupinya.
“Kita ke kamar. Kamu
harus istirahat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar