Ruangan ini terlalu
gelap kalau hanya bergantung pada penerangan yang diberikan Tuhan melalui sinar
matahari. Meski sebagian besar dinding terbuat dari kaca tapi tetap saja
sebagian besar dari puluhan lampu itu harus di nyalakan.
Lila duduk di sebuah
sofa melingkar yang sangat besar. bantalan spons yang sangat empuk itu hampir
saja menenggelamkannya saat duduk menyandar. Untung saja pelajaran tata karma
ala kerajaan jawa yang pernah kakek berikan sudah mendarah daging. Sehingga ia
hanya perlu duduk dengan punggung tegak serta kedua kaki yang di lipat rapat.
Melelahkan tapi lebih baik dari pada meringsak di dalam kursi modern seperti
ini.
Selain sebuah restoran
yang buka selama 24 jam, juga ada seuah ruangan di seberangnya. Privat bar,
begitu yang tertulis di atas pintunya. Yang biasa digunakan orang-orang untuk
melaksanakan privat party yang mengusung adat barat. Begitu informasi yang ia
dapatkan dari kisah romansa yang pernah ia baca.
Beberapa menit lalu,
Ray memintanya untuk menunggu. Mata Lila pun menangkap seorang pramusaji yang
sibuk di balik meja bar. Kemudian menghampirinya untuk menyajikan welcome drink
sebagai sebuah protokoler hotel tempatnya bekerja.
Chamomile
tea
menguarkan aromanya yang menenangkan. Sejenak Lila pun teringat perbincangannya
dengan Ray selama masih dalam perjalanan.
“Aku nggak tahu bandung
tetap serame ini meski awal pekan. Bahkan hotel yang sama seperti di voucher
pun penuh. Tapi aku sudah booking di hotel lain, semoga kamu suka.”
Akhir dari kalimat Ray
itu benar-benar menengkan hatinya. Meski hanya sebuah perjalanan pengganti tapi
Lila merasa sangat tersanjung. Lelaki yang selalu ia tatap itu membalas
senyumnya, menjawab pertanyaan juga memakan masakannya.
Tak banyak permintaan
yang Lila ajukan pada Tuhan semenjak ia mengikhlaskan jalan hidupnya. Kalau pun
perpisahan menjadi jalan hidupnya, jangan hapus senyum di wajahnya.
Dan Tuhan memberinya
jauh lebih banyak dari permohonannya.
Saat ini sebuah tangan
terulur di hadapannya. Menggantung di udara, meminta untuk segera di sambut.
Lila pun menggerakkan
jemarinya. Meski debaran jantung nyaris membuat tangannya bergetar. Akhirnya
sentuhan itu tercapai. Telapak tangan Ray meraup jemari lentik Lila.
Terimakasih Tuhan. Kau telah
meniupkan kehangatan dalam kesunyian hatiku.
“Untung
kita datang awal. Jadi masih bisa milih kamar.”
Mereka berjalan dengan
tautan tangan yang erat. Ray bahkan hanya perlu sebelah tangan saja untuk
membawa barang bawaan mereka dan membuka lift.
“Memangnya kita dapat
kamar berapa?”
“1007”
Lila memandang pantulan
bayangannya dari dinding lift. Mengingatkannya pada lima bulan sebelumnya,
dihari resepsi pernikahan. Satu-satunya hari saat Ray berdiri disampingnya
tanpa terlihat tidak nyaman. Meski Lila tahu hal itu sangat berbeda dengan
hatinya. Dan hari ini Lila kembali berdiri berdampingan dengan kenyamanan yang
nyata.
Ia ingin sekali
meletakkan kepalanya di bahu Ray seperti adegan romantic yang sering ia baca di
novel-novel picisan. Denting lift tanda pintu terbuka lebih cepat sehingga Lila
harus cukup menerima genggaman tanga yang erat seperti ini saja.
Keinginan berlebih tak
akan membuat kenyataan berubah. Hanya ada hati yang berharap lebih dan mengukir
luka dengan jari sendiri.
***
Lila menyibak gorden
abu-abu yang panjangnya menyamai tinggi kamar. Dinding kamar yang berada disisi
luar tersebut terbuat dari kaca yang sangat lebar. Kalau tidak ada embun yang
menempel, mungkin Lila akan mengira Ray memesan kamar yang terbuka.
Tak jauh berbeda dengan
Jakarta, Bandung sama ramainya dengan kendaraan yang mengantre di jalanan.
Hanya saja lebih banyak di jumpai pohon-pohon di tepi jalan. Juga tidak banyak
ditemukan warung tenda penjaja makanan. Trotoarnya pun lebih banyak dilalui
pejalan kaki dari pada kendaraan roda dua.
“Meski ramai tapi
bandung tetap lebih menenangkan dibanding Jakarta.”
Lila menyetujui
pernyataan Ray yang berdiri disampingnya dengan menganggukkan kepala.
“Aku mandi dulu.” Ray
menyentuh pundak Lila sebelum meninggalkannya ke kamar mandi.
Seperti kata Ray,
Bandung memang menenangkan. Di kota ini pula, Ia pernah mengukir kisah manis
yang membuatnya hidup sampai saat ini. Masa saat Ray kecil menghabiskan seluruh
waktu liburannya untuk menemaninya berkeliling kota. Saat Lila menyerah pada
kelelahan, Ray kecil selalu menghadirkan punggungnya untuk menggendongnya.
Untungnya Lila tergolong pemilik badan yang tidak terlalu besar sehingga tak
terlalu menyiksa Ray. Tapi bukan Lila kalau tidak menjahili Ray.
“Mas,?”
“Hhmmm…”
“Kalo aku capeknya
lama, kamu bakal gendong aku terus nggak?”
“Iya, aku bakal gendong
kamu terus.”
“Sampe lama-lama?”
“Iya, Lila. Aku bakal
gendong kamu terus sampe lama-lama.”
Mungkin karena keduanya
di lahirkan sebagai anak tunggal yang tidak pernah merasakan kedakatan dengan
saudara. Ray merasa nyaman selalu diandalkan oleh Lila sebaliknya Lila pun
merasa aman dengan keberadaan Ray disampingnya.
Hubungan keluarga pun
semakin erat. Tak jarang mereka yang membuat kedua keluarga itu sering
melakukan pertemuan untuk silaturahmi. Satu hal yang luput dari perhatian orang
dewasa hanya satu bahwa tidak pernah ada hubungan kakak beradik di antara
laki-laki dan perempuan.
“Lil..?”
Mendengar namanya di
panggil, Lila pun berbalik badan. Memberi jeda pada ingatannya yang memilih
berjalan mundur.
“Iya.”
“Mau makan malam di
luar atau di hotel aja?”
Lila punya satu lagi
kesukaan dari Ray. Yaitu saat tangan laki-laki itu sedang menggosok rambutnya
yang basah dengan handuk kecil. Kemudian menyugarnya sehingga membuat rambutnya
akan berantakan. Sebagian jatuh menutup dahinya. Kadang saat rambutnya sedang
panjang akan menutup sampai pelipis.
Saat yang demikian itu
akan membuat urat-urat tangannya nampak. Serta rambut tipisnya akan lebih
terlihat jelas lembab usai mandi. Lalu Lila akan mengimajinasikan sedang
menyentuh lengan kokoh yang pernah berjanji akan menggendongnya dalam waktu
lama.
“Di luar aja. Kayanya
dingin-dingin gini enak makan sup Iga.”
“Boleh.”
Lila langsung masuk ke
dalam kamar mandi. Sementara Ray mengambil ponselnya yang bordering.
***
Pintu kamar mandi itu
terbuka. di sambut kekosongan ruang yang tak berpenghuni.
Dinding kaca itu masih
terbuka lebar. Membiarkan sinar jingga menyelinap masuk. Di pantulkan kembali
oleh sprei putih yang sama rapinya saat Lila baru saja datang dua jam yang
lalu.
Tak banyak yang
berubah. Semua barang bawaan masih tersimpan lengkap di dalam lemari. Kecuali
meja kecil bundar yang sudah menampung sebuah laptop yang terbuka. Tapi tuan
pemiliknya tak nampak.
“Hey, baru selesai
mandi?”
Sepertinya Ray baru
saja dari luar. Sebelah tangannya masih menggenggam ponsel. Mungkin baru saja
menerima panggilan.
“Lil, aku minta maaf
sebelumnya.”
Lila mendengar dengan
seksama.
“Keberatan kalo makan
di luarnya kita batalkan?”
“Tentu tidak. Kita bisa
malakukannya lain kali.”
“Syukurlah. Tapi
sepertinya kita masih bisa makan sup iga meski di dalam kamar saja.”
Lila memerhatikan Ray
yang sedang sibuk dengan buku menu kemudian sebelah tangannya lagi sedang
memegang telepon meja. Tak lama kemudian dia sudah berbicara dengan seseorang.
“Aku udah pesankan sup
iga untuk makan malam kita. Tunggu saja.”
Kemudian Ray mengambil
tas dan melakukan pencarian disana. Entah apa yang di cari tapi sepertinya itu
memerlukan waktu untuk mencari.
“Ehm mas,”
“Iya?”
“Boleh aku tahu kenapa
mendadak harus dibatalkan?”
“Ya ampun, aku belum
bilang ya?” Ray meletakkan sebuah map bening di atas kasur sebelum berjalan
mendekati Lila yang masih berdiri di depan kamar mandi. “Jadi gini. Besok
atasanku ada pertemuan dengan salah satu NGO. Nah kawan kantor yang harusnya
menyiapkan bahannya itu orang tuanya baru saja meninggal. Jadi terpaksa aku
harus menggantikannya.”
Mangkuk dan piring kosong itu sudah tertumpuk dengan rapi. Tandasnya makanan yang sebelumnya
mengisi menandakan bahwa masakannya enak atau dua orang yang sedang kelaparan.
Tapi bagi Lila, enak atau pun tidak yang namanya makanan memang harus di
habiskan. Selain bersikap sesuai adab juga sebagai salah satu bentuk penghargai
pada orang yang sudah membuatnya.
Perut kenyang di tambah
suasana sejuk dari pendingin ruangan membuat mata lebih cepat mengantuk. Tapi
Lila berusaha mengenyahkan rasa yang akan memebawanya terlelap.
Satu-satunya laki-laki
terbaik bagi Lila tengah bekerja keras menyelesaikan pekerjaannya secepat
mungkin. Agar kewajibannya sebagai abdi Negara terlaksana dengan baik.
Tak mengapa, Tak ada
sesal atau kecewa sedikitpun menghampiri Lila. Justru syukur yang Ia dapat.
Karena memiliki kesempatan untuk memandang sisi lain Ray yang tidak pernah ia
jumpai selama ini.
Kerutan di kening yang
muncul saat menjumoai kesulitan. Kedua mata yang menatap tajam, focus saat
sudah menemukan titik cerah dari kesulitan yang baru saja di hadapi. Sangat
kontras dengan celana pendek yang di kenakan serta kaos hitam rumahan dengan
ekspresi serius seorang pekerja.
Itu merupakan lukisan
terindah yang Tuhan berikan pada Lila. Andai bisa Lila ingin waktu ini berhenti
di titik ini untuk waktu yang lama. Tak tahu akan kah kesempatan yang sama akan
terulang tapi saat ini biarkan Lila menikmati sedikit lama.
Keramaian jalanan yang
Nampak dari atas jauh berkurang. Karena waktu aktif manusia mendekati batas.
Wajar saja semua orang memutuskan untuk berhenti dari kesibukan. Pun dengan Ray
yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya tepat saat jarum jam menunjuk angka
10 malam.
Beralih dari layar
laptop, Ray mendapati Lila sudah tertidur. Tidur menyamping dengan sebelah
tangannya menjadi alas kepalanya. Dengan udara seperti ini Lila tidur tanpa
mengenakan selimut. Dingin kaki Lila saat Ray menyentuhnya.
Lila merapatkan tubuh
saat Ray menyelimutinya.
“Makasih udah sabar
menunggu. Sedikit lagi, aku harap sampai saat itu tiba kamu masih sabar
menungguku.”
Ray memberikan sebuah
kecupan di kening Lila. Bukan cinta tapi Ray berharap suatu saat rasa itu akan
kembali menyentuh hatinya dengan Lila masih di sampingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar