Perjalanan pengganti
bulan madu yang terlewat itu kembali menuai kegagalan. Ray harus segera kembali
untuk bersiap menggantikan posisi temannya yang berhalangan.
Sesal tentu saja sedang
menyelimuti hatinya. Meski Lila tak merasa keberatan tapi melihat senyum yang
selalu tersungging membuatnya di dera rasa bersalah.
Sejak keluar hotel
sampai sekarang berada dalam perjalanan pulang, tak sekalipun Ray melihat wajah
Lila murung. Dia satu-satunya orang yang bahagia saat semua tidak berjalan
lancar. Bahkan saat Ray mencoba menggali kejujurannya.
“Kemanapun sesingkat
apapun aku akan senang selama bersama kamu, Mas.”
Bukannya melegakan, hal
justru membuat Ray semakin merasa bersalah.
Memang perasaannnya
pada Lila belum sebesar Lila padanya. Tetapi hal itu tidak membuatnya dengan
mudah mengabaikan Lila. Bagaimana pun Lila adalah istrinya. kebahagiannya
sangat bergantung dengan sikapnya sebagai seorang suami.
“Lagi pula kita bisa
pergi lagi lain kali.”
Lila selalu membuat Ray
merasa tenang. Disaat perasaan bersalahnya yang semakin membumbung tinggi,
dengan sekali ucap membuatnya mengempis. Memaksa seutas senyum hadir di bibir
Ray.
Selama ini hatinya
tertutup dengan harapan yang terlalu jauh sehingga membuatnya kesulitan melihat
ketulusan yang ada didepan matanya.
“How about dinner? Makan malam pertama kita waktu itu tidak berakhir
indah.”
“Oke.”
Wanita tidak melulu
berpusat dengan permainan kode yang susah di terjemahkan. Sesuatu yang biasa
selalu bisa menghangatkan hatinya bila dilakukan dengan ketulusan.
Ditengah perjalanan
mereka berhenti di pinggir jalan. Lila melihat seorang pedagang kaki lima
menjajakan dagangannya di bawah pohon besar.
“Es dawet nya dua ya
mang.”
Ray memesan minuman
yang sangat menyegarkan di cuaca yang terik seperti ini.
“Bandung jam berapapun
selalu ramai. Makanya aku jarang banget kesini.” Ujar Ray yang berdiri
menghadap Lila yang menyandar pada badan mobil.
“Tapi Bandung selalu
indah dalam ingatan.”
Kali ini Ray setuju
dengan pendapat Lila. Meski pernah menorehkan hal buruk dalam hubungan mereka,
Bandung selalu menyimpan kenangan indah tentang perjalan hidup mereka.
“Kamu ingat itu?” Ray
menunjuk halaman sebuah sekolah taman kanak-kanak yang terletak di seberang
jalan.
“Apa? Sekolah?”
“Plang besi yang biasa
dibuat anak-anak bergelantungan.”
“Kenapa emang?”
“Kamu dulu juga pernah
gelantungan disana. Waktu itu mau hujan dan angin lagi kenceng banget.
Sementara kamu gelantungan tapi sibuk nahan rok kamu yang ketiup angin.”
“Akhirnya aku jatuh.”
“Terus kaki kamu kesleo
dan aku harus gendong kamu sampe rumah.”
Tentu saja Lila
mengingatnya. Nggak akan pernah lupa bagaimana Ray kecil yang selalu perhatian
dan menghujaninya dengan kasih sayang. Bahkan Lila masih bisa mengenang betapa
hangat dan kokohnya punggung Ray saat menggendongnya.
“Akhir-akhir ini aku
jarang lihat kamu pakai rok?”
Lila tersenyum. Kakinya
bergerak-gerak mengukir lantai tanah yang basah. “Ada beberapa saat aku harus
melupakan rok dan menggantinya dengan pakaian yang tidak membatasi gerak.
Terutama saat aku harus men-direc pemain teater untuk pementasan.”
“Kamu jadi director
juga?” tanya Ray antusias.
“Cuma sesekali aja, klo
director utama berhalangan hadir.”
“Kamu berubah banyak,
Lil. Banyak hal yang udah kamu lakukan dan itu benar-benar melampau kemampuan
kamuj”
“So you do”
Angin yang berhembus
siang itu menyejukkan hati masing-masing. Meleburkan kenangan masa lalu yang
sempat tersekat-sekat menjadi sebuah rangkainan cerita yang utuh. Menyisakan
memori indah yang tak akan lekang dalam ingatan mereka.
***
Lila baru saja
menuangkan air minum setelah beberapa saat lalu pulang dari galeri. Bersamaan
dengan tandasnya air yang ditegukkannya, bel rumahnya berbunyi.
Rupanya seorang petugas
dari salah satu layanan online mengirimkan paket untuknya. Sebuah kotak
berwarna coklat diikat pita berwarna hitam. Dengan sebuah kartu ucapan terselit
diantaranya.
Temui aku jam 8 malam
Dibawahnya tertera
alamat sebuah restoran. Restoran tempat mereka pertama kali bertemu. Restoran
yang menjadi saksi bahwa pertemuan itu akan terulang.
Lila membawa kiriman
itu dan membukanya didalam kamar. Sebuah dress tanpa lengan berwarna biru tua.
Biru bukanlah warna
kesukaannya. Dia seperti wanita pada umumnya yang menyukai warna-warna terang
seperti putih dan merah jambu. Sementar biru adalah salah satu warna yang
mendominasi pakaian Ray.
Warna kesukaan Ray.
Lila pun mematut
pakaian yang panjangnya menutupi lututnya di hadapan sebuah cermin besar
dikamar. Warna itu sangat cantik dipadukan dengan kulit putih miliknya.
Rambut panjangnya nanti
akan di gelung keatas. Dengan sebuah jepit rambut berbentuk bunga akan tersemat
manis diatas kepalanya. Lila juga membiarkan sedikit rambut jatuh menghiasi
wajahnya.
Lila memilih sebuah
pemulas bibir berwarna merah. Semula ia hanya ingin mengekspresikan betapa
senang hatinya. Namun setelah melihat pantulan wajahnya dari cermin membuatnya
terlihat berani. Sehingga ia menghapus pewarna itu dan menggantinya dengan
warna peace yang memberinya kesan simple tapi juga elegan.
Dress biru itu Lila
padankan dengan sepatu berhak rendah warna hitam dengan sebuah handbag yang senada.
Lila memandang dirinya
sekali lagi. lalu tersenyum bahagia.
“Cantik.” Gumamnya.
Sebelum turun, Lila
menutup gorden kamarnya yang sedari tadi terbuka. saat itu terlihat awan gelap
sedang tarik menarik untuk berkumpul.
“Hujan nggak ya?”
Setelah
menimbang-nimbang, Lila memutuskan untuk menggunakan sebuah outer panjang yang
akan menutup gaunnya. Sebuah coat tebal berwarna cokat yang panjangnya dibawah
lutut.
Agak sedikit aneh untuk
daerah tropis menggunakan mantel tebal. Tetapi Lila kadang membutuhkannya
terutama di musim hujan untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Meskipun terbiasa
dengan iklim panas dan lembab, koleksi jaket dan mantel milik Lila cukup
banyak.
***
“Espresso double shot and hot cappuccino untuk meja Sembilan”
Bimo memberikan pesanan
pada salah satu karyawannya untuk disajikan pada pelanggan.
Karena hari kerja dan
juga akhir bulan coffee shop miliknya relative sepi meskipun sedang turun
hujan. Cuaca memang sangat mendukung untuk seseorang menikmati secangkir
minumana hangat di tengah cuaca yang dingin. Tetapi semua itu tidak akan
terjadi makakala kantong sedang tidak bersahabat.
“Berapa lama Lo tinggal
di Indonesia?” Bimo membuka percakapan kembali setelah kesibukannya merangkap
menjadi seorang barista menginterupsi.
“Besok. Gue ambil flight sore.”
“Terus Mira sekarang
sama siapa?”
Sam memutar-mutar
cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ada asisten gue yang jagain.”
“Lo nggak bisa cari
cara lain selain Ray? Dia udah bahagia sama pernikahannya.”
“Gue tahu,” Sam
menengadah. “Gue nggak mungkin ngancurin rumah tangga sohib gue sendiri. Tapi
ini Almira. Lo tahu gimana wataknya. Nggak ada yang bisa ngimbangin kerasa
kepala selain Ray.”
“Ya coba bujuk lagi
pelan-pelan. Atau kalo perlu Lo paksa aja dia.”
“Kalopun Mira mau
terapi tapi kalo kepalanya nolak, nggak ada gunanya juga. Dan klo kondisi ini
terus dibiarain Mira bisa…”
“Bisa apa?”
Suara Ray menyahut.
Membuat kedua orang yang sedang serius berbicara itu tidak menyadari
kehadirannya.
“Ray, Lo kenapa disini?
Bini Lo?”
Pertanyaan Bimo
diabaikan begitu saja. Ray memilih menarik kursi disamping Sam dan duduk
menunggu jawaban.
“Bisa apa?”
Sam mendesah, “Mira
kondisi buruk, Ray.”
Bimo mau tidak mau
kecewa dengan Sam karena menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada Ray. Bukan
tidak peduli dengan Almira hanya saja tidak perlu melibatkan Ray yang saat ini
sudah memiliki kehidupan sendiri.
“Dia menolak semua
saran pengobatan dokter.”
“Dia dirawat dimana? Di
rumah sakit mana?”
“Ray, Lo udah punya
bini. Biar kita-kita aja yang mikirin Mira.” Ucap Bimo.
“Dia nggak mau
dirawat.”
Ray melengos. Dia tahu
betul bagaimana keadaan Almira saat ini. dan dia tidak akan diam saja dan
menunggu kabar.
“Gue…”
“Lo nggak perlu kuatir.
Gue nggak bakal biarin Almira sakit tanpa pengobatan.”
“Tapi…”
Sam berdiri lalu
menepuk bahu Ray.
“Percaya sama gue. gue
cabut.”
***
Hujan deras turun
beberapa saat lalu mulai menguranginya lajunya mencapai bumi. Dengan intensitas
yang lebih pelan, gerimis itu masih membasahi jalanan yang mulai sepi dilalui
kendaraan.
Bimo juga sudah
mematikan sebagian besar lampu café. Menyisakan beberapa yang sengaja dibiarkan
menyala untuk memberi penerangan bagi karyawannya yang bersiap pulang.
Bimo menyuguhkan
segelas air putih besar kepada pelanggan setianya yang sedang mengalami masalah
hati kronis.
“Gue udah tutup jadi
Cuma ada air putih aja. Buat Lo gue kasih gratis sampe mabok”
Bimo mencoba mencairkan
suasana yang sedari tadi muram dengan candaannya yang hanya ditanggapi dengan
senyuman hambar Ray.
“Gue harus gimana,
Bim?”
“Kenapa musti tanya?”
Ray mendongak. Tidak
mengerti dengan ucapan Bimo.
“Lo balik, temui istri
Lo. Lo peluk dia. Minta maaf. Klo perlu Lo sujud dikakinya karena Lo udah
dengan terang-terangan bikin dia kecewa, sakit hati karena cewek lain.”
***
Ray memutar kembali
mobilnya. Berjalan menjauhi café Bimo yang semakin lama semakin mengecil lalu
menghilang saat Ray berbelok di persimpangan jalan.
Jalanan utama ini sudah
sangat lengang. Taksi-taksi yang banyak berhenti di tepi jalan pun sudah tidak
ada. Bahkan restoran tempat yang harus Ray datangi dua jam yang lalu pun sudah
tutup.
Ia masih berusaha
mencari keberadaan Lila. Perasaannya mengatakan istrinya itu masih menunggu
keberadaannya. Namun Ray tidak menemukan Lila di penjuru restoran.
Ray pun pergi. mencoba
mencari kemungkinan lain. mungkinkah Lila pergi ke galeri? Tidak mungkin.
Tempat kesenian itu sudah ditutup sejak tadi. maka Ray memutuskan untuk pulang
sambil mencoba menghubungi Lila melalui sambungan telepon. Meski usahanya itu
tidak membuahkan hasil juga. Ponsel Lila mati sehingga ttidak ada cara lain
selain menunggunya di rumah.
Malang, Lila juga tidak
ada dirumah. Pintu rumah masih terkunci rapat. Jam sudah menunjukkan 10 malam
lebih.
Ray benar-benar
dihinggapi rasa khawatir, kemana gerangan istrinya itu pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar