“Eh
anak gadis bengong aja!” Dinda meletakkan segelas kopi panas disamping Killa.
“Itu schedule nggak akan selesai
kalau cuma dipelototin aja.”
Killa
hanya mendesah mendengar teguran Dinda.
“Minum
gih kopinya. Suntuk gue lihat muka Lo
lesu gitu.”
“Thanks,
Din.” Killa menyeruput sedikit kopi pahit yang tidak disukainya. Kalau dalam
keadaan normal dia akan mengomel habis-habisan pada Dinda. “Lo nggak balik?”
“Nanti
ajah.” Dinda mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas. “Gue lagi berantem sama
laki Gue. jadi males kalau pulang ketemu.”
“Gue
bingung sama kalian. Nikah tapi masih berantem aja.”
“Ya
manusiawi kali, Ki.”
“Kalau
menikah trus akhirnya berantem, diem-dieman, marah-marahan mending nggak usah
nikah.”
“Duhh,
susah ya ngomong sama jomblo yang nggak berpengalaman kaya elu. Mending Lo
jadian aja sana sama customer ganteng yang tempo hari nyamperin Lo itu. Biar
otak Lo bener dikit.” Dinda terkekeh.
“Nggak
semua pertengkaran itu negative. Perikahan itu menyeimbangkan perbedaan, jadi
wajar banget kalau sesekali berantem.”
“Ya,
terserah Lo deh.”
Killa kembali menatap layar computer
meninggalkan Dinda yang masih menertawakannya. Menyeimbangkan perbedaan. Killa terus terngiang dengan kalimat
Dinda yang membuatnya terus bertanya.
Mungkin
benar penilaian Dinda tentang dirinya. Bahwa logikanya terlalu kaku sehingga
sering kali kesulitan dalam membuat penilaian terhadap hubungan manusia.
Mungkin juga karena Killa kurang menghargai dirinya sendiri. Lebih memilih
untuk mengabaikan dari pada merawat atau menyembuhkan hati.
“Mbak
Killa ada kiriman.” Irwan salah satu kru memberikan sebuah paket.
“Dari
siapa?”
“Kurang
tahu. ini tadi Ojek online yang antar.”
“Makasih
ya.”
“Dari
siapa?”
Killa
hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban.
“Donat?
Meses coklat?” Dinda membuka kardus. “Adik Lo bisa perhatian juga ya?”
“Hah?
Keenan? Perhatian? Mana mungkin.”
“Emang
siapa lagi yang tahu kalo Lo suka donat? Coba dia mau sama gue. nggak pa-pa lah
gue nikah sama brondong.”
Killa
mengabaikan celoteh Dinda. Ia mengambil ponsel untuk memastikan bahwa pengirim
mesterius itu benar Keenan.
Killa : Kesambet apaan beliin gue donat?
Keenan : Ngarep banget gue beliin
Melihat
jawaban Keenan membuat Killa bertanya-tanya, siapa yang mengirim makanan
kesukaannya. Terbatasnya ruang pergaulan Killa membuat sedikit orang yang
benar-benar mengenalnya termasuk makanan kesukaannya.
Lama
berpikir membuatnya menduga satu orang yang mungkin menjadi pelaku. Seseorang
yang bisa membuat Killa berbicara lepas dengan nyaman. Seseorang yang dengan
mudah membuat Killa menjadi sosok yang sangat terbuka. Tapi kemungkinan itu
segera ia tepis.
“Nggak
mungkin” gumamnya.
Tapi
semakin menepis, kemungkinan benar itu semakin besar. mengingat sedikitnya
orang yang mengenalnya. Semakin keras ia mencari semakin kenangan yang berusaha
diabaikan itu muncul satu per satu.
Pertemuan pertamanya terjadi saat
Satya menyapanya dari jendela drive thru
saat Killa memberikan pesanan. Yang membuat Killa selalu ingat karena
satu-satunya customer yang menyapanya dengan nama lengkap.
“Hey,
Shakilla Ardiani.”
Setelah
itu pertemuan-pertemuan yang seolah tidak sengaja pun sering terjadi. dan
sebagian besar terjadi di restoran. Satya bersikeras bahwa ia adalah loyal
customer sejak Killa belum menjadi manager disana. Meskipun dalam hati Killa
menolak bahwa ketidaksengajaan itu sudah disengaja.
“Heh
bengong lagi! Gue balik.”
“Sama
siapa?”
“Laki
Gue.”
“Katanya
berantem?”
“Makanya
nikah.” Jawab Dinda sambil berlalu.
Killa
kembali menatap 12 potong donat yang seluruhnya bertopping meses coklat.
Sekotak makanan kesukaan tidak mungkin membuat pendiriannya goyah. Ada harga
mahal yang harus dipertaruhkan bila sampai Killa merubah keputusannya.
Lagipula
sisi logic-nya masih menguasainya. Bahwa di dunia ini hukum sebab akibat itu
pasti. Kalau tidak bisa memberi jangan berharap akan menerima. Kalau Killa
tidak bisa memberikan hatinya bagaimana mungkin ia bisa menerima perasaan
Satya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar