Shakilla
menoleh, mengikuti arah pandang Keenan.
Seorang
laki-laki setengah berlari kearahnya yang baru saja turun dari mobil.
“Jangan
lama-lama. Udah malam, nggak enak dilihat tetangga. Gue masuk dulu.”
“Iye,
bawel.”
Keenan,
memang sangat protektif terhadap perempuan terutama Killa. Meskipun dia lebih
muda tetapi karena dia menjadi satu-satunya laki-laki dalam keluarga maka wajar
saja sikap tersebut terhadap kakaknya sendiri sekalipun.
Killa
berdiri bersandar pada mobil, dengan tas kerja yang sengaja ia dekap untuk
mengurangi udara malam yang cukup dingin. Tepat pukul 2 dini hari Killa sampai
dirumah jika mendapat jadwal shift kedua. Makanya Keenan selalu meluangkan
waktu untuk mengantar sekaligus menjemputnya saat pulang kerja.
Matanya
menatap langkah dari laki-laki yang sengaja menunggunya. Entah sepenting apa
urusanya sampai harus menemuinya dipenghujung malam seperti ini.
Langkah
kaki yang lebar itu semakin memangkas jarak. Sangat dekat sampai Killa
terlambat menyadari bahwa jarak itu tidak ada lagi. Karena laki-laki itu
menghapus setiap jengkal pemisah dengan merapatkan tubuh, memeluknya.
“Aku
menyukaimu.” Suara nafas tersenggal-senggal itu tertangkap jelas ditelinga
Killa.
Killa
mematung. Simpul diotaknya tiba-tiba terputus membuatnya kehilangan kemampuan
berpikir. Detak jantung yang berdegup kencang ini pun sulit sekali ia kenali
pemiliknya. Miliknyakah atau laki-laki yang begitu lancang memeluknya. Yang ia
tahu hanya ada jantung yang berdetak bertalu-talu.
“Killa?
Breath!” perintah Satya.
Menarik
sebanyak mungkin oksigen agar jaringan sarafnya segera berfungsi normal. Killa
juga melemaskan jari-jarinya yang masih mendekap tas kerjanya.
“Aku
mengejutkanmu ya?”
Killa
hanya bisa mengangguk.
Tentu
saja mengejutkan. Tengah malam bukan jenis waktu yang biasa digunakan orang
kebanyakan untuk berpikir. Normalnya orang menggunakannya untuk beristirahat.
“Maaf,”
Satya terlihat sangat bersemangat. “Aku hanya merasa harus segera memberitahumu
tentang perasaanku. Aku memang sedang dikejar waktu tapi tidak dengan
perasaanku. Aku sudah memikirkannya berbulan-bulan. Memastikan bahwa
benar-benar kamu yang membuat jantungku terus berdebar. Bahwa benar kamu yang
selalu membayangi hidupku. Aku nggak tahu malam ini tepat atau tidak yang jelas
aku,
“Jangan.”
“Ya?”
“Jangan
menyukaiku, Satya.”
Seratus
persen kondisi otak Killa sudah aktif. Sehingga ia tidak memerlukan waktu lagi
untuk mengolah informasi yang baru saja ia dengar dan lihat dengan kedua
inderanya.
“Killa?”
“Aku
minta maaf sudah membuatmu salah mengartikan hubungan kita. Tapi jangan
menyukaiku.” Killa menghela nafas. “Kedekatan kita terjalin tidak lebih hanya sebatas
manager dan customer. Kamu salah satu loyal customer di restoran kami dan sudah
sewajarnya kalau aku harus bersikap baik. Tidak ada maksud lain dari sikapku
selama ini.”
“Jadi
begitu. Aku hanya salah satu customermu.” Satya mundur beberapa langkah. Membuat
jarak yang pasti dengan Shakilla. Meski hatinya meneriakkan protes keras.
“Baik.
Aku mengerti.” Satya mengangkat kepalanya tegak.
Penolakkan
ini, kalau memang demikian sebutannya, akan ia terima dengan besar hati. Meski kecewa
harus ia terima tapi tidak akan merubah perasaannya pada Shakilla.
“Kalau
gitu aku pamit, bukan sebagai pelanggan tapi sebagai teman. selamat malam.”
Satya
melangkah mundur, “Oh iya, besok aku terbang. Seperti biasa aku akan mampir
untuk sarapan.”
Hanya
diam yang bisa Killa lakukan. Inilah sikap terbaik yang bisa ia tunjukkan. Meski
kedua kakinya terasa sangat lemas tidak mampu menopang berat tubuhnya. Tapi
Killa wanita yang kuat, bukan? hatinya selalu meneriakkan hal yang sama tiap
kali mengalami kesulitan. Dan selalu memberikan hasil terbaik. Saat ini pun
demikian, bukan?
***
Menjadi
orang terakhir yang masuk rumah sekaligus memastikan rumah dalam keadaan aman
untuk ditinggal tidur, mengunci pintu salah satunya. Biasanya Killa akan
langsung masuk kedalam kamar tapi tubuhnya meminta untuk dihidrasi setelah
kejadian barusan. Meskipun udara mala mini terasa dingin tapi Killa masih
mengeluarkan keringat cukup banyak.
Rupanya
segelas air masih membuatnya merasa kehausan. Gelas kedua pun kembali terisi
dengan air putih dingin. Salah satu hal yang sangat jarang terjadi.
“Apalagi
yang kamu cari?”
“Ehh
Mama! Bikin kaget aja. Killa cuma cari air putih kok.”
“Kenapa
kamu selalu menolak yang sudah ada didepan mata?”
“Satya
bukan jodoh Killa, Ma.”
“Bukan
cuma Satya, semua laki-laki kamu sebut seperti itu.”
“Killa
capek, Ma. Kita ngobrol lain kali.”
“Kapan
lain kali itu?”
Killa juga nggak tahu, Ma.
“Waktu
tidak bisa membuat luka kita sembuh kalau kita sendiri tidak pernah berusaha
menyembuhkan.”
Meninggalkan
orang tua yang sedang berbicara itu tidak sopan. Tapi Killa harus melakukannya
lagi. Untuk kebaikan hatinya. Karena tanpa mendengar dari Mama pun luka akan
menjadi luka jika obat tidak menyentuhnya. Pertanyaannya adalah benarkah obat
penyembuh itu ada?
Tak
bisa dipungkiri bahwa Satya laki-laki sempurna dari sudut pandang mana pun. Fisik
dan financial tak bisa diragukan lagi. Seorang pilot pasti memilikinya. Hati,
tanpa meminta pun Satya sudah memberikannya untuk Killa.
Hanya
saja, pertanyaan yang sama saat ditujukan untuk Killa akan berbeda.
Dia
sangat tidak sempurna untuk Satya. Kecantikannya jauh dibelakang bila
disandingkan dengan wanita yang mengelilingi Satya. Lihat saja para pramugari
itu tinggi langsing, pintar dan pasti cantik.
Namun
ada yang pasti yang membuat Killa mundur perlahan dari panggung persaingan,
yaitu hati miliknya. Yang tidak pernah utuh untuk diberikan. Hati yang masih
menyimpan luka. yang menyerahkan pada waktu untuk kesembuhan.
Siapa
yang bisa menolak laki-laki sesempurna Satya? Bahkan Killa pun tak mampu. Ia hanya
sadar diri dan memilih menjadi seseorang yang realistis. Terluka saat berpijak
lebih baik dibanding bahagia diombang ambing angin.
Killa
tidak siap mengulang luka. Cinta yang penuh anugerah itu akan memberikan luka
yang sangat sulit disembuhkan. Killa tidak siap mencintai maupun dicintai. Karena
luka sampai kapanpun akan menjadi luka meski obat penyembuh itu benar-benar
ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar