Ray melajukan mobilnya ditengah padatnya kendaraan jalanan. Setelah
cukup lama menembus kemacetan akhirnya mobil Ray memasuki halaman sebuah kedai
kopi. Tempat yang sering ia kunjungi bersama teman-temannya.
Pengunjung tidak terlalu ramai sehingga Ray bisa dengan mudah menemukan
seseorang yang sedang menunggunya. Ray langsung menghampiri wanita tersebut.
“Macet banget dijalan.
Kamu udah pesan?” tanya Ray sambil mencari seorang waiters.
“Udah. Untuk kamu juga.
Kopi hitam.” ucap perempuan yang bernama Almira.
Ray tersenyum
mendengarnya. Wanita dihadapannya ini seperti Ray versi perempuan. Dia selalu
tahu apa yang Ray mau sebelum menyebutkan.
“Gimana rencana kamu
pergi ke Singapura?”
Ada sebuah ajang
pencarian bakal model seAsia. Dan Almira menjadi satu-satunya model dari
Indonesia yang lolos. Di tahap ini semua proses seleksi akan ditayangkan secara
internasional. Dan untuk berada ditahap itu bukan hal mudah. Mira, begitu Ray
memanggilnya sering sekali mengalami kegagalan. Kesempatannya kali ini
sekaligus kesempatan terakhirnya bisa mengikuti kompetisi model terbesar di
Asia sebelum usia akhirnya membatasinya.
“Aku masih bingung, Ray”
“Apalagi yang kamu
pikirkan? Kesempatan ini nggak datang dua kali”
Waiters
datang membawa pesanan mereka, kopi hitam untuk Ray dan latte untuk Almira.
Minuman khas yang selalu mereka pesan dimanapun mereka bersama.
“Mungkin pengakuan
kemampuanku saat ini sudah cukup. Banyak orang tidak lagi memandangku sebelah
mata.”
Sejujurnya Almira
sedang jenuh dengan karir modelnya. Setiap saat kemampuannya semakin mendapat
pengakuan. Sudah banyak desainer yang melirik kepiawaiannya di atas catwalk
bahkan dunia iklan pun mulai dijajaki. Tapi tidak dengan karir asmaranya. Hubungannya
dengan Ray seperti berjalan ditempat dan Ia ingin ada perubahan atau kejelasan.
“Mir, ini mimpi kamu. Bertahun-tahun kamu
menunggu kesempatan ini, kamu harus ambil.” Ray menggenggam kedua tangan Almira
sebagai bentuk dukungan.
Sekali lagi keadaan
memintanya untuk bersabar. Memohon tambahan waktu agar hatinya bersedia
menunggu. Mungkin sedikit tambahan waktu akan menggerakkan Ray untuk menegaskan
statusnya.
“Oke. Aku ambil.” ucap
Almira.
Ray bahagia melihatnya.
Meskipun dia tahu tercapainya mimpi Almira berarti berakhir sudah hubungan
mereka. Tidak. Hubungan mereka bahkan belum dimulai. Tak satu pun diantara
mereka pernah mengutarakan isi hati. Keduanya hanya sama-sama nyaman dan tidak
ada yang berniat untuk membuatnya jelas. Hingga waktu pun mengabaikan mereka.
***
Setelah mengantarkan
Almira pulang, Ray memutuskan untuk kembali ke kafe. Disana teman-temannya masih
berkumpul. Karena ini hari minggu maka semua personil lengkap.
Kafe ini milik
seseorang yang akhirnya menjadi sahabat. Kenapa? Karena Sam sahabat Ray sering
melakukan meeting dengan kliennya. Dia juga yang membawa Ray sekaligus Almira
untuk menikmati minuman favorite mereka. Ditambah sang pemilik, Bimo, selalu
menyediakan permintaan mereka bahkan saat tidak tersedia di dalam daftar menu
kafenya. Tak jarang Bimo sering mendapat omelan dari koki andalannya. Dari
interaksi itulah akhirnya mereka akhirnya bersahabat.
“Tuh si Ray balik lagi.”
Bimo menyapa saat
melihat Ray memasuki kafenya.
“Mira da balik?” Bimo
bertanya saat Ray duduk di balik meja ditinggi yang ada dihadapannya.
“Udah”
Sementara Sam asik
menikmati kentang goreng seolah-olah tidak ada orang yang dikenalnya duduk
disampingnya. Sehingga ia tidak perlu repot-repot menoleh.
“Kopi lagi?”
“Air putih aja” jawab
Ray.
Bimo meletakkan segelas
air putih langsung ditenggak habis oleh Ray.
“Berantakan banget Lo
hari ini?”
Bimo melihat ada hal
yang tidak biasa dari Ray. Meski hanya basi-basi karena semua orang tua dibalik
persahabatan Ray dan Almira ada hati yang saling mendamba. Tapi tak seorang pun
tahu alasan keduanya menahan perasaan masing-masing.
“Mira jadi pergi?”
Sam akhirnya angkat
bicara. Karena dia satu-satunya orang yang menentang hubungan mereka tapi
menjadi satu-satunya orang tidak bisa mengambil sikap dengan perasaannya
sendiri.
“Gw nggak bisa menghalangi Mira untuk
mewujudkan mimpinya. Mimpi itu hidupnya.”
“Bagus!”
“Maksud, Lo?”
“Lebih baik dia pergi
mengejar mimpi dari pada tinggal tanpa masa depan.” Nada bicara Sam satu
tinggkat lebih tinggi.
“Hubungan kami sulit,
Sam.”
“Sulit?” Sam tersenyum
sinis. “Sedikit aja Ray, sedikit keberanian Lo buat bilang cinta sama Mira. Dan…”Sam
menghembuskan nafasa lelah. “Sedikit keberanian Lo buat ngasih tahu keluarga Lo
tentang Mira.”
“Gaeess…gaeess…easy”
Bimo menengahi. “Malu dilihatin banyak orang.”
Ray memainkan gelas
kosong dihadapannya. Menjaga tangannya agar tidak melepaskan sebuah pukulan
keras pada sahabatnya sendiri. Dia tahu Sam benar. Hanya sedikit keberaniannya
saja untuk memperjuangkan Mira agar menjadi miliknya. Tapi jurang pemisah
diantara mereka terlampau dalam. Sedikit itu tidak akan cukup memangkasnya.
“Pernikahan itu hanya
memenjarakan Mira. Menghalangi semua mimpi dan ambisinya. Dan gw nggak mau
orang yang gw sayang ngalamin itu.”
Sam hanya tersenyum
sinis melihatnya. Dia tahu itu hanya alasan seorang pengecut yang mangaku kalah
sebelum berperang.
“Lo Cuma mencari alasan
untuk pembenaran dari pilihan Lo. Asal Lo tahu, Penyesalan terbesar Mira adalah
bertahan untuk seseorang yang sama sekali tidak mempertahankannya.”
Untuk yang kedua
kalinya Ray harus mengakui kebenaran ucapan Sam dan merelakan kepalan tangannya
berakhir dengan mengenggam gelas yang sudah tandas isinya. Almira tidak pantas
mendapat semua ini darinya. Tapi ketidakberdayaannya semakin membuatnya kerdil
dan tidak pantas untuk Almira.
***
Persiapan pernikahan
semuanya dikerjakan oleh wedding
organizer yang sudah disewa oleh Ray. Dia hanya perlu menyetujui apapun
yang disarankan oleh WO. Dari konsep, gedung, catering, undangan bahkan jika
memungkinkan membuat daftar undangan bisa dikerjakan oleh WO pasti akan
dilakukan oleh Ray. Sayangnya hal itu tidak bisa maka dia hanya membuat daftar
kecil untuk mengumumkan pernikahannya.
Satu-satunya yang
benar-benar tidak ingin Ray kerjakan adalah baju pernikahan. Urusan yang satu ini
Ia meminta bantuan Oma Rita untuk menemani Lila memilih desainer gaun pengantin.
Dengan senan g hati Oma menerimanyan. Bahkan beliau terlihat sangat antusias
saat menemani Lila keluar masuk butik.
“Lukisan baru, La?”
Mbak Ika kebetulan
sedang keliling galeri dan melihat Lila sedang menaiki tangga untuk memasang
lukisan. Kebetulan hari ini tidak banyak jadwal latihan sehingga banyak studio
kosong.
“Bukan.” Memastikan
bahwa posisi lukisan untuk sudah tepat Lila kemudian menuruni tangga. “Cuma
benerin aja. Mbak dari mana?”
“Ini lagi ngecek aja.
Pas lewat lihat kamu disini.”
“Gimana persiapan
pernikahan kamu? Kelihatannya kamu santai-santai aja.”
Kalau bisa Lila ingin
sekali menghindari pertanyaan semacam itu. Beberapa waktu terakhir, pernikahan
menjadi kata yang tidak ingin dia dengar. Bukan karena dia tidak bahagia tapi
ada seseorang yang akan kehilangan kebahagian bila pernikahan ini berlangsung.
Sebelum sempat menjawab, Pak Amang, salah satu OB di galeri mencarinya. Keberuntungan
masih berkawan dengannya meski hanya tiga detik.
“Teh Lila, ditunggu Oma
Rita di lobi.”
Dengan logat sunda yang
kental, Pak Amang mengabarkan sesuatu yang bisa menyelamatkannya dari
pertanyaan keramat. Meski dia harus menghadapi sesuatu yang lebih berbahaya
lagi untuk kesehatan pikirannya.
“Oh Iya. Makasih ya,
Pak.”
“Nuhun, Teh. Permisi.”
Bukan keberadaan Oma
tentu saja tapi kejadian yang akan ia alami bersama Oma yang di khawatirkan. Lila
bahagia, amat sangat bahagia. Tapi kebahagiannya itu tidak akan pernah sempurna
lagi.
“Aku pergi dulu ya,
mbak.”
Mbak Ika salah satu
orang yang paling berbahagia mendengar
berita pernikahan Lila. Dulu dia sempat khawatir Lila akan sulit mendapatkan
jodoh karena dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi senyum bahagia yang
dia saksikan di wajah Lila seperti kamuflase. Dia hanya menunjukkan sesuatu
yang orang inginkan. Bukan apa yang seharusnya terlihat.
Setelah Lila
benar-benar pergi mbak Ika pun melihat lukisan yang Lila pasang. Satu-satunya
lukisan yang menimbulkan perdebatan hebat antara kakek dan Lila. Sebuah karya
yang hanya memadukan dua warna hitam dan putih yang tidak pernah Lila suka. Menurutnya
lukisan itu melambangkan dua hal yang tidak pernah bisa berdampingan. Padahal jelas
sekali bahwa lukisan itu adalah representative kehidupan dimana hitam dan putih
adalah dua keadaan yang saling berkebalikan tapi tak pernah terpisahkan
***
Beberapa hari menjelang
pernikahan Ray menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Hampir setiap hari Ray
pulang larut malam sehingga Oma Rita dan kedua orang tuanya sulit sekali
berkomunikasai dengannnya terutama mengenai daftar tamu undangan yang sangat
terbatas. Sehingga Papa dan Mama tidak bisa mengundang semua koleganya.
Seperti biasa hari ini Ray
pun sibuk dengan dokumen-dokumen diruangannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Dilayar ponselnya tertera sebuah nomer tidak dikenal. Cukup lama Ray
memperhatikannya, dia ragu-ragu untuk mengangkatnya. Sampai dua kali berbunyi Ray
belum mengangkatnya. Sampai bunyi yang ketiga kalinya baru Ray mengangkatnya.
“Halo…,” jawab Ray
ragu-ragu
“Halo nak Ray, ini
Kakek, kakeknya Lila. Maaf kakek tiba-tiba menghubungi kamu. Bisa kita
bertemu?”
Lama Ray tidak menjawab
permintaan kakek. “Baik, Kek. Nanti saya mampir ke galeri”
“Tidak perlu. Kebetulan
kakek sedang ada di sekitar kantor kamu.”
Ray sedikit terganggu
dengan permintaan kakek untuk menemuinya namun semua pikiran itu segera
ditangkisnya dengan kembali menenggelamkan pikirannya kedalam pekerjaan.
***
Dua hari menjelang
pernikahan Ray harus menghadiri sebuah resepsi pernikahan rekan kerjanya. Oma Rita
meminta Ray untuk mengajak Lila pada acara tersebut. Pada awalnya Ray menolak
tapi akhirnya dia terpaksa menerima demi menghindari perdebatan panjang dengan
neneknya.
Ray tidak mengerti alasan
Oma bisa sangat menyukai Lila. Bahkan untuk malam ini saja Oma secara khusus,
dengan sedikit paksaan, meminta Ray untuk menjemput ke rumahnya.
Lila bergegas keluar
saat mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Dengan cepat dia sampai
di depan mobil Ray, lalu membuka pintu dan duduk disamping Ray. Ray sempat
melihat Lila cukup lama saat memasang seat
belt.
Malam ini Lila memakai
gaun selutut berwarna dusty pink
dengan tas kecil berwarna senada dan sepatu hitam berhak rendah. Rambut Lila
yang panjang dan lurus diberikan aksen curly
pada ujungnya. Simple tapi kelihatan pas dengan Lila sehingga terlihat anggun.
Setelah Lila selesai
memasang seat belt, Ray buru-buru
memalingkan wajahnya.
Selama perjalanan
mereka tidak berbicara satu sama lain. Baik Ray maupun Lila sepetinya tidak
terlihat enggan untuk menciptakan sebuah topic pembicaraan. Hanya ada suara
penyiar radio yang membuat suasana sedikit berirama.
Saat mobil sudah sampai
Ray segera keluar mobil namun ditahan oleh Lila.
“Aku nggak kenal
siapapun.”
“Lalu?”
“Kamu nggak akan
ninggalin aku kan?”
Ray mengabaikan
permintaan Lila dan memilih langsung
keluar mobil.
Permintaan Lila memang
sedikit ambigu. Tapi di alam bawah sadarnya dia mengucapkan itu dengan sangat
penuh permohonan. Kalau Ray tidak mendengarkan maka dia berharap semesta yang
mengabulkannya. Cukuplah kebahagiaannya tak sempurna tapi jangan lagi
kesendirian menjadi kawan di sisa usianya.
Saat turun dari pelaminan
untuk memberikan ucapan selamat pada mempelai, Ray tiba-tiba berhenti sehingga
membuat Lila terantuk punggungnya yang keras. Lila hanya bisa mengaduh dalam
hati. Kalimat protes hampir saja terucap. Andai saja Lila tidak melihat wajah Ray
yang membeku. Kaget.
Ada hal apa yang
membuat Ray seperti sedang melihat hantu? Lila pun mengikuti arah pandang Ray
yang menatap lurus pada seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan yang
rambutnya dibiarkan tergerai itu memang sangat cantik. Tubuhnya langsing bak
model-model yang mengundang iri setiap perempuan yang melihatnya. Laki-laki
mana yang tidak akan terpesona? Bahkan Ray yang dengan lantang mengaku sudah
memiliki kekasih di depan calon istrinya pun sama.
Tetapi Lila sama
sekalli tidak melihat sorot mata terpukau dimata Ray. Hanya ada penyesalan dan
kesedihan yang mendalam.
Sedetik kemudian Ray
memegang tangan Lila dan menyeretnya keluar melalui pintu keluar yang dibuat
berbeda dengan pintu masuk. Lila bahkan harus berlari kecil untuk mengimbangi
langkah lebar Ray.
Kali ini Lila
benar-benar melakukan protes. Bahkan nyaris berteriak karena sampai halaman
parkir cengkeraman tangan Ray semakin kuat sehingga membuatnya kesakitan. Dan
langsung dijawab dengan dilepaskannya tangan Lila sehingga membuatnya s\hampir
terjungkal.
Lila tidak tahu mengapa
Ray tiba-tiba bersikap aneh seperti tadi. Saat dia diacuhkan itu hal biasa.
Tapi tarikan tangan dan keluar gedung secara terburu-buru bisa dianggap aneh.
Tapi Lila tidak merasa berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dan sekarang Lila yang
terkejut karena mobil Ray baru saja melewatinya. Meninggalkannya sendiri dengan
kekesalan yang entah kepada siapa harus dilampiaskan.
Dengan tarikan nafas
yang dalam, Lila berjalan keluar halaman yang cukup luas. Dia harus berjalan
cukup jauh dan menunggu cukup lama taksi yang akan mengantarkannya pulang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar