Karpet merah. Dengan
banyak bucket bunga berwarna putih menjadi dekorasi utama resepsi pernikahan Lila
yang diadakan di Ballroom sebuah
hotel. Dihadiri oleh hampir seribu undangan yang sebagaian besar adalah rekan
kerja Ray dan Ayahnya selama bekerja di kedutaan. Mereka semua datang
memberikan ucapan selamat.
“Mas, aku capek banget. Bisa nggak kita
istirahat sebentar?” pinta Lila sambil berbisik. Sudah hampir dua jam Lila
berdiri menyalami tamu undangan. Kepalanya mulai terasa pusing.
“Kamu nggak lihat
antrian undangan masih banyak” jawab Ray datar.
Lila pun cemberut dan kecewa
meski tidak bisa menghilangkan senyum dari wajahnya. antrian undangan yang akan memberikan ucapan
selamat juga berfoto masih mengular cukup panjang.
Berdiri terlalu lama
bukan menjadi penyebab utama Lila merasakan pening dikepalanya. Beberapa hari
menjelang pernikahan menjadi hari yang sangat sibuk. Berpindah dari satu tempat
ke tempat lain untuk bertemu beberapa vendor yang menyiapkan acara hari ini
agar berjalan lancar. Meski sebagian pekerjaannya sudah diambil alih sementara
oleh mbak Ika tetapi tidak cukup membuatnya lebih santai.
Keringat dingin mulai
membasahi telapak tangannya. Rasa lapar yang sempat melandanya beberapa waktu
lalu menghilang seketika. Rendahnya suhu pendingin ruangan membuat badannya
sedikit menggigil. Ditambah kebaya yang dikenakannya yang terbuka dibagian dada
dan punggung atas tidak membuatnya cukup merasa hangat.
Seteguk air putih yang
disiapkan panitia cukup membuat dadanya tidak terlalu berdebar. Memberinya
sedikit tenaga untuk tersenyum dan berdiri tegak saat berfoto bersama tamu
undangan.
Rupanya menjadi seorang
ratu yang tak sampai satu hari itu memberikan kesan buruk bagi Lila. Seandainya
hari bisa di putar ulang mungkin Lila akan sedikit merubah konsep resepsi.
Menghilangkan dekorasi pelaminan dan antrian memberi ucapan selamat. Digantikan
dengan pasangan raja dan ratu sehari berjalan berkeliling menghampiri satu per
satu tamu undangan. Tapi konsep baru pun tidak mengurangi durasi berlangsungnya
acara. Akhirnya Lila pun pasrah dengan sisa antrian terakhir yang berkisar 20
orang saja.
“Aku nyerah.”
Lila langsung
mendaratkan bokongnya setelah jepretan blits kamera berakhir. Dengan sebelah
tangannya memegang pada tangan Ray, secara tidak sengaja, Lila menyentuh
pelipisnya yang berkeringat.
“Kamu nggak capek?”
Lila bertanya heran saat sadar Ray menunduk memandangnya.
Dia pun memalingkan
wajah saat tidak mendapat tanggapan. Dan baru sadar bahwa Ray tidak hanya
melihatnya. Melainkan menatap jemarinya yang memagang pergelangan tangan Ray.
“Sorry.” Lila buru-buru
melepaskan.
Seorang panitia membawa
baki berisi nasi dengan tumis daging cincang dengan potongan jamur. Dua jam
yang lalu Lila pasti langsung melahapnya. Sayangnya saat ini yang ia butuhkan
bukan makanan tapi sebuah kasur empuk dan selimut yang hangat.
***
Lampu utama dikamar
hotel ini belum menyala. Hanya sebuah lampu kuning dengan cahayanya yang
membuat tidur orang nyenyak yang menyala. Dilantai kamar bergeletakan kebaya
pengantin berikut kain batik panjang dan untaian bunga melatih putih. Juga jas
dengan warna senada dengan kain batik dan sebuah kemeja putih.
Sepertinya perang cinta
penuh hasrat pasangan yang baru saja menikah berlangsung semalam. Sehingga
membuat dua orang manusia itu terkapar kelelahan dengan selimut yang membungkus
rapat keduanya.
Rupanya tidak demikian
yang terjadi. Lelah teramat sangat setelah seharian mengikuti rangkaian acara
pernikahan membuat keduanya ingin segera menghempaskan diri diatas kasur.
Akibatnya pakaian yang mereka kenakan seharian itu tergeletak begitu saja usia
membersihkan diri.
Detik jam masih
menunjukkan waktu dini hari saat telepon selular milik Lila bergetar. Perlu
beberapa kali berbunyi untuk membuat tidur Ray terganggu. Sementara sang
pemilik tetap tenang tanpa terusik.
Ray hanya melongok
untuk memastikan bunyi yang ditangkap ditelinga. Lalu kembali merebahkan
badannya saat bunyi tersebut berhenti.
Satu menit kemudian
ponsel yang sama berbunyi. Ray kembali bangun untuk melihat seseorang yang
menghubungi diwaktu yang tidak wajar ini. Merasa ada kemungkinan sesuatu yang
penting, Ray pun membangunkan Lila.
“Lil, handphone kamu
bunyi”
Ray merasakan panas
saat memegang bahu Lila untuk membangunkannya. Mungkinkah Lila sakit? tapi bisa
saja hanya karena pengaruh pendingin ruangan.
Lila pun bangun dan
langsung untuk mengambil ponselnya diatas
meja yang berada di seberang tempat tidur. Meski sedikit sempoyongan Lila menjawab
panggilan tersebut dengan berdiri.
“Iya mbak?”.
“Lila maaf ganggu waktu
istirahat kamu.” ucap mbak ika dari ponsel.
“Iya mbak nggak pa-pa.
Ada apa?”
“Kamu bisa ke rumah
sakit sekarang? Kakek di UGD sekarang.”
Belum sempat menjawab,
telepon genggam yang dipegang Lila meluncur lepas dari pegangan tangannya.
Sementara tubuh Lila seperti kehilangan penyangga langsung luruh.
Ray yang menyimak dari
atas tempat tidur langsung melompat melihat badan Lila terkulai lemas. Terlambat
beberapa detik saja kepala Lila bisa menghantam kaki meja dihadapannya.
Beruntung Ray dengan sigap menangkap tubuh Lila yang kehilangan kesdaran.
Layar ponsel Lila masih
berkedip menunjukkan panggilan tersebut masih terhubung. Ray pun mengambilnya.
“Halo?”
“Ray? Lila kenapa?.”
“Lila pingsan, mbak.
Memangnya ada apa?”
“Astaga! Gimana ya? Kakek masuk rumah sakit.
kondisi nya nggak terlalu baik. Jadi mbak harap Lila ada disini sekarang.”
***
Selendang berwarna
hitam yang menggantung di pundak Lila berayun-ayun terkena angin. Matahari sore
yang mulai kehilangan panas itu bergerak pulang. Burung-burung pun mulai
berkicauan diatas dahan pohon kamboja.
Dengan kacamata hitam
yang menutupi matanya yang sembab. Meski sudah tidak ada yang menetes dari
kelopak matanya, hidung Lila memerah dan mengeluarkan cairan. Sesekali Lila
menggunakan jarinya untuk mencegah cairan tersebut keluar.
Lila masih berdiri di
samping makam kakek saat semua orang mulai pergi satu persatu. Beberapa kerabat
dekat menyalaminya untuk memberikan ucapan bela sungkawa.
Mbak Ika berjalan
mendekat, menghampiri dan memeluk Lila untuk menenangkan.
“Sabar,” Mbak Ika memeluk Lila sangat erat. “Mbak
pulang dulu” kata mbak ika sambil
melepas pelukan.
“Makasih ya mbak” Ucap Lila
tenang. Sangat tenang.
Semua orang pasti mengira Lila orang yang
sangat tegar atas kepergian kakek yang tiba-tiba. Dibalik ketegaran yang
ditampilkannya itu Lila menyimpan sebuah lubang besar yang berisi kekosongan
hatinya. Kalau bisa disuarakan mungkin hatinya ingin mengatakan seberapa banyak
ketegaran dan kesabaran yang harus ia miliki? Atau seberapa kuat kakinya untuk
berdiri menyapa sebuah kehilangan?
Oma Rita menjadi orang terakhir yang
menghampiri Lila setelah
papa dan mama meninggalkan area pemakaman. Disana kerumunan orang sudah
menghilang. Berganti angin sore yang semakin kencang berhembus.
“Lila, kita pulang ya?”
Ajak Oma.
“Lila masih mau disini.
Oma pulang duluan aja,” Lila tersenyum.
Semua orang tahu bahwa
itu bukan tanda bahagia.
“Biar Ray yang temani
Lila, Oma.” Ray menyahut tanpa bergerak dari tempatnya semula.
Lila masih berdiri
memandangi gundukan tanah yang menutupi jasad keluarga terakhirnya. Bulir
bening pun akhirnya merayap turun di pipinya yang putih. Kacamata hitam itu tak
lagi bisa menutupi tangis kesedihan. Suara isakan lemah memecah keheningan
petang menggantikan sore.
Kakek tidak mengucapkan
apa-apa bahkan membuka mata untuk yang terakhir kali pun tidak. Lila menjumpai
kakek terbaring lemah dengan peralatan pendeteksi jantung yang terhubung
ditubuhnya. Tepat saat Lila mengenggam tangan kakek untuk menyapa peralatan
medis itu berbunyi cepat. Memanggil semua tenaga medis yang bertugas
berdatangan. Seperti sedang menunggu kedatangan cucu kesayangannya, kakek pun
pergi tanpa pamit. Dokter mengucapkan waktu kematian kakek dan meminta suster
untuk melepas semua kabel yang menempel. Untuk yang kedua kalinya kesadaran
menghilang dari tubuh Lila.
Kepergian kakek
mengagetkan banyak orang. Terutama Lila. Kurang dari 24 jam status seteah
menikahkan cucunya, serangan jantung menyerang kakek. Oleh asisten rumah tangga
kakek dibawa kerumah sakit dan menelpon mbak Ika untuk memberi kabar.
Ray yang memandang Lila
dari belakang teringat pertemuannya dengan kakek beberapa hari yang lalu. Pada
pertemuan itu kakek menceritakan secara terperinci mengenai galeri seni yang
dikelolanya. Juga beberapa tanggungjawab yang harus Lila emban seandainya kakek
memilih pensiun.
Rupanya pertemuan itu
memang sudah tuhan rencanakan. Kerana setelah pembicaraan itu Ray sama sekali
tidak memiliki kesempatan untuk bercakap-cakap dengan sahabat Omanya. Hingga pertemuan
terakhir saat kata tak lagi bisa Ray dengar.
“Nak Ray, titip Lila.
Jaga dia seperti kamu menjaganya sewaktu kecil. Kakek mewakili almarhum orangtua
Lila menyerahkan Lila sepenuhnya kepadamu.”
Ucapan itu seperti
pesan terakhir yang ditujukan padanya. Ikrar yang juga ia ucapkan dihadapan
tuhan. Mampukah Ia? Pertanyaan itu membutuhkan perjalanan panjang untuk
dijawab.
Petang semakin gelap, Ray
pun melangkah mendekat.
Setelah berdiri disamping Lila, Ray melingkarkan lengannya dipundak Lila. Menepuk-nepuknya pelan.
“Kita pulang, ya?”
Lila tidak mengangguk
juga menjawabnya. Dia hanya berjalan mengikuti Ray yang membimbingnya keluar
dari area pemakaman.
Ingin sekali ia
meraung-raung, memohon agar kakek bangun dari timbunan tanah. Seperti menabur
garam dilautan. Kesia-siaan yang ia dapatkan. Energinya pun seperti terbakar habis
bersama air matanya yang mengering.
***
Tangan yang menyentuh
pundaknya itu kini sudah berpindah dibalik kemudi mobil. Meski demikian
kehangatan yang disalurkannya masih terasa. Sentuhan kecil itu memang yang Lila butuhkan saat ini.
Bukan sebuah kalimat penyemangat tapi sebuah tempat untuk menyandarkan
kepalanya. Membagi sedikit beban yang berada dibahunya.
Mobil yang Ray
kemudikan membelah jalanan yang dihiasi lampu-lampu berwarna jingga. Gerimis
pertama penanda pergantian musim pun tiba. Membuat wiper yang beberapa bulan
ini diam menjadi aktif kembali. Bergerak menyapu kaca mobil yang basah oleh air
agar tidak menghalangi pandangan.
Udara diluar mungkin
sama dinginnya dengan didalam mobil. Suara penyiar radio membuat ruang sempit
tidak terlalu sunyi.
“Aku mau pulang. ”
Suara parau Lila menyapa
Ray focus mengemudi. Dia tahu yang Lila maksud dengan pulang adalah tempat
tinggalnya bersama kakek. Bukan rumah orang tuanya atau rumah yang akan
ditinggalinya bersama Lila nanti.
Ray tidak menjawab. Dia langsung mengarahkan kemudi mengikuti permintaan
Lila. Tak
butuh waktu lama karena kendaraan roda empat tersebut sudah berhenti dihalaman
rumah Lila.
“Kamu bisa kembali ke
hotel.”
Kejadian hari ini
memang diluar rencana. Barang-barang mereka masih tertinggal di kamar hotel
yang mereka tinggali semalam. Bahkan letak baju itu mungkin masih sama
seandainya petugas hotel tidak membersihkannya.
Ray mengabaikan perkataan Lila dan mengikutinya masuk kedalam rumah. Ia juga
mengacuhkan Lila yang berdiri melihat Ray berjalan meninggalkannya di ruang
tamu.
“Istirahat saja. Demammu bisa bertambah
tinggi”
Benar. Lila memang
sedang tidak merasa baik-baik saja. selain perasaannya, tubuhnya sedang protes
untuk diistirahatkan. Tanpa pikir panjang Lila pun masuk ke dalam kamarnya. Dan
merebahkan diri diatas kasur setelah membersihkan diri.
Ray masuk kamar dan
melihat Lila sudah terlelap. Dia berjalan sambil membawa baskom berisi handuk
dan air hangat yang ia minta dari asisten rumah tangga. Dia juga meletakkan
handuk tersebut ke dahi Lila yang panas. Dia mendengar deru nafas Lila yang
tidak beraturan. Juga sesekali keluar dari bibir pucat Lila rintihan-rintihan
kecil. Mungkin karena suhu tubuhnya yang terlalu tinggi. Atau memang karena
peristiwa yang baru saja menimpanya.
Ray sendiri bingung
bagaimana harus bersikap. Kenangan masa kecilnya benar-benar hanya sebuah
kenangan. Kehadiran Lila kecilnya sudah tergantikan. Meski dihadapannya
berbaring seseorang yang sedang membutuhkannya. Hati dan pikirannya tetap
dipenuhi oleh orang lain. Seseorang yang memiliki banyak kesamaan dengannya.
Perempuan dengan mimpi dan kegigihannya berproses untuk mewujudkan mimpi yang
sudah dibangunnya semenjak masih kanak-kanak. Perempuan yang belum pernah
mendengar isi hatinya. Perempuan itu Almira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar