Setiap hari Lila
menghabiskan banyak waktunya di galeri. Meski tidak terlibat langsung dalam
menejemen, Lila banyak membantu dalam urusan teknis. Terutama saat akan
diadakan sebuah pementasan. Disana dia mengambil banyak berperan.
Di atas tanah yang
luasnya hampir mencapai satu hektar itu Kakek mendirikan galeri kesenian. Awalnya
hanya sebuah sanggar seni yang focus pada teater. Seiring bertambahnya peminat
bertambah menjadi music dan tari.
Seni rupa ditambahkan
setelah kedua orang tua Lila meninggal. Saat itu mereka terutama ayah Lila banyak
meninggalkan benda seni terutama lukisan. Baik yang dibeli atau dibuatnya
sendiri. Lalu kakek membuat sebuah ruangan khusus untuk menyimpan sekaligus
memajangnya. Ternyata peninggalan orang tua Lila menarik banyak pengunjung
terutama orang-orang yang datang melihat pementasan. Akhirnya orang pun lebih
banyak mengenalnya sebagai galeri seni.
Kakek memiliki peran
sangat besar bagi galeri. Bakat yang dimilikinya untuk menjadi seorang kurator
tidak bisa diragukan lagi. Meski beliau tidak memiliki bakat seni apapun. Bakat kakek terbukti saat membuatkan pameran
tunggal untuk Lila. Dari sana karir Lila sebagai seorang pelukis mulai dimulai.
“Mbak Ika, kakek mana?”
Malika atau biasa
dipanggil mbak Ika adalah salah satu jebolan sanggar tari yang dikelola oleh
galeri. Mbak Ika juga menjadi tangan kanan kakek dalam mengelola galeri
tersebut.
“Oohh… bapak lagi
dibelakang. Biasa La…keliling. Kamu pucet amat?” tanya Mbak Ika
“Oh ya? Sepertinya
karena telat makan semalam deh.” jawab Lila sambil meringis menahan perutnya
yang sakit.
“Kamu tuh, asam
lambungmu naik. Sini mbak ambilin obat dulu” Mbak Ika lalu mengambilkan obat di
kotak P3k di lemari.
“Nanti aja mbak. Aku
cari kakek dulu,” kata Lila sambil berlari keluar.
“Tunggu bentar, nanti
kakek kamu….”
Lila sudah menjauh
sehingga tidak bisa mendengar kata terakhir yang diucapkan mbak Ika. Menghampiri
setiap studio di galeri itu.
Ada tiga studio yang
biasa digunakan untuk latihan sebelum pementasan atau latihan rutin seperti tari,
teater dan music. Selain itu juga ada sebuah hall yang biasa digunakan pameran
lukisan atau disewakan untuk umum. Dan sebuah studio pementasan.
Kali ini Lila menemukan
kakek sedang berada di studio pementasan yang sedang dilakukan persiapan untuk
pementasan rutin setiap satu bulan sekali. Pantas saja hampir semua studio tadi
penuh. Rupanya akhir bulan nanti akan ada sebuah pementasan sendra tari.
“Kakek!!!” teriak Lila
sambil melambaikan tangannya yang dibalas dengan senyuman sang kakek. Kakek kemudian
berjalan berbalik mendekati cucu kesayangannya.
“Tumben pagi-pagi cari
kakek?”Kakek menyipitkan mata untuk memperjelas wajah cucu kesayangannya. “Kamu sakit, La? Kok pucat begitu?” wajah
kakek langsung berubah khawatir.
“Nggak pa-pa, Kek. Tadi
Mbak Ika udah siapin obat. Lila mau
cerita sama kakek.” Lila lalu menggandeng tangan kakeknya, sedikit memaksa,
yang langsung diikuti oleh kakeknya.
Lila memang sangat
dekat dengan kakeknya. Sejak kedua orang tua Lila meninggal saat masih duduk di
bangku sekolah menengah, kakek menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa.
Orang tua Lila meninggal karena kecelakaan mobil saat mereka bertiga sedang
pergi berlibur.
****
“Menurut kakek, apa Lila masih bisa menikah
sama Mas Ray?”
“Kamu bisa mundur kalau
ragu?”
“Lila nggak pernah
ragu, Kek. Sedikit pun.”
“Jadi apa yang
membuatmu bertanya?”
“Entahlah, Kek. Lila
cuma merasa ada yang berbeda. Rasa yang dulu Lila rasakan waktu bertemu Mas Ray
udah nggak sama.”
“Rasa bisa berubah
seiring dengan waktu yang terus berjalan. Tidak ada yang selalu sama di dunia
ini. Apalagi perasaan manusia. Kalau kamu yakin dengan apa yang sudah kalian
buat, kakek bisa apa. Percaya sama ini.” Kakek menunjuk dadanya.
Lila belum bisa menjawab. Karena janji itu bukan hanya dia saja yang terlibat. Ada orang lain. yang setelah bertemu semalam tidak menyinggung sama sekali mengenai hal itu.
Meski bertahun-tahun
hati Lila tetap sama, menyimpan bayang-bayang si pembuat janji. Namun setelah
bertemu, ia sendiri ragu apakah dia masih menganggap hal yang sama.
“Kalau Lila tetap
mengikuti, kakek setuju?”
“Kakek sudah tua, Lila.
Apalagi harapan kakek selain melihat kamu menikah dan bahagia.” Kakek tersenyum
memandang cucunya.
“Melihat kamu menangis
berhari-hari bahkan menemanimu melewati terapi menjadi waktu yang sangat sulit.
Rasanya semua kesulitan itu sudah cukup, jangan diperpanjang lagi.”
Kakek mengingat
bagaimana Lila setelah berpisah dengan Ray. Hari-harinya hanya diisi dengan
menangis. Dia bahkan lupa tidur atau makan. Pekerjaannya hanya duduk diruang
tamu sambil melihat pintu. Mengharapkan seseorang akan muncul disana. Karena
semua ketidakwajaran itu tidak menunjukkan perbaikan maka keluarga memutuskan
untuk membawa Lila ke psikolog.
“Kalau memang Ray
menjadi satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia, dengan sepenuh hati
kakek merestui”
***
Lila dan Kakek berada
di dalam mobil melakukan perjalanan menuju kediaman keluarga Rayyan. Mereka
duduk di belakang. Lila memakai sebuah gaun
hitam berbahan brokat yang menutup sampai lututnya ditambah aksen pita di
bagian pinggang sangat pas untuk postur tubuh Lila yang tidak terlalu tinggi. Rambut
sebahunya dibiarkan terurai yang hanya diberikan kesan bergelombang. Meski
rambut aslinya hitam lurus.
Lila terlihat sangat
tegang. Sepanjang perjalanan dia terus meremas tangannya yang memegang sebuah tas kecilnya berwarna gold senada dengan sebuah pita yang
menjepit rambutnya.
“Semalam kamu nggak
tidur, Lila? Matamu berkantung,” kata kakek memperhatikan cucunya yang tegang. Lila
yang ditanya tak menjawab.
“Lila?” Kakek memegang
pundak Lila dan dia pun terkejut.
“Iya?” tanya Lila
bingung.
“Lila semalam nggak
tidur?” kakek mengulangi lagi pertanyaannya sambil menunjuk kantung mata Lila
yang sedikit terlihat meskipun sudah ditutup make up.
“Kelihatan ya Kek?”
“Cucu kakek masih
cantik.” Puji kakek menenangkan.
Beberapa saat kemudian
mobil yang mereka kendarai memasuki sebuah halaman rumah yang besar dan
berhenti tepat di depan rumah. Lila turun dan berjalan memutari mobil untuk membantu
kakek.
Oma Rita dan kedua
Orang tua Ray menyambut kedatangan mereka. Setelah bersalaman mereka kemudian
masuk ke dalam rumah.
Acara makan malam langsung
dimulai begitu Lila tiba. Kakek dan Oma duduk diujung meja. Dihadapan Lila,
duduk kedua orang tua Ray. Disamping Lila tersisa satu kursi. Milik tokoh utama
yang sedari tadi masih menutup rapat mulutnya. Hanya senyum saat Lila baru
datang.
“Malam ini Lila cantik
sekali ya?” puji Oma. Lila hanya tersenyum
“Oh… tentu. Lila
menyiapkannnya dari semalaman.” canda kakek yang membuat muka Lila sampai
bersemu merah.
“Senang sekali rasanya.
Akhirnya setelah bertahun-tahun kita bisa lagi berkumpul bersama. Dan sebentar
lagi kita benar-benar menjadi sebuah keluarga.”
Oma memang menjadi
orang yang paling antusias malam ini. bahkan sejak bertahun-tahun lalu.
Makan malam sudah selesai. Perbincangan kedua keluarga pun dilanjutkan diruang keluarga. Diawali dengan cerita-cerita masa lalu Kakek, Oma dan Papa sambil diselang canda tawa. Mama hanya sesekali menimpali pembicaraan. Beliau memang lebih banyak diam.
“Maaf kami mau ngobrol sendiri diluar.” Ray
berdiri sambil melihat Lila.
“Ahhh benar, kalian
juga perlu untuk bernostalgia juga,” kata Papa.
***
Halaman samping rumah orang
tua Ray tidak terlalu luas. Dan diisi dengan taman juga terdapat sebuah ayunan.
Tidak sama persis dengan yang ada dirumah Lila. Tetapi sama-sama memiliki
kenangan yang sama.
“Mas Ray, dorong lagi.
yang kenceng.”
“Kamu bisa jatuh, Lil.”
“Ahhhh…”
Lila kecil selalu
merajuk saat keinginannya tidak terpenuhi. Sementara Ray tidak tega melihat
wajah sedih dan kecewa yang ditampilkan Lila. Dan Ray akan mengikuti kemauan
Lila meski itu harus membuatnya sangat kerepotan.
Ray berdiri sedangkan Lila
duduk dikursi yang ada di teras. Ayunan itu tetap kosong, sesekali bergerak
pelan saat ada angin yang cukup kuat lewat. Suasana hening masih bertahan diantara
mereka.
“Jadi akhirnya kamu
menyetujuinya.” Rayyan memecah kesunyian diantara mereka.
Lila yang sudah membuka
mulutnya untuk menjawab perkataan Ray dibatalkan karena Ray terlebih dahulu
melanjutkan perkataannya.
“Aku nggak pernah
menyangka janji seorang anak kecil akan dianggap seserius ini” Disaat yang
bersamaan ponsel Rayyan berbunyi. Dia mengangkat telpon tersebut tanpa permisi.
Dan meninggalkan Lila tanpa kesempatan menjawab sepatah kata pun.
Lila kecewa dengan
perkataan Ray. Bukan dia yang membuat janji itu. Lalu salahkah ia jika ia
datang untuk menagih? Bukankah sebuah janji dibuat untuk ditepati. Meski itu
hanya ucapan seorang anak kecil.
“Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. Saya
harap kamu mengerti.”
Lila masih harus
mencerna ucapan Ray. Kalau memang dia tidak menganggap ucapan seorang anak
kecil tidak memiliki arti. Dia bebas untuk tidak menerima keputusan ini.
“Kalau memang harus seperti
itu kenapa tidak menolak saja?”
“Aku berjanji untuk
mengikuti apapun keputusan kamu. Dan hal ini terjadi diluar perkiraan.”
“Kalau aku yang
membatalkan, kamu juga akan setuju?”
“Coba saja.”
Setelah menutup kalimatnya
Ray memasuki rumah. Lila tidak mengikutinya. Dia perlu sedikit waktu untuk
meredam gemuruh dalam hatinya. Seperti inikah rasanya kecewa? Bukan tapi
pengkhianatan.
Semua kesedihan,
kerinduan dan ketidakpastian yang selama ini ia harapkan akan bertemu titik
akhir sepertinya hanya bertemu persinggahan. Berhenti sejenak untuk melewati
jalanan berliku yang tidak tahu seperti apa ujungnya.
“Kakek pamit pulang. Kamu masih mau disini?” Suara
Ray menghentikan perdebatan dalam batin Lila.
Kritik dan saran silahkan di kirimkan sebagai bentuk apresiasi terhadap tulisan ini.
BalasHapus