Mobil SUV berwarna
hitam berhenti didepan rumah bertipe town house. Dengan sebuah halaman tanpa
pagar. Dari deretan rumah yang mereka lewati semuanya berdesain sama hanya
warna dan nomer rumah yang menjadi pembeda.
“No. 27?” gumam Lila
yang melihat angka menempel didinding rumah. “Sama dengan rumah kakek.”
Hari ini mereka pindah
ke rumah baru. Rumah yang Ray beli dengan uang pribadinya. Yang ia kumpulkan
selama bekerja. Tinggal berbeda rumah dengan orang tua seperti sudah menjadi
aturan tidak tertulis dikeluarga besarnya. Orangtuanya juga langsung pindah begitu menikah. Pun dengan
Oma yang memilih tinggal dirumahnya sendiri meski Opa sudah meninggal dunia.
Hampir dua bulan Lila
tinggal dengan orangtua Ray. Dia merasa sangat nyaman disana. Meja makan yang
terisi penuh, papa mama, Oma, Ray juga dirinya. Suasana keluarga lengkap yang
lama tidak dirasakannya. Bukan berarti
selama tinggal berdua dengan kakek dia merasa kesepian. Hanya saja keberadaan
anggota yang lain membuatnya seperti memiliki kembali sebuah keluarga yang
utuh.
Lila sekarang sudah
berada di ruang tamu yang hanya diisi satu set sofa berwarna hitam. Melewati
sebuah partisi yang terbuat dari kayu yang menjadi penyekat ada ruang makan
yang menyatu dengan dapur. Semua perkakas yang mengisi sangat simple. Sesuai
dengan tipe rumah minimalis. Berjalan lebih dalam lagi ada sebuah taman yang
baru selesai dibangun. Terlihat dari rumput yang ditanam belum tumbuh menutupi
tanah. Dan tembok pembatas itu didesai seperti bebatuan tebing yang menambah kesan
alami.
Berjalan lagi kedepan
Lila mendapati dinding kosong dihadapan sofa. Sepertinya cocok bila diisi
dengan lukisannya. Lalu sekat-sekat pada partisi akan diisinya dengan foto-foto
pernikahan.
Lila tersenyum sendiri
melihat kemampuannya mengatur isi ruangan. Tentu saja semua itu terjadi di
dalam kepalanya. Dan senyum itu segera pudar saat kedua matanya melihat Ray
berdiri di ujung tangga. Sedang memerhatikannya.
“Kamarnya diatas.”
Rumah berlantai dua ini
tidak memiliki banyak kamar. Ada satu di lantai dasar dengan ukuran yang cukup
kecil dan satu kamar utama dilantai dua. Tetapi memiliki kamar mandi ditiap
lantai.
Malam berjalan semakin
larut. Suara jangkrik yang bersahutan. Dan sesekali di selingi oleh suara kodok
yang bergembira karena gerimis masih mengguyur. Menyenangkan mendengar nyanyian
alam ditengah perkotaan seperti ini. Mungkin ini alasan yang dipilih Ray untuk
membeli rumah dikawasan ini.
Suara riuh rendah di
luar sana berbanding terbalik dengan sebuah ruang berukuran 3x4m yang sangat
hening. Pencahayaan di dalam ruangan ini jauh berkurang. Hanya sebuah lampu
tidur berwarna kuning yang menyala. Membuat ruangan menjadi temaram. Ditambah
nyanyian gerimis membuat semuanya menjadi begitu romantic. Tapi hal itu tidak
pernah terjadi. Karena hanya kecanggungan yang memenuhi setiap sudutnya.
Malam terus bergerak
menuju puncaknya. Paduan suara serangga malam semakin jelas terdengar. Menjadi
pengiring mimpi setiap orang. tapi tidak untuk sepasang manusia yang masih
terjaga.
Hampir setiap malam
dari hari pertama mereka melewati malam pertama sebagai suami istri sampai
detik ini, tak satu pun bisa melewatkan malam dengan indah. Canggung berubah menjadi
gelisah berganti keheningan. Hanya kelelahan fisik yang membuat mereka tidur
pulas tanpa memikirkan seseorang yang ada disampingnya.
“Sudah puluhan malam
kita lewati dengan berdiam seperti ini. Pura-pura tidur hanya untuk saling
menghindar. Mungkin tak satupun diantara kita yang merasa senang saat malam
tiba.”
Lila membuka mata
terlebih dahulu. Dan mengangkat badannya untuk setengah menyandar pada headboard.
“Kita pernah seperti
ini. Berbaring berdampingan tanpa bicara satu sama lain. Watu itu aku mau
bilang tapi takut. Kamu marah sekali gara-gara aku nekat naik pohon sampai
terjatuh. Meski kakiku hanya terkilir tapi kamu benar-benar marah. Bahkan
sampai dua hari kamu mendiamkanku.”
Dulu Lila akan terus
berceloteh meski Ray sedang marah dan tidak ingin berbicara dengannya. Saat Ray
menghindar dan menjauh Lila akan semakin gesit mengikutinya. Hingga akhirnya
kemarahan itu berakhir dengan kekesalan Ray yang memuncak lalu luluh lantak
dengan berdiri mematung. Menampilkan wajah polos dengan kelopak mata yang
berkedip-kedip seperti boneka.
“Mungkinkah kamu sedang
marah seperti dulu? Sepertinya tidak. Aku selalu ketakutan saat melihat wajahmu
saat marah.”
Saat Lila masih kecil
pernah menggambarkan wajah Ray yang marah dan mengeluarkan asap dari kedua
telinganya. Dan gambar itu akan ia bawa kemana-kemana untuk ditunjukkan saat
Ray mulai menunjukkan gejala marah. Lalu Ray akan berusaha merubut kertas yang
berisi wajah marahnya hingga emosi yang seakan tidak terbendung itu menguap
begitu saja.
Sifat Ray dan Lila saat
masih kecil memang seperti bumi dan langit. Ray yang emosinya seperti gunung
berapi yang bisa meletus sewaktu-waktu sementara Lila seperti petasan yang
meledak-ledak tetapi selalu menyenangkan setiap orang.
“Dan aku belum
menjumpai wajahmu seperti itu.”
Lila tahu Ray masih
terjaga dan berbaring memunggunginya. Tapi tak satu pun kata keluar dari mulut
Ray. Hanya deru nafas seperti orang tidur yang Lila dengar. Meski seseorang
yang menjadi lawan bicaranya tak menyahut Lila terus berbicara. Meski hanya
kenangan masa kecil. karena hanya itu topic pembicaraan yang Lila punya.
Kehidupan Ray setelah
mereka berpisah pun Lila tidak tahu. Saat ingin bertanya tetapi Ray seperti
tidak memberinya kesempatan itu. Latar belakang pendidikan bahkan pekerjaan pun
berbeda sehingga sangat sulit mencari bahan perbincangan.
Masa lalu akan selalu
tertinggal. Tidak pernah bergeser dan berpindah kedepan. Seindah apapun itu dia
tetap akan dibelakang. Bahkan Lila sendiri sudah menganggap itu sebagai kilasan
masa kecil yang sesekali muncul dan selesai didalam kepala.
Tapi berdampingan
dengan seseorang yang berasal dari masa lalu membuat setiap kenangan yang
terlintas memiliki rasa. Meski tidak lagi sama tapi Lila merasa kejadian itu
seperti baru saja terjadi.
****
Lila bangun sangat
terlambat. Menjelang subuh dia baru benar-benar bisa tidur. Meski hanya
berbaring dan memejamkan mata nyatanya itu tidak membuatnya tertidur lebih
awal. Dan untuk kesekian kalinya Lila harus melewatkan hari dengan rasa kantuk
yang teramat.
“Begadang lagi, Lila?”
Mbak Ika tidak lagi melihat dengan heran. Hanya memastikan kantung mata Lila
yang bertambah gelap.
“Sudah lebih dari tiga
bulan menikah dan masih begadang tiap malam. Mbak salut tapi kenapa belum juga
kelihatan hasilnya?”
Lila benar-benar merasa
sangat lemas sehingga mengabaikan ucapan sarkas dari mbak Ika. Matanya terasa
berat tapi tak mampu terpejam. Bahkan perutnya pun bergejolak. Asam lambungnya
yang meningkat saat dia terjaga sepanjang malam.
“Mbak Ika masih
menyimpan obat maag? Sepertinya asam lambungku naik.”
“Asam lambungmu selalu
naik saat kamu begadang. Mbak nggak akan kasih kamu obat. Kamu bahkan baru saja
minum kopi. Tidur Lila!”
Andai bisa Lila akan
melakukannya dengan senang hati.
“Gimana persiapan
pementasan akhir bulan ini, mbak?”
“Sejauh ini berjalan
lancar. Dan kita mendapat satu lagi donator tetap. Nilainya tidak besar sih tapi
sangat membantu untuk promosi galeri kita.”
Keadaan yang tidak jauh
berbeda pun dirasakan oleh Ray di kantor. Hampir setiap hari Ray tertidur di
meja kerja. Membuat pekerjaannya banyak yang tertunda. Bahkan ia bisa meminta
untuk dibuat kan kopi sampai tiga kali sehari.
“Espresso?”
“Air putih aja.”
Bima pemilik kedai kopi
langganan Ray itu meletakkan segelas besar air putih di meja saat Ray
mengeluarkan laptop. Bimo, dia lebih suka di panggil seperti itu semenjak
tayangan TV yang bercerita kisah pewayangan itu popular.
“Kusut amat, Lo?” Bimo
menarik salah satu kursi.
“Kerjaan Gue banyak
banget. Akhir-akhir ini kalau malam susah banget tidur. jadi ya pas ngantor
bawaannya nggak focus.”
“Masih pengantin baru
bawaannya begadang mulu kalau ketemu bini.” Canda Bimo.
“Ngaco, Lo.”
Bimo hanya tertawa
melihat sahabatnya itu melanggar omongannya sendiri tentang pantangan membawa
urusan pekerjaan pulang. Saat jam kantor selesai saat itu pula seluruh waktunya
untuk hal lain.
“Kabar Mira gimana?
Kalian masih berhubungan kan?”
Ray menghentikan
tangannya yang dari tadi sibuk didepan laptop. Almira, sudah lama sekali dia
tidak bertukar kabar. Terhitung semenjak Ray menikah. Dia hanya melihat social
media milik Almira untuk mengetahui keadaannya. Dari postingan-postingannya
sepertinya dia bahagia.
“Dia baik-baik aja.”
Bimo akhirnya
meninggalkan Ray sendiri. Rupanya topic tentang Almira tidak lagi membuatnya
bersemangat seperti biasanya. Mungkin akhirnya Ray memilih untuk menata hatinya
sendiri agar bisa melepas Almira. Meski Bimo tidak terlalu yakin kalau Ray
sudah benar-benar rela dengan menganggap Almira sebagai teman saja.
Memang benar, Ray tidak
pernah menganggap Almira hanya sekedar teman. Kehadiran Almira sangat berarti
bagi hidupnya. Saat dia merasa kehilangan dan kesepian karena berpisah dengan
gadis kecilnya, Almira datang sebagai oase. Mengisi hari-harinya yang kosong
dan membantunya menyesuaikan diri di lingkungan baru. Almira membuatnya
memiliki pandangan baru terhadap seorang wanita. Dan itu benar-benar berhasil
membuatnya lupa akan kehadiran gadis kecilnya. Lambat laun ruang untuk gadis
kecilnya yang manja dan ceria pun akhirnya menghilang. Berganti dengan seorang
Almira yang tangguh dan mandiri.
****
Lila baru saja bangun.
Lampu di ruangannya belum dinyalakan sehingga cahaya kecil yang lewat melalui
celah gorden yang tersingkap cukup memberi penerangan. Lila melihat jam
dipergelangan tangannya sudah menunjukkan jam 8 malam. rupanya dia tertidur
cukup lama. Dan tidak ada yang membangunkannya. Satu-satunya orang yang akan
masuk ruangannya tanpa pamit hanya mbak Ika. Sementara mbak Ika pergi sejak
siang untuk bertemu donator baru.
Saat hendak bangun dari
kursi malas Lila tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Sebuah buku yang membuatnya
tertidur. Tips membangun keluarga bahagia, begitu yang tertulis di sampulnya.
Lila melihatnya tergeletak dimeja mbak Ika dan meminjamnya.
Sebenarnya Lila sendiri
bingung dengan pernikahannya. Dia bahkan tidak yakin kehidupannya saat ini bisa
disebut rumah tangga atau tidak. Tiga bulan tinggal dalam satu atap tapi
seperti orang asing. Di dapur terdapat sepasang kompor. Setiap pagi keduanya
menyala bersamaan. Tetapi yang dimasak selalu sama yaitu air. Satu milik Lila
dan satu lagi milik Ray. Lila pernah merebus air lebih, sekalian untuk Ray.
Tapi Ray malah merebus air sendiri. Sejak saat itu Lila tidak pernah mengulangi
hal yang sama.
Tegur sapa hanya
sekedarnya. Percakapan paling panjang yang pernah mereka lakukan saat Ray
bilang mau keluar negeri selama beberapa hari untuk keperluan pekerjaan. Selama
itu pula Lila tidak pulang dan memilih tinggal dirumahnya yang lama.
Sekarang Lila sedang
merasa jenuh dengan kehidupan seperti itu. Pernah dia merasa iri melihat rumah
tangga orang. Saat Ray sedang dinas keluar dan Lila tinggal di rumah kakek. Ia
melihat tetangganya itu setiap pagi selalu mengantar suaminya sampai di depan
rumah. Sebelum pergi suaminya selalu mencium kening istri dan anaknya yang
masih balita. Agaknya tidak berlebihan kalau Lila mengharapkan hal yang sama
terjadi padanya. Lagipula dia juga berada di posisi yang sama, sama-sama
seorang istri. Ada atau tidak adanya cinta tidak akan merubah status itu bukan?
Seandainya dia ingin
terjadi perubahan dalam rumah tangganya, harus bagaimana? Dari mana dia harus
memulai?
Dari buku yang belum
selesai dibacanya itu ada satu bab yang menjelaskan tentang tips menjadi istri
idaman. Poin yang langsung mendapat perhatian Lila adalah bagian menyiapkan
keperluan suami. seketika Lila langsung menutup buku dan melemparnya begitu
saja. dan memilih membereskan tasnya dan pulang.
Lila sudah ada di dalam
taksi. Dan perjalanan pulangnya sudah akan sampai.
Ray pasti sudah tidur.
Begitu pikir Lila. Tapi dia senang sepertinya malam ini dia bisa tidur nyenyak
karena tidak perlu merasa canggung. Mungkin lebih baik Lila tidur di ruang tamu
atau mungkin kamar tamu. Toh Ray tidak akan mencarinya saat tengah malam atau
saat bangun.
Tapi semua itu tidak
akan terjadi karena saat taksi yang ditumpanginya berhenti di depan rumah,
mobil Ray baru saja masuk di halaman. Keduanya bahkan keluar dari mobil secara
bersamaan.