Disuguhkan seorang
laki-laki yang terlelap diatas sofa, masih mengenakan pakaian yang sama dengan
kemarin, Lila membuka mata setelah tidur semalamam. Seolah tidak terusik dengan
kehadiran orang lain, Lila berjalan melewatinya begitu saja.
Orang lain? Sama sekali
bukan. Dia adalah suami Lila. Seseorang yang sudah dikenalnya hampir seumur
hidupnya. Bahkan Ray satu-satunya orang yang paling lama dikenalnya saat ini.
Namun sikap keduanya tak menunjukkan adanya sebuah kedekatan khusus.
Semalam Lila tidur
sangat nyenyak. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang lebih sering terjaga
saat malam karena memikirkan pernikahannya. Meski masih menyisakan pening
dikepalanya. Badannya juga masih menggigil saat terkena udara pagi yang terasa lebih
sejuk dari biasanya. Mungkin karena hujan tadi malam. Meski demikian tidak
membuatnya untuk kembali ke dalam rumah yang terasa lebih hangat.
Sudah lama Lila tidak
duduk di ayunan yang berada di halaman belakang rumahnya. Terakhir kali dia
menikmati waktu disana saat dibangku sekolah menengah. Tepat ulang tahunnya
yang ke 15.
Waktu itu orang tuanya
memberikan kejutan kecil karena Lila berhasil diterima di sekolah favorit. Sebuah
tiket liburan bertiga, Lila dan kedua orangtua, yang sudah lama tidak dilakukan.
Ayah mengayunnya pelan
usia acara makan bersama. Membuatnya benar-benar tiupan anginyang menyentuh
pipinya. Lalu berubah menjadi lebih kuat sehingga Lila mulai protes. Dan
semakin kuat hingga Lila berteriak histeris. Meski merasa takut tapi teriakan
itu ungkapan bahagia. Bunda yang melihat dari jauh turut merasakan chemistry
antara anak dan ayah.
Mungkin saat itu adalah
kali terakhir Lila bisa tertawa lepas. Kenangan yang tak lagi bisa ia rasakan. Bahkan
Lila dengan sengaja membiarkan rasa-rasa dalam kejadian itu tertiup kembali
bersama angin yang menerpa wajahnya. Biar menjadi sebuah penghiburan tersendiri
ditengah peristiwa pedih yang dialaminya.
Meski demikian ada satu
lagi kenangan indah yang ingin sekali kembali ia rasakan. Namun kemungkinan itu
semakin hari semakin memudar bahkan sekeras apapun usahanya penolakan-penolakan
itu semakin kuat.
Seperti sekarang
kejadian itu selalu mengekor kenangan lain yang ingin Lila ingat.
Saat ayah mendorong
ayunannya dan dikuti dengan tawanya muncul kejadian lain. Seorang bocah
laki-laki berlutut dihadapannya. Memberikan sesuatu sambil mengajaknya berjanji
satu hal untuk bersama dikemudian hari. Biasanya Lila akan menutup kilasan
peristiwa itu dengan tangisan.
Tiap kali teringat Lila
akan menggenggam sebuah kotak yang ia miliki. Sebuah benda persegi yang tak
pernah ia buka. Tiap kali itu pula dorongan kuat untuk menagih janji selalu
merongrongnya. Menuntut sebuah kebersamaan yang pernah dijanjikan seseorang yang paling ia butuhkan saat ini.
Kehadiran Si bocah
laki-laki itu. yang akan menghapus air mata, belaian tangan menenangkan juga
sebuah pelukan yang nyaman. Serta sebuah bisikan penyemangat, “Aku akan selalu
berada disampingmu.”
Lila membutuhkan semua
itu saat ini.
Terlalu berlebihankah?
Atau seseorang yang duduk disampingnya. Cukup diam disampingnya. Agar Lila tahu
dia tidak sendiri. Manusiawi bukan jika seseorang membutuhkan orang lain hanya
untuk membuat dirinya tidak merasa sendiri?
Sayangnya harapan Lila
tidak terkabul. Kenyataannya Lila memang tidak sendiri. Ada seseorang saat ini
menemaninya. Tetapi Tak bisa di raih. Jarak yang memisahkan terlalu jauh dan tidak
bisa Lila jangkau.
Seperti sekarang.
Lila melihat si bocah
laki-laki yang sudah tumbuh dewasa ada di rumahnya. Bahkan kini sudah berubah status
menjadi suaminya. Ray tidak pernah duduk disampingnya. Dia hanya berdiri
dikejauhan. Tidak ingin mendekat meski Lila memintanya mendekat.
***
Ray dan Lila sudah berada didalam perjalanan menuju rumah orangtua Ray. Sesaat sebelumnya mereka mampir ke hotel
tempat berlangsungnya pernikahan untuk mengemasi barang-barang yang tertinggal.
Mobil yang dikemudikan
Ray melaju dengan lancar. Jalanan
sedang tidak berada di fase sibuk sehingga cukup lengang.
Pagi tadi saat bangun tidur Ray tidak mendapati Lila ditempat tidur.
Sementara hari masih terlalu pagi untuk beraktifitas. Ray mencari di beberapa
ruangan seperti kamar mandi, juga di dapur. Pencarian itu pun berhenti saat Ray
melewati ruang keluarga yang terhubung dengan halaman belakang.
Lila ada disana.
Masih terlalu awal untuk bermain diluar ruangan. Tapi Ray mengurungkan
niat untuk menegur Lila. Sepertinya duduk di ayunan bukan aktivitas bermain
yang dicari Lila. Karena Ray bisa melihat tetesan air mengalir di pipi Lila.
Rupanya Lila membutuhkan waktu panjang untuk berduka. Maka Ray memilih untuk
membiarkan Lila. Mungkin dengan begitu Lila merasa lebih baik. Ray pun berbalik
tanpa melakukan sesuatu.
“Kalian baik-baik saja?” Oma Rita menyambut
dengan pelukan begitu mereka sampai. “Ditelpon nggak ada yang angkat.”
“Nggak apa-apa Oma.
Kemarin Lila pulang dan langsung istirahat jadi nggak sempat kasih kabar.” Jelas Lila.
“Ahh nggak apa-apa. Oma
cuma khawatir. Kalian nggak
ada yang bisa dihubungi”
Oma dan Lila
menghentikan percakapan saat mendengar sebuah suara.
“Ray masuk dulu, mau taruh barang-barang” Ucap
Ray sambil berjalan membawa koper.
Lila hanya melihat saat
koper miliknya dibawa masuk Ray. Bahkan saat tubuh Ray menghilang di balik
tembok pun mata Lila belum berkedip.
“Ya sudah. Kamu susul Ray
sana!” perintah Oma. “Istirahat.”
Lila baru saja masuk
kedalam kamar dan mendapati koper miliknya berada di samping tempat tidur.
Sementara pintu kamar mandi tertutup rapat dengan gemericik air terdengar dari
sana.
Sebuah lemari besar
mengisi salah satu sisi kamar. Disisi lain sebuah meja kerja dengan lampu
belajar juga tumpukan beberapa buku diatasnya. Disampingnya berdiri sebuah rak
yang berisi lebih banyak lagi buku-buku. Lila juga mengoleksi buku tapi tidak
sebanyak milik Ray. Ditengah-tengah barisan buku itu ada satu ruang kecil
berisi beberapa pajangan. Miniature kendaraan bercerobong asap yang menjadi
salah satu tokoh animasi anak-anak menjadi pengisinya. Dan sebuah pigora kecil
membingkai foto.
Foto Ray sedang dengan
seorang perempuan berambut panjang terurai. Mereka sedang duduk dibangku taman
dengan daun-daun berwarna kecoklatan yang berserakan dilantainya.
Lila langsung
memalingkan wajah saat mendengar suara pintu dibuka. Ray keluar dari sana
dengan handuk yang masih dipakainya mengeringkan rambut.
“Aku sudah menyiapkan
sebagian tempat dilemari untuk barang-barang kamu. Untuk sementara kita tinggal
disini dulu sampai rumah yang akan kita tempati nanti selesai dikerjakan.”
Setelah memberikan
sedikit penjelasan Ray langsung berkutat dengan meja kerjanya yang dipenuhi
buku-buku. Hampir saja Lila lupa kalau suaminya itu seorang abdi negara.
Sehingga memiliki batas waktu libur. Berbeda dengan dirinya yang seorang
seniman dengan jam kerja yang bisa ia atur sendiri.
***
Oma Rita sedang duduk
di ruang keluarga saat Lila merasa bosan berdiam diri di kamar. Ray sudah
berangkat kerja pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan yang bisa
membuatnya terlambat. Lila pun berjalan mendekat.
“Oma lagi lihat apa?”
Lila duduk di kursi disebelah Oma Rita.
Lila sudah tidak
canggung lagi saat berhadapan dengan Oma. Mungkin karena dulunya mereka sudah
menjalin kedekatan sehingga untuk memulai setelah berpisah cukup lama tidak
terlalu sulit.
“Ini lihat foto-foto
kalian waktu masih kecil.” Oma Rita menepuk kursi sebelahnya yang kosong.
Di dalam album foto
berwarna coklat itu sebagian besar berisi foto Ray kecil. Ada juga beberapa
foto dirinya sedang bersama Ray. Dan semuanya tidak jauh berbeda dengan album
foto yang ada dirumahnya. Bedanya ada tambahan foto saat Ray sudah pindah.
Meski tidak terlalu banyak.
“Dia siapa Oma?” tanya
Lila sambil menunjuk sebuah foto Ray remaja bersama seorang gadis. Mengingatkan
Lila pada wajah seseorang tapi dia lupa siapa.
“Ooohh… Namanya Almira.
Dia teman sekelas Ray saat masih SMA di Amerika dulu,” jawab Oma Rita.
“Dimana dia sekarang
Oma?”
“Katanya sih sekolah
desain di Perancis setelah itu Oma belum pernah dengar lagi. Kenapa Lila?”
tanya Oma Rita sambil memperhatikan ekspresi Lila.
“Cantik. Pacarnya Mas
Ray, ya?” Lila menyeringai.
“Kamu ini. Ray sama
kamu itu sama. Sama-sama mikirin satu sama lain. Jadi mana pernah Ray pacaran.”
Oma menepuk tangan Lila.
“Ohhh…kelihatannya
deket banget.”
“Kamu cemburu?” Oma tersenyum
menggoda Lila. “Mereka memang dekat tapi hanya sebatas sahabat. Kalau nggak
salah sampe Ray pindah ke Indonesia mereka masih berhubungan.”
Lila tidak pernah tahu
ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Begitu yang sering dia baca di
novel-novel picisan koleksinya. Kalau tidak ada campur tangan perasaan
kedekatan itu tidak pernah terjadi. Kurang lebih itu juga yang Lila rasakan
selama ini. Tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis selain
kepentingan kuliahnya dulu dan pekerjaannya saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar