Belahan
jiwa, separuh hati, kekasih hati dan ada banyak ungkapan lain yang dipakai
kebanyakan orang untuk menunjukkan arti seseorang dalam kehidupan kita. Tak jarang
banyak yang menganggap frasa tersebut sangat cheesy, alay. Bahkan banyak juga
yang menganggap tak hanya kata yang digunakan tapi pelakunya sendiri yang
memiliki kepribadian kekanakan. Sehingga banyak yang memilih mengungkapkan
maksud tersebut dengan bahasa lain hanya untuk menghindar label cheesy tadi.
Tapi
saya akan menabrak semua anggapan itu tadi. Mengabaikan respon atau label yang
akan orang sematkan. Sebagai orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar adalah salah satu bentuk kecintaan pada tanah air.
Separuh jiwa
Bukan
hanya mengekor dari sebuah lagu yang popular tapi pada beberapa orang memang
benar seperti itu adanya.
Bagi
saya suami adalah separuh jiwa. Kekuatan sekaligus kelemahan terbesar saya.
Kalau
dianalogikan dengan hal lain itu seperti Elang dan sayapnya, yang akan terbang
dengan gagah membelah cakrawala tapi hanya akan menjadi burung biasa yang tak
berwibawa saat sayapnya tidak berfungsi normal atau tidak ada. Pohon dan
akarnya, yang berdiri kokoh dan kuat saat badai mencoba menggoyahkan tapi saat
akarnya keropos dan membusuk di dalam tanah dia hanya menjadi batang berdiri
yang sekali tiup akan roboh. Pagi akan kehilangan semangatnya saat matahari
lebih memilih bersembunyi di balik mendung. Membuat pagi sama dinginnya dengan
malam.
Sepenting
itu arti suami saya, Miftachu Firridjal.
Kemarin,
7 Januari 2019, saya menjalani rutinitas
seperti biasa. Tanpa di sertai firasat atau prasangka apapun. Siang sebelum
berangkat untuk jemput si sulung saya mengirim sebuah pesan berisi aktivitas
dan candaan sarkas yang biasa saya lontarkan untuk menanggapi salah satu
kebiasaan buruk.
Selama
perjalanan berangkat maupun pulang memang ada sedikit rasa tidak tenang di
hati. Karena jarang sekali saya tidak mengetahui atau mengabaikan adanya
panggilan masuk apalagi dari suami. saya anggap juga biasa aja karena saya
selalu bersemangat saat menerima telpon darinya. Sampai kami bertiga bersiap
makan siang pun belum ada panggilan masuk. Akhirnya saya menghubungi duluan. Hanya
beberapa detik menunggu sebelum diangkat. Nah percakapan singkat itu yang
menyebutkan kata sakit, rumah sakit itu masih belum bisa saya terima. Lalu saya
pamit sama anak-anak agar mereka makan tanpa saya.
Saya
pun masuk ke dalam kamar. Selain pembicaraan yang tidak boleh didengar
anak-anak juga menyembunyikan keran air mata yang terbuka dan susah
dikendalikan.
Akhirnya
dalam percakapan jarak jauh dengan kesadaran penuh bahwa suami, separuh jiwa
saya itu sedang terbaring lemah di sebuah kamar inap rumah sakit. luruh
seketika. Rasanya tulang-tulang dalam tubuh ini lolos semua. Dalam perbincangan
itu rasanya pengin bilang, “Candaannya lucu banget.” tapi nggak bisa.
Penampilannya
memang tak menunjukkan bahwa dia sekarang sudah menjadi seorang pasien. Aliran darah
masih Nampak jelas di wajahnya. Tapi saya menangkap raut sedih dan setitik air
diujung matanya. Dan itu itu sudah cukup untuk segera berhenti menyangkal bahwa
suami saya baik-baik saja.
Memang
bukan yang pertama dia sakit saat sedang berjauhan. Tapi sakit sampai memaksa
dirawat di rumah sakit adalah yang pertama kalinya sepanjang kami saling
mengenal. Dan dititik ini pula saya hanya bisa memandang lemah tanpa bisa
berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menghapus air matanya pun tak mampu.
Saat
kabar itu sudah bisa diterima dengan baik setiap sel dalam tubuh, hanya ada
satu hal yang bisa saya ucapkan, “Boleh ndis kesana?” meski jawaban itu lebih
dulu saya ketahui tetap saja perlu disuarakan.
Tak
banyak yang bisa saya perbuat selain mengucapkan sebanyak mungkin hal yang
tidak bisa saya lakukan saat ini. Dan memastikan dengan kedua mata saya bahwa
laki-laki yang terbaring itu tidak ada yang kurang. Dan sebagai penutup saya
meminta di kirimkan video kondisi disana.
Hey suami,
Sejak
terakhir istrimu mendengar kabar itu tak sedetik pun ia bisa membendung cairan
yang menetes dari matanya. Bahkan dia tak lagi bisa menjadi aktris multi
talenta yang berperan baik-baik saja di depan anak-anak.
Anak
laki-lakimu itu semakin pandai tapi juga semakin manja. Makan siang kemarin dia
tidak mengikuti permintaan istrimu untuk makan sendiri. Jadilah istrimu
menyuapinya dengan mata sembab yang setiap menjawab pertanyaan cerdas dari anak
gadismu akan dijawab dengan linangan air mata.
Hey suami,
Siang
kemaren itu hanya ada dua suapan nasi yang berhasil istrimu makan. Bukan karena
tak enak atau tak kebagian karena dihabiskan anak-anakmu atau kehilangan selera.
Dimatanya makanan-makanan itu terlihat sangat lezat tapi berita keadaanmu itu
masih membuat tenggorokannya tercekat sehingga membuatnya kesulitan untuk
menelan.
Sepanjang
siang itu pula dia tak bisa berhenti menangis. Bahkan saat anak-anakmu belum
tertidur untuk istirahat siang, wanitamu itu masih menangis meski tanpa isak. Hanya
nada suaranya lebih cepat naik bahkan sebelum detik berganti atau turun sangat
rendah bahkan terlampau rendah.
Tak
banyak yang bisa dia lakukan selain menemani anak-anakmu agar segera terlelap
dengan sebuah kitab terbuka di tangannya. Sekali lagi wanitamu dalam keadaan
tak berdaya, tak bisa berbuat banyak selain berdoa untuk kesembuhanmu juga
ketenangan dirinya sendiri. Dan itu berat sangat berat.
Pada
akhirnya anak lelakimu yang terakhir tidur, mungkin menjelang lelapnya ia
menyadari perbedaan suara bundanya. Mimpi pun menarik replikamu semakin jauh
dari alam fana, membuatnya tak lagi bisa mendengar isakan dari bundanya yang
mengeras.
Dari
puluhan ayat yang berhasil ia baca beberapa ayat pertama sangat susah sekali ia
baca. Perlu beberapa kali pengulangan agar bacaan itu lebih baik.
Lembaran
kitab-kitab itu menyaksikan betapa dia berusaha sangat keras untuk ikhlas dan
sabar. Dia tak ingin mengecewakanmu karena gagal untuk kedua kalinya pada ujian
kesabaran ini. dengan bibir yang bergetar dia terus membaca rangkaian kalam
ilahi tersebut. dalam hatinya selalu merapalkan doa tak hanya untukmu agar tak
jauh dariNya juga untuknya agar dijauhkan dari prasangkas-prasangka buruk.
Hey suami,
Hujan
turun saat pemeran utama sedang bersedih rupanya tak hanya terjadi dalam drama
tapi di dunia yang fana ini benar-benar terjadi. Mendung gelap itu melepaskan
air sangat deras. Menyembunyikan isakan keras dari istrimu agar anak-anakmu tak
terbangun.
Sepanjang
siang hingga sore menjelang hujan deras turun. Dan waktu terbaik itu pun tak
dilewatkan dengan sia-sia oleh istrimu. Disepanjang waktu itu pula akhirnya ia
mendapatkan sebuah ketenangan sehingga bacaan yang keluar dari mulutnya jauh
lebih baik dari beberapa waktu sebelumnya. Meski tetesan air mata itu belum
berhenti tapi dia sudah lebih tenang.
Hingga
akhirnya kau pun bisa mendengarnya melalui sebuah panggilan telpon yang
dilakukannya beberapa kali. Suaramu yang benar-benar terdengar lemah itu sangat
membuatnya senang. Keadaannmu yang mulai membaik itu membuat hormon lapar istrimu
aktif seketika. Dan memerintahkan perutnya berbunyi. Dan menjelang petang itu
sejumlah makanan berhasil melalui organ pencernaannya dengan baik.
Tapi
tahukah kamu, hey suami? sepanjang siang menangis membuat kondisi istrimu
menurun. Dia memang tak terbaring lemah seperti dirimu, dia hanya terbaring
kelelahan. Dia pun melewatkan aktifitas rutinnya setiap senin untuk beristirahat.
Dan
semua itu terbayar dengan kondisimu pagi ini.
Dia
mulai membuka laptop dan menulis lagi. bisa tersenyum dihadapan anak-anakmu. Sudah
bisa bercerita dan bercanda dengan anak lelakimu yang manja. Dan sudah berdebat
dengan anak sulungmu yang pandai. Pagi ini suasana rumah berangsur-angsur
normal.
Semoga
engkau pun semakin membaik dan segera keluar dari rumah sakit dalam keadaan
sehat.
Esok,
saat kau pulang. Peluklah dia dengan erat dan bisikan sebuah kesanggupan bahwa
kau akan merubah gaya hidupmu menjadi lebih baik lagi. untuk dirimu sendiri,
untuk anakmu dan untuk istrimu, Yenny Astriana Fitriatul Fajriyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar