Rabu, 19 Desember 2018

# Fiction # Fiksi

Remind Me_satu


Asap menguar dari dua cangkir kopi panas yang terhidang disebuah meja. untuk waktu yang cukup lama gelas tersebut tak tersentuh sedikitpun. Perlahan kepulan uap panas itu perlahan mulai menghilang. Hingga seseorang mulai mengangkat cangkir tersebut. Menyeruputnya sedikit.  Dan meletakkannya kembali diatas tatakannya hingga menimbulkan bunyi benturan porcelain yang lemah.
“Lama nggak ketemu. Apa kabar?” Seorang laki-laki dengan setelan jas membuka suara.
Kemeja hitam yang dikenakan pria berusia menjelang tiga puluh tahun itu menambah kesan formal. Belum lagi dasi yang tersimpul rapi. Berbanding terbalik dengan seseorang yang duduk dihadapannya. Hanya mengenakan t-shirt putih berlengan pendek yang dipadukan dengan rok A line motif bunga-bunga. Bahkan sepatu kets yang dikenakannya itu menambah kesan santai yang bertolak belakang.
“Kamu benar Rayyan Soebagja?”
“Benar. Gimana kabar kamu Kaylila Amandini Pramoedya?”
Gadis yang biasa di sapa Lila ini masih heran dengan laki-laki yang sedang ditemuinya. Tapi dia tetap tersenyum meski merasakan sedikit keanehan pada pria yang duduk dihadapannya.
“Mas Ray banyak berubah.”
Ray tersenyum, “Kamu juga. Sudah bukan gadis kecil manja yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi.”
Benar.
Kalau memang dia Ray yang sama yang selalu menjadi magnet bagi Lila. Kemanapun Ray pergi selalu ada Lila dibelakangnya. Meski perbedaan usia mereka cukup jauh tapi tak membuat hubungan mereka berjarak.
Dulu
Lila mengamati Ray yang sedang menikmati minumannya. Sebenarnya tak banyak yang berubah dari penampilan Ray. Rambutnya selalu dipangkas pendek rapi, matanya sayu dengan tulang rahang yang terlihat kokoh dan menonjol.
Hanya saja Ray yang sekarang lebih dewasa dan formal.
Diluar sana sedang berkumpul awan gelap yang beberapa bulan terakhir menghilang. Pohon-pohon yang mengelilingi jalanan sedang menari-menari bersama angin malam yang berhembus lebih kencang.
“Jakarta masih panas ya meskipun malam.” Ray memandang keluar melalui dinding kaca. “Tadi kesini diantar siapa?”
“Sendiri.”
Lila menatap lurus kearah Ray. Seperti sedang menyombongkan sesuatu.
“Oh ya?” Ray tertawa tidak percaya. “Aku pikir kamu masih harus diantar kalau mau kemana-mana.”
“Tidak selamanya gadis kecil manja akan tumbuh menjadi seseorang yang selalu bergantung.”
Ray terkesiap mendengar jawaban Lila.
“Tentu saja.” Ray kembali menyesap kopinya. “Oh ya, aku turut berduka atas meninggalnya om dan tante. Karena keadaan yang tidak memungkinkan jadi waktu itu aku nggak bisa ikut datang.”
Lila tersenyum getir, “Nggak apa-apa. Lagipula Jakarta Singapore kan nggak kaya Jakarta Bandung yang bisa ditempuh beberapa jam.”
“Itu terdengar seperti sebuah sindiran.”
Lila hanya mengangkat kedua bahunya. “Aku tidak bermaksud begitu.”
Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa orang tua Lila memang peristiwa yang mencengangkan. Bahkan pihak rumah sakit sendiri tidak menyarankan keluarga untuk mengetahui kondisi jenazah sebelum dimakamkan.
Seperti sudah mendapat peringatan sebelumnya, Lila terlihat sangat tegar. Dia menangis. Tapi tidak ada raungan atau ratapan. Semuanya berjalan sangat manusiawi. Mungin karena masih memiliki kakek yang menemaninya atau mungkin karena sudah terbiasa dengan mekanisme ditinggalkan.
 “Keluarga besar kita sedang merencakan sesuatu untuk kita. Aku rasa kamu sudah mendengarnya.”
Sebelum Lila berada di tempat ini. seperti malam ini. Beberapa malam sebelumnya seseorang sudah mendatanginya. Pertemuan singkat itu tidak hanya untuk bertukar kabar. Tetapi membawa sebuah berita penting untuk masa depannya.
“Iya. Aku sudah bertemu Oma.”
Seperti matahari dimusim dingin yang menghangatkan. Lila pun merasakan hal yang sama. Segala kerinduan yang ditekannya selama ini keluar seketika. Sesuatu yang hampir saja Lila anggap sebagai ilusi berubah menjada nyata.
Segera saja Lila mengonfirmasi kebenaran itu dengan mendatangi satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Kakek.
Gayung bersambut. Kebahagiaan itu berestafet dengan cepat dan tepat. Kakek pun merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan cucunya. Seperti akan menutup episode duka berkepanjangan, kakek pun ingin memastikan satu hal.
Tapi tidak dengan Ray.
“Dengar Lila,” Ray mencondongkan badannya. “Sepuluh tahun yang lalu dengan sekarang sudah membawa perubahan banyak. Kamu juga aku. bahkan dengan perasaan kita. Tidak lagi sama seperti saat kita masih remaja.”
So what’s the point?”
I have a girlfriend. I love her so much.”
But I was your girlfriend first.”
Everybody’s change, Lila. Perjodohan ini hanya memperburuk hubungan kita.”
Do you think so?”
Lila mengenggam keras telapak tangan kanannya. Disana tersembunyi sebuah logam kecil dengan gerigi tiga diujungnya.
Sehari sebelumnya, Oma datang menemui Lila untuk memberikan sesuatu yang selama ini Lila tunggu.
“Kamu yakin, Lila? Ini satu-satu cara kamu untuk bisa bersama Ray?”
“Oma, Biar Lila yang simpan kenangan masa kecil kami.”
Lila tahu Oma kecewa dengan pilihannya. Tapi siapa yang peduli dengan janji seorang anak kecil?
Seperti yang Lila duga sebelumnya. Perjumpaannya dengan Ray seperti sebuah kertas putih. Bersih tak ada coretan apalagi kenangan untuk dibaca kembali.
Lila hanya memandangnya Ray. Lama. Seperti sedang melihat sebuah video yang ditampilkan oleh kotak dengan dengan ukir-ukiran jawa tersebut. Sekali lagi dia memutar ulang kejadian masa lalu.
Seorang gadis kecil dengan rambut panjang diikat dua duduk dengan kepala yang terus menunduk. Hiruk pikuk disekitarnya seperti tidak membuatnya terusik sama sekali. Kakinya yang terselubung sebuah kaos kaki beraksen pita terus mengayun-ayun.
Lalu seorang remaja laki-laki menghampirinya.
Gadis kecil itu terus menunduk meski seseorang sedang berdiri dihadapannya.
“Lil,” Remaja laki-laki itu duduk bertumpu dilututnya agar bisa melihat wajah gadis yang duduk didepannya.
Sementara Lila hanya menjawab dengan sesenggukan.
“Lihat!” laki-laki berjaket biru itu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sakunya. “Kamu simpan ini. dan kunci ini aku yang akan menyimpannya. Aku akan memberikannya saat aku kembali. Dan kita akan membukanya bersama.”
Lila akhirnya mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata.
“Janji?” Ucapnya dengan terisak.
“Janji.”
Seperti remaja pada umumnya saat membuat janji. Mereka pun menautkan jari kelingking sebagai sebuah kesepakatan atas janji yang sudah diikrarkan.
Perpisahan itu bukan kehendak mereka. Tapi mereka hanya seorang anak yang harus mengikuti kemana orang tua mereka pergi. Begitu juga dengan Ray, si bocah remaja harus mengikuti ayahnya, seorang diplomat, untuk dipindah ditugaskan.

Sekarang, kunci itu sudah dipegangnya. Akankah menjadi penggugur janji yang selama ini Lila jaga?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates