Asap menguar dari dua
cangkir kopi panas yang terhidang disebuah meja. untuk waktu yang cukup lama
gelas tersebut tak tersentuh sedikitpun. Perlahan kepulan uap panas itu
perlahan mulai menghilang. Hingga seseorang mulai mengangkat cangkir tersebut.
Menyeruputnya sedikit. Dan meletakkannya
kembali diatas tatakannya hingga menimbulkan bunyi benturan porcelain yang
lemah.
“Lama nggak ketemu. Apa
kabar?” Seorang laki-laki dengan setelan jas membuka suara.
Kemeja hitam yang
dikenakan pria berusia menjelang tiga puluh tahun itu menambah kesan formal.
Belum lagi dasi yang tersimpul rapi. Berbanding terbalik dengan seseorang yang
duduk dihadapannya. Hanya mengenakan t-shirt putih berlengan pendek yang
dipadukan dengan rok A line motif
bunga-bunga. Bahkan sepatu kets yang
dikenakannya itu menambah kesan santai yang bertolak belakang.
“Kamu benar Rayyan
Soebagja?”
“Benar. Gimana kabar
kamu Kaylila Amandini Pramoedya?”
Gadis yang biasa di
sapa Lila ini masih heran dengan laki-laki yang sedang ditemuinya. Tapi dia
tetap tersenyum meski merasakan sedikit keanehan pada pria yang duduk
dihadapannya.
“Mas Ray banyak
berubah.”
Ray tersenyum, “Kamu
juga. Sudah bukan gadis kecil manja yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi.”
Benar.
Kalau memang dia Ray
yang sama yang selalu menjadi magnet bagi Lila. Kemanapun Ray pergi selalu ada
Lila dibelakangnya. Meski perbedaan usia mereka cukup jauh tapi tak membuat
hubungan mereka berjarak.
Dulu
Lila mengamati Ray yang
sedang menikmati minumannya. Sebenarnya tak banyak yang berubah dari penampilan
Ray. Rambutnya selalu dipangkas pendek rapi, matanya sayu dengan tulang rahang
yang terlihat kokoh dan menonjol.
Hanya saja Ray yang
sekarang lebih dewasa dan formal.
Diluar sana sedang
berkumpul awan gelap yang beberapa bulan terakhir menghilang. Pohon-pohon yang
mengelilingi jalanan sedang menari-menari bersama angin malam yang berhembus
lebih kencang.
“Jakarta masih panas ya
meskipun malam.” Ray memandang keluar melalui dinding kaca. “Tadi kesini
diantar siapa?”
“Sendiri.”
Lila menatap lurus
kearah Ray. Seperti sedang menyombongkan sesuatu.
“Oh ya?” Ray tertawa
tidak percaya. “Aku pikir kamu masih harus diantar kalau mau kemana-mana.”
“Tidak selamanya gadis
kecil manja akan tumbuh menjadi seseorang yang selalu bergantung.”
Ray terkesiap mendengar
jawaban Lila.
“Tentu saja.” Ray
kembali menyesap kopinya. “Oh ya, aku turut berduka atas meninggalnya om dan
tante. Karena keadaan yang tidak memungkinkan jadi waktu itu aku nggak bisa
ikut datang.”
Lila tersenyum getir,
“Nggak apa-apa. Lagipula Jakarta Singapore kan nggak kaya Jakarta Bandung yang
bisa ditempuh beberapa jam.”
“Itu terdengar seperti
sebuah sindiran.”
Lila hanya mengangkat
kedua bahunya. “Aku tidak bermaksud begitu.”
Kecelakaan tragis yang
merenggut nyawa orang tua Lila memang peristiwa yang mencengangkan. Bahkan
pihak rumah sakit sendiri tidak menyarankan keluarga untuk mengetahui kondisi
jenazah sebelum dimakamkan.
Seperti sudah mendapat
peringatan sebelumnya, Lila terlihat sangat tegar. Dia menangis. Tapi tidak ada
raungan atau ratapan. Semuanya berjalan sangat manusiawi. Mungin karena masih
memiliki kakek yang menemaninya atau mungkin karena sudah terbiasa dengan
mekanisme ditinggalkan.
“Keluarga besar kita sedang merencakan sesuatu
untuk kita. Aku rasa kamu sudah mendengarnya.”
Sebelum Lila berada di
tempat ini. seperti malam ini. Beberapa malam sebelumnya seseorang sudah
mendatanginya. Pertemuan singkat itu tidak hanya untuk bertukar kabar. Tetapi
membawa sebuah berita penting untuk masa depannya.
“Iya. Aku sudah bertemu
Oma.”
Seperti matahari
dimusim dingin yang menghangatkan. Lila pun merasakan hal yang sama. Segala
kerinduan yang ditekannya selama ini keluar seketika. Sesuatu yang hampir saja
Lila anggap sebagai ilusi berubah menjada nyata.
Segera saja Lila mengonfirmasi
kebenaran itu dengan mendatangi satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Kakek.
Gayung bersambut.
Kebahagiaan itu berestafet dengan cepat dan tepat. Kakek pun merasakan hal yang
sama seperti yang dirasakan cucunya. Seperti akan menutup episode duka
berkepanjangan, kakek pun ingin memastikan satu hal.
Tapi tidak dengan Ray.
“Dengar Lila,” Ray
mencondongkan badannya. “Sepuluh tahun yang lalu dengan sekarang sudah membawa
perubahan banyak. Kamu juga aku. bahkan dengan perasaan kita. Tidak lagi sama
seperti saat kita masih remaja.”
“So what’s the point?”
“I have a girlfriend. I love her so much.”
“But I was your girlfriend first.”
“Everybody’s change, Lila. Perjodohan ini hanya memperburuk hubungan
kita.”
“Do you think so?”
Lila mengenggam keras
telapak tangan kanannya. Disana tersembunyi sebuah logam kecil dengan gerigi
tiga diujungnya.
Sehari sebelumnya, Oma
datang menemui Lila untuk memberikan sesuatu yang selama ini Lila tunggu.
“Kamu yakin, Lila? Ini satu-satu
cara kamu untuk bisa bersama Ray?”
“Oma, Biar Lila yang
simpan kenangan masa kecil kami.”
Lila tahu Oma kecewa
dengan pilihannya. Tapi siapa yang peduli dengan janji seorang anak kecil?
Seperti yang Lila duga
sebelumnya. Perjumpaannya dengan Ray seperti sebuah kertas putih. Bersih tak
ada coretan apalagi kenangan untuk dibaca kembali.
Lila hanya memandangnya
Ray. Lama. Seperti sedang melihat sebuah video yang ditampilkan oleh kotak
dengan dengan ukir-ukiran jawa tersebut. Sekali lagi dia memutar ulang kejadian
masa lalu.
Seorang gadis kecil
dengan rambut panjang diikat dua duduk dengan kepala yang terus menunduk. Hiruk
pikuk disekitarnya seperti tidak membuatnya terusik sama sekali. Kakinya yang
terselubung sebuah kaos kaki beraksen pita terus mengayun-ayun.
Lalu seorang remaja
laki-laki menghampirinya.
Gadis kecil itu terus
menunduk meski seseorang sedang berdiri dihadapannya.
“Lil,” Remaja laki-laki
itu duduk bertumpu dilututnya agar bisa melihat wajah gadis yang duduk
didepannya.
Sementara Lila hanya
menjawab dengan sesenggukan.
“Lihat!” laki-laki
berjaket biru itu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sakunya. “Kamu simpan
ini. dan kunci ini aku yang akan menyimpannya. Aku akan memberikannya saat aku
kembali. Dan kita akan membukanya bersama.”
Lila akhirnya
mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata.
“Janji?” Ucapnya dengan
terisak.
“Janji.”
Seperti remaja pada
umumnya saat membuat janji. Mereka pun menautkan jari kelingking sebagai sebuah
kesepakatan atas janji yang sudah diikrarkan.
Perpisahan itu bukan
kehendak mereka. Tapi mereka hanya seorang anak yang harus mengikuti kemana
orang tua mereka pergi. Begitu juga dengan Ray, si bocah remaja harus mengikuti
ayahnya, seorang diplomat, untuk dipindah ditugaskan.
Sekarang, kunci itu
sudah dipegangnya. Akankah menjadi penggugur janji yang selama ini Lila jaga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar