Rabu, 31 Juli 2019

Hukum Sebab Akibat

03.57 0 Comments
“Eh anak gadis bengong aja!” Dinda meletakkan segelas kopi panas disamping Killa. “Itu schedule nggak akan selesai kalau cuma dipelototin aja.”
Killa hanya mendesah mendengar teguran Dinda.
“Minum gih kopinya. Suntuk gue lihat muka Lo lesu gitu.”
“Thanks, Din.” Killa menyeruput sedikit kopi pahit yang tidak disukainya. Kalau dalam keadaan normal dia akan mengomel habis-habisan pada Dinda. “Lo nggak balik?”
“Nanti ajah.” Dinda mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas. “Gue lagi berantem sama laki Gue. jadi males kalau pulang ketemu.”
“Gue bingung sama kalian. Nikah tapi masih berantem aja.”
“Ya manusiawi kali, Ki.”
“Kalau menikah trus akhirnya berantem, diem-dieman, marah-marahan mending nggak usah nikah.”
“Duhh, susah ya ngomong sama jomblo yang nggak berpengalaman kaya elu. Mending Lo jadian aja sana sama customer ganteng yang tempo hari nyamperin Lo itu. Biar otak Lo bener dikit.” Dinda terkekeh.
“Nggak semua pertengkaran itu negative. Perikahan itu menyeimbangkan perbedaan, jadi wajar banget kalau sesekali berantem.”
“Ya, terserah Lo deh.”



Killa kembali menatap layar computer meninggalkan Dinda yang masih menertawakannya. Menyeimbangkan perbedaan. Killa terus terngiang dengan kalimat Dinda yang membuatnya terus bertanya.
Mungkin benar penilaian Dinda tentang dirinya. Bahwa logikanya terlalu kaku sehingga sering kali kesulitan dalam membuat penilaian terhadap hubungan manusia. Mungkin juga karena Killa kurang menghargai dirinya sendiri. Lebih memilih untuk mengabaikan dari pada merawat atau menyembuhkan hati.
“Mbak Killa ada kiriman.” Irwan salah satu kru memberikan sebuah paket. 
“Dari siapa?”
“Kurang tahu. ini tadi Ojek online yang antar.”
“Makasih ya.”
“Dari siapa?”
Killa hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban.
“Donat? Meses coklat?” Dinda membuka kardus. “Adik Lo bisa perhatian juga ya?”
“Hah? Keenan? Perhatian? Mana mungkin.”
“Emang siapa lagi yang tahu kalo Lo suka donat? Coba dia mau sama gue. nggak pa-pa lah gue nikah sama brondong.”
Killa mengabaikan celoteh Dinda. Ia mengambil ponsel untuk memastikan bahwa pengirim mesterius itu benar Keenan.

Killa        : Kesambet apaan beliin gue donat?
Keenan   : Ngarep banget gue beliin

Melihat jawaban Keenan membuat Killa bertanya-tanya, siapa yang mengirim makanan kesukaannya. Terbatasnya ruang pergaulan Killa membuat sedikit orang yang benar-benar mengenalnya termasuk makanan kesukaannya.
Lama berpikir membuatnya menduga satu orang yang mungkin menjadi pelaku. Seseorang yang bisa membuat Killa berbicara lepas dengan nyaman. Seseorang yang dengan mudah membuat Killa menjadi sosok yang sangat terbuka. Tapi kemungkinan itu segera ia tepis.
“Nggak mungkin” gumamnya.
Tapi semakin menepis, kemungkinan benar itu semakin besar. mengingat sedikitnya orang yang mengenalnya. Semakin keras ia mencari semakin kenangan yang berusaha diabaikan itu muncul satu per satu.
Pertemuan pertamanya terjadi saat Satya menyapanya dari jendela drive thru saat Killa memberikan pesanan. Yang membuat Killa selalu ingat karena satu-satunya customer yang menyapanya dengan nama lengkap.
“Hey, Shakilla Ardiani.”
Setelah itu pertemuan-pertemuan yang seolah tidak sengaja pun sering terjadi. dan sebagian besar terjadi di restoran. Satya bersikeras bahwa ia adalah loyal customer sejak Killa belum menjadi manager disana. Meskipun dalam hati Killa menolak bahwa ketidaksengajaan itu sudah disengaja.
“Heh bengong lagi! Gue balik.”
“Sama siapa?”
“Laki Gue.”
“Katanya berantem?”
“Makanya nikah.” Jawab Dinda sambil berlalu.
Killa kembali menatap 12 potong donat yang seluruhnya bertopping meses coklat. Sekotak makanan kesukaan tidak mungkin membuat pendiriannya goyah. Ada harga mahal yang harus dipertaruhkan bila sampai Killa merubah keputusannya.

Lagipula sisi logic-nya masih menguasainya. Bahwa di dunia ini hukum sebab akibat itu pasti. Kalau tidak bisa memberi jangan berharap akan menerima. Kalau Killa tidak bisa memberikan hatinya bagaimana mungkin ia bisa menerima perasaan Satya?

Senin, 29 Juli 2019

Kembali Ke Bumi

21.14 0 Comments
Kembali ke bumi menjadi istilah yang Satya gunakan untuk menyebut day off nya sebagai seorang pilot. Dia memang senang memberi nama yang sedikit tidak lazim digunakan teman-teman seprofesinya. Tidak ada maksud lain, hanya sebagai salah satu cara berekspresi. Bahkan istilah itu ia gunakan untuk salah satu tagar di akun instagramnya.
Satya memang menjadi salah satu pengguna aktif social media. Tidak seperti kawan-kawannya yang berlomba menjadi vlogger untuk mengabadikan aktivitasnya sebagai pilot. Satya cukup dengan bermain foto yang dia unggah dalam akun instagram yang pengikutnya mencapai puluhan ribu pengikut dalam kurun waktu satu tahun.
Fotografi memang menjadi salah satu hal yang ia minati sejak dulu. Hasil fotonya masih jauh jika dibandingkan dengan fotografer-fotografer professional tetapi sudah cukup eyecathing untuk dilihat. Atau orang sekarang menyebutnya instagramable.
Tak heran kalau akun instagramnya diikuti puluhan ribu orang dalam kurun waktu kurang dari setahun akun itu dibuat. Meski kebanyakan pengikutnya bukan mengagumi hasil jepretan kamera melainkan obyek foto itu sendiri, Satya. Masuk kedalam deretan “pilot wanna be” yang membuatnya terkenal di dunia instagram tak mengubah status jomblo yang disandangnya bertahun-tahun lamanya.
Jadi istilah pria tampan susah dicari diantara lautan jomblo tidak selalu benar. Satya termasuk jenis pria yang sangat pemilih. Meski bertemu atau dikejar-kejar oleh bidadari sekalipun tidak akan membuatnya menjadi “budak cinta” kalau tidak ada “klik” dihatinya. Tak heran kutukan “ganteng-ganteng tapi jomblo” pun harus dijalaninya untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.

Ada dua hal pasti yang Satya lakukan saat kembali ke bumi, salah satunya lari. Salah satu hal yang susah ia lakukan diantara jadwal terbangnya yang sangat padat. Nge-gym menjadi pilihan satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk melatih otot-ototnya sekaligus memberikan suplay oksigen lebih banyak kedalam darahnya.
Sebuah gedung ola raga yang ramai di hari minggu menjadi pilihannya kali ini. tentu saja ada banyak orang yang melakukan hal yang sama dengannya. Namun karena Satya datang cukup siang sehingga banyak orang-orang yang sudah selesai berolahraga. Hanya ada beberapa saja yang kebetulan datang hampir berbarengan dengannya.
Dua putaran lapangan sepakbola sudah menaikkan suhu tubuhnya. Nafasnya mulai tersengal-sengal saat mengakhiri putaran ketiga. Oksigen perkotaan yang mulai tercemar itu tetap menyegarkan sel-sel tubuhnya. Hingga diputaran kelima, Satya memutuskan untuk beristirahat. Duduk meluruskan kaki ditepi lapangan sambil menghabiskan sebotol air mineral untuk membantunya menurunkan suhu tubuhnya.
Memandang tanpa batas adalah alasan utama Satya memilih olahraga lari dibanding melatih otot menggunakan alat didalam ruangan. Nge-gym memang lebih efektif membuat otot-ototnya tetap padat hanya saja kepuasan matanya menjelajah tidak terpenuhi.
Seperti yang saat ini dilakukannya, mengamati orang-orang yang sedang berlari. Satu per satu memilih beristirahat seperti dirinya atau langsung meninggalkan lapangan. Hingga menyisakan seseorang yang tetap berlari meski matahari mulai tinggi. Sinarnya sudah menyinari hampir seluruh bagian lapangan.
Satya sudah cukup merelaksasi otot-ototnya dan bersiap pulang. Tetapi matanya masih memintanya untuk tetap tinggal. Masih penasaran pada seorang wanita yang masih berlari meski pun suasana sejuk pagi sudah lama menghilang. ia tidak tahu sudah berapa putaran gadis itu berlari, yang jelas 7 putaran sudah dilewati yang Satya amati.
Kelelahan sudah sangat terlihat dari ayunan kakinya yang terasa berat. Satya penasaran akan sejauh mana gadis itu berhenti. Kalau dirinya sendiri tidak akan memaksa tubuhnya melebihi batas andai ia mejadi atlet sekalipun. Rasanya untuk latiha mengikuti kompetisi maraton pun orang tidak akan melakukan sejauh itu.
Sayangnya rasa penasaran Satya tidak bisa terbayar karena ponselnya sudah bordering. Sebuah panggilan masuk, berasal dari Ibunya yag memintanya untuk segera pulang. Tapi Satya sempat megambil sebuah foto dari gadis tersebut saat berlari melintas dihadapannya

Jangan Terbebani

19.23 0 Comments
Sebulan berlalu semenjak malam itu. semuanya berjalan normal, sangat normal. Keenan sudah kembali dengan kesibukannya sebagai arsitek junior, Mama juga sudah lelah menanyakan hal yang sama berulang kali sementara Killa sendiri tidak menaruh minat. Dan Killa masih membenci mendapat over night shift yang bulan ini jumlahnya lebih banyak.



“Lama-lama gue jadi vampire cuma aktif di malam hari.”
“Sorry deh, Ki. Spesialis over night kita kan baru aja dirawat. Saga masih penganten baru, masa disuruh jaga restoran. Gue sama Rani kan punya laki yang kudu dikelonin. Satu-satunya yang jadwalnya fleksible kan Elu.”
“Jadi gue jadi tameng kalian gitu?”
“Ya mau gimana lagi. Gunanya jomblo emang buat itu kan?”
Killa melempar pulpen yang di pegangnya. Yang hanya dibalas dengan tawa Dinda yang sangat keras “Sialan Lo.”
“Eh…akhir-akhir ini gue nggak lihat customer ganteng ya? justru gue lebih sering lihat Range rover keluaran terbaru parkir di area tunggu drive thru. Nggak lazim banget kan? Lagian emang dia nggak bisa lihat ya tempat parkir seluas itu.”
Senyum Killa pun memudar saat memahami subyek yang  Dinda maksud.
“Hari ini waktunya delivery kan? Gue aja yang ngecek.”
Killa beranjak. Meninggalkan Dinda yang berusaha keras memikirkan jadwal delivery yang harusnya datang besok malam.

Satya memang cukup popular diantara menager dan beberapa kru yang dekat dengan Killa. Tak harus menjadi orang pintar untuk mengetahui ada hubungan khusus yang terjadi diantara Killa dan Satya. Meski tidak pernah melihat keduanya tertangkap basah sedang berkencan tapi interaksi keduanya sangat tidak lazim antara manager dan pelanggan. Ditambah bukan karakter Killa yang dengan senang hati melayani customer langsung saat restoran tidak dalam keadaan sibuk.
Killa termasuk masuk kategori manager pemain belakang. Dia tidak akan turun langsung untuk masalah-masalah yang bisa ditangani kru. Meskipun masuk kedalam job deskripsi manager. Bahkan Killa hampir tidak pernah menyapa langsung customer untuk survey acak tingkat kepuasan pelanggan yang harus dilaporkan saat rapat bulanan.
Dengan menghilangnya Satya beberapa waktu terakhir memberikan kemajuan pada Killa. Miss Akting itu semakin kehilangan kemampuannya untuk bermain peran. Dulu Killa satu-satunya orang yang paling tidak bisa ditebak ekspresinya karena wajah dan hatinya sangat bertolak belakang.
Sementara hari-hari terakhir, Killa terlihat lebih ekspresif. Dia bisa tiba-tiba marah saat melihat ada tiga orang customer mengantri saat menu breakfast sementara di kondisi normal Killa hanya memantau seperti mandor. Ia juga lebih sering menghabiskan waktu istirahatnya dengan melamun dari pada makan. Bahkan Ia memilih duduk sendiri untuk waktu yang cukup lama di akhir shift sebelum akhirnya pulang.
Satu jam yang lalu shiftnya berakhir tapi Killa malah duduk dengan secangkir kopi yang dingin dan dua potong Hashbrown yang belum tersentuh. Pikirannya melayang mengikuti uap kopi yang terbang menjauh.
“Kalau nggak dimakan kenapa dipesan? Masa manager restoran hobi menyia-nyiakan makanan.”
Killa mengangkat kepalanya. Memandang malas pada seseorang yang dengan lancang duduk dihadapannya.
“Apa kabar Killa?”
“Satya? Nga…”
“Makan makanan yang bentar lagi Lo buang.”
Killa langsung berdiri hendak meninggalakan Satya. Karena saat ini Ia sedang tidak dalam keadaan siap berinteraksi dengan orang. Tapi urung dilakukan karena Satya lebih dulu menahan tangannya.
“Gue cuma perlu 5 menit. Setelah itu terserah.”
Killa pun menyerah. Dengan seragam manager yang masih ia kenakan tidak mungkin membuat keributan. Kredibilitas restoran bahkan dirinya akan dipertaruhkan bila ia berbuat hal yang tidak pantas.
“Aku tahu kamu menghindariku.” Satya kembali menggunakan aku kamu saat berbicara. “Sungguh kamu nggak perlu melakukan itu. Yang harus menghindar seharusnya aku. Karena bagaimana pun juga aku adalah orang yang ditolak.”
Killa berpaling. Enggan membicarakan sesuatu yang menurutnya tidak penting.

“Okay, aku nggak bahasa soal itu. Tapi kamu harus tahu, aku yang menyukaimu dan itu menjadi urusanku. Kamu nggak perlu menghindariku hanya karena aku menyukaimu. Jangan merasa terbebani. Okay?”

CINTA DI GERBONG KRL (road to anniversary)

01.35 0 Comments
Ya ampun judulnya? Cheesy abis. Tapi beneran lho kami pernah mengukir kisah se-chessy itu. klo di ingat-ingat tuh ketawa malu jatuhnya. Pengen disimpen aja tapi nggak kuat lama-lama (hahaha)
Jadi ini masih di tahap PDKT (ya ampun merinding lho nulisnya). Aslinya kita PDKT nya nggak lama. Karena ndis tuh gampang banget di luluhin hatinya. Antara ndis yang gampang luluh apa ndul yang yang pinter gombal (hahaha)
Waktu itu kami harus pergi praktikum ke ragunan (lupa mata kuliah apa yang jelas dari lab satli di semester 3). Untuk menghemat ongkos perjalanan kesana ditempuh menggunakan KRL ekonomi. Waktu itu harganya 2500 kalau nggak salah. Ini bukan KRL ekonomi yang AC itu ya…tapi beneran Ekonomi se ekonominya. Gerbong tanpa pintu, penumpang diatas gerbong, Pedagang asongan ada sepanjang perjalanan. Kumuh kotor dan ya begitulah, dan kita masih ngalamin itu (nggak mentioned usia yee hahha). Untung sekarang udah nggak ada ya…
Ba’da subuh berangkat dari kosan. Kumpul Di halaman BNI samping kampus buat naik angkot-bareng-sekelas ke stasiun bogor.
Ndul, rupanya pertama kali ndis naik kereta ekonomi itu bukan pas ndul nganterin ndis pulang. tapi ke ragunan ini. untung nggak nangis ya? (hahaha)
Ndis lupa bagian perjalanan di angkot. Yang ndis ingat cuma kita naik di gerbong terakhir. Gerbong yang paling sepi dari kawan-kawan. Tapi yang paling banyak di huni kawan-kawan kita (geng atas katanya, ooppss).
Nggak tahu kenapa waktu itu kita kok duduk di bangku kosong cuma berdua pula. Sementara kawan-kawan yang lumayan baik itu  (hahaha baik banget kok) milih duduk di bangku lain sambil bisik-bisik. Pake ketawa-ketawa pula. Tapi ya, namanya juga lagi jatuh cinta gerbong KRL pun serasa milik berdua.
Sebenarnya kejadian ini nggak banyak yang tahu (selain kawan yang hobi ngetawain orang itu hehehe) karena ya itu tadi posisi gerbong paling belakang. Enak kan sepi, paling mentok anak jalanan yang riwa-riwi. Mana udara pagi yang lumayan kan dinginnya. Kebayanglah ya segimana dinginnya. Bogor untuk kami orang perantauan masih dingin, ditambah dengan kecepatan kereta yang kaya gitu. tapi kami cuma duduk dan ngobrol aja. Pegangan tangan aja nggak. Asli cuma duduk dan ngobrol. Entah apa yang di obrolin.
Sampe di stasiun pasar minggu kita naik kopaja (kalau nggak salah) dan akhirnya pisah pas di ragunan. Iya dong pisah. Karena seumur-umur kuliah, seangkatan, sekelas kami belum pernah satu kelompok praktikum. Kecuali kelompok PKL karena kita sendiri yang milih.
Hampir seharian kami di ragunan. Pas pulang kita masih naik KRL masih yang kelas ekonomi juga. Bedanya pas berangkat sepi sementara pas pulang bareng dengan jam orang pulang kerja. Jadilah semua rangkaian gerbong itu penuh pas nyampe di stasiun pasar minggu.
Kesepakatn awal, apapun yang terjadi satu orang naik maka satu kelas pun naik (sebutlah kebersamaan). Jadi di satu-satunya peron itu kami sekelas nyebar, dari ujung ke ujung. Strategi paling apik dan epic untuk menyiasati kondisi KRL penuh.  Paling nggak kami semua keangkut dikereta itu. mau berdiri, mau desekan, mau gelantungan. Terserah.
Udah kebayang kan apa yang terjadi? Yup…ndis naik duluan dan ndul dibelakang ndis. Ndusel-ndusel terus karena dibelakang ndul masih ada kawan kami. Kereta jalan, Alhamdulillah keangkut semua. Udah nggak inget lagi (hahaha) pokoknya selama di KRL itu ndul di belakang ndis aja. Jagain dong (hahaha)
Selalu ada yang pertama dalam hidup seseorang. Dan ndul banyak hadir di hal pertama dalam hidup ndis. Karena percaya atau nggak, tahun-tahun setelah KTP ndis jadi, disadari atau nggak, hari-hari ndis selalu ada ndul.
Bahkan mungkin saat tahun pertama kami kuliah kami pernah bertemu. Tentu saja pernah. Kami pernah di dalam satu ruangan meski nggak kenal. Waktu MPKMB (ospek kampus) saat kita sedang di gedung GWW untuk mengikuti acara. Atau dihari terakhir ospek, dihalaman belakang gymnasium.
Mungkin juga kami pernah berpapasan di jalan saat pulang kuliah menuju asrama. Karena dari Bara menuju asrama putra pasti melewati asrama putri. Atau mungkin kita pernah satu bis saat ndis mau kuliah di gedung FPIK dan ndul mau pulang ke asrama.

Semoga skenario Allah yang mempertemukan kita di kampus menghadirkan rumah tangga kita sakinah mawadah warohmah sampai jannah. Sebaik-baiknya rencana adalah rencana Allah. 

Rebound : Jangan menyukaiku

01.26 0 Comments



"Kak, ada yang manggil tuh.”
Shakilla menoleh, mengikuti arah pandang Keenan.
Seorang laki-laki setengah berlari kearahnya yang baru saja turun dari mobil.
“Jangan lama-lama. Udah malam, nggak enak dilihat tetangga. Gue masuk dulu.”
“Iye, bawel.”
Keenan, memang sangat protektif terhadap perempuan terutama Killa. Meskipun dia lebih muda tetapi karena dia menjadi satu-satunya laki-laki dalam keluarga maka wajar saja sikap tersebut terhadap kakaknya sendiri sekalipun.
Killa berdiri bersandar pada mobil, dengan tas kerja yang sengaja ia dekap untuk mengurangi udara malam yang cukup dingin. Tepat pukul 2 dini hari Killa sampai dirumah jika mendapat jadwal shift kedua. Makanya Keenan selalu meluangkan waktu untuk mengantar sekaligus menjemputnya saat pulang kerja.
Matanya menatap langkah dari laki-laki yang sengaja menunggunya. Entah sepenting apa urusanya sampai harus menemuinya dipenghujung malam seperti ini.
Langkah kaki yang lebar itu semakin memangkas jarak. Sangat dekat sampai Killa terlambat menyadari bahwa jarak itu tidak ada lagi. Karena laki-laki itu menghapus setiap jengkal pemisah dengan merapatkan tubuh, memeluknya.
“Aku menyukaimu.” Suara nafas tersenggal-senggal itu tertangkap jelas ditelinga Killa.
Killa mematung. Simpul diotaknya tiba-tiba terputus membuatnya kehilangan kemampuan berpikir. Detak jantung yang berdegup kencang ini pun sulit sekali ia kenali pemiliknya. Miliknyakah atau laki-laki yang begitu lancang memeluknya. Yang ia tahu hanya ada jantung yang berdetak bertalu-talu.
“Killa? Breath!” perintah Satya.
Menarik sebanyak mungkin oksigen agar jaringan sarafnya segera berfungsi normal. Killa juga melemaskan jari-jarinya yang masih mendekap tas kerjanya.
“Aku mengejutkanmu ya?”
Killa hanya bisa mengangguk.
Tentu saja mengejutkan. Tengah malam bukan jenis waktu yang biasa digunakan orang kebanyakan untuk berpikir. Normalnya orang menggunakannya untuk beristirahat.
“Maaf,” Satya terlihat sangat bersemangat. “Aku hanya merasa harus segera memberitahumu tentang perasaanku. Aku memang sedang dikejar waktu tapi tidak dengan perasaanku. Aku sudah memikirkannya berbulan-bulan. Memastikan bahwa benar-benar kamu yang membuat jantungku terus berdebar. Bahwa benar kamu yang selalu membayangi hidupku. Aku nggak tahu malam ini tepat atau tidak yang jelas aku,
“Jangan.”
“Ya?”
“Jangan menyukaiku, Satya.”
Seratus persen kondisi otak Killa sudah aktif. Sehingga ia tidak memerlukan waktu lagi untuk mengolah informasi yang baru saja ia dengar dan lihat dengan kedua inderanya.
“Killa?”
“Aku minta maaf sudah membuatmu salah mengartikan hubungan kita. Tapi jangan menyukaiku.” Killa menghela nafas. “Kedekatan kita terjalin tidak lebih hanya sebatas manager dan customer. Kamu salah satu loyal customer di restoran kami dan sudah sewajarnya kalau aku harus bersikap baik. Tidak ada maksud lain dari sikapku selama ini.”
“Jadi begitu. Aku hanya salah satu customermu.” Satya mundur beberapa langkah. Membuat jarak yang pasti dengan Shakilla. Meski hatinya meneriakkan protes keras.
“Baik. Aku mengerti.” Satya mengangkat kepalanya tegak.
Penolakkan ini, kalau memang demikian sebutannya, akan ia terima dengan besar hati. Meski kecewa harus ia terima tapi tidak akan merubah perasaannya pada Shakilla.
“Kalau gitu aku pamit, bukan sebagai pelanggan tapi sebagai teman. selamat malam.”
Satya melangkah mundur, “Oh iya, besok aku terbang. Seperti biasa aku akan mampir untuk sarapan.”
Hanya diam yang bisa Killa lakukan. Inilah sikap terbaik yang bisa ia tunjukkan. Meski kedua kakinya terasa sangat lemas tidak mampu menopang berat tubuhnya. Tapi Killa wanita yang kuat, bukan? hatinya selalu meneriakkan hal yang sama tiap kali mengalami kesulitan. Dan selalu memberikan hasil terbaik. Saat ini pun demikian, bukan?

***

Menjadi orang terakhir yang masuk rumah sekaligus memastikan rumah dalam keadaan aman untuk ditinggal tidur, mengunci pintu salah satunya. Biasanya Killa akan langsung masuk kedalam kamar tapi tubuhnya meminta untuk dihidrasi setelah kejadian barusan. Meskipun udara mala mini terasa dingin tapi Killa masih mengeluarkan keringat cukup banyak.
Rupanya segelas air masih membuatnya merasa kehausan. Gelas kedua pun kembali terisi dengan air putih dingin. Salah satu hal yang sangat jarang terjadi.
“Apalagi yang kamu cari?”
“Ehh Mama! Bikin kaget aja. Killa cuma cari air putih kok.”
“Kenapa kamu selalu menolak yang sudah ada didepan mata?”
“Satya bukan jodoh Killa, Ma.”
“Bukan cuma Satya, semua laki-laki kamu sebut seperti itu.”
“Killa capek, Ma. Kita ngobrol lain kali.”
“Kapan lain kali itu?”
Killa juga nggak tahu, Ma.
“Waktu tidak bisa membuat luka kita sembuh kalau kita sendiri tidak pernah berusaha menyembuhkan.”
Meninggalkan orang tua yang sedang berbicara itu tidak sopan. Tapi Killa harus melakukannya lagi. Untuk kebaikan hatinya. Karena tanpa mendengar dari Mama pun luka akan menjadi luka jika obat tidak menyentuhnya. Pertanyaannya adalah benarkah obat penyembuh itu ada?
Tak bisa dipungkiri bahwa Satya laki-laki sempurna dari sudut pandang mana pun. Fisik dan financial tak bisa diragukan lagi. Seorang pilot pasti memilikinya. Hati, tanpa meminta pun Satya sudah memberikannya untuk Killa.
Hanya saja, pertanyaan yang sama saat ditujukan untuk Killa akan berbeda.
Dia sangat tidak sempurna untuk Satya. Kecantikannya jauh dibelakang bila disandingkan dengan wanita yang mengelilingi Satya. Lihat saja para pramugari itu tinggi langsing, pintar dan pasti cantik.
Namun ada yang pasti yang membuat Killa mundur perlahan dari panggung persaingan, yaitu hati miliknya. Yang tidak pernah utuh untuk diberikan. Hati yang masih menyimpan luka. yang menyerahkan pada waktu untuk kesembuhan.
Siapa yang bisa menolak laki-laki sesempurna Satya? Bahkan Killa pun tak mampu. Ia hanya sadar diri dan memilih menjadi seseorang yang realistis. Terluka saat berpijak lebih baik dibanding bahagia diombang ambing angin.

Killa tidak siap mengulang luka. Cinta yang penuh anugerah itu akan memberikan luka yang sangat sulit disembuhkan. Killa tidak siap mencintai maupun dicintai. Karena luka sampai kapanpun akan menjadi luka meski obat penyembuh itu benar-benar ada.

Minggu, 07 Juli 2019

HITAM DAN HIJAU PERTAMAKU

17.56 0 Comments


Buku pertama yang kubeli disaat aku belum suka buku. Suka baca iya, tapi belum seperti sekarang yang tidur sama buku rasanya bahagia. Waktu itu beli buku karena tidak sengaja. Saat pulang kuliah melewati stand seminar yang pematerinya adalah penulis buku kondang. Karena penasaran mampirlah.
Bisa ketemu dan dapat tanda tangan langsung dari penulis tentu saja jadi iming-iming yang luar biasa untukku, anak kampong (sampai sekarang juga sih hehehe). Ajian marketing itu sangat dahsyat sampe akhirnya dua buku yang harganya bisa untuk makan seminggu pun keluar. Dengan semangat dalam hati bahwa, “Gue bisa ketemu penulis terkenal”. Padahal tahu siapa penulisnya aja belum. Kan bukunya baru terbeli.
Setelah datang dan ikut seminarnya pun masih belum suka buku. Cuma tiap main ke Mall (Masyaallah berasa jadi anak emol) selalu mampir ke gerai buku dan selalu meramaikan setiap bazaar buku dimanapun itu dan nggak beli.
Setelah lulus baca buku pendidikan kehutanan dan lingkungan juga tentang managemen restoran yang berat bukunya bikin encok mulai main ke persewaan buku dan komik. Serial Harry Potter dan The Twilight Saga langsung khatam dalam hitungan hari. Dan berulang dibulan berikutnya.
Kebiasaan ini menimbulkan sesal dan dendam yang kubawa sampai sekarang.
Apa tuh?
Suatu ketika, untuk kesekian kalinya sewa buku, pemilik persewaan memberikan penawaran fantastis. Yaitu satu set seri Harry Potter (Prelove) dengan cover asli (bukan cover versi indo yang sekarang) seharga 500.000. Uang sebanyak itu cukup buat beli susu dan popok anak (BTW aku pelaku nikah muda lhoo) tentu saja penawaran itu kutolak mentah-mentah. Sementara harga buku barunya saat ini sudah naik sampai 4x lipat. Lihat, bukan seharga susu popok lagi tapi seharga biaya hidup sekeluarga selama sebulan.
Ingat itu bikin sakit hati banget. Coba dulu uang gaji pas kerja nggak dipake main-main aja (huhuhu)
Suka baca dan koleksi buku di awali dari anak-anak. Jadi dulu sering beliin buku-buku satuan yang gampang banget sobek. Akhirnya ketemu teman yang jual buku-buku premium. Mahal sih tetapi aman dan awet untuk anak-anak batita. Dari sana setiap pergi selalu beli satu buku. Tiap ke toko buku yang di datangi rak buku anak.
Pas anak udah balita mulai bergeser ke rak buku dewasa. Rak buku fiksi.beli satu buku. Karena kondisi dan kesempatan yang memungkinkan pergi ke toko buku itu sangat kecil sekali akhirnya ya diam aja, baca yang ada. Khatam puluhan kali buku anak-anak.
Oh iya, membacakan buku jadi aktivitas rutin dan salah satu caraku mengenalkan buku pada anak-anak. Makanya jangan heran kalau mereka terbiasa sekali dengan buku.
Hingga masa ponsel pintar merajalela dan memperkenalkanku dengan aplikasi menulis. Menulis menjadi jalan utama yang membuat rak buku dirumah semakin penuh. Saat itu akan mengikuti dua ajang lomba menulis (sampai sekarang naskahnya nggak jadi diikutin, kebanyakan disunting, malah masuk meja penerbit) sehingga getol banget mengikuti grup-grup kepenulisan. Hingga melekatkan kalimat bahwa senjata utama penulis adalah membaca buku.

Dari sanalah buku-bukuku berasal. Mulai dari beli online, ikut PO buku dari penulisnya, ikutan give away, sampai merayu-rayu suami buat dikasih tambahan uang jajan buat beli buku. Tapi percayalah, dari sekian banyak  usaha saya mendapatkan buku-buku tersebut kalau dihitung masih kalah banyak dengan koleksi buku anak-anak. Bahkan kalau dirupiahkan, buku anak-anak udah menyentuh angka puluhan juta.
Tapi dari sekian banyak rupia yang sudah saya keluarkan menghasilkan ilmu yang harganya jutaan kali lipat banyaknya. Investasi buku itu investasi jangka panjang bahkan bisa menjadi amal jariyah yaitu ilmu yang diamalkan.

Catatan:
Hitam itu warna sampul buku 5 cm karya Donny Dirgantara (favorite)
Hijau itu buku Ketika Cinta Bertasbih 2 (Kang Abik)

Negeri van oranje, kado ultah dari suami (buku kesayangan) semua buku yang temanya belanda pasti suka.

Resensi Buku THREE CUP OF TEA

17.03 7 Comments


Holaa… kembali  lagi dengan resensi buku yang udah lama banget nggak di posting. Kali ini buku yang kudapat dari memenangkan giveaway yang diadakan oleh Klub Suka Buku. Sebuah pengalaman seseorang saat menjalankan sebuah hobi yang membawanya pada sebuah aktivitas kemengan.
Majalah New York Times juga menganunegerahkan buku ini sebagai salah satu buku terlaris. Kisah inspiratif ini juga mendapat banyak review dari berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang.
Nah, penasaran bukan bagaimana isinya? Yuk simak ulasan dibawah ini.



Judul                           : Three Cup Of Tea
Penulis                        : Greg Morteson dan David Oliver Relin
Tahun Terbit                : 2008
Penerbit                       : Penerbit Hikmah (PT. Mizan Publika)
Jumlah Halaman          : 630 halaman

Pada tanggal 2 September 1993, Greg Morteson merasa berjalan menjauh dari tim pendakiannya. Hingga saat dia tak juga menemui salah satu dari tim, Ia akhirnya sadar sudah tersesat dan berjalan sendirian. Dalam kondisi tersebut Morteson merasa kehilangan kewaspadaan yang dalam kondisi biasa sangat memerhatikan tiap detail informasi yang tersedia.
Dalam perjalanannya menaklukkan salah satu puncak Himalaya yang paling bengis “K2”, Moterson harus menerima kegagalannya mencapai puncak. Meski sesungguhnya puncak paling bengis tersebut hanya tersisa 600 meter di depannya.
Setelah terlunta-lunta tanpa arah selama beberapa hari akhirnya Moterson bertemu dengan seseorang yang nampak kerdil akibat ransel milik Morteson yang penuh sesak. Mouzafer seorang kuli angkut yang disewanya.
Bertemu dan ditemukan oleh Mouzefar sekaligus menjadi awal perjalanan baru bagi Monterson. Membawanya untuk bertemujuga berkenalan dengan Pak haji, sesepuh dari Balti. Suku Balti merupakan penghuni lembah-lembah yang berada di ketinggian di wilayah utara Pakistan.
Pertemuan dengan Pak haji mengantarkan Moterson untuk membantu pada suku Baiti. Dengan keahliannya sebagai seorang perawat, Mortenson banyak membantu orang-orang sehingga membuatnya dipanggil “Dokter Greg” bahkan oleh orang-orang di luar wilayah Korphe.
Banyaknya kejadian yang dialami Mortenson mengusik hati nuraninya. Dia pun berpikir harus ada yang bisa ia lakukan untuk suku Baiti sebelum bahkan setelah ia kembali ke Amerika. Pendidikan menjadi hal yang paling mungkin Mortenson lakukan saat itu.
Ada banyak hal yang membuat hati saya terenyuh setelah membaca buku ini. bahkan untuk pertama kali nya buku tentang perjalanan seseorang membuat saya menitikan air mata. bahkan pernyataan kecil yang Mortenson sampaikan pada pak haji
“Aku akan membangun sebuah sekolah. Aku berjanji.”
Deskripsi yang detail tentang penggambaran bentang alam jiwa. Terkadang saya merasa seolah-olah menyentuh dinding gletser yang kokoh. Pilihan kata-kata yang sederhana sehingga tak perlu susah untuk mengerti semakin membuat emosi seperti roller coaster.
Kata mutiara, Quote tentu saja bertebaran dari halaman pertama sampai halaman terakhir buku. Tak hanya dari penulis tapi di setiap awal bab selalu dissisipkan kutipan-kutipan dari pendaki-pendaki di dunia bahkan dari penemuan selama Mortenson tinggal di Korphe.
Karena buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata, didalamnya juga disertakan beberapa foto tentang kehidupan suku Baiti, aktivitas Mortenson sendiri juga puncak K2 yang diambil oleh Mortenson.

Untuk mereka yang suka dengan perjalanan dengan alam, untuk mereka yang peduli dengan sesame juga untuk mereka yang hatinya belum tersentuh dengan empati dan simpati, membaca buku ini sangat di rekomendasikan

Follow Us @soratemplates