Selasa, 25 Desember 2018

Fantasy

15.46 29 Comments
Love doesn’t conquer all, Faith does

Fantasi, imajinasi, khayalan dan ada banyak lagi kata serupa lainnya.

Tampilan

Tahun 2014 sebuah novel beredar di sebuah toko buku yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka. Dengan mengambil judul Fantasy, buku ini menceritakan sebuah mimpi dari seorang anak SMA yang baru saja menemukan kesenangan baru dalam hidupnya.

Terdiri dari 307 halaman, buku ini menggambarkan masa remaja yang beragam. Dengan memilih latar belakang sekolah menengah di Kota Surabaya. Sayangnya tidak banyak yang bisa kita dapat dari setting tempat ini. Surabaya hanya menjadi setting tempat tempelan. Seandainnya tidak di sebut berada di Surabaya, pembaca bisa leluasa menggambarkan sebuah kota. Selain juga ada jepang dan perancis yang justru penggambarannya sangat detail. Sehingga pembaca akan merasa sedang berdiri di sebuah taman yang ada di Shibuya atau di sebuah sekolah music terkenal di Paris

Memilih warna biru gelap yang mendominasi sampul  buku, dengan gambar grand piano dibagian bawah membuat orang awam langsung menduga bahwa music akan menjadi pembicaraan besar dalam buku ini. dengan Tulisan jenis huruf untuk menuliskan judul membuatnya terlihat semakin menarik dan elegan.

Dengan menampilkan salah satu instrument maka pembaca akan dibawa berkelana, menyelam kedalam lautan music klasik yang sangat dalam. Seolah-olah telinga sedang menangkap denting piano atau atau mata yang disuguhkan atraksi menarik dari seorang konducor memimpin sebuah orchestra.

Sudut Pandang


Novellina A menggunakan sudut pandang orang pertama dari dua tokoh utama perempuan. Davina dan Armitha adalah dua orang yang mula bersahabat sejak hari pertama masuk sekolah. Merasa memiliki banyak kesamaan, menjadi remaja yang tidak popular, mereka menjadi salah satu alasan kecocoka tersebut.


Sayangnya baik sudut pandang maupun alur campuran yang dipilih disajikan sangat jelas. Sehingga pembaca tidak perlu berpikir keras untuk menyesuaikan pikiran saat melai melalui transisi waktu.
Cinta segita antara Davina, Armitha dan Awang, tokoh utama laki-laki, menjadi sisi romantic yang diangkat. Tidak memilih perebutan dan pertengakaran khas anak remaja perempuan menjadikan kisah cinta ini sangat epic untuk dinikmati.

Dialog

Dialog yang disajikan cukup panjang dalam setiap bagian. Bahkan tokoh Awang saat menceritakan masa lalunya pada Davina sampai menghabiskan tiga paragraph. Tapi dari panjangnya percakapan-percakapan tadi banyak kalimat-kalimat cantik yang bisa diambil pelajarannya.

Cinta tidak selamanya menjadi beban untuk orang yang kita sadari

Tak jarang sebagian orang mengagung-agungkan cinta yang menurut mereka adalah anugerah yang datang langsung dari Tuhan justru tidak mampu menyadari ada duka yang dirasakan orang lain akibat cinta itu sendiri.

Selain dialog yang panjang dan sarat makna itu menyimpan sebuah ketakjuban. Bagaimana mungkin seorang remaja tujuh belas tahun memiliki pemikiran sejauh itu. hal ini banyak muncul pada sisi Davina. Meski memang digambarkan bahwa Davina ini memilik pemikian yang jauh kedepan. Hanya saja sentuhan pola pikir remaja seharusnya kurang dimunculkan. Sehingga saat Davina beranjak dewasa tidak Nampak perubahan pemikiran seiring bertambahnya usia seseorang.

Karakter

Davina juga di gambarkan sebagai sosok perempuan yang gagal move on. Melepaskan seseorang yang sangat disayangi tapi selama bertahun-tahun memendam luka atas keputusannya. Namun dibalik itu semua sosok Davina juga seorang yang struggle karena mampu bertahan, menjalani hidup dengan baik juga mewujudkan cita-cita meski di dalam hatinya meraung-raung kesakitan.

Cinta dan persahabatan, janji dan mimpi akan ditemukan di dalam buku ini. Tentang sebuah hati yang tetap setia tanpa menodai persahabat yang lebih dahulu berdiri.

Minggu, 23 Desember 2018

Desember

15.22 2 Comments
Setiap orang tercipta dengan kedua orang. Ada yang keduanya hadir saat tangis pertama itu terdengar, memeluk serta membisikan qalam ilahi sebagai bentuk penyambutan di dunia yang baru. Kadang hanya ada satu yang hadir karena suatu kondisi tertentu atau takdir yang membuat salah satu nya pulang lebih awal.
Desember di pilih sebagai satu moment untuk mengasihi seorang perempuan yang dengan segenap jiwa mengantarkan sebuah kehidupan lain memasuki dunia baru. Entah dengan suka cita atau duka. Apapun rasa yang menyertai perempuan itu tetaplah seorang ibu.
Aku mengenal sesosok anak yang sangat tenang pembawaannya. Dengan selalu berjalan dengan santai seolah tak satu hal pun di dunia ini yang mampu membuatnya tergesa. Kadang saat kepanikan melanda bahkan wajah yang teduh itu mulai terlihat panic, dia masih bisa duduk dengan sebatang rokok terselip di antara bibirnya.
Suatu ketika dia bertanya, ”Tahu kah kamu mengapa Tuhan menciptakan sela diantara jari-jarimu?”
Aku hanya bisa mengerutkan kening mendengar pernyataan itu. Dua puluh tahun kehidupan yang kujalani tak pernah sedikit pun memikirkan hal kecil namun bermakna besar yang terjadi dalam tubuh manusia. Kecuali yang memang sudah dipelajari oleh ilmuan terdahulu.
Hanya sebuah ketidaktahuan yang kuucapkan sebagai jawaban.
“Tuhan menciptakan sela-sela jarimu agar jari-jariku bisa terselip diantaranya dan menggenggam tanganmu erat. Agar kamu bisa berjalan mendampingiku menjalani takdir yang Tuhan berikan pada kita.”
Sebuah penjelasan singkat yang sempat membuatku tertawa meski pada akhirnya membuat kedua pipiku merona. Tersipu malu dari buaian kata gombal dari seorang laki-laki dengan ketenangan diatas kewajaran.
Pada akhirnya rentetan kata itu benar terjadi.
Memasuki usia tiga puluh tahun tangan itu masih menggenggam erat. Dan aku masih berjalan melangkah di sisinya dengan sakinah yang melingkari jari-jari kami, mawaddah memayungi setiap langkah serta Warohmah tujuan perjalanan kami.
Dibalik torehan takdir indah itu, berdiri sesosok yang tidak pernah kutemui. Tak sekalipun nasehat ku dengar darinya, juga tak pernah kulihat mata menyepit karena tertawa saat menceritakan masa kecil dari seorang laki-laki yang menjadi imamku.
Seorang ibu yang tak pernah sempat mendengarku menyebut namanya. Karena beliau terlebih dahulu pulang, ibu mertuaku.

Aku memang tak memiliki kesempatan untuk menggenggam lalu mencium tanganmu. Serta menjelaskan siapa sesungguhnya diriku yang telah berani membuat hati putra kesayangannya hanya menatapku.
Aku juga tak memiliki kesempatan untuk berbincang panjang tentang makanan kesukaan, minuman apa yang biasa engkau sajikan setiap pagi sebagai bekal energy jagoan kecil yang beranjak dewasa. Atau menertawakan bagaimana menggemaskannya masa kecil laki-laki dewasa yang tak lagi bisa engkau tatap setiap saat.
Aku bahkan tak punya kesempatan untuk mengadu tentang kebiasaan kentut anak kesayanganmu yang sempat membuatku terganggu atau betapa tidak peka nya dia saat aku merajuk.
Tapi ibu,
Meski aku tak tahu cara terbaik melayani putramu seperti yang engkau lakukan. Aku hanya bisa menjajikan satu hal padamu bahwa sepanjang sisa umurku akan kuabdikan sepenuh hati kepadanya.
Dan ibu,
Meski engkau tak bisa mendengarku, malaikat yang menjagamu akan membisikannya.
Ibu, terimakasih sudah melahirkan laki-laki hebat seperti suamiku. Dengan tertatih selalu berusaha menjadi laki-laki terbaik dalam hidupku juga hidup cucumu. Ya, cucu pertamamu berasal dari rahimku dan saat ini mereka tumbuh menjadi anak yang luar biasa.

Aku tak akan mampu dan tak akan pernah bisa menggantikan tempatmu dihatinya. Tapi aku akan berusaha menjadi istri sholeha  untuk suamiku dan bersaksi pada Tuhan bahwa anak lelakimu adalah suami terbaik yang membimbing kami menuju surga yang kekal. 

Remind Me_Empat

01.06 0 Comments
Karpet merah. Dengan banyak bucket bunga berwarna putih menjadi dekorasi utama resepsi pernikahan Lila yang diadakan di Ballroom sebuah hotel. Dihadiri oleh hampir seribu undangan yang sebagaian besar adalah rekan kerja Ray dan Ayahnya selama bekerja di kedutaan. Mereka semua datang memberikan ucapan selamat.

 “Mas, aku capek banget. Bisa nggak kita istirahat sebentar?” pinta Lila sambil berbisik. Sudah hampir dua jam Lila berdiri menyalami tamu undangan. Kepalanya mulai terasa pusing.
“Kamu nggak lihat antrian undangan masih banyak” jawab Ray datar.
Lila pun cemberut dan kecewa meski tidak bisa menghilangkan senyum dari wajahnya.  antrian undangan yang akan memberikan ucapan selamat juga berfoto masih mengular cukup panjang.
Berdiri terlalu lama bukan menjadi penyebab utama Lila merasakan pening dikepalanya. Beberapa hari menjelang pernikahan menjadi hari yang sangat sibuk. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk bertemu beberapa vendor yang menyiapkan acara hari ini agar berjalan lancar. Meski sebagian pekerjaannya sudah diambil alih sementara oleh mbak Ika tetapi tidak cukup membuatnya lebih santai.
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Rasa lapar yang sempat melandanya beberapa waktu lalu menghilang seketika. Rendahnya suhu pendingin ruangan membuat badannya sedikit menggigil. Ditambah kebaya yang dikenakannya yang terbuka dibagian dada dan punggung atas tidak membuatnya cukup merasa hangat.
Seteguk air putih yang disiapkan panitia cukup membuat dadanya tidak terlalu berdebar. Memberinya sedikit tenaga untuk tersenyum dan berdiri tegak saat berfoto bersama tamu undangan.
Rupanya menjadi seorang ratu yang tak sampai satu hari itu memberikan kesan buruk bagi Lila. Seandainya hari bisa di putar ulang mungkin Lila akan sedikit merubah konsep resepsi. Menghilangkan dekorasi pelaminan dan antrian memberi ucapan selamat. Digantikan dengan pasangan raja dan ratu sehari berjalan berkeliling menghampiri satu per satu tamu undangan. Tapi konsep baru pun tidak mengurangi durasi berlangsungnya acara. Akhirnya Lila pun pasrah dengan sisa antrian terakhir yang berkisar 20 orang saja.
“Aku nyerah.”
Lila langsung mendaratkan bokongnya setelah jepretan blits kamera berakhir. Dengan sebelah tangannya memegang pada tangan Ray, secara tidak sengaja, Lila menyentuh pelipisnya yang berkeringat.
“Kamu nggak capek?” Lila bertanya heran saat sadar Ray menunduk memandangnya.
Dia pun memalingkan wajah saat tidak mendapat tanggapan. Dan baru sadar bahwa Ray tidak hanya melihatnya. Melainkan menatap jemarinya yang memagang pergelangan tangan Ray.
“Sorry.” Lila buru-buru melepaskan.
Seorang panitia membawa baki berisi nasi dengan tumis daging cincang dengan potongan jamur. Dua jam yang lalu Lila pasti langsung melahapnya. Sayangnya saat ini yang ia butuhkan bukan makanan tapi sebuah kasur empuk dan selimut yang hangat.

***

Lampu utama dikamar hotel ini belum menyala. Hanya sebuah lampu kuning dengan cahayanya yang membuat tidur orang nyenyak yang menyala. Dilantai kamar bergeletakan kebaya pengantin berikut kain batik panjang dan untaian bunga melatih putih. Juga jas dengan warna senada dengan kain batik dan sebuah kemeja putih.
Sepertinya perang cinta penuh hasrat pasangan yang baru saja menikah berlangsung semalam. Sehingga membuat dua orang manusia itu terkapar kelelahan dengan selimut yang membungkus rapat keduanya.
Rupanya tidak demikian yang terjadi. Lelah teramat sangat setelah seharian mengikuti rangkaian acara pernikahan membuat keduanya ingin segera menghempaskan diri diatas kasur. Akibatnya pakaian yang mereka kenakan seharian itu tergeletak begitu saja usia membersihkan diri.
Detik jam masih menunjukkan waktu dini hari saat telepon selular milik Lila bergetar. Perlu beberapa kali berbunyi untuk membuat tidur Ray terganggu. Sementara sang pemilik tetap tenang tanpa terusik.
Ray hanya melongok untuk memastikan bunyi yang ditangkap ditelinga. Lalu kembali merebahkan badannya saat bunyi tersebut berhenti.
Satu menit kemudian ponsel yang sama berbunyi. Ray kembali bangun untuk melihat seseorang yang menghubungi diwaktu yang tidak wajar ini. Merasa ada kemungkinan sesuatu yang penting, Ray pun membangunkan Lila.
“Lil, handphone kamu bunyi”
Ray merasakan panas saat memegang bahu Lila untuk membangunkannya. Mungkinkah Lila sakit? tapi bisa saja hanya karena pengaruh pendingin ruangan.
Lila pun bangun dan langsung  untuk mengambil ponselnya diatas meja yang berada di seberang tempat tidur. Meski sedikit sempoyongan Lila menjawab panggilan tersebut dengan berdiri.
“Iya mbak?”.
“Lila maaf ganggu waktu istirahat kamu.” ucap mbak ika dari ponsel.
“Iya mbak nggak pa-pa. Ada apa?”
“Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Kakek di UGD sekarang.”
Belum sempat menjawab, telepon genggam yang dipegang Lila meluncur lepas dari pegangan tangannya. Sementara tubuh Lila seperti kehilangan penyangga langsung luruh.
Ray yang menyimak dari atas tempat tidur langsung melompat melihat badan Lila terkulai lemas. Terlambat beberapa detik saja kepala Lila bisa menghantam kaki meja dihadapannya. Beruntung Ray dengan sigap menangkap tubuh Lila yang kehilangan kesdaran.
Layar ponsel Lila masih berkedip menunjukkan panggilan tersebut masih terhubung. Ray pun  mengambilnya.
“Halo?”
“Ray? Lila kenapa?.”
“Lila pingsan, mbak. Memangnya ada apa?”
 “Astaga! Gimana ya? Kakek masuk rumah sakit. kondisi nya nggak terlalu baik. Jadi mbak harap Lila ada disini sekarang.”

***

Selendang berwarna hitam yang menggantung di pundak Lila berayun-ayun terkena angin. Matahari sore yang mulai kehilangan panas itu bergerak pulang. Burung-burung pun mulai berkicauan diatas dahan pohon kamboja. 
Dengan kacamata hitam yang menutupi matanya yang sembab. Meski sudah tidak ada yang menetes dari kelopak matanya, hidung Lila memerah dan mengeluarkan cairan. Sesekali Lila menggunakan jarinya untuk mencegah cairan tersebut keluar.
Lila masih berdiri di samping makam kakek saat semua orang mulai pergi satu persatu. Beberapa kerabat dekat menyalaminya untuk memberikan ucapan bela sungkawa.
Mbak Ika berjalan mendekat, menghampiri dan memeluk Lila untuk menenangkan.
Sabar, Mbak Ika memeluk Lila sangat erat. “Mbak pulang dulu” kata mbak ika sambil melepas pelukan.
“Makasih ya mbak” Ucap Lila tenang. Sangat tenang.
 Semua orang pasti mengira Lila orang yang sangat tegar atas kepergian kakek yang tiba-tiba. Dibalik ketegaran yang ditampilkannya itu Lila menyimpan sebuah lubang besar yang berisi kekosongan hatinya. Kalau bisa disuarakan mungkin hatinya ingin mengatakan seberapa banyak ketegaran dan kesabaran yang harus ia miliki? Atau seberapa kuat kakinya untuk berdiri menyapa sebuah kehilangan?
 Oma Rita menjadi orang terakhir yang menghampiri Lila setelah papa dan mama meninggalkan area pemakaman. Disana kerumunan orang sudah menghilang. Berganti angin sore yang semakin kencang berhembus.
“Lila, kita pulang ya?” Ajak Oma.
“Lila masih mau disini. Oma pulang duluan aja,” Lila tersenyum.
Semua orang tahu bahwa itu bukan tanda bahagia.
“Biar Ray yang temani Lila, Oma.” Ray menyahut tanpa bergerak dari tempatnya semula.
Lila masih berdiri memandangi gundukan tanah yang menutupi jasad keluarga terakhirnya. Bulir bening pun akhirnya merayap turun di pipinya yang putih. Kacamata hitam itu tak lagi bisa menutupi tangis kesedihan. Suara isakan lemah memecah keheningan petang menggantikan sore.
Kakek tidak mengucapkan apa-apa bahkan membuka mata untuk yang terakhir kali pun tidak. Lila menjumpai kakek terbaring lemah dengan peralatan pendeteksi jantung yang terhubung ditubuhnya. Tepat saat Lila mengenggam tangan kakek untuk menyapa peralatan medis itu berbunyi cepat. Memanggil semua tenaga medis yang bertugas berdatangan. Seperti sedang menunggu kedatangan cucu kesayangannya, kakek pun pergi tanpa pamit. Dokter mengucapkan waktu kematian kakek dan meminta suster untuk melepas semua kabel yang menempel. Untuk yang kedua kalinya kesadaran menghilang dari tubuh Lila.
Kepergian kakek mengagetkan banyak orang. Terutama Lila. Kurang dari 24 jam status seteah menikahkan cucunya, serangan jantung menyerang kakek. Oleh asisten rumah tangga kakek dibawa kerumah sakit dan menelpon mbak Ika untuk memberi kabar.
Ray yang memandang Lila dari belakang teringat pertemuannya dengan kakek beberapa hari yang lalu. Pada pertemuan itu kakek menceritakan secara terperinci mengenai galeri seni yang dikelolanya. Juga beberapa tanggungjawab yang harus Lila emban seandainya kakek memilih pensiun.
Rupanya pertemuan itu memang sudah tuhan rencanakan. Kerana setelah pembicaraan itu Ray sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk bercakap-cakap dengan sahabat Omanya. Hingga pertemuan terakhir saat kata tak lagi bisa Ray dengar.
“Nak Ray, titip Lila. Jaga dia seperti kamu menjaganya sewaktu kecil. Kakek mewakili almarhum orangtua Lila menyerahkan Lila sepenuhnya kepadamu.”
Ucapan itu seperti pesan terakhir yang ditujukan padanya. Ikrar yang juga ia ucapkan dihadapan tuhan. Mampukah Ia? Pertanyaan itu membutuhkan perjalanan panjang untuk dijawab.
Petang semakin gelap, Ray pun melangkah mendekat. Setelah berdiri disamping Lila, Ray melingkarkan lengannya dipundak Lila. Menepuk-nepuknya pelan.
“Kita pulang, ya?”
Lila tidak mengangguk juga menjawabnya. Dia hanya berjalan mengikuti Ray yang membimbingnya keluar dari area pemakaman.
Ingin sekali ia meraung-raung, memohon agar kakek bangun dari timbunan tanah. Seperti menabur garam dilautan. Kesia-siaan yang ia dapatkan. Energinya pun seperti terbakar habis bersama air matanya yang mengering.
***
Tangan yang menyentuh pundaknya itu kini sudah berpindah dibalik kemudi mobil. Meski demikian kehangatan yang disalurkannya masih terasa. Sentuhan kecil itu memang yang Lila butuhkan saat ini. Bukan sebuah kalimat penyemangat tapi sebuah tempat untuk menyandarkan kepalanya. Membagi sedikit beban yang berada dibahunya.
Mobil yang Ray kemudikan membelah jalanan yang dihiasi lampu-lampu berwarna jingga. Gerimis pertama penanda pergantian musim pun tiba. Membuat wiper yang beberapa bulan ini diam menjadi aktif kembali. Bergerak menyapu kaca mobil yang basah oleh air agar tidak menghalangi pandangan.
Udara diluar mungkin sama dinginnya dengan didalam mobil. Suara penyiar radio membuat ruang sempit tidak terlalu sunyi.
 “Aku mau pulang. ”
Suara parau Lila menyapa Ray focus mengemudi. Dia tahu yang Lila maksud dengan pulang adalah tempat tinggalnya bersama kakek. Bukan rumah orang tuanya atau rumah yang akan ditinggalinya bersama Lila nanti.
Ray tidak menjawab. Dia langsung mengarahkan kemudi mengikuti permintaan Lila. Tak butuh waktu lama karena kendaraan roda empat tersebut sudah berhenti dihalaman rumah Lila.
“Kamu bisa kembali ke hotel.”
Kejadian hari ini memang diluar rencana. Barang-barang mereka masih tertinggal di kamar hotel yang mereka tinggali semalam. Bahkan letak baju itu mungkin masih sama seandainya petugas hotel tidak membersihkannya.
Ray mengabaikan perkataan Lila dan mengikutinya masuk kedalam rumah. Ia juga mengacuhkan Lila yang berdiri melihat Ray berjalan meninggalkannya di ruang tamu.
 “Istirahat saja. Demammu bisa bertambah tinggi”
Benar. Lila memang sedang tidak merasa baik-baik saja. selain perasaannya, tubuhnya sedang protes untuk diistirahatkan. Tanpa pikir panjang Lila pun masuk ke dalam kamarnya. Dan merebahkan diri diatas kasur setelah membersihkan diri.
Ray masuk kamar dan melihat Lila sudah terlelap. Dia berjalan sambil membawa baskom berisi handuk dan air hangat yang ia minta dari asisten rumah tangga. Dia juga meletakkan handuk tersebut ke dahi Lila yang panas. Dia mendengar deru nafas Lila yang tidak beraturan. Juga sesekali keluar dari bibir pucat Lila rintihan-rintihan kecil. Mungkin karena suhu tubuhnya yang terlalu tinggi. Atau memang karena peristiwa yang baru saja menimpanya.

Ray sendiri bingung bagaimana harus bersikap. Kenangan masa kecilnya benar-benar hanya sebuah kenangan. Kehadiran Lila kecilnya sudah tergantikan. Meski dihadapannya berbaring seseorang yang sedang membutuhkannya. Hati dan pikirannya tetap dipenuhi oleh orang lain. Seseorang yang memiliki banyak kesamaan dengannya. Perempuan dengan mimpi dan kegigihannya berproses untuk mewujudkan mimpi yang sudah dibangunnya semenjak masih kanak-kanak. Perempuan yang belum pernah mendengar isi hatinya. Perempuan itu Almira.

Remind Me_Tiga

00.35 0 Comments
Ray melajukan mobilnya ditengah padatnya kendaraan jalanan. Setelah cukup lama menembus kemacetan akhirnya mobil Ray memasuki halaman sebuah kedai kopi. Tempat yang sering ia kunjungi bersama teman-temannya.
Pengunjung tidak terlalu ramai sehingga Ray bisa dengan mudah menemukan seseorang yang sedang menunggunya. Ray langsung menghampiri wanita tersebut.
“Macet banget dijalan. Kamu udah pesan?” tanya Ray sambil mencari seorang waiters.
“Udah. Untuk kamu juga. Kopi hitam.” ucap perempuan yang bernama Almira.
Ray tersenyum mendengarnya. Wanita dihadapannya ini seperti Ray versi perempuan. Dia selalu tahu apa yang Ray mau sebelum menyebutkan.
“Gimana rencana kamu pergi ke Singapura?”
Ada sebuah ajang pencarian bakal model seAsia. Dan Almira menjadi satu-satunya model dari Indonesia yang lolos. Di tahap ini semua proses seleksi akan ditayangkan secara internasional. Dan untuk berada ditahap itu bukan hal mudah. Mira, begitu Ray memanggilnya sering sekali mengalami kegagalan. Kesempatannya kali ini sekaligus kesempatan terakhirnya bisa mengikuti kompetisi model terbesar di Asia sebelum usia akhirnya membatasinya.
“Aku masih bingung, Ray”
“Apalagi yang kamu pikirkan? Kesempatan ini nggak datang dua kali”
Waiters datang membawa pesanan mereka, kopi hitam untuk Ray dan latte untuk Almira. Minuman khas yang selalu mereka pesan dimanapun mereka bersama.
“Mungkin pengakuan kemampuanku saat ini sudah cukup. Banyak orang tidak lagi memandangku sebelah mata.”
Sejujurnya Almira sedang jenuh dengan karir modelnya. Setiap saat kemampuannya semakin mendapat pengakuan. Sudah banyak desainer yang melirik kepiawaiannya di atas catwalk bahkan dunia iklan pun mulai dijajaki. Tapi tidak dengan karir asmaranya. Hubungannya dengan Ray seperti berjalan ditempat dan Ia ingin ada perubahan atau kejelasan.
 “Mir, ini mimpi kamu. Bertahun-tahun kamu menunggu kesempatan ini, kamu harus ambil.” Ray menggenggam kedua tangan Almira sebagai bentuk dukungan.
Sekali lagi keadaan memintanya untuk bersabar. Memohon tambahan waktu agar hatinya bersedia menunggu. Mungkin sedikit tambahan waktu akan menggerakkan Ray untuk menegaskan statusnya.
“Oke. Aku ambil.” ucap Almira.
Ray bahagia melihatnya. Meskipun dia tahu tercapainya mimpi Almira berarti berakhir sudah hubungan mereka. Tidak. Hubungan mereka bahkan belum dimulai. Tak satu pun diantara mereka pernah mengutarakan isi hati. Keduanya hanya sama-sama nyaman dan tidak ada yang berniat untuk membuatnya jelas. Hingga waktu pun mengabaikan mereka.

***
Setelah mengantarkan Almira pulang, Ray memutuskan untuk kembali ke kafe. Disana teman-temannya masih berkumpul. Karena ini hari minggu maka semua personil lengkap.
Kafe ini milik seseorang yang akhirnya menjadi sahabat. Kenapa? Karena Sam sahabat Ray sering melakukan meeting dengan kliennya. Dia juga yang membawa Ray sekaligus Almira untuk menikmati minuman favorite mereka. Ditambah sang pemilik, Bimo, selalu menyediakan permintaan mereka bahkan saat tidak tersedia di dalam daftar menu kafenya. Tak jarang Bimo sering mendapat omelan dari koki andalannya. Dari interaksi itulah akhirnya mereka akhirnya bersahabat.
“Tuh si Ray balik lagi.”
Bimo menyapa saat melihat Ray memasuki kafenya.
“Mira da balik?” Bimo bertanya saat Ray duduk di balik meja ditinggi  yang ada dihadapannya.
“Udah”
Sementara Sam asik menikmati kentang goreng seolah-olah tidak ada orang yang dikenalnya duduk disampingnya. Sehingga ia tidak perlu repot-repot menoleh.
 “Kopi lagi?”
“Air putih aja” jawab Ray.
Bimo meletakkan segelas air putih langsung ditenggak habis oleh Ray.
“Berantakan banget Lo hari ini?”
Bimo melihat ada hal yang tidak biasa dari Ray. Meski hanya basi-basi karena semua orang tua dibalik persahabatan Ray dan Almira ada hati yang saling mendamba. Tapi tak seorang pun tahu alasan keduanya menahan perasaan masing-masing.
“Mira jadi pergi?”
Sam akhirnya angkat bicara. Karena dia satu-satunya orang yang menentang hubungan mereka tapi menjadi satu-satunya orang tidak bisa mengambil sikap dengan perasaannya sendiri.
 “Gw nggak bisa menghalangi Mira untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi itu hidupnya.”
“Bagus!”
“Maksud, Lo?”
“Lebih baik dia pergi mengejar mimpi dari pada tinggal tanpa masa depan.” Nada bicara Sam satu tinggkat lebih tinggi.
“Hubungan kami sulit, Sam.”
“Sulit?” Sam tersenyum sinis. “Sedikit aja Ray, sedikit keberanian Lo buat bilang cinta sama Mira. Dan…”Sam menghembuskan nafasa lelah. “Sedikit keberanian Lo buat ngasih tahu keluarga Lo tentang Mira.”
“Gaeess…gaeess…easy” Bimo menengahi. “Malu dilihatin banyak orang.”
Ray memainkan gelas kosong dihadapannya. Menjaga tangannya agar tidak melepaskan sebuah pukulan keras pada sahabatnya sendiri. Dia tahu Sam benar. Hanya sedikit keberaniannya saja untuk memperjuangkan Mira agar menjadi miliknya. Tapi jurang pemisah diantara mereka terlampau dalam. Sedikit itu tidak akan cukup memangkasnya.
“Pernikahan itu hanya memenjarakan Mira. Menghalangi semua mimpi dan ambisinya. Dan gw nggak mau orang yang gw sayang ngalamin itu.”
Sam hanya tersenyum sinis melihatnya. Dia tahu itu hanya alasan seorang pengecut yang mangaku kalah sebelum berperang.
“Lo Cuma mencari alasan untuk pembenaran dari pilihan Lo. Asal Lo tahu, Penyesalan terbesar Mira adalah bertahan untuk seseorang yang sama sekali tidak mempertahankannya.”
Untuk yang kedua kalinya Ray harus mengakui kebenaran ucapan Sam dan merelakan kepalan tangannya berakhir dengan mengenggam gelas yang sudah tandas isinya. Almira tidak pantas mendapat semua ini darinya. Tapi ketidakberdayaannya semakin membuatnya kerdil dan tidak pantas untuk Almira.
***
Persiapan pernikahan semuanya dikerjakan oleh wedding organizer yang sudah disewa oleh Ray. Dia hanya perlu menyetujui apapun yang disarankan oleh WO. Dari konsep, gedung, catering, undangan bahkan jika memungkinkan membuat daftar undangan bisa dikerjakan oleh WO pasti akan dilakukan oleh Ray. Sayangnya hal itu tidak bisa maka dia hanya membuat daftar kecil untuk mengumumkan pernikahannya.
Satu-satunya yang benar-benar tidak ingin Ray kerjakan adalah baju pernikahan. Urusan yang satu ini Ia meminta bantuan Oma Rita untuk menemani Lila memilih desainer gaun pengantin. Dengan senan g hati Oma menerimanyan. Bahkan beliau terlihat sangat antusias saat menemani Lila keluar masuk butik.
“Lukisan baru, La?”
Mbak Ika kebetulan sedang keliling galeri dan melihat Lila sedang menaiki tangga untuk memasang lukisan. Kebetulan hari ini tidak banyak jadwal latihan sehingga banyak studio kosong.
“Bukan.” Memastikan bahwa posisi lukisan untuk sudah tepat Lila kemudian menuruni tangga. “Cuma benerin aja. Mbak dari mana?”
“Ini lagi ngecek aja. Pas lewat lihat kamu disini.”
“Gimana persiapan pernikahan kamu? Kelihatannya kamu santai-santai aja.”
Kalau bisa Lila ingin sekali menghindari pertanyaan semacam itu. Beberapa waktu terakhir, pernikahan menjadi kata yang tidak ingin dia dengar. Bukan karena dia tidak bahagia tapi ada seseorang yang akan kehilangan kebahagian bila pernikahan ini berlangsung. Sebelum sempat menjawab, Pak Amang, salah satu OB di galeri mencarinya. Keberuntungan masih berkawan dengannya meski hanya tiga detik.
“Teh Lila, ditunggu Oma Rita di lobi.”
Dengan logat sunda yang kental, Pak Amang mengabarkan sesuatu yang bisa menyelamatkannya dari pertanyaan keramat. Meski dia harus menghadapi sesuatu yang lebih berbahaya lagi untuk kesehatan pikirannya.
“Oh Iya. Makasih ya, Pak.”
“Nuhun, Teh. Permisi.”
Bukan keberadaan Oma tentu saja tapi kejadian yang akan ia alami bersama Oma yang di khawatirkan. Lila bahagia, amat sangat bahagia. Tapi kebahagiannya itu tidak akan pernah sempurna lagi.
“Aku pergi dulu ya, mbak.”
Mbak Ika salah satu orang yang paling  berbahagia mendengar berita pernikahan Lila. Dulu dia sempat khawatir Lila akan sulit mendapatkan jodoh karena dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi senyum bahagia yang dia saksikan di wajah Lila seperti kamuflase. Dia hanya menunjukkan sesuatu yang orang inginkan. Bukan apa yang seharusnya terlihat.
Setelah Lila benar-benar pergi mbak Ika pun melihat lukisan yang Lila pasang. Satu-satunya lukisan yang menimbulkan perdebatan hebat antara kakek dan Lila. Sebuah karya yang hanya memadukan dua warna hitam dan putih yang tidak pernah Lila suka. Menurutnya lukisan itu melambangkan dua hal yang tidak pernah bisa berdampingan. Padahal jelas sekali bahwa lukisan itu adalah representative kehidupan dimana hitam dan putih adalah dua keadaan yang saling berkebalikan tapi tak pernah terpisahkan

***

Beberapa hari menjelang pernikahan Ray menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Hampir setiap hari Ray pulang larut malam sehingga Oma Rita dan kedua orang tuanya sulit sekali berkomunikasai dengannnya terutama mengenai daftar tamu undangan yang sangat terbatas. Sehingga Papa dan Mama tidak bisa mengundang semua koleganya.
Seperti biasa hari ini Ray pun sibuk dengan dokumen-dokumen diruangannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dilayar ponselnya tertera sebuah nomer tidak dikenal. Cukup lama Ray memperhatikannya, dia ragu-ragu untuk mengangkatnya. Sampai dua kali berbunyi Ray belum mengangkatnya. Sampai bunyi yang ketiga kalinya baru Ray mengangkatnya.
“Halo…,” jawab Ray ragu-ragu
“Halo nak Ray, ini Kakek, kakeknya Lila. Maaf kakek tiba-tiba menghubungi kamu. Bisa kita bertemu?”
Lama Ray tidak menjawab permintaan kakek. “Baik, Kek. Nanti saya mampir ke galeri”
“Tidak perlu. Kebetulan kakek sedang ada di sekitar kantor kamu.”
Ray sedikit terganggu dengan permintaan kakek untuk menemuinya namun semua pikiran itu segera ditangkisnya dengan kembali menenggelamkan pikirannya kedalam pekerjaan.

***
Dua hari menjelang pernikahan Ray harus menghadiri sebuah resepsi pernikahan rekan kerjanya. Oma Rita meminta Ray untuk mengajak Lila pada acara tersebut. Pada awalnya Ray menolak tapi akhirnya dia terpaksa menerima demi menghindari perdebatan panjang dengan neneknya.
Ray tidak mengerti alasan Oma bisa sangat menyukai Lila. Bahkan untuk malam ini saja Oma secara khusus, dengan sedikit paksaan, meminta Ray untuk menjemput ke rumahnya.
Lila bergegas keluar saat mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Dengan cepat dia sampai di depan mobil Ray, lalu membuka pintu dan duduk disamping Ray. Ray sempat melihat Lila cukup lama saat memasang seat belt.

Malam ini Lila memakai gaun selutut berwarna dusty pink dengan tas kecil berwarna senada dan sepatu hitam berhak rendah. Rambut Lila yang panjang dan lurus diberikan aksen curly pada ujungnya. Simple tapi kelihatan pas dengan Lila sehingga terlihat anggun.
Setelah Lila selesai memasang seat belt, Ray buru-buru memalingkan wajahnya.
Selama perjalanan mereka tidak berbicara satu sama lain. Baik Ray maupun Lila sepetinya tidak terlihat enggan untuk menciptakan sebuah topic pembicaraan. Hanya ada suara penyiar radio yang membuat suasana sedikit berirama.
Saat mobil sudah sampai Ray segera keluar mobil namun ditahan oleh Lila.
“Aku nggak kenal siapapun.”
“Lalu?”
“Kamu nggak akan ninggalin aku kan?”
Ray mengabaikan permintaan Lila  dan memilih langsung keluar mobil.
Permintaan Lila memang sedikit ambigu. Tapi di alam bawah sadarnya dia mengucapkan itu dengan sangat penuh permohonan. Kalau Ray tidak mendengarkan maka dia berharap semesta yang mengabulkannya. Cukuplah kebahagiaannya tak sempurna tapi jangan lagi kesendirian menjadi kawan di sisa usianya.
Saat turun dari pelaminan untuk memberikan ucapan selamat pada mempelai, Ray tiba-tiba berhenti sehingga membuat Lila terantuk punggungnya yang keras. Lila hanya bisa mengaduh dalam hati. Kalimat protes hampir saja terucap. Andai saja Lila tidak melihat wajah Ray yang membeku. Kaget.
Ada hal apa yang membuat Ray seperti sedang melihat hantu? Lila pun mengikuti arah pandang Ray yang menatap lurus pada seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai itu memang sangat cantik. Tubuhnya langsing bak model-model yang mengundang iri setiap perempuan yang melihatnya. Laki-laki mana yang tidak akan terpesona? Bahkan Ray yang dengan lantang mengaku sudah memiliki kekasih di depan calon istrinya pun sama.
Tetapi Lila sama sekalli tidak melihat sorot mata terpukau dimata Ray. Hanya ada penyesalan dan kesedihan yang mendalam.
Sedetik kemudian Ray memegang tangan Lila dan menyeretnya keluar melalui pintu keluar yang dibuat berbeda dengan pintu masuk. Lila bahkan harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah lebar Ray.
Kali ini Lila benar-benar melakukan protes. Bahkan nyaris berteriak karena sampai halaman parkir cengkeraman tangan Ray semakin kuat sehingga membuatnya kesakitan. Dan langsung dijawab dengan dilepaskannya tangan Lila sehingga membuatnya s\hampir terjungkal.
Lila tidak tahu mengapa Ray tiba-tiba bersikap aneh seperti tadi. Saat dia diacuhkan itu hal biasa. Tapi tarikan tangan dan keluar gedung secara terburu-buru bisa dianggap aneh. Tapi Lila tidak merasa berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dan sekarang Lila yang terkejut karena mobil Ray baru saja melewatinya. Meninggalkannya sendiri dengan kekesalan yang entah kepada siapa harus dilampiaskan.
Dengan tarikan nafas yang dalam, Lila berjalan keluar halaman yang cukup luas. Dia harus berjalan cukup jauh dan menunggu cukup lama taksi yang akan mengantarkannya pulang.


***

Sabtu, 22 Desember 2018

Remind Me_Dua

16.45 1 Comments
Setiap hari Lila menghabiskan banyak waktunya di galeri. Meski tidak terlibat langsung dalam menejemen, Lila banyak membantu dalam urusan teknis. Terutama saat akan diadakan sebuah pementasan. Disana dia mengambil banyak berperan.  
Di atas tanah yang luasnya hampir mencapai satu hektar itu Kakek mendirikan galeri kesenian. Awalnya hanya sebuah sanggar seni yang focus pada teater. Seiring bertambahnya peminat bertambah menjadi music dan tari.
Seni rupa ditambahkan setelah kedua orang tua Lila meninggal. Saat itu mereka terutama ayah Lila banyak meninggalkan benda seni terutama lukisan. Baik yang dibeli atau dibuatnya sendiri. Lalu kakek membuat sebuah ruangan khusus untuk menyimpan sekaligus memajangnya. Ternyata peninggalan orang tua Lila menarik banyak pengunjung terutama orang-orang yang datang melihat pementasan. Akhirnya orang pun lebih banyak mengenalnya sebagai galeri seni.
Kakek memiliki peran sangat besar bagi galeri. Bakat yang dimilikinya untuk menjadi seorang kurator tidak bisa diragukan lagi. Meski beliau tidak memiliki bakat seni apapun.  Bakat kakek terbukti saat membuatkan pameran tunggal untuk Lila. Dari sana karir Lila sebagai seorang pelukis mulai dimulai.
 “Mbak Ika, kakek mana?”
Malika atau biasa dipanggil mbak Ika adalah salah satu jebolan sanggar tari yang dikelola oleh galeri. Mbak Ika juga menjadi tangan kanan kakek dalam mengelola galeri tersebut.
“Oohh… bapak lagi dibelakang. Biasa La…keliling. Kamu pucet amat?” tanya Mbak Ika
“Oh ya? Sepertinya karena telat makan semalam deh.” jawab Lila sambil meringis menahan perutnya yang sakit.
“Kamu tuh, asam lambungmu naik. Sini mbak ambilin obat dulu” Mbak Ika lalu mengambilkan obat di kotak P3k di lemari.
“Nanti aja mbak. Aku cari kakek dulu,” kata Lila sambil berlari keluar.
“Tunggu bentar, nanti kakek kamu….”
Lila sudah menjauh sehingga tidak bisa mendengar kata terakhir yang diucapkan mbak Ika. Menghampiri setiap studio di galeri itu.
Ada tiga studio yang biasa digunakan untuk latihan sebelum pementasan atau latihan rutin seperti tari, teater dan music. Selain itu juga ada sebuah hall yang biasa digunakan pameran lukisan atau disewakan untuk umum. Dan sebuah studio pementasan.
Kali ini Lila menemukan kakek sedang berada di studio pementasan yang sedang dilakukan persiapan untuk pementasan rutin setiap satu bulan sekali. Pantas saja hampir semua studio tadi penuh. Rupanya akhir bulan nanti akan ada sebuah pementasan sendra tari.
“Kakek!!!” teriak Lila sambil melambaikan tangannya yang dibalas dengan senyuman sang kakek. Kakek kemudian berjalan berbalik mendekati cucu kesayangannya.
“Tumben pagi-pagi cari kakek?”Kakek menyipitkan mata untuk memperjelas wajah cucu kesayangannya.  “Kamu sakit, La? Kok pucat begitu?” wajah kakek langsung berubah khawatir.
“Nggak pa-pa, Kek. Tadi Mbak Ika udah siapin obat.  Lila mau cerita sama kakek.” Lila lalu menggandeng tangan kakeknya, sedikit memaksa, yang langsung diikuti oleh kakeknya.
Lila memang sangat dekat dengan kakeknya. Sejak kedua orang tua Lila meninggal saat masih duduk di bangku sekolah menengah, kakek menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa. Orang tua Lila meninggal karena kecelakaan mobil saat mereka bertiga sedang pergi berlibur.

****

 “Menurut kakek, apa Lila masih bisa menikah sama Mas Ray?”
“Kamu bisa mundur kalau ragu?”
“Lila nggak pernah ragu, Kek. Sedikit pun.”
“Jadi apa yang membuatmu bertanya?”
“Entahlah, Kek. Lila cuma merasa ada yang berbeda. Rasa yang dulu Lila rasakan waktu bertemu Mas Ray udah nggak sama.”
“Rasa bisa berubah seiring dengan waktu yang terus berjalan. Tidak ada yang selalu sama di dunia ini. Apalagi perasaan manusia. Kalau kamu yakin dengan apa yang sudah kalian buat, kakek bisa apa. Percaya sama ini.” Kakek menunjuk dadanya.

Lila belum bisa menjawab. Karena janji itu bukan hanya dia saja yang terlibat. Ada orang lain. yang setelah bertemu semalam tidak menyinggung sama sekali mengenai hal itu.
Meski bertahun-tahun hati Lila tetap sama, menyimpan bayang-bayang si pembuat janji. Namun setelah bertemu, ia sendiri ragu apakah dia masih menganggap hal yang sama.
“Kalau Lila tetap mengikuti, kakek setuju?”
“Kakek sudah tua, Lila. Apalagi harapan kakek selain melihat kamu menikah dan bahagia.” Kakek tersenyum memandang cucunya.
“Melihat kamu menangis berhari-hari bahkan menemanimu melewati terapi menjadi waktu yang sangat sulit. Rasanya semua kesulitan itu sudah cukup, jangan diperpanjang lagi.”
Kakek mengingat bagaimana Lila setelah berpisah dengan Ray. Hari-harinya hanya diisi dengan menangis. Dia bahkan lupa tidur atau makan. Pekerjaannya hanya duduk diruang tamu sambil melihat pintu. Mengharapkan seseorang akan muncul disana. Karena semua ketidakwajaran itu tidak menunjukkan perbaikan maka keluarga memutuskan untuk membawa Lila ke psikolog.
“Kalau memang Ray menjadi satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia, dengan sepenuh hati kakek merestui”

***

Lila dan Kakek berada di dalam mobil melakukan perjalanan menuju kediaman keluarga Rayyan. Mereka duduk di belakang. Lila memakai sebuah gaun hitam berbahan brokat yang menutup sampai lututnya ditambah aksen pita di bagian pinggang sangat pas untuk postur tubuh Lila yang tidak terlalu tinggi. Rambut sebahunya dibiarkan terurai yang hanya diberikan kesan bergelombang. Meski rambut aslinya hitam lurus.
Lila terlihat sangat tegang. Sepanjang perjalanan dia terus meremas tangannya yang memegang  sebuah tas kecilnya berwarna gold senada dengan sebuah pita yang menjepit rambutnya.
“Semalam kamu nggak tidur, Lila? Matamu berkantung,” kata kakek memperhatikan cucunya yang tegang. Lila yang ditanya tak menjawab.
“Lila?” Kakek memegang pundak Lila dan dia pun terkejut.
“Iya?” tanya Lila bingung.
“Lila semalam nggak tidur?” kakek mengulangi lagi pertanyaannya sambil menunjuk kantung mata Lila yang sedikit terlihat meskipun sudah ditutup make up.
“Kelihatan ya Kek?”
“Cucu kakek masih cantik.” Puji kakek menenangkan.
Beberapa saat kemudian mobil yang mereka kendarai memasuki sebuah halaman rumah yang besar dan berhenti tepat di depan rumah. Lila turun dan berjalan memutari mobil untuk membantu kakek.
Oma Rita dan kedua Orang tua Ray menyambut kedatangan mereka. Setelah bersalaman mereka kemudian masuk ke dalam rumah.
Acara makan malam langsung dimulai begitu Lila tiba. Kakek dan Oma duduk diujung meja. Dihadapan Lila, duduk kedua orang tua Ray. Disamping Lila tersisa satu kursi. Milik tokoh utama yang sedari tadi masih menutup rapat mulutnya. Hanya senyum saat Lila baru datang.
“Malam ini Lila cantik sekali ya?” puji Oma. Lila hanya tersenyum
“Oh… tentu. Lila menyiapkannnya dari semalaman.” canda kakek yang membuat muka Lila sampai bersemu merah.
“Senang sekali rasanya. Akhirnya setelah bertahun-tahun kita bisa lagi berkumpul bersama. Dan sebentar lagi kita benar-benar menjadi sebuah keluarga.”
Oma memang menjadi orang yang paling antusias malam ini. bahkan sejak bertahun-tahun lalu.

Makan malam sudah selesai. Perbincangan kedua keluarga pun dilanjutkan diruang keluarga. Diawali dengan cerita-cerita masa lalu Kakek, Oma dan Papa sambil diselang canda tawa. Mama hanya sesekali menimpali pembicaraan. Beliau memang lebih banyak diam.
 “Maaf kami mau ngobrol sendiri diluar.” Ray berdiri sambil melihat Lila.
“Ahhh benar, kalian juga perlu untuk bernostalgia juga,” kata Papa.

***

Halaman samping rumah orang tua Ray tidak terlalu luas. Dan diisi dengan taman juga terdapat sebuah ayunan. Tidak sama persis dengan yang ada dirumah Lila. Tetapi sama-sama memiliki kenangan yang sama.
“Mas Ray, dorong lagi. yang kenceng.”
“Kamu bisa jatuh, Lil.”
“Ahhhh…”
Lila kecil selalu merajuk saat keinginannya tidak terpenuhi. Sementara Ray tidak tega melihat wajah sedih dan kecewa yang ditampilkan Lila. Dan Ray akan mengikuti kemauan Lila meski itu harus membuatnya sangat kerepotan.
Ray berdiri sedangkan Lila duduk dikursi yang ada di teras. Ayunan itu tetap kosong, sesekali bergerak pelan saat ada angin yang cukup kuat lewat. Suasana hening masih bertahan diantara mereka.
“Jadi akhirnya kamu menyetujuinya.” Rayyan memecah kesunyian diantara mereka.
Lila yang sudah membuka mulutnya untuk menjawab perkataan Ray dibatalkan karena Ray terlebih dahulu melanjutkan perkataannya.
“Aku nggak pernah menyangka janji seorang anak kecil akan dianggap seserius ini” Disaat yang bersamaan ponsel Rayyan berbunyi. Dia mengangkat telpon tersebut tanpa permisi. Dan meninggalkan Lila tanpa kesempatan menjawab sepatah kata pun.
Lila kecewa dengan perkataan Ray. Bukan dia yang membuat janji itu. Lalu salahkah ia jika ia datang untuk menagih? Bukankah sebuah janji dibuat untuk ditepati. Meski itu hanya ucapan seorang anak kecil.  
 “Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. Saya harap kamu mengerti.”
Lila masih harus mencerna ucapan Ray. Kalau memang dia tidak menganggap ucapan seorang anak kecil tidak memiliki arti. Dia bebas untuk tidak menerima keputusan ini.
“Kalau memang harus seperti itu kenapa tidak menolak saja?”
“Aku berjanji untuk mengikuti apapun keputusan kamu. Dan hal ini terjadi diluar perkiraan.”
“Kalau aku yang membatalkan, kamu juga akan setuju?”
“Coba saja.”
Setelah menutup kalimatnya Ray memasuki rumah. Lila tidak mengikutinya. Dia perlu sedikit waktu untuk meredam gemuruh dalam hatinya. Seperti inikah rasanya kecewa? Bukan tapi pengkhianatan.

Semua kesedihan, kerinduan dan ketidakpastian yang selama ini ia harapkan akan bertemu titik akhir sepertinya hanya bertemu persinggahan. Berhenti sejenak untuk melewati jalanan berliku yang tidak tahu seperti apa ujungnya.
 “Kakek pamit pulang. Kamu masih mau disini?” Suara Ray menghentikan perdebatan dalam batin Lila.

Follow Us @soratemplates