Rabu, 23 Januari 2019

Remind Me_Enam

19.12 2 Comments
Mobil SUV berwarna hitam berhenti didepan rumah bertipe town house. Dengan sebuah halaman tanpa pagar. Dari deretan rumah yang mereka lewati semuanya berdesain sama hanya warna dan nomer rumah yang menjadi pembeda.
“No. 27?” gumam Lila yang melihat angka menempel didinding rumah. “Sama dengan rumah kakek.”
Hari ini mereka pindah ke rumah baru. Rumah yang Ray beli dengan uang pribadinya. Yang ia kumpulkan selama bekerja. Tinggal berbeda rumah dengan orang tua seperti sudah menjadi aturan tidak tertulis dikeluarga besarnya. Orangtuanya juga  langsung pindah begitu menikah. Pun dengan Oma yang memilih tinggal dirumahnya sendiri meski Opa sudah meninggal dunia.
Hampir dua bulan Lila tinggal dengan orangtua Ray. Dia merasa sangat nyaman disana. Meja makan yang terisi penuh, papa mama, Oma, Ray juga dirinya. Suasana keluarga lengkap yang lama tidak dirasakannya.  Bukan berarti selama tinggal berdua dengan kakek dia merasa kesepian. Hanya saja keberadaan anggota yang lain membuatnya seperti memiliki kembali sebuah keluarga yang utuh.
Lila sekarang sudah berada di ruang tamu yang hanya diisi satu set sofa berwarna hitam. Melewati sebuah partisi yang terbuat dari kayu yang menjadi penyekat ada ruang makan yang menyatu dengan dapur. Semua perkakas yang mengisi sangat simple. Sesuai dengan tipe rumah minimalis. Berjalan lebih dalam lagi ada sebuah taman yang baru selesai dibangun. Terlihat dari rumput yang ditanam belum tumbuh menutupi tanah. Dan tembok pembatas itu didesai seperti bebatuan tebing yang menambah kesan alami.
Berjalan lagi kedepan Lila mendapati dinding kosong dihadapan sofa. Sepertinya cocok bila diisi dengan lukisannya. Lalu sekat-sekat pada partisi akan diisinya dengan foto-foto pernikahan.
Lila tersenyum sendiri melihat kemampuannya mengatur isi ruangan. Tentu saja semua itu terjadi di dalam kepalanya. Dan senyum itu segera pudar saat kedua matanya melihat Ray berdiri di ujung tangga. Sedang memerhatikannya.
 “Kamarnya diatas.”
Rumah berlantai dua ini tidak memiliki banyak kamar. Ada satu di lantai dasar dengan ukuran yang cukup kecil dan satu kamar utama dilantai dua. Tetapi memiliki kamar mandi ditiap lantai.
Malam berjalan semakin larut. Suara jangkrik yang bersahutan. Dan sesekali di selingi oleh suara kodok yang bergembira karena gerimis masih mengguyur. Menyenangkan mendengar nyanyian alam ditengah perkotaan seperti ini. Mungkin ini alasan yang dipilih Ray untuk membeli rumah dikawasan ini.
Suara riuh rendah di luar sana berbanding terbalik dengan sebuah ruang berukuran 3x4m yang sangat hening. Pencahayaan di dalam ruangan ini jauh berkurang. Hanya sebuah lampu tidur berwarna kuning yang menyala. Membuat ruangan menjadi temaram. Ditambah nyanyian gerimis membuat semuanya menjadi begitu romantic. Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Karena hanya kecanggungan yang memenuhi setiap sudutnya.
Malam terus bergerak menuju puncaknya. Paduan suara serangga malam semakin jelas terdengar. Menjadi pengiring mimpi setiap orang. tapi tidak untuk sepasang manusia yang masih terjaga.
Hampir setiap malam dari hari pertama mereka melewati malam pertama sebagai suami istri sampai detik ini, tak satu pun bisa melewatkan malam dengan indah. Canggung berubah menjadi gelisah berganti keheningan. Hanya kelelahan fisik yang membuat mereka tidur pulas tanpa memikirkan seseorang yang ada disampingnya.
“Sudah puluhan malam kita lewati dengan berdiam seperti ini. Pura-pura tidur hanya untuk saling menghindar. Mungkin tak satupun diantara kita yang merasa senang saat malam tiba.”
Lila membuka mata terlebih dahulu. Dan mengangkat badannya untuk setengah menyandar pada headboard.
“Kita pernah seperti ini. Berbaring berdampingan tanpa bicara satu sama lain. Watu itu aku mau bilang tapi takut. Kamu marah sekali gara-gara aku nekat naik pohon sampai terjatuh. Meski kakiku hanya terkilir tapi kamu benar-benar marah. Bahkan sampai dua hari kamu mendiamkanku.”
Dulu Lila akan terus berceloteh meski Ray sedang marah dan tidak ingin berbicara dengannya. Saat Ray menghindar dan menjauh Lila akan semakin gesit mengikutinya. Hingga akhirnya kemarahan itu berakhir dengan kekesalan Ray yang memuncak lalu luluh lantak dengan berdiri mematung. Menampilkan wajah polos dengan kelopak mata yang berkedip-kedip seperti boneka.
“Mungkinkah kamu sedang marah seperti dulu? Sepertinya tidak. Aku selalu ketakutan saat melihat wajahmu saat marah.”
Saat Lila masih kecil pernah menggambarkan wajah Ray yang marah dan mengeluarkan asap dari kedua telinganya. Dan gambar itu akan ia bawa kemana-kemana untuk ditunjukkan saat Ray mulai menunjukkan gejala marah. Lalu Ray akan berusaha merubut kertas yang berisi wajah marahnya hingga emosi yang seakan tidak terbendung itu menguap begitu saja.
Sifat Ray dan Lila saat masih kecil memang seperti bumi dan langit. Ray yang emosinya seperti gunung berapi yang bisa meletus sewaktu-waktu sementara Lila seperti petasan yang meledak-ledak tetapi selalu menyenangkan setiap orang.
“Dan aku belum menjumpai wajahmu seperti itu.”
Lila tahu Ray masih terjaga dan berbaring memunggunginya. Tapi tak satu pun kata keluar dari mulut Ray. Hanya deru nafas seperti orang tidur yang Lila dengar. Meski seseorang yang menjadi lawan bicaranya tak menyahut Lila terus berbicara. Meski hanya kenangan masa kecil. karena hanya itu topic pembicaraan yang Lila punya.
Kehidupan Ray setelah mereka berpisah pun Lila tidak tahu. Saat ingin bertanya tetapi Ray seperti tidak memberinya kesempatan itu. Latar belakang pendidikan bahkan pekerjaan pun berbeda sehingga sangat sulit mencari bahan perbincangan.
Masa lalu akan selalu tertinggal. Tidak pernah bergeser dan berpindah kedepan. Seindah apapun itu dia tetap akan dibelakang. Bahkan Lila sendiri sudah menganggap itu sebagai kilasan masa kecil yang sesekali muncul dan selesai didalam kepala.
Tapi berdampingan dengan seseorang yang berasal dari masa lalu membuat setiap kenangan yang terlintas memiliki rasa. Meski tidak lagi sama tapi Lila merasa kejadian itu seperti baru saja terjadi.

****

Lila bangun sangat terlambat. Menjelang subuh dia baru benar-benar bisa tidur. Meski hanya berbaring dan memejamkan mata nyatanya itu tidak membuatnya tertidur lebih awal. Dan untuk kesekian kalinya Lila harus melewatkan hari dengan rasa kantuk yang teramat.
“Begadang lagi, Lila?” Mbak Ika tidak lagi melihat dengan heran. Hanya memastikan kantung mata Lila yang bertambah gelap.
“Sudah lebih dari tiga bulan menikah dan masih begadang tiap malam. Mbak salut tapi kenapa belum juga kelihatan hasilnya?”
Lila benar-benar merasa sangat lemas sehingga mengabaikan ucapan sarkas dari mbak Ika. Matanya terasa berat tapi tak mampu terpejam. Bahkan perutnya pun bergejolak. Asam lambungnya yang meningkat saat dia terjaga sepanjang malam.
“Mbak Ika masih menyimpan obat maag? Sepertinya asam lambungku naik.”
“Asam lambungmu selalu naik saat kamu begadang. Mbak nggak akan kasih kamu obat. Kamu bahkan baru saja minum kopi. Tidur Lila!”
Andai bisa Lila akan melakukannya dengan senang hati.
“Gimana persiapan pementasan akhir bulan ini, mbak?”
“Sejauh ini berjalan lancar. Dan kita mendapat satu lagi donator tetap. Nilainya tidak besar sih tapi sangat membantu untuk promosi galeri kita.”
Keadaan yang tidak jauh berbeda pun dirasakan oleh Ray di kantor. Hampir setiap hari Ray tertidur di meja kerja. Membuat pekerjaannya banyak yang tertunda. Bahkan ia bisa meminta untuk dibuat kan kopi sampai tiga kali sehari.
“Espresso?”
“Air putih aja.”
Bima pemilik kedai kopi langganan Ray itu meletakkan segelas besar air putih di meja saat Ray mengeluarkan laptop. Bimo, dia lebih suka di panggil seperti itu semenjak tayangan TV yang bercerita kisah pewayangan itu popular.
“Kusut amat, Lo?” Bimo menarik salah satu kursi.
“Kerjaan Gue banyak banget. Akhir-akhir ini kalau malam susah banget tidur. jadi ya pas ngantor bawaannya nggak focus.”
“Masih pengantin baru bawaannya begadang mulu kalau ketemu bini.” Canda Bimo.
“Ngaco, Lo.”
Bimo hanya tertawa melihat sahabatnya itu melanggar omongannya sendiri tentang pantangan membawa urusan pekerjaan pulang. Saat jam kantor selesai saat itu pula seluruh waktunya untuk hal lain.
“Kabar Mira gimana? Kalian masih berhubungan kan?”
Ray menghentikan tangannya yang dari tadi sibuk didepan laptop. Almira, sudah lama sekali dia tidak bertukar kabar. Terhitung semenjak Ray menikah. Dia hanya melihat social media milik Almira untuk mengetahui keadaannya. Dari postingan-postingannya sepertinya dia bahagia.
“Dia baik-baik aja.”
Bimo akhirnya meninggalkan Ray sendiri. Rupanya topic tentang Almira tidak lagi membuatnya bersemangat seperti biasanya. Mungkin akhirnya Ray memilih untuk menata hatinya sendiri agar bisa melepas Almira. Meski Bimo tidak terlalu yakin kalau Ray sudah benar-benar rela dengan menganggap Almira sebagai teman saja.
Memang benar, Ray tidak pernah menganggap Almira hanya sekedar teman. Kehadiran Almira sangat berarti bagi hidupnya. Saat dia merasa kehilangan dan kesepian karena berpisah dengan gadis kecilnya, Almira datang sebagai oase. Mengisi hari-harinya yang kosong dan membantunya menyesuaikan diri di lingkungan baru. Almira membuatnya memiliki pandangan baru terhadap seorang wanita. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya lupa akan kehadiran gadis kecilnya. Lambat laun ruang untuk gadis kecilnya yang manja dan ceria pun akhirnya menghilang. Berganti dengan seorang Almira yang tangguh dan mandiri.

****

Lila baru saja bangun. Lampu di ruangannya belum dinyalakan sehingga cahaya kecil yang lewat melalui celah gorden yang tersingkap cukup memberi penerangan. Lila melihat jam dipergelangan tangannya sudah menunjukkan jam 8 malam. rupanya dia tertidur cukup lama. Dan tidak ada yang membangunkannya. Satu-satunya orang yang akan masuk ruangannya tanpa pamit hanya mbak Ika. Sementara mbak Ika pergi sejak siang untuk bertemu donator baru.
Saat hendak bangun dari kursi malas Lila tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Sebuah buku yang membuatnya tertidur. Tips membangun keluarga bahagia, begitu yang tertulis di sampulnya. Lila melihatnya tergeletak dimeja mbak Ika dan meminjamnya.
Sebenarnya Lila sendiri bingung dengan pernikahannya. Dia bahkan tidak yakin kehidupannya saat ini bisa disebut rumah tangga atau tidak. Tiga bulan tinggal dalam satu atap tapi seperti orang asing. Di dapur terdapat sepasang kompor. Setiap pagi keduanya menyala bersamaan. Tetapi yang dimasak selalu sama yaitu air. Satu milik Lila dan satu lagi milik Ray. Lila pernah merebus air lebih, sekalian untuk Ray. Tapi Ray malah merebus air sendiri. Sejak saat itu Lila tidak pernah mengulangi hal yang sama.
Tegur sapa hanya sekedarnya. Percakapan paling panjang yang pernah mereka lakukan saat Ray bilang mau keluar negeri selama beberapa hari untuk keperluan pekerjaan. Selama itu pula Lila tidak pulang dan memilih tinggal dirumahnya yang lama.
Sekarang Lila sedang merasa jenuh dengan kehidupan seperti itu. Pernah dia merasa iri melihat rumah tangga orang. Saat Ray sedang dinas keluar dan Lila tinggal di rumah kakek. Ia melihat tetangganya itu setiap pagi selalu mengantar suaminya sampai di depan rumah. Sebelum pergi suaminya selalu mencium kening istri dan anaknya yang masih balita. Agaknya tidak berlebihan kalau Lila mengharapkan hal yang sama terjadi padanya. Lagipula dia juga berada di posisi yang sama, sama-sama seorang istri. Ada atau tidak adanya cinta tidak akan merubah status itu bukan?
Seandainya dia ingin terjadi perubahan dalam rumah tangganya, harus bagaimana? Dari mana dia harus memulai?
Dari buku yang belum selesai dibacanya itu ada satu bab yang menjelaskan tentang tips menjadi istri idaman. Poin yang langsung mendapat perhatian Lila adalah bagian menyiapkan keperluan suami. seketika Lila langsung menutup buku dan melemparnya begitu saja. dan memilih membereskan tasnya dan pulang.
Lila sudah ada di dalam taksi. Dan perjalanan pulangnya sudah akan sampai.
Ray pasti sudah tidur. Begitu pikir Lila. Tapi dia senang sepertinya malam ini dia bisa tidur nyenyak karena tidak perlu merasa canggung. Mungkin lebih baik Lila tidur di ruang tamu atau mungkin kamar tamu. Toh Ray tidak akan mencarinya saat tengah malam atau saat bangun.

Tapi semua itu tidak akan terjadi karena saat taksi yang ditumpanginya berhenti di depan rumah, mobil Ray baru saja masuk di halaman. Keduanya bahkan keluar dari mobil secara bersamaan.

Remind Me_Lima

18.42 0 Comments


Malam sudah bertukar tempat dengan pagi. Burung-burung pun mulai berkicau untuk mencari pakan. Meski mentari belum menampakkan diri tapi kehidupan sudah dimulai. Pun dengan Lila, meski bangun lebih awal dan masih berbaring diatas tempat tidur, kesadaran sudah menguasainya.
Disuguhkan seorang laki-laki yang terlelap diatas sofa, masih mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, Lila membuka mata setelah tidur semalamam. Seolah tidak terusik dengan kehadiran orang lain, Lila berjalan melewatinya begitu saja.
Orang lain? Sama sekali bukan. Dia adalah suami Lila. Seseorang yang sudah dikenalnya hampir seumur hidupnya. Bahkan Ray satu-satunya orang yang paling lama dikenalnya saat ini. Namun sikap keduanya tak menunjukkan adanya sebuah kedekatan khusus.
Semalam Lila tidur sangat nyenyak. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang lebih sering terjaga saat malam karena memikirkan pernikahannya. Meski masih menyisakan pening dikepalanya. Badannya juga masih menggigil saat terkena udara pagi yang terasa lebih sejuk dari biasanya. Mungkin karena hujan tadi malam. Meski demikian tidak membuatnya untuk kembali ke dalam rumah yang terasa lebih hangat.
Sudah lama Lila tidak duduk di ayunan yang berada di halaman belakang rumahnya. Terakhir kali dia menikmati waktu disana saat dibangku sekolah menengah. Tepat ulang tahunnya yang ke 15.
Waktu itu orang tuanya memberikan kejutan kecil karena Lila berhasil diterima di sekolah favorit. Sebuah tiket liburan bertiga, Lila dan kedua orangtua, yang sudah lama tidak dilakukan.
Ayah mengayunnya pelan usia acara makan bersama. Membuatnya benar-benar tiupan anginyang menyentuh pipinya. Lalu berubah menjadi lebih kuat sehingga Lila mulai protes. Dan semakin kuat hingga Lila berteriak histeris. Meski merasa takut tapi teriakan itu ungkapan bahagia. Bunda yang melihat dari jauh turut merasakan chemistry antara anak dan ayah.
Mungkin saat itu adalah kali terakhir Lila bisa tertawa lepas. Kenangan yang tak lagi bisa ia rasakan. Bahkan Lila dengan sengaja membiarkan rasa-rasa dalam kejadian itu tertiup kembali bersama angin yang menerpa wajahnya. Biar menjadi sebuah penghiburan tersendiri ditengah peristiwa pedih yang dialaminya.  
Meski demikian ada satu lagi kenangan indah yang ingin sekali kembali ia rasakan. Namun kemungkinan itu semakin hari semakin memudar bahkan sekeras apapun usahanya penolakan-penolakan itu semakin kuat.
Seperti sekarang kejadian itu selalu mengekor kenangan lain yang ingin Lila ingat.
Saat ayah mendorong ayunannya dan dikuti dengan tawanya muncul kejadian lain. Seorang bocah laki-laki berlutut dihadapannya. Memberikan sesuatu sambil mengajaknya berjanji satu hal untuk bersama dikemudian hari. Biasanya Lila akan menutup kilasan peristiwa itu dengan tangisan.
Tiap kali teringat Lila akan menggenggam sebuah kotak yang ia miliki. Sebuah benda persegi yang tak pernah ia buka. Tiap kali itu pula dorongan kuat untuk menagih janji selalu merongrongnya. Menuntut sebuah kebersamaan yang pernah dijanjikan seseorang  yang paling ia butuhkan saat ini.
Kehadiran Si bocah laki-laki itu. yang akan menghapus air mata, belaian tangan menenangkan juga sebuah pelukan yang nyaman. Serta sebuah bisikan penyemangat, “Aku akan selalu berada disampingmu.”
Lila membutuhkan semua itu saat ini.
Terlalu berlebihankah? Atau seseorang yang duduk disampingnya. Cukup diam disampingnya. Agar Lila tahu dia tidak sendiri. Manusiawi bukan jika seseorang membutuhkan orang lain hanya untuk membuat dirinya tidak merasa sendiri?
Sayangnya harapan Lila tidak terkabul. Kenyataannya Lila memang tidak sendiri. Ada seseorang saat ini menemaninya. Tetapi Tak bisa di raih. Jarak yang memisahkan terlalu jauh dan tidak bisa Lila jangkau.
Seperti sekarang.
Lila melihat si bocah laki-laki yang sudah tumbuh dewasa ada di rumahnya. Bahkan kini sudah berubah status menjadi suaminya. Ray tidak pernah duduk disampingnya. Dia hanya berdiri dikejauhan. Tidak ingin mendekat meski Lila memintanya mendekat.

***

Ray dan Lila sudah berada didalam perjalanan menuju rumah orangtua Ray. Sesaat sebelumnya mereka mampir ke hotel tempat berlangsungnya pernikahan untuk mengemasi barang-barang yang tertinggal. Mobil yang dikemudikan Ray melaju dengan lancar. Jalanan sedang tidak berada di fase sibuk sehingga cukup lengang.
Pagi tadi saat bangun tidur Ray tidak mendapati Lila ditempat tidur. Sementara hari masih terlalu pagi untuk beraktifitas. Ray mencari di beberapa ruangan seperti kamar mandi, juga di dapur. Pencarian itu pun berhenti saat Ray melewati ruang keluarga yang terhubung dengan halaman belakang.
Lila ada disana.
Masih terlalu awal untuk bermain diluar ruangan. Tapi Ray mengurungkan niat untuk menegur Lila. Sepertinya duduk di ayunan bukan aktivitas bermain yang dicari Lila. Karena Ray bisa melihat tetesan air mengalir di pipi Lila. Rupanya Lila membutuhkan waktu panjang untuk berduka. Maka Ray memilih untuk membiarkan Lila. Mungkin dengan begitu Lila merasa lebih baik. Ray pun berbalik tanpa melakukan sesuatu.
 “Kalian baik-baik saja?” Oma Rita menyambut dengan pelukan begitu mereka sampai. “Ditelpon nggak ada yang angkat.”
“Nggak apa-apa Oma. Kemarin Lila pulang dan langsung istirahat jadi nggak sempat kasih kabar.” Jelas Lila.
“Ahh nggak apa-apa. Oma cuma khawatir. Kalian nggak ada yang bisa dihubungi”
Oma dan Lila menghentikan percakapan saat mendengar sebuah suara.
 “Ray masuk dulu, mau taruh barang-barang” Ucap Ray sambil berjalan membawa koper.
Lila hanya melihat saat koper miliknya dibawa masuk Ray. Bahkan saat tubuh Ray menghilang di balik tembok pun mata Lila belum berkedip.
“Ya sudah. Kamu susul Ray sana!” perintah Oma. “Istirahat.”
Lila baru saja masuk kedalam kamar dan mendapati koper miliknya berada di samping tempat tidur. Sementara pintu kamar mandi tertutup rapat dengan gemericik air terdengar dari sana.
Sebuah lemari besar mengisi salah satu sisi kamar. Disisi lain sebuah meja kerja dengan lampu belajar juga tumpukan beberapa buku diatasnya. Disampingnya berdiri sebuah rak yang berisi lebih banyak lagi buku-buku. Lila juga mengoleksi buku tapi tidak sebanyak milik Ray. Ditengah-tengah barisan buku itu ada satu ruang kecil berisi beberapa pajangan. Miniature kendaraan bercerobong asap yang menjadi salah satu tokoh animasi anak-anak menjadi pengisinya. Dan sebuah pigora kecil membingkai foto.
Foto Ray sedang dengan seorang perempuan berambut panjang terurai. Mereka sedang duduk dibangku taman dengan daun-daun berwarna kecoklatan yang berserakan dilantainya.
Lila langsung memalingkan wajah saat mendengar suara pintu dibuka. Ray keluar dari sana dengan handuk yang masih dipakainya mengeringkan rambut.
“Aku sudah menyiapkan sebagian tempat dilemari untuk barang-barang kamu. Untuk sementara kita tinggal disini dulu sampai rumah yang akan kita tempati nanti selesai dikerjakan.”
Setelah memberikan sedikit penjelasan Ray langsung berkutat dengan meja kerjanya yang dipenuhi buku-buku. Hampir saja Lila lupa kalau suaminya itu seorang abdi negara. Sehingga memiliki batas waktu libur. Berbeda dengan dirinya yang seorang seniman dengan jam kerja yang bisa ia atur sendiri.

***

Oma Rita sedang duduk di ruang keluarga saat Lila merasa bosan berdiam diri di kamar. Ray sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan yang bisa membuatnya terlambat. Lila pun berjalan mendekat.
“Oma lagi lihat apa?” Lila duduk di kursi disebelah Oma Rita.
Lila sudah tidak canggung lagi saat berhadapan dengan Oma. Mungkin karena dulunya mereka sudah menjalin kedekatan sehingga untuk memulai setelah berpisah cukup lama tidak terlalu sulit.
“Ini lihat foto-foto kalian waktu masih kecil.” Oma Rita menepuk kursi sebelahnya yang kosong.
Di dalam album foto berwarna coklat itu sebagian besar berisi foto Ray kecil. Ada juga beberapa foto dirinya sedang bersama Ray. Dan semuanya tidak jauh berbeda dengan album foto yang ada dirumahnya. Bedanya ada tambahan foto saat Ray sudah pindah. Meski tidak terlalu banyak.
“Dia siapa Oma?” tanya Lila sambil menunjuk sebuah foto Ray remaja bersama seorang gadis. Mengingatkan Lila pada wajah seseorang tapi dia lupa siapa.
“Ooohh… Namanya Almira. Dia teman sekelas Ray saat masih SMA di Amerika dulu,” jawab Oma Rita.
“Dimana dia sekarang Oma?”
“Katanya sih sekolah desain di Perancis setelah itu Oma belum pernah dengar lagi. Kenapa Lila?” tanya Oma Rita sambil memperhatikan ekspresi Lila.
“Cantik. Pacarnya Mas Ray, ya?” Lila menyeringai.
“Kamu ini. Ray sama kamu itu sama. Sama-sama mikirin satu sama lain. Jadi mana pernah Ray pacaran.” Oma menepuk tangan Lila.
“Ohhh…kelihatannya deket banget.”
“Kamu cemburu?” Oma tersenyum menggoda Lila. “Mereka memang dekat tapi hanya sebatas sahabat. Kalau nggak salah sampe Ray pindah ke Indonesia mereka masih berhubungan.”

Lila tidak pernah tahu ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Begitu yang sering dia baca di novel-novel picisan koleksinya. Kalau tidak ada campur tangan perasaan kedekatan itu tidak pernah terjadi. Kurang lebih itu juga yang Lila rasakan selama ini. Tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis selain kepentingan kuliahnya dulu dan pekerjaannya saat ini.

Selasa, 08 Januari 2019

Pilih Yang Mana ?

18.33 31 Comments
“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” Dee Lestari

  Kopi minuman yang tak lekang oleh zaman. Baik generasi tua, muda bahkan anak-anak pun menyukainya. Salah satu minuman berkafein ini biasanya di nikmati saat pagi atau sore hari sepulang beraktifitas. Atau sebagai pasangan untuk menikmati kudapan.

Setiap daerah bahkan Negara mempunyai jenis kopi dan cara penyajian kopi yang unik. Turkish coffee salah satunya. Keunikan dari minuman ini adalah cara penyajiannya yang menggunakan pasir untuk memanaskan. Diyakini pasir memiliki panas yang konsisten sehingga menghasilkan cita rasa kopi yang nikmat. Biasanya kopi ini disajikan dengan Turkish delight, manisan turki yang sangat di sukai Edmund dalam film Narnia.
Selain Turkish coffe ada teknik lain dalam menyeduh kopi.
French press
Merupakan sebuah alat yang digunakan untuk menyeduh kopi. Beberapa orang menganggap alat ini lebih efektif dalam menyajikan kopi. Rasa kopi yang dihasilkan pun lebih kuat.


Alat ini terdiri dari dua bagian utama yaitu tutup yang berfungsi sebagai alat penekan dan tabung sebagai tempat penampung kopi. System kerja alat ini adalah merendam kopi dengan air panas sehingga menghasilkan kopi dengan rasa yang penuh. Artinya semua kandungan kopi tersaji sempurna.
Caranya kopi di campur dengan air bersuhu 90 derajat ke dalam jar. Kemudian panaskan selama 4 menit sesekali di aduk untuk menghasilkan ekstraksi yang pas. Kemudian tekan sampai ampas dan cairan kopinya terpisah
Pour Over
Teknik ini lebih sederhana karena tidak memerlukan alat khusus. Hanya memerlukan kertas saring/filter yang digunakan untuk menampung bubuk kopi. Kemudian disiram menggunakan air panas. Penyeduhan ini menggunakan teko dengan corong tinggi serta lubang tempat air keluar tidak terlalu besar. saat menuangkan air harus dilakukan dengan pelan serta dengan gerakan tangan memutar.
Cara penyeduhan seperti ini pernah digunakan dalam salah satu adegan drama korea Coffee Prince. Rasa kopi yang dihasilkan pun lebih light. Beberapa orang menganggap teknik pour over ini akan memisahkan beberapa zat kopi sehingga akan kehilangan saat menikmatinya.
Cold Brew
Teknik ini memerlukan kesabaran yang sangat tinggi terutama bagi penikmatnya. Karena tidak seperti teknik lainnya yang hanya memerlukan hitungan menit dalam proses pembuatannya. Cold brew memerlukan waktu yang lebih lama bahkan bisa berjam-jam.
Awalnya teknik ini adalah dengan merendam bubuk kopi dengan air dingin selama semalaman. Kemudian saat penyajian dapat diminum langsung atau diseduh kembali dengan air panas. Seiring berjalannya waktu teknik ini pun mengalami perubahan yang kini lebih dikenal dengan cold drip.

S
etelah mengetahui cara penyajian kopi. Kini saatnya menentukan kopi apa yang akan kita nikmati. Nah biar nggak salah pilih sebaiknya tahu dulu jenis-jenis menu kopi yang biasa ada di café atau kedai kopi.

Espresso

Penyajian kopi ini menggunakan alat yang namanya sama yaitu mesin espresso. Rasa yang dihasilkan dari kopi ini pahit dan pekat dengan kandungan kafein 60-70%. Terdapat buih putih atau yang di sebut crema sebagai salah satu indicator keberhasilan  dari proses ini. crema ini terbentuk dari tekanan minyak yang terkandung di dalam biji kopi.
Americano
Beberapa orang menyebutkan bahwa nama Americano adalah plesetan bagi orang amerika yang tidak menyukai espresso. Perbedaannya hanya terletak pada perbandingan air yang digunakan.
Rasa dari Americano ini lebih light dan encer dibandingkan espresso. Penyajiannya pun bisa panas atau dingin dengan atau tanpa gula. Kalau untuk yang penasaran dengan espresso bisa dimulai dengan Americano terlebih dahulu.
Cappucino
Bagi yang suka minum kopi tapi dengan cita rasa manis yang satu ini bisa jadi pilihan karena ada tambahan steamed milk dengan perbandingan 1:1:1 atau 1/3 espresso : 1/3 steamed milk : 1/3 susu foam. Penambahan susu foam ini menjadikan penampilan cappuccino terlihat mengembang dengan tambahan busa atau foam. Biasanya diatasnya di taburi bubuk coklat untuk mempercantik penampilannya.
Latte

Minuman yang satu ini tidak memiliki banyak tambahan bahan selain kopi. Hanya terdiri dari espresso dan susu. Dengan perbandingan 1:3. Biasanya minuman ini bisa di kreasikan dengan hiasan diatasnya atau biasa disebut latte art. Karena perbandingan susu nya lebih banyak sehingga saat pertama kali minum akan terasa susu yang cukup kuat.
Moccacino
Pecinta coklat dan kopi bisa menikmati keduanya dalam satu minuman. Minuman ini terdiri dari empat macam bahan yaitu espresso, coklat, susu dan whip cream dengan perbandingan masing-masing bahan 1:1. Coklat yang digunakan bisa coklat hitam atau putih dalam bentuk bubuk atau sirup.
Affogato
Minuman yang satu ini sedikit unik dan berbeda dibandinga yang lain. beberapa orang juga mengatakan bahwa Affogato adalah salah cara menikmati espresso dengan sensai dingin.
Affogato adalah perpaduan es krim vanilla dengan espresso. Biasanya disajikan dalam wadah berbeda. Satu slot espresso dipasangkan dengan satu sekop es krim vanilla.

Cara menikmatinya dengan menyiramkan espresso diatas es  krim. Dapat diminum langsung dari lelehan es krim yang terkena panas espresso atau menyendok es krim yang sudah berlumur es krim. Rasa manis dari es krim tetap terasa tetapi tidak mendominasi espresso sehingga rasa pahit kopi masih terasa.

Senin, 07 Januari 2019

SEPARUH JIWA?

19.10 0 Comments
Belahan jiwa, separuh hati, kekasih hati dan ada banyak ungkapan lain yang dipakai kebanyakan orang untuk menunjukkan arti seseorang dalam kehidupan kita. Tak jarang banyak yang menganggap frasa tersebut sangat cheesy, alay. Bahkan banyak juga yang menganggap tak hanya kata yang digunakan tapi pelakunya sendiri yang memiliki kepribadian kekanakan. Sehingga banyak yang memilih mengungkapkan maksud tersebut dengan bahasa lain hanya untuk menghindar label cheesy tadi.
Tapi saya akan menabrak semua anggapan itu tadi. Mengabaikan respon atau label yang akan orang sematkan. Sebagai orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah salah satu bentuk kecintaan pada tanah air.
Separuh jiwa

Bukan hanya mengekor dari sebuah lagu yang popular tapi pada beberapa orang memang benar seperti itu adanya.
Bagi saya suami adalah separuh jiwa. Kekuatan sekaligus kelemahan terbesar saya.
Kalau dianalogikan dengan hal lain itu seperti Elang dan sayapnya, yang akan terbang dengan gagah membelah cakrawala tapi hanya akan menjadi burung biasa yang tak berwibawa saat sayapnya tidak berfungsi normal atau tidak ada. Pohon dan akarnya, yang berdiri kokoh dan kuat saat badai mencoba menggoyahkan tapi saat akarnya keropos dan membusuk di dalam tanah dia hanya menjadi batang berdiri yang sekali tiup akan roboh. Pagi akan kehilangan semangatnya saat matahari lebih memilih bersembunyi di balik mendung. Membuat pagi sama dinginnya dengan malam.
Sepenting itu arti suami saya, Miftachu Firridjal.
Kemarin, 7 Januari 2019,  saya menjalani rutinitas seperti biasa. Tanpa di sertai firasat atau prasangka apapun. Siang sebelum berangkat untuk jemput si sulung saya mengirim sebuah pesan berisi aktivitas dan candaan sarkas yang biasa saya lontarkan untuk menanggapi salah satu kebiasaan buruk.
Selama perjalanan berangkat maupun pulang memang ada sedikit rasa tidak tenang di hati. Karena jarang sekali saya tidak mengetahui atau mengabaikan adanya panggilan masuk apalagi dari suami. saya anggap juga biasa aja karena saya selalu bersemangat saat menerima telpon darinya. Sampai kami bertiga bersiap makan siang pun belum ada panggilan masuk. Akhirnya saya menghubungi duluan. Hanya beberapa detik menunggu sebelum diangkat. Nah percakapan singkat itu yang menyebutkan kata sakit, rumah sakit itu masih belum bisa saya terima. Lalu saya pamit sama anak-anak agar mereka makan tanpa saya.
Saya pun masuk ke dalam kamar. Selain pembicaraan yang tidak boleh didengar anak-anak juga menyembunyikan keran air mata yang terbuka dan susah dikendalikan.
Akhirnya dalam percakapan jarak jauh dengan kesadaran penuh bahwa suami, separuh jiwa saya itu sedang terbaring lemah di sebuah kamar inap rumah sakit. luruh seketika. Rasanya tulang-tulang dalam tubuh ini lolos semua. Dalam perbincangan itu rasanya pengin bilang, “Candaannya lucu banget.” tapi nggak bisa.
Penampilannya memang tak menunjukkan bahwa dia sekarang sudah menjadi seorang pasien. Aliran darah masih Nampak jelas di wajahnya. Tapi saya menangkap raut sedih dan setitik air diujung matanya. Dan itu itu sudah cukup untuk segera berhenti menyangkal bahwa suami saya baik-baik saja.
Memang bukan yang pertama dia sakit saat sedang berjauhan. Tapi sakit sampai memaksa dirawat di rumah sakit adalah yang pertama kalinya sepanjang kami saling mengenal. Dan dititik ini pula saya hanya bisa memandang lemah tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menghapus air matanya pun tak mampu.
Saat kabar itu sudah bisa diterima dengan baik setiap sel dalam tubuh, hanya ada satu hal yang bisa saya ucapkan, “Boleh ndis kesana?” meski jawaban itu lebih dulu saya ketahui tetap saja perlu disuarakan.

Tak banyak yang bisa saya perbuat selain mengucapkan sebanyak mungkin hal yang tidak bisa saya lakukan saat ini. Dan memastikan dengan kedua mata saya bahwa laki-laki yang terbaring itu tidak ada yang kurang. Dan sebagai penutup saya meminta di kirimkan video kondisi disana.
Hey suami,
Sejak terakhir istrimu mendengar kabar itu tak sedetik pun ia bisa membendung cairan yang menetes dari matanya. Bahkan dia tak lagi bisa menjadi aktris multi talenta yang berperan baik-baik saja di depan anak-anak.
Anak laki-lakimu itu semakin pandai tapi juga semakin manja. Makan siang kemarin dia tidak mengikuti permintaan istrimu untuk makan sendiri. Jadilah istrimu menyuapinya dengan mata sembab yang setiap menjawab pertanyaan cerdas dari anak gadismu akan dijawab dengan linangan air mata.
Hey suami,
Siang kemaren itu hanya ada dua suapan nasi yang berhasil istrimu makan. Bukan karena tak enak atau tak kebagian karena dihabiskan anak-anakmu atau kehilangan selera. Dimatanya makanan-makanan itu terlihat sangat lezat tapi berita keadaanmu itu masih membuat tenggorokannya tercekat sehingga membuatnya kesulitan untuk menelan.
Sepanjang siang itu pula dia tak bisa berhenti menangis. Bahkan saat anak-anakmu belum tertidur untuk istirahat siang, wanitamu itu masih menangis meski tanpa isak. Hanya nada suaranya lebih cepat naik bahkan sebelum detik berganti atau turun sangat rendah bahkan terlampau rendah.
Tak banyak yang bisa dia lakukan selain menemani anak-anakmu agar segera terlelap dengan sebuah kitab terbuka di tangannya. Sekali lagi wanitamu dalam keadaan tak berdaya, tak bisa berbuat banyak selain berdoa untuk kesembuhanmu juga ketenangan dirinya sendiri. Dan itu berat sangat berat.
Pada akhirnya anak lelakimu yang terakhir tidur, mungkin menjelang lelapnya ia menyadari perbedaan suara bundanya. Mimpi pun menarik replikamu semakin jauh dari alam fana, membuatnya tak lagi bisa mendengar isakan dari bundanya yang mengeras.
Dari puluhan ayat yang berhasil ia baca beberapa ayat pertama sangat susah sekali ia baca. Perlu beberapa kali pengulangan agar bacaan itu  lebih baik.
Lembaran kitab-kitab itu menyaksikan betapa dia berusaha sangat keras untuk ikhlas dan sabar. Dia tak ingin mengecewakanmu karena gagal untuk kedua kalinya pada ujian kesabaran ini. dengan bibir yang bergetar dia terus membaca rangkaian kalam ilahi tersebut. dalam hatinya selalu merapalkan doa tak hanya untukmu agar tak jauh dariNya juga untuknya agar dijauhkan dari prasangkas-prasangka buruk.
Hey suami,
Hujan turun saat pemeran utama sedang bersedih rupanya tak hanya terjadi dalam drama tapi di dunia yang fana ini benar-benar terjadi. Mendung gelap itu melepaskan air sangat deras. Menyembunyikan isakan keras dari istrimu agar anak-anakmu tak terbangun.
Sepanjang siang hingga sore menjelang hujan deras turun. Dan waktu terbaik itu pun tak dilewatkan dengan sia-sia oleh istrimu. Disepanjang waktu itu pula akhirnya ia mendapatkan sebuah ketenangan sehingga bacaan yang keluar dari mulutnya jauh lebih baik dari beberapa waktu sebelumnya. Meski tetesan air mata itu belum berhenti tapi dia sudah lebih tenang.
Hingga akhirnya kau pun bisa mendengarnya melalui sebuah panggilan telpon yang dilakukannya beberapa kali. Suaramu yang benar-benar terdengar lemah itu sangat membuatnya senang. Keadaannmu yang mulai membaik itu membuat hormon lapar istrimu aktif seketika. Dan memerintahkan perutnya berbunyi. Dan menjelang petang itu sejumlah makanan berhasil melalui organ pencernaannya dengan baik.
Tapi tahukah kamu, hey suami? sepanjang siang menangis membuat kondisi istrimu menurun. Dia memang tak terbaring lemah seperti dirimu, dia hanya terbaring kelelahan. Dia pun melewatkan aktifitas rutinnya setiap senin untuk beristirahat.
Dan semua itu terbayar dengan kondisimu pagi ini.
Dia mulai membuka laptop dan menulis lagi. bisa tersenyum dihadapan anak-anakmu. Sudah bisa bercerita dan bercanda dengan anak lelakimu yang manja. Dan sudah berdebat dengan anak sulungmu yang pandai. Pagi ini suasana rumah berangsur-angsur normal.

Semoga engkau pun semakin membaik dan segera keluar dari rumah sakit dalam keadaan sehat.

Esok, saat kau pulang. Peluklah dia dengan erat dan bisikan sebuah kesanggupan bahwa kau akan merubah gaya hidupmu menjadi lebih baik lagi. untuk dirimu sendiri, untuk anakmu dan untuk istrimu, Yenny Astriana Fitriatul Fajriyah.

Rabu, 02 Januari 2019

MANDA

23.41 0 Comments
Matahari masih mengintip di ufuk timur tetapi Cucak Kutilang sudah bersiul nyaring. Pejantan itu sudah aktif mengeluarkan kicauan terbaiknya untuk mengundang betina yang masih bersembunyi di dalam sangkar.
Energy postif itu pun menjalar pada diri Alex. Dengan tas yang sudah di sandang di punggungnya pun rambut basah hasil dari produk perawatan rambut yang beberapa bulan terakhir rajin digunakannya. Tak hanya seperti burung pejantan yang harus aktif dipagi hari untuk menarik betina lainnya, Alex pun sedang bergerilya menebarkan pesonanya untuk menarik lawan jenisnya.
Sebut saja Manda. Seorang perempuan yang dengan daya tariknya mampu memikat Alex semenjak hari pertama kuliah di mulai. Tak hanya kecantikan tetapi juga intelektualnya membuat Alex tak bisa berpaling barang sedetik.

“Bu Manda, saya perlu bicara.” Alex mencegat langkah Manda yang akan keluar kelas.
Seoalah batu kerikil Manda menghindar dan melanjutkan langkahnya. Banyak mahasiswa yang masih berkeliaran di sekitar kelas membuanya merasa cukup aman untuk segera pergi dari Alex yang beberapa hari ini terus mengejarnya.
Bukan tanpa alasan Manda memilih menghindar bahkan menjauh dari Alex. Debaran jantung yang Alex rasakan juga terjadi padanya. Tapi semua itu bukanlah hal wajar. Semua itu kesalahan. Jantung yang berdegup kencang itu harus segera dir edam sebelum semuanya memburuk.
Memilih jalan yang banyak dilalui orang ternyata cukup menghalau Alex untuk mendekatinya. Sehingga, seperti sebelum-sebelumnya, Manda bisa masuk kedalam ruanganya dengan aman.
“Manda,” Alex menahan daun pintu saat Manda akan menutupnya. “Kita harus bicara.”
“Nggak ada yang perlu kita bicarakan.” Manda mencoba mendorong tapi pintu itu tak juga tertutup. “Mahasiswa tidak ada yang bersikap lancang seperti ini.”
“Sebentar lagi dosen lain akan melewati ruangan ini. kalau kamu merasa tidak akan ada masalah dengan itu, aku akan bicara sekarang.”
Tentu semua itu akan bermasalah. Menjadi bahan gunjingan tidak menjadi impian Manda. Maka jalan satu-satunya adalah menuruti permintaan mahasiswanya.

Manda memunggungi Alex sambil bersedekap.  “Saya beri kamu waktu lima menit untuk bicara.”
“Aku merindukanmu, Man.”
Aku juga. Tapi Manda tak menyuarakannya. Ia biarkan berdengung di dalam kepalanya. Karena bukan cinta seperti ini yang harus Alex terima darinya.
“Aku sebenarnya tidak mengerti alasan kamu berubah secara tiba-tiba. Katakan apa salahku?”
Manda menggelengkan kepalanya, “Kamu tidak salah, Alex.”
“Lalu?”
“Keadaan yang salah. Aku yang salah.”
“Man?”
“Tolong, hentikan semua ini. kita kembali ke posisi awal. Kamu mahasiswa yang harus belajar dan aku dosen yang harus mengajar.”
“Jadi karena itu kamu menghindar dariku?” Alex melangkah mendekat. “Man…”
Belum sampai tangan Alex mencapai bahu Manda, perempuan berkacamata itu menyingkir. Mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya. Dan memberikannya pada Alex.
“Aku tidak sengaja membaca identitasmu dari arsip yang ada di gedung administrasi.”
Alex tersenyum, “Kamu tidak perlu menyelidiku sejauh itu. aku akan menjawab bahkan memberikan apapun yang perlu kamu ketahui tentang diriku.”
“Kamu tidak mengerti, Alex.” Manda tertunduk sendu. “Kamu anakku.”
“Candaan kamu sama sekali tidak lucu, Man.”
“Aku tidak bercanda, Alex. Aku dan papamu pernah menikah saat kami belum lulus sekolah menangah. Pernikahan kami hanya bertahan sampai kamu di lahirkan.” Manda mengangkat wajahnya, memandang wajah anaknya yang sarat ketidakpercayaan. “Karena aku berasal dari keluarga miskin, mama, Oma kamu memaksaku menyerahkan kamu. Sebenarnya…”
Tanpa menunggu lebih lama lagi Alex meninggalkan Manda dengan dentuman keras dari pintu yang tertutup. Manda terduduk lemah. air mata yang ditahannya itu mengalir melewati bingkai kacamata hitamnya. Duka dan penyesalan kembali menyelimutinya seperti Sembilan belas tahun yang lalu.
Map berwarna biru yang alex tinggalkan itu menunjukkan sebuah kopian akta kelahiran. Bertuliskan sebuah nama yang menjadi alasan terbesar Manda bisa hidup sampai detik ini. Alexander putra Wijaya, anak lelakinya yang tak sekalipun bisa ia temuin selama hampir dua puluh tahun.
Takdir sungguh pandai memporak porandakan hatinya. Ratusan hari ia menahan rindu, menanti dalam pencarian. Kini pertemuan yang sangat di damba itu berbuah petaka. Laki-laki yang membuat jantungnya berdebar adalah laki-laki yang selama ini ia cari, anak kandungnya sendiri.

Tak ada jalan lain selain mematahkan hati putranya sendiri sebelum kemalangan menimpanya juga permata hatinya. Biarlah sakit itu menjadi pelajaran berharga untuk anaknya bahkan mungkin akan menjadi hukuman untuk dirinya sendiri.

PS. cerita ini terinspirasi dari dongeng tangkuban perahu

Follow Us @soratemplates