Minggu, 23 Desember 2018

# Fiksi # jodoh

Remind Me_Empat

Karpet merah. Dengan banyak bucket bunga berwarna putih menjadi dekorasi utama resepsi pernikahan Lila yang diadakan di Ballroom sebuah hotel. Dihadiri oleh hampir seribu undangan yang sebagaian besar adalah rekan kerja Ray dan Ayahnya selama bekerja di kedutaan. Mereka semua datang memberikan ucapan selamat.

 “Mas, aku capek banget. Bisa nggak kita istirahat sebentar?” pinta Lila sambil berbisik. Sudah hampir dua jam Lila berdiri menyalami tamu undangan. Kepalanya mulai terasa pusing.
“Kamu nggak lihat antrian undangan masih banyak” jawab Ray datar.
Lila pun cemberut dan kecewa meski tidak bisa menghilangkan senyum dari wajahnya.  antrian undangan yang akan memberikan ucapan selamat juga berfoto masih mengular cukup panjang.
Berdiri terlalu lama bukan menjadi penyebab utama Lila merasakan pening dikepalanya. Beberapa hari menjelang pernikahan menjadi hari yang sangat sibuk. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk bertemu beberapa vendor yang menyiapkan acara hari ini agar berjalan lancar. Meski sebagian pekerjaannya sudah diambil alih sementara oleh mbak Ika tetapi tidak cukup membuatnya lebih santai.
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Rasa lapar yang sempat melandanya beberapa waktu lalu menghilang seketika. Rendahnya suhu pendingin ruangan membuat badannya sedikit menggigil. Ditambah kebaya yang dikenakannya yang terbuka dibagian dada dan punggung atas tidak membuatnya cukup merasa hangat.
Seteguk air putih yang disiapkan panitia cukup membuat dadanya tidak terlalu berdebar. Memberinya sedikit tenaga untuk tersenyum dan berdiri tegak saat berfoto bersama tamu undangan.
Rupanya menjadi seorang ratu yang tak sampai satu hari itu memberikan kesan buruk bagi Lila. Seandainya hari bisa di putar ulang mungkin Lila akan sedikit merubah konsep resepsi. Menghilangkan dekorasi pelaminan dan antrian memberi ucapan selamat. Digantikan dengan pasangan raja dan ratu sehari berjalan berkeliling menghampiri satu per satu tamu undangan. Tapi konsep baru pun tidak mengurangi durasi berlangsungnya acara. Akhirnya Lila pun pasrah dengan sisa antrian terakhir yang berkisar 20 orang saja.
“Aku nyerah.”
Lila langsung mendaratkan bokongnya setelah jepretan blits kamera berakhir. Dengan sebelah tangannya memegang pada tangan Ray, secara tidak sengaja, Lila menyentuh pelipisnya yang berkeringat.
“Kamu nggak capek?” Lila bertanya heran saat sadar Ray menunduk memandangnya.
Dia pun memalingkan wajah saat tidak mendapat tanggapan. Dan baru sadar bahwa Ray tidak hanya melihatnya. Melainkan menatap jemarinya yang memagang pergelangan tangan Ray.
“Sorry.” Lila buru-buru melepaskan.
Seorang panitia membawa baki berisi nasi dengan tumis daging cincang dengan potongan jamur. Dua jam yang lalu Lila pasti langsung melahapnya. Sayangnya saat ini yang ia butuhkan bukan makanan tapi sebuah kasur empuk dan selimut yang hangat.

***

Lampu utama dikamar hotel ini belum menyala. Hanya sebuah lampu kuning dengan cahayanya yang membuat tidur orang nyenyak yang menyala. Dilantai kamar bergeletakan kebaya pengantin berikut kain batik panjang dan untaian bunga melatih putih. Juga jas dengan warna senada dengan kain batik dan sebuah kemeja putih.
Sepertinya perang cinta penuh hasrat pasangan yang baru saja menikah berlangsung semalam. Sehingga membuat dua orang manusia itu terkapar kelelahan dengan selimut yang membungkus rapat keduanya.
Rupanya tidak demikian yang terjadi. Lelah teramat sangat setelah seharian mengikuti rangkaian acara pernikahan membuat keduanya ingin segera menghempaskan diri diatas kasur. Akibatnya pakaian yang mereka kenakan seharian itu tergeletak begitu saja usia membersihkan diri.
Detik jam masih menunjukkan waktu dini hari saat telepon selular milik Lila bergetar. Perlu beberapa kali berbunyi untuk membuat tidur Ray terganggu. Sementara sang pemilik tetap tenang tanpa terusik.
Ray hanya melongok untuk memastikan bunyi yang ditangkap ditelinga. Lalu kembali merebahkan badannya saat bunyi tersebut berhenti.
Satu menit kemudian ponsel yang sama berbunyi. Ray kembali bangun untuk melihat seseorang yang menghubungi diwaktu yang tidak wajar ini. Merasa ada kemungkinan sesuatu yang penting, Ray pun membangunkan Lila.
“Lil, handphone kamu bunyi”
Ray merasakan panas saat memegang bahu Lila untuk membangunkannya. Mungkinkah Lila sakit? tapi bisa saja hanya karena pengaruh pendingin ruangan.
Lila pun bangun dan langsung  untuk mengambil ponselnya diatas meja yang berada di seberang tempat tidur. Meski sedikit sempoyongan Lila menjawab panggilan tersebut dengan berdiri.
“Iya mbak?”.
“Lila maaf ganggu waktu istirahat kamu.” ucap mbak ika dari ponsel.
“Iya mbak nggak pa-pa. Ada apa?”
“Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Kakek di UGD sekarang.”
Belum sempat menjawab, telepon genggam yang dipegang Lila meluncur lepas dari pegangan tangannya. Sementara tubuh Lila seperti kehilangan penyangga langsung luruh.
Ray yang menyimak dari atas tempat tidur langsung melompat melihat badan Lila terkulai lemas. Terlambat beberapa detik saja kepala Lila bisa menghantam kaki meja dihadapannya. Beruntung Ray dengan sigap menangkap tubuh Lila yang kehilangan kesdaran.
Layar ponsel Lila masih berkedip menunjukkan panggilan tersebut masih terhubung. Ray pun  mengambilnya.
“Halo?”
“Ray? Lila kenapa?.”
“Lila pingsan, mbak. Memangnya ada apa?”
 “Astaga! Gimana ya? Kakek masuk rumah sakit. kondisi nya nggak terlalu baik. Jadi mbak harap Lila ada disini sekarang.”

***

Selendang berwarna hitam yang menggantung di pundak Lila berayun-ayun terkena angin. Matahari sore yang mulai kehilangan panas itu bergerak pulang. Burung-burung pun mulai berkicauan diatas dahan pohon kamboja. 
Dengan kacamata hitam yang menutupi matanya yang sembab. Meski sudah tidak ada yang menetes dari kelopak matanya, hidung Lila memerah dan mengeluarkan cairan. Sesekali Lila menggunakan jarinya untuk mencegah cairan tersebut keluar.
Lila masih berdiri di samping makam kakek saat semua orang mulai pergi satu persatu. Beberapa kerabat dekat menyalaminya untuk memberikan ucapan bela sungkawa.
Mbak Ika berjalan mendekat, menghampiri dan memeluk Lila untuk menenangkan.
Sabar, Mbak Ika memeluk Lila sangat erat. “Mbak pulang dulu” kata mbak ika sambil melepas pelukan.
“Makasih ya mbak” Ucap Lila tenang. Sangat tenang.
 Semua orang pasti mengira Lila orang yang sangat tegar atas kepergian kakek yang tiba-tiba. Dibalik ketegaran yang ditampilkannya itu Lila menyimpan sebuah lubang besar yang berisi kekosongan hatinya. Kalau bisa disuarakan mungkin hatinya ingin mengatakan seberapa banyak ketegaran dan kesabaran yang harus ia miliki? Atau seberapa kuat kakinya untuk berdiri menyapa sebuah kehilangan?
 Oma Rita menjadi orang terakhir yang menghampiri Lila setelah papa dan mama meninggalkan area pemakaman. Disana kerumunan orang sudah menghilang. Berganti angin sore yang semakin kencang berhembus.
“Lila, kita pulang ya?” Ajak Oma.
“Lila masih mau disini. Oma pulang duluan aja,” Lila tersenyum.
Semua orang tahu bahwa itu bukan tanda bahagia.
“Biar Ray yang temani Lila, Oma.” Ray menyahut tanpa bergerak dari tempatnya semula.
Lila masih berdiri memandangi gundukan tanah yang menutupi jasad keluarga terakhirnya. Bulir bening pun akhirnya merayap turun di pipinya yang putih. Kacamata hitam itu tak lagi bisa menutupi tangis kesedihan. Suara isakan lemah memecah keheningan petang menggantikan sore.
Kakek tidak mengucapkan apa-apa bahkan membuka mata untuk yang terakhir kali pun tidak. Lila menjumpai kakek terbaring lemah dengan peralatan pendeteksi jantung yang terhubung ditubuhnya. Tepat saat Lila mengenggam tangan kakek untuk menyapa peralatan medis itu berbunyi cepat. Memanggil semua tenaga medis yang bertugas berdatangan. Seperti sedang menunggu kedatangan cucu kesayangannya, kakek pun pergi tanpa pamit. Dokter mengucapkan waktu kematian kakek dan meminta suster untuk melepas semua kabel yang menempel. Untuk yang kedua kalinya kesadaran menghilang dari tubuh Lila.
Kepergian kakek mengagetkan banyak orang. Terutama Lila. Kurang dari 24 jam status seteah menikahkan cucunya, serangan jantung menyerang kakek. Oleh asisten rumah tangga kakek dibawa kerumah sakit dan menelpon mbak Ika untuk memberi kabar.
Ray yang memandang Lila dari belakang teringat pertemuannya dengan kakek beberapa hari yang lalu. Pada pertemuan itu kakek menceritakan secara terperinci mengenai galeri seni yang dikelolanya. Juga beberapa tanggungjawab yang harus Lila emban seandainya kakek memilih pensiun.
Rupanya pertemuan itu memang sudah tuhan rencanakan. Kerana setelah pembicaraan itu Ray sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk bercakap-cakap dengan sahabat Omanya. Hingga pertemuan terakhir saat kata tak lagi bisa Ray dengar.
“Nak Ray, titip Lila. Jaga dia seperti kamu menjaganya sewaktu kecil. Kakek mewakili almarhum orangtua Lila menyerahkan Lila sepenuhnya kepadamu.”
Ucapan itu seperti pesan terakhir yang ditujukan padanya. Ikrar yang juga ia ucapkan dihadapan tuhan. Mampukah Ia? Pertanyaan itu membutuhkan perjalanan panjang untuk dijawab.
Petang semakin gelap, Ray pun melangkah mendekat. Setelah berdiri disamping Lila, Ray melingkarkan lengannya dipundak Lila. Menepuk-nepuknya pelan.
“Kita pulang, ya?”
Lila tidak mengangguk juga menjawabnya. Dia hanya berjalan mengikuti Ray yang membimbingnya keluar dari area pemakaman.
Ingin sekali ia meraung-raung, memohon agar kakek bangun dari timbunan tanah. Seperti menabur garam dilautan. Kesia-siaan yang ia dapatkan. Energinya pun seperti terbakar habis bersama air matanya yang mengering.
***
Tangan yang menyentuh pundaknya itu kini sudah berpindah dibalik kemudi mobil. Meski demikian kehangatan yang disalurkannya masih terasa. Sentuhan kecil itu memang yang Lila butuhkan saat ini. Bukan sebuah kalimat penyemangat tapi sebuah tempat untuk menyandarkan kepalanya. Membagi sedikit beban yang berada dibahunya.
Mobil yang Ray kemudikan membelah jalanan yang dihiasi lampu-lampu berwarna jingga. Gerimis pertama penanda pergantian musim pun tiba. Membuat wiper yang beberapa bulan ini diam menjadi aktif kembali. Bergerak menyapu kaca mobil yang basah oleh air agar tidak menghalangi pandangan.
Udara diluar mungkin sama dinginnya dengan didalam mobil. Suara penyiar radio membuat ruang sempit tidak terlalu sunyi.
 “Aku mau pulang. ”
Suara parau Lila menyapa Ray focus mengemudi. Dia tahu yang Lila maksud dengan pulang adalah tempat tinggalnya bersama kakek. Bukan rumah orang tuanya atau rumah yang akan ditinggalinya bersama Lila nanti.
Ray tidak menjawab. Dia langsung mengarahkan kemudi mengikuti permintaan Lila. Tak butuh waktu lama karena kendaraan roda empat tersebut sudah berhenti dihalaman rumah Lila.
“Kamu bisa kembali ke hotel.”
Kejadian hari ini memang diluar rencana. Barang-barang mereka masih tertinggal di kamar hotel yang mereka tinggali semalam. Bahkan letak baju itu mungkin masih sama seandainya petugas hotel tidak membersihkannya.
Ray mengabaikan perkataan Lila dan mengikutinya masuk kedalam rumah. Ia juga mengacuhkan Lila yang berdiri melihat Ray berjalan meninggalkannya di ruang tamu.
 “Istirahat saja. Demammu bisa bertambah tinggi”
Benar. Lila memang sedang tidak merasa baik-baik saja. selain perasaannya, tubuhnya sedang protes untuk diistirahatkan. Tanpa pikir panjang Lila pun masuk ke dalam kamarnya. Dan merebahkan diri diatas kasur setelah membersihkan diri.
Ray masuk kamar dan melihat Lila sudah terlelap. Dia berjalan sambil membawa baskom berisi handuk dan air hangat yang ia minta dari asisten rumah tangga. Dia juga meletakkan handuk tersebut ke dahi Lila yang panas. Dia mendengar deru nafas Lila yang tidak beraturan. Juga sesekali keluar dari bibir pucat Lila rintihan-rintihan kecil. Mungkin karena suhu tubuhnya yang terlalu tinggi. Atau memang karena peristiwa yang baru saja menimpanya.

Ray sendiri bingung bagaimana harus bersikap. Kenangan masa kecilnya benar-benar hanya sebuah kenangan. Kehadiran Lila kecilnya sudah tergantikan. Meski dihadapannya berbaring seseorang yang sedang membutuhkannya. Hati dan pikirannya tetap dipenuhi oleh orang lain. Seseorang yang memiliki banyak kesamaan dengannya. Perempuan dengan mimpi dan kegigihannya berproses untuk mewujudkan mimpi yang sudah dibangunnya semenjak masih kanak-kanak. Perempuan yang belum pernah mendengar isi hatinya. Perempuan itu Almira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates