Kafein
dengan rasa pahit bercampur dengan krim yang gurih dan sedikit gula. Perpaduan
rasa dengan kenikmatan tertinggi itu mampu menaikkan level semangatku seketika.
Tapi itu
hanya terjadi didalam balon udara yang melayang diatas kepala yang seketika
meletus ketika seseorang menepuk pundakmu.
Karena
hanya berlangsung didalam angan-angan saja maka sudah selayaknya aku segera
kembali menapakkan kaki di bumi.
Cangkir
bermulut besar itu memang menampakkan isi yang sangat menggugah selera. Apalagi
cuaca malam ini yang cukup dingin setelah hujan yang mengguyur beberapa waktu
lalu.
Hanya bagi sebagian orang saja. Karena aku hanya
lah segelintir orang yang tidak pernah menyukai minuman coklat, baik hangat
maupun dingin. Hanya ketika berbentuk kue aku bisa menikmati coklat. Selain
dari itu aku lebih memilih berpuasa.
Sayangnya
tak banyak orang yang bersedia mengakui seleraku yang sedikit menyimpang ini. Bahkan
orang terdekatku sekalipun. Mereka selalu merasa menjadi orang paling mengenalku
yang selalu memesankanku minuman tanpa bertanya terlebih dahulu.
Salah
satu dari mereka, yang mengaku memiliki hubungan dekat denganku, duduk
dihadapanku saat ini. Sedang sedang mendongengkan sebuah filosofi coklat dan
segala manfaatnya.
Banyak
bicara? Bukan. Selalu ingin didengar? Semua orang juga menginginkannya. Dominan?
Mungkin kata itu cukup tepat untuk menggambarkan karakternya. Dendra selalu
menjadi pengendali hampir disetiap pertemuan kami. Dia selalu memiliki control hampir
disegala hal. Pilihan topik pembicaraan, tempat yang akan kami tuju bahkan pilihan
menu yang akan kami santap.
Pixabay |
“Selain
bisa diminum hangat atau dingin, coklat juga bagus untuk menstabilkan suasana
hati.”
Ya, aku
sudah mendengar puluhan kali Dendra mengucapkan teori itu. Bahkan mungkin
disetiap kami membeli makanan atau minuman coklat. Meski aku sebenarnya tidak
pernah benar-benar bisa menikmatinya.
“Indica
bahkan selalu membawa coklat didalam tasnya. Katanya untuk penawar jika
kerjaannya tidak berjalan sesuai rencana.”
Ini
jugalah yang membuatku semakin membenci semua hal yang berhubungan dengan
coklat. Dendra selalu mengaitkannya dengan Indica. Seolah-olah Indika yang
memjadi pencetus keberadaan coklat dimuka bumi ini sehingga setiap menyebut
coklat harus disertai dengan namanya.
“Mbak!”
Aku memanggil seorang pelayan. “Espresso double shot ya”
“Ran,
minuman kamu kan belum habis?”
“Terlalu
manis, Ndra. Bisa diabetes aku kalau kebanyakan gula.” Jawabku sekenanya.
“Tapi kan
bisa pesan yang lain. Ini udah malam, lho. Nggak bisa tidur kamu nanti.”
“Aku
memang rencana mau begadang. Aku belum bikin daftar tamu undangan. Besok kan
udah harus dicetak.”
Dendra
mendesah. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan. “Aku bantu ya? nggak usah
protes!”
Aku baru
saja hendak menolak tapi Dendra selalu pandai memaksa tanpa membuat orang lain terpaksa.
“Kita
memang udah bagi tugas tapi pernikahan ini pernikahan kita. Dan aku nggak mau
egois dengan membiarkan kamu begadang sendiri sementara aku bisa enak-enakan
tidur.”
Meski
selalu mendominasi tapi Dendra juga sangat pengertian. Tidak pernah menunggu
diminta terlebih dahulu untuk membantu. Selalu memiliki inisiatif hampir
disetiap hal.
Banyak
yang mengatakan bahwa laki-laki itu tidak peka terhadap sikap perempuan. Teori
itu dipatahkan oleh Dendra. Buktinya aku yang sangat pendiam yang harus ditanya
agar berbicara pun bisa menjalin hubungan lebih dari satu tahun tanpa merasa
kecewa karena ketidakmampuan laki-laki mengenali pasangannya. Bahkan
ketidakmampuan itu justru ada ditanganku karena aku tidak pernah bisa mengetahui keinginan Dendra tanpa diberi tahu.
Suasana
kafe malam ini benar-benar menyenangkan. Cahaya temaram lampu menambah
kehangatan. Dan Dendra kembali menunjukkan dominansinya sebagai seorang pria.
Menyusun daftar tamu undangan sepenuhnya diserahkan padaku. tapi lihat
bagaimana dia mengingatkanku pada teman-teman dekatku saat kuliah yang sudah
jarang sekali kutemui.
“Bukan
berarti karena kamu jarang bertemu lantas tidak diundang. Mereka kan pernah
menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidup kamu.”
Lihat?
Rasanya aku tidak memiliki alasan untuk tidak memilihnya menjadi calon suamiku.
Dendra sangat mengenalku dan membuatku selalu terlihat baik dihadapan semua
orang.
Kemampuanku
bersosialisasi dengan manusia mungkin mendapat nilai minus. Tapi berkat Dendra
aku mendapat nilai positif. Dimata orang aku menjadi sosok yang tidak melupakan
masa lalu. Yang selalu mengingat orang-orang yang hadir dalam hidupku.
Jarum jam
hampir menunjuk angka 10 malam. tidak terasa sudah lebih dari dua jam kami
menghabiskan waktu di kafe ini. beberapa pramusaji sudah mulai bersiap untuk
menutup restoran. Bahkan hanya tinggal beberapa meja saja yang masih terisi
oleh pengunjung.
“Lama
juga ya bikin daftar undangan aja.”
“Untung
kita kerjain bareng. Kalau aku sendiri mungkin sampai besok belum selesai.” Aku
menutup laptop dan memasukkannya kedalam tas. “Tinggal nyatuin sama daftar tamu
orang tua kita.”
“Aku jadi
ingat pesan Indica. Katanya ada banyak printilan pernikahan yang kelihatan
sepele tapi sangat menyita waktu. Mungkin ini kali ya maksudnya.”
Aku
sempat berhenti sejenak untuk mengambil cangkir berisi minuman coklat yang
sudah dingin. Nama itu sekejap membuatku kehilangan selera untuk menghabiskan
minuman manis itu. Dan memilih espreso yang tidak benar-benar ingin ku minum. Hanya
dalam sekali teguk minuman hitam pekat itu langsung berpindah kedalam
lambungku.
Aku tahu.
Itu adalah kesalahan dalam menikmati sari pati kopi. Aku mungkin bisa tersedak
karena rasa pahit yang tidak biasa dengan indera perasaku. Bahkan mungkin
lambungku akan berteriak protes terkena hantaman asam yang cukup kuat.
Meski
begitu Dendra tidak berusaha mencegah atau mengingatkan. Dia hanya menatapku
dengan sorot mata heran mungkin juga takjub karena melakukan hal yang tidak
seharusnya.
“Dia hebat banget ya? tahu segala macam jenis
minuman bahkan kelihatannya punya banyak sekali pengalaman tentang persiapan
pernikahan. Siapa tadi namanya?”
“Ran …”
“India? Ahh
Indica. Mungkin sesekali aku harus bertemu dengannya. Bisa kamu bantu aku?”
“Ran … “
Kuabaikan
Dendra. Aku mengambil ponsel Dendra yang tergeletak diatas meja. Kubuka kontak
dan mencari nama wanita yang mendengarnya saja aku tidak mau.
“Aku harus
belajar banyak darinya biar aku jadi wanita yang pantas buat kamu.”
“Ranti!!!”
Dendra merebut
ponsel ditanganku.
Aku tahu.
aku sudah kalah banyak disini. tapi aku tidak ingin menyerah lalu melangkah ke
belakang. Dendra terlalu banyak mengambil peran dalam hidupku.
“Aku
harus menjadi wanita yang pantas untuk menjadi istri kamu.”
Emosi
dalam diriku terllau tinggi. Aku tidak bisa menghalaunya. Sehingga membuat
bibirku bergerak tanpa bisa kukendalikan. Maka hanya racauan yang bisa
kuucapkan.
“Aku
harus menjadi wanita yang pantas”
“Aku
harus menjadi wanita yang pantas”
“Aku
harus menjadi wanita yang pantas”
Ketika emosi
benar-benar menguasaiku, seluruh indra yang kumiliki akan kehilangan
kemampuannya. Aku tidak bisa memahami apa yang orang ucapkan. Aku hanya terus
mengulang kalimat-kalimat yang hanya bisa menunjukkan betapa buruknya seorang
Meranti.
pixabay |
“Ranti.”
Dendra menarik lembut tanganku lalu menggenggamnya. “Kamu sudah sangat pantas
untuk jadi istriku.”
Sentuhan
hangat itu membuatku perlahan mengangkat kepala. Memaksa kelopak mata terbuka
lebar. Meski bola mataku sedang ditenggelamkan oleh cairan bening yang entah
bagaimana tidak tumpah.
“Lalu
kenapa kamu selalu menyebut namanya dihadapanku?”
“Ran, itu
cuma reflek. Seperti kebiasaan aja. kamu tahu aku pernah bersamanya dalam waktu
yang cukup lama.”
“Jadi
gitu.”
Nyalang
dimataku sirna sudah. Emosi yang sudah berada dipuncak menguap begitu saja.
“Karena
kebiasaan.” Ucapku lirih.
Kepalaku
kembali tertunduk. Aku segera bangkit dari duduk. Meski
“Ranti,
bukan itu maksudku.”
“Aku mau
pulang.”
Aku
kehilangan seluruh kekuatan dalam tubuhku. Untuk berjalan sampai pada mobil
Dendra pun aku harus menyeret kedua kakiku.
Ketika
Dendra membukan pintu mobil, aku langsung melempar diriku kedalam. Menyandarkan
kepala setelah memakai sabuk pengaman.
Gerimis
kembali turun. Membasahi kaca jendela.
Keheningan
malam semakin terasa karena jalanan mulai sepi dari kendaraan yang melintasinya.
Sepanjang
perjalanan pun hanya ada suara penyiar radio yang mengisi celah-celah
keheningan.
Dendra
tahu aku sedang marah. Itu juga yang membuatnya tidak mengajakku berbicara
sedikit pun. Dia seperti sedang membiarkanku masuk kedalam ruang yang hanya ada
aku dan emosiku didalamnya.
Badanku terlalu
lelah untuk berpikir kejadian yang bukan pertama kali terjadi itu. Aku memilih
untuk menutup mata dan membiarkan suara penyiar radio yang menemani Dendra.
Note
Terinspirasi dari lagu yang berjudul Karna Aku Tlah Denganmu yang dinyanyikan oleh Ari Lasso berduat dengan Ariel Tatum
Pengalamannya sangat berharga sekali ya kak untuk pribadi, sekaligus buat para pembaca blog ini
BalasHapusSyukur klo bisa mendapat manfaat dari blog ini
HapusKeren postingannya!
BalasHapusMakasih
HapusNice post! Sangat salut dengan apa yang telah dilakukan.. Tetap Semangat..
BalasHapusMakasih. Semangat juga
BalasHapus