Rabu, 31 Juli 2019

# adik # cinta

Hukum Sebab Akibat

“Eh anak gadis bengong aja!” Dinda meletakkan segelas kopi panas disamping Killa. “Itu schedule nggak akan selesai kalau cuma dipelototin aja.”
Killa hanya mendesah mendengar teguran Dinda.
“Minum gih kopinya. Suntuk gue lihat muka Lo lesu gitu.”
“Thanks, Din.” Killa menyeruput sedikit kopi pahit yang tidak disukainya. Kalau dalam keadaan normal dia akan mengomel habis-habisan pada Dinda. “Lo nggak balik?”
“Nanti ajah.” Dinda mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas. “Gue lagi berantem sama laki Gue. jadi males kalau pulang ketemu.”
“Gue bingung sama kalian. Nikah tapi masih berantem aja.”
“Ya manusiawi kali, Ki.”
“Kalau menikah trus akhirnya berantem, diem-dieman, marah-marahan mending nggak usah nikah.”
“Duhh, susah ya ngomong sama jomblo yang nggak berpengalaman kaya elu. Mending Lo jadian aja sana sama customer ganteng yang tempo hari nyamperin Lo itu. Biar otak Lo bener dikit.” Dinda terkekeh.
“Nggak semua pertengkaran itu negative. Perikahan itu menyeimbangkan perbedaan, jadi wajar banget kalau sesekali berantem.”
“Ya, terserah Lo deh.”



Killa kembali menatap layar computer meninggalkan Dinda yang masih menertawakannya. Menyeimbangkan perbedaan. Killa terus terngiang dengan kalimat Dinda yang membuatnya terus bertanya.
Mungkin benar penilaian Dinda tentang dirinya. Bahwa logikanya terlalu kaku sehingga sering kali kesulitan dalam membuat penilaian terhadap hubungan manusia. Mungkin juga karena Killa kurang menghargai dirinya sendiri. Lebih memilih untuk mengabaikan dari pada merawat atau menyembuhkan hati.
“Mbak Killa ada kiriman.” Irwan salah satu kru memberikan sebuah paket. 
“Dari siapa?”
“Kurang tahu. ini tadi Ojek online yang antar.”
“Makasih ya.”
“Dari siapa?”
Killa hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban.
“Donat? Meses coklat?” Dinda membuka kardus. “Adik Lo bisa perhatian juga ya?”
“Hah? Keenan? Perhatian? Mana mungkin.”
“Emang siapa lagi yang tahu kalo Lo suka donat? Coba dia mau sama gue. nggak pa-pa lah gue nikah sama brondong.”
Killa mengabaikan celoteh Dinda. Ia mengambil ponsel untuk memastikan bahwa pengirim mesterius itu benar Keenan.

Killa        : Kesambet apaan beliin gue donat?
Keenan   : Ngarep banget gue beliin

Melihat jawaban Keenan membuat Killa bertanya-tanya, siapa yang mengirim makanan kesukaannya. Terbatasnya ruang pergaulan Killa membuat sedikit orang yang benar-benar mengenalnya termasuk makanan kesukaannya.
Lama berpikir membuatnya menduga satu orang yang mungkin menjadi pelaku. Seseorang yang bisa membuat Killa berbicara lepas dengan nyaman. Seseorang yang dengan mudah membuat Killa menjadi sosok yang sangat terbuka. Tapi kemungkinan itu segera ia tepis.
“Nggak mungkin” gumamnya.
Tapi semakin menepis, kemungkinan benar itu semakin besar. mengingat sedikitnya orang yang mengenalnya. Semakin keras ia mencari semakin kenangan yang berusaha diabaikan itu muncul satu per satu.
Pertemuan pertamanya terjadi saat Satya menyapanya dari jendela drive thru saat Killa memberikan pesanan. Yang membuat Killa selalu ingat karena satu-satunya customer yang menyapanya dengan nama lengkap.
“Hey, Shakilla Ardiani.”
Setelah itu pertemuan-pertemuan yang seolah tidak sengaja pun sering terjadi. dan sebagian besar terjadi di restoran. Satya bersikeras bahwa ia adalah loyal customer sejak Killa belum menjadi manager disana. Meskipun dalam hati Killa menolak bahwa ketidaksengajaan itu sudah disengaja.
“Heh bengong lagi! Gue balik.”
“Sama siapa?”
“Laki Gue.”
“Katanya berantem?”
“Makanya nikah.” Jawab Dinda sambil berlalu.
Killa kembali menatap 12 potong donat yang seluruhnya bertopping meses coklat. Sekotak makanan kesukaan tidak mungkin membuat pendiriannya goyah. Ada harga mahal yang harus dipertaruhkan bila sampai Killa merubah keputusannya.

Lagipula sisi logic-nya masih menguasainya. Bahwa di dunia ini hukum sebab akibat itu pasti. Kalau tidak bisa memberi jangan berharap akan menerima. Kalau Killa tidak bisa memberikan hatinya bagaimana mungkin ia bisa menerima perasaan Satya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates