Sabtu, 02 November 2019

# reboundP

Masa Lalu

“Ibu sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak perduli aku atau Diar, kami diperlakukan sama dalam segala hal.”
Satya menyadari telah terjadi sesuatu antara Ibu dan Killa. Dan dengan ucapan Satya bermaksud menenangkan. Nampak sekali perubahan pada diri Killa.
Diar sudah memberinya peringatan. Tanpa itu pun Satya sendiri sudah tahu. Tahapan ini memang perlu Killa lalui agar kedepannya lebih baik. Hanya saja Satya melewatkan akibat setelahnya. Killa nampak sangat terguncang.
“Aku kira karena kamu perempuan, Ibu tidak akan terlalu keras. Rupanya yang dialami Rasyid tidak jauh berbeda dengan kamu.”
Killa hanya memberikan tanggapan dengan sebuah senyuman.
“Ki,” Satya menggenggam tangan Killa. “Aku tetap akan mengusahakan hubungan kita. Sesulit apapun itu. Kamu bisa pegang janjiku.”
Kemampuannya mencerna perkataan Satya jauh berkurang. Killa tidak tahu harus menjawab apa. Sebuah anggukan lemah yang bisa dia berikan.
Satya membalas dengan tersenyum. “Kamu istirahat aja. Nanti aku bangunin kalau sudah sampai rumah.”
Killa menurut.
Tidur memang yang paling ia butuhkan. Energinya terkuras habis saat berhadapan dengan Ibu. Dan Satya menjadi selimut yang memberinya kehangatan pada jiwanya yang kedinginan.
Usapan lembut Satya berikan pada puncak kepala Killa ketika wanita disampingnya itu sudah terhanyut dalam dekapan mimpi. Nafasnya tenang dan teratur. Gurat kelelahan dan ketakutan masih tersisa diwajahnya.
Apa yang sudah kamu dengar dari ibu?
Satya berkendara dengan pikiran yang berkecamuk. Rasa penasarannya begitu besar. Keyakinannya membawa Killa bertemu dengan Ibu tidak tergoyahkan. Bahkan restu yang sedang ia cari akan dengan mudah didapatkan. Tapi kini, keyakinan itu pelan-pelan mulai terkikis.
Mimpi benar-benar memeluk Killa erat. Mama yang datang membangunkan pun tak membuat Killa terlepas dari jerat bunga tidur. Sehingga Satya meminta izin pada Mama untuk memindahkan Killa ke kamarnya. Mama terpaksa menyetujuinya. Saat ini hanya Satya yang mampu melakukannya. Keenan tentu saja sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.
“Makasih ya nak Satya.” Mama memberikan sebuah tas berisi kotak makan. “Untuk Nak Satya selama jauh dari rumah.”
“Wah, jadi merepotkan.”
“Anggap saja Nak Satya sedang menyenangkan hati seorang ibu.”
Apalagi yang bisa Satya lakukan selain menerima dan berterima kasih. Tidak ada penolakan untuk ibu bukan? 
Pinterest
Maka Satya pun membawanya seperti sebuah oleh-oleh. Dikepalanya sudah tersusun rapi jurus pertahanan untuk menghadapi celotehan Diar nanti.
Barisan rapi alasan yang harus diucapkan pertama kali siap meluncur dari bibir tipis Satya. Namun segera tertelan kembali, ketika mendengar perdebatan 2 wanita yang terdengar dari dalam rumah, Ibu dan Diar.
“Itu masa lalu, Bu. Tidak perlu dibawa-bawa.” Suara Diar terdengar kesal
“Masa lalu seorang wanita itu menjadi jejak permanen yang tidak bisa dihapus. Itu seperti penyakit bawaan yang sewaktu-waktu bisa kambuh.” Balas ibu tidak kalah sengit.
“Tapi ibu tidak bisa menilai orang dari pertemuan pertama, kan? Paling tidak ibu harus menghargai usaha Mas Satya, Bu.”
Diar terlihat sedang memohon pada Ibu ketika Satya masuk ke dalam. Meja makan itu belum berubah sejak satu jam lalu ia tinggalkan.
“Serius sekali?” Satya melihat Ibu maupun Diar tidak ada yang berbicara. “Diar?.”
 “Enggak apa-apa kok mas. Biasa debat kecil sama ibu soal Rasyid.” Diar bergerak cepat dengan menarik Satya menjauh.
“Bukan Rasyid.” Ucapan ibu menghentikan langkah Satya. “Tapi Killa.”
“Ada apa dengan Killa, Bu?”
“Bukan soal penting, Mas. Mending Mas Satya siap-siap. Bentar lagi jemputannya pasti datang. Oh, ini apa?”
Satya menyerahkan paper bag yang sejak tadi dipegangnya pada Diar. “Mas mau bicara dengan ibu.”
Diar memandang penuh permohonan agar Satya mengikutinya pergi.
“Diar, Mas bisa menyelesaikan apapun masalah yang kamu khawatirkan.”
“Tapi janji sama Diar kalau Mas nggak akan melepaskan Mbak Killa.” Ucap Diar pelan-pelan.

Satya menjawabnya dengan tersenyum dan sebuah belaian lembut di kepala adik perempuannya. “Pasti.”
Pinterest
Setelah memastikan Diar pergi, Satya menghampiri ibu yang sejak tadi duduk membelakanginya. Terlihat sekali sedang diselimuti amarah. Nafasnya naik turun tidak beraturan, begitu dengan sorot mata yang menunjukkan rasa tidak suka.
“Minum dulu, Bu.” Satya menyodorkan segelas air putih.
Segelas air dingin mampu menurunkan emosi. Itu yang ayahnya sering ucapkan sejak Satya kecil.
Hampir 35 tahun hidupnya selalu menerima gelas berisi air dari orang tuanya ketika sedang marah atau sedih. Ini pertama kalinya bagi Satya menyajikan untuk meredam emosi ibu.
Nafas ibu pun berangsur-angsur tenang. Emosi yang tadi menguasainya perlahan hilang. Satya pun mulai berbicara.
“Ibu kenapa?”
“Ibu nggak suka kamu sama Killa. Apalagi kalau niat kamu membawanya kemari untuk mendapatkan restu ibu. Sebaiknya kamu buang jauh-jauh rencana itu.”
Satya menghela nafas. “Kalau gitu bisa Satya simpulkan bahwa ibu kurang menyukai Killa?”
“Tidak suka!” Ibu menegaskan.
“Baik, ibu tidak suka Killa. Tapi kenapa? Pasti ibu punya alasan.”
Ibu berbalik, duduk menghadap Satya. “Kamu harus tahu bahwa setiap orang tua menginginkan pendamping yang terbaik untuk anak-anaknya.”
“Meski aku laki-laki?”
“Justru karena kamu laki-laki, kamu harus didampingi perempuan yang baik. Yang bisa menjadi rumah yang selalu kamu rindukan setiap saat.”
Satya diam. Menunggu. Dia masih belum menemukan titik yang menghubungkan harapan ibu dengan Killa.
“Dan Killa bukan perempuan seperti itu.”
“Kenapa?”
Ibu menghela putus asa. “Kamu ingat proses pernikahan sepupu kamu, Rian?”
“Iya. Tapi tapi kenapa sekarng jadi membicarakan Rian?.”
“Karena ada hubungannya. Kamu tahu Rian hampir tidak jadi menikah dengan Tantri?”
Satya menelengkan kepala. Dia tidak pernah tahu hal itu. Dia tahu dari Tantri bahwa pernikahan itu terpaksa ditunda karena orang tuanya tiba-tiba merasa keberatan jika Rian menikahinya. Ketika Satya bertanya lebih lanjut, Tantri hanya menjawab dengan gelengan kepala kemudian menangis selama berhari-hari.
“Ada perempuan yang datang saat keluarga kita dan Tantri sedang membicarakan tanggal pernikahan.” Ibu bercerita. “Perempuan itu membuat keributan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan baik-baik. Dia seperti tidak punya harga diri dengan memohon-mohon pada laki-laki yang sudah memiliki calon pendamping.”
Pada bagian ini Satya tahu karena saat kejadian ada disana. Tapi dia tidak tahu siapa perempuan itu. melihat wajahnya saja tidak sempat karena ibu segera membawa pergi wanita tadi.
Ingatannya hanya menggambarkan seorang wanita, masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 19 atau 20 tahun. Dan terlihat cukup berantakan. Kemeja entah kaos yang dikenakannya kusut disana sini. Ditambah ikatan rambutnya yang hampir terlepas membuat rambut panjangnya awut-awutan.
“Kamu ingat sekarang?”
“Iya. Tapi aku masih tidak mengerti hubungannya dengan Killa.”

“Perempuan itu Killa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates