“Ibu
sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak perduli aku atau Diar, kami diperlakukan
sama dalam segala hal.”
Satya
menyadari telah terjadi sesuatu antara Ibu dan Killa. Dan dengan ucapan Satya
bermaksud menenangkan. Nampak sekali perubahan pada diri Killa.
Diar
sudah memberinya peringatan. Tanpa itu pun Satya sendiri sudah tahu. Tahapan
ini memang perlu Killa lalui agar kedepannya lebih baik. Hanya saja Satya
melewatkan akibat setelahnya. Killa nampak sangat terguncang.
“Aku
kira karena kamu perempuan, Ibu tidak akan terlalu keras. Rupanya yang dialami
Rasyid tidak jauh berbeda dengan kamu.”
Killa
hanya memberikan tanggapan dengan sebuah senyuman.
“Ki,”
Satya menggenggam tangan Killa. “Aku tetap akan mengusahakan hubungan kita.
Sesulit apapun itu. Kamu bisa pegang janjiku.”
Kemampuannya
mencerna perkataan Satya jauh berkurang. Killa tidak tahu harus menjawab apa.
Sebuah anggukan lemah yang bisa dia berikan.
Satya
membalas dengan tersenyum. “Kamu istirahat aja. Nanti aku bangunin kalau sudah
sampai rumah.”
Killa
menurut.
Tidur
memang yang paling ia butuhkan. Energinya terkuras habis saat berhadapan dengan
Ibu. Dan Satya menjadi selimut yang memberinya kehangatan pada jiwanya yang
kedinginan.
Usapan
lembut Satya berikan pada puncak kepala Killa ketika wanita disampingnya itu
sudah terhanyut dalam dekapan mimpi. Nafasnya tenang dan teratur. Gurat
kelelahan dan ketakutan masih tersisa diwajahnya.
Apa yang sudah kamu dengar dari
ibu?
Satya
berkendara dengan pikiran yang berkecamuk. Rasa penasarannya begitu besar. Keyakinannya
membawa Killa bertemu dengan Ibu tidak tergoyahkan. Bahkan restu yang sedang ia
cari akan dengan mudah didapatkan. Tapi kini, keyakinan itu pelan-pelan mulai
terkikis.
Mimpi
benar-benar memeluk Killa erat. Mama yang datang membangunkan pun tak membuat
Killa terlepas dari jerat bunga tidur. Sehingga Satya meminta izin pada Mama
untuk memindahkan Killa ke kamarnya. Mama terpaksa menyetujuinya. Saat ini
hanya Satya yang mampu melakukannya. Keenan tentu saja sedang tidak ada di
rumah karena sedang bekerja.
“Makasih
ya nak Satya.” Mama memberikan sebuah tas berisi kotak makan. “Untuk Nak Satya
selama jauh dari rumah.”
“Wah,
jadi merepotkan.”
“Anggap
saja Nak Satya sedang menyenangkan hati seorang ibu.”
Apalagi
yang bisa Satya lakukan selain menerima dan berterima kasih. Tidak ada
penolakan untuk ibu bukan?
Maka
Satya pun membawanya seperti sebuah oleh-oleh. Dikepalanya sudah tersusun rapi
jurus pertahanan untuk menghadapi celotehan Diar nanti.
Barisan
rapi alasan yang harus diucapkan pertama kali siap meluncur dari bibir tipis
Satya. Namun segera tertelan kembali, ketika mendengar perdebatan 2 wanita yang
terdengar dari dalam rumah, Ibu dan Diar.
“Itu
masa lalu, Bu. Tidak perlu dibawa-bawa.” Suara Diar terdengar kesal
“Masa
lalu seorang wanita itu menjadi jejak permanen yang tidak bisa dihapus. Itu
seperti penyakit bawaan yang sewaktu-waktu bisa kambuh.” Balas ibu tidak kalah
sengit.
“Tapi
ibu tidak bisa menilai orang dari pertemuan pertama, kan? Paling tidak ibu
harus menghargai usaha Mas Satya, Bu.”
Diar
terlihat sedang memohon pada Ibu ketika Satya masuk ke dalam. Meja makan itu
belum berubah sejak satu jam lalu ia tinggalkan.
“Serius
sekali?” Satya melihat Ibu maupun Diar tidak ada yang berbicara. “Diar?.”
“Enggak apa-apa kok mas. Biasa debat kecil
sama ibu soal Rasyid.” Diar bergerak cepat dengan menarik Satya menjauh.
“Bukan
Rasyid.” Ucapan ibu menghentikan langkah Satya. “Tapi Killa.”
“Ada
apa dengan Killa, Bu?”
“Bukan
soal penting, Mas. Mending Mas Satya siap-siap. Bentar lagi jemputannya pasti datang.
Oh, ini apa?”
Satya
menyerahkan paper bag yang sejak tadi dipegangnya pada Diar. “Mas mau bicara
dengan ibu.”
Diar
memandang penuh permohonan agar Satya mengikutinya pergi.
“Diar,
Mas bisa menyelesaikan apapun masalah yang kamu khawatirkan.”
“Tapi
janji sama Diar kalau Mas nggak akan melepaskan Mbak Killa.” Ucap Diar
pelan-pelan.
Satya
menjawabnya dengan tersenyum dan sebuah belaian lembut di kepala adik
perempuannya. “Pasti.”
Setelah
memastikan Diar pergi, Satya menghampiri ibu yang sejak tadi duduk
membelakanginya. Terlihat sekali sedang diselimuti amarah. Nafasnya naik turun
tidak beraturan, begitu dengan sorot mata yang menunjukkan rasa tidak suka.
“Minum
dulu, Bu.” Satya menyodorkan segelas air putih.
Segelas
air dingin mampu menurunkan emosi. Itu yang ayahnya sering ucapkan sejak Satya
kecil.
Hampir
35 tahun hidupnya selalu menerima gelas berisi air dari orang tuanya ketika
sedang marah atau sedih. Ini pertama kalinya bagi Satya menyajikan untuk
meredam emosi ibu.
Nafas
ibu pun berangsur-angsur tenang. Emosi yang tadi menguasainya perlahan hilang.
Satya pun mulai berbicara.
“Ibu
kenapa?”
“Ibu
nggak suka kamu sama Killa. Apalagi kalau niat kamu membawanya kemari untuk
mendapatkan restu ibu. Sebaiknya kamu buang jauh-jauh rencana itu.”
Satya
menghela nafas. “Kalau gitu bisa Satya simpulkan bahwa ibu kurang menyukai
Killa?”
“Tidak
suka!” Ibu menegaskan.
“Baik,
ibu tidak suka Killa. Tapi kenapa? Pasti ibu punya alasan.”
Ibu
berbalik, duduk menghadap Satya. “Kamu harus tahu bahwa setiap orang tua menginginkan
pendamping yang terbaik untuk anak-anaknya.”
“Meski
aku laki-laki?”
“Justru
karena kamu laki-laki, kamu harus didampingi perempuan yang baik. Yang bisa
menjadi rumah yang selalu kamu rindukan setiap saat.”
Satya
diam. Menunggu. Dia masih belum menemukan titik yang menghubungkan harapan ibu
dengan Killa.
“Dan
Killa bukan perempuan seperti itu.”
“Kenapa?”
Ibu
menghela putus asa. “Kamu ingat proses pernikahan sepupu kamu, Rian?”
“Iya.
Tapi tapi kenapa sekarng jadi membicarakan Rian?.”
“Karena
ada hubungannya. Kamu tahu Rian hampir tidak jadi menikah dengan Tantri?”
Satya
menelengkan kepala. Dia tidak pernah tahu hal itu. Dia tahu dari Tantri bahwa
pernikahan itu terpaksa ditunda karena orang tuanya tiba-tiba merasa keberatan
jika Rian menikahinya. Ketika Satya bertanya lebih lanjut, Tantri hanya
menjawab dengan gelengan kepala kemudian menangis selama berhari-hari.
“Ada
perempuan yang datang saat keluarga kita dan Tantri sedang membicarakan tanggal
pernikahan.” Ibu bercerita. “Perempuan itu membuat keributan yang tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan baik-baik. Dia seperti tidak punya
harga diri dengan memohon-mohon pada laki-laki yang sudah memiliki calon
pendamping.”
Pada
bagian ini Satya tahu karena saat kejadian ada disana. Tapi dia tidak tahu
siapa perempuan itu. melihat wajahnya saja tidak sempat karena ibu segera
membawa pergi wanita tadi.
Ingatannya
hanya menggambarkan seorang wanita, masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar
19 atau 20 tahun. Dan terlihat cukup berantakan. Kemeja entah kaos yang
dikenakannya kusut disana sini. Ditambah ikatan rambutnya yang hampir terlepas
membuat rambut panjangnya awut-awutan.
“Kamu
ingat sekarang?”
“Iya.
Tapi aku masih tidak mengerti hubungannya dengan Killa.”
“Perempuan
itu Killa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar